Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 07 Agustus 2012

Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4-Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4-Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4

"Ilmu silat keluarga Soat di Say-pak memang lain dari
pada yang lain, misalnya pamanmu, Soat Ko-hong, jelas
llmu silatnya tidak dibawah Su-ki dan Sam-yu. Tapi kedua
adik perempuannya sejak kacil sudah meninggalkan rumah
sehingga tidak mendapatkan pendidikan kungfu yang
tinggi. Setahuku, waktu bibimu mengembara di daerah
Tionggoan, hampir tiada orang yang memuji kehebatan
ilmu silatnya, sebaliknya Cui-hun sudah mendapatkan
seluruh kungfu Bung-tong-pay, melulu dia seorang saja
sukar bagi bibimu untuk membunuhnya."
"Sudahlah, persoalan ini tidak perlu diperbincangkan
lagi. kalau melulu berpikir tanna bukti, tentu sukar untuk
dipecahkan. Kuharap guruku. dan bibi tidak pernah
membunuh Toapek, kelak kalau berjumpa lagi dengan Suhu
akan kumohon beliau supaya menceritakan apa2 yang
terjadi dahulu, dengan begitu segala persoalannya tentu
akan jelas."
"Apabila gurumu dan bibimu ternyata pernah membantu
Cui-hun dan rombongannya mengerubuti Toapekmu, lalu
bagaimana?"
"Kalau Ji-suko menjadi diriku, bagaimana tindakanmu?"
Peng-say balas bertanya.
"Urusan yang sudah lalu, kesalahan apapun sukar
diperbaiki lagi, terpaksa dianggap selesailah sudah."
"Dan kematian Toapek akan dibiarkan sia2 begitu?"
"Habis mau apa? Dapatkah kau menuntut balas terhadap
gurunya sendiri atau terhadap bibimu sendiri? Kukira tidak
boleh timbul pikiran demikian!"
"Budi guru setinggi langit, sukar bagiku membalasnya,
maka apapun juga aku tak dapat bersikap kurang hormat
terhadap guruku. Mengenai bibi. bila betul dia ikut serta
membunuh Toapek, maka hubungan kekeluargaan ini akan
kuputuskan selama hidup!"
"Wah, jangan, mana boleh jadi begitu!" seru Lo-kiat
cepat. "Jika kau tidak mengakui dia sebagai bibimu. mana
dia mau mengajari ilmu Pedang Kanan padamu? Makanya
selain harus kau akui dia sebagai bibimu, bahkan harus kau
mohon bibimu atau murid bibimu yang bernama Soat Koh
itu agar mau mengajarkan ilmu pedangnya padamu."
Peng-say seperti kurang berminat terhadap Siang-liukiam-
hoat. ucapnya dengan tersenyum getir: "Sekalipun
kedua tanganku sudah mahir memainkan Siang-liu-kiamhoat,
lalu apa gunanya?"
"Wah benar sekali gunanya," kata Lo-kiat."Suhu tahu
kau bertekad akan menuntut balas bagi nona Cin, maka
beliau memberi pesan betapa pun kau harus belajar Siangliu-
kiam secara lengkap. bila sudah berhasil menguasai ilmu
pedang itu, untuk membunuh Ciamtay Cu-ih menjadi
semudah membalik telapat tangan sendiri. Mengenai
Supek, apabila benar-benar2 sudah mati akibat terluka di
pertemuan Ki-lian-san, maka tidak perlu sangsi Ciamtay
Cu-ih itulah si pembunuh Supek. Jadi, kalau Ciamtay Cu-ih
kau bunuh, hal ini bukan saja sakit hati nona Cin terbalas,
bahkan sekaligus membalaskan sakit hati Supek, malahan
juga berarti menghilangkan suatu penyakit bagi dunia
persilatan."
"Masa selain menguasai Siang-liu-kiam-hoat secara
lengkap tidak dapat membunuh Ciamtay Cu-ih?"
"Sulit, teramat sulit untuk membunuh Ciamtay Cu-ih,
jika Siang -iu-kiam-hoat tidak kau kuasai secara lengkap."
kata Lo-kiat. "Waktu kususul kemari, Suhu justeru memberi
pesan wanti2 agar memperingatkan padamu, sebelum
Siang-liu-kiam-hoat kau kuasai secara lengkap, jangan
sekali2 kau sembarangan bertindak. Hendaklah maklum
bahwa ilmu silat di dunia sekarang hanya Siang-liu-kiam
saja yang dapat membinasakan Ciamtay Cu-ih. Jelas Suhu
sangat sayang kepada anaknya sendiri, ia kuatir kau gagal
menuntut balas, sebaliknya malah terbunuh.Maka memberi
pesan sebelum melaksanakan niatmu menuntut balas harus
kau belajar dulu Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap."
"Bahwa Siang-liu-kiam nomor satu di dunia memang
sudah terbukti dan tidak dapat disangkal lagi," kata Pengsay,
"tapi itupun harus melihat siapa gerangan yang
menguasai ilmu pedang itu. Masih kuingat Ji-suko pernah
menyatakan ucapan ayah bahwa sekalipun ilmu pedang
nomor satu di dunia, tapi kalau tak menguasai Lwekang
dengan sempurna, biarpun paham ilmu pedang yang maha
sakti juga tiada gunanya. Bagiku justeru disinilah letak
kelemahanku, dasar Lwekangku belum kuat biarpun Siangliu-
kiam dapat kukuasai secara lengkap juga tiada
gunanya."
"Apakah kau kira Lwekangmu tidak berguna?" tanya Lokiat
dengan tertawa.
"Kalau kuceritakan, sungguh aku menjadi malu sendiri,"
ujar Peng-say sambil menggeleng, "Pernah Liok-ma
menggetar patah pedangku dengan cambuknya, kalau
kubilang Lwekangku hebat, bukankah cuma menipu diriku
sendiri?"
"Jangan kau meremehkan dirimu sendiri, Cap-itsute
yang dulu dan Cap-itsute yang sekarang kan sudah lain,"
ujar Lo-kiat.
"Ya, akhir2 ini akupun merasa Lwekangku ada
kemajuan, tapi kalau dibandingkan tokoh ternama,
kemajuanku boleh dikatakan tiada artinya."
"Coba ceritakan, sampai berapa kuat Lwekangmu
dahulu?" tanya Lo-kiat dengan tertawa.
"Sekuat tenaga mungkin cukup untuk meratakan alat
perabot sebangsa meja kursi," tutur Peng-say.
"Ah, Cip-itsute terlalu rendah hati," ujar Lo-kiat sambil
menggeleng. "Seorang pesilat biasa saja sanggup
menghancurkan meja kursi, masa sedemikian tak becus
kau, sudah sekian tahun berlatih Lwekang hanya sekuat
pesilat biasa saja."
"Kenyataaanya memang begitu, paling2 telapak
tanganku hanya mampu menghancurkan perabot yang
terbuat dari kayu Lam."
"Oo, kalau begitu menjadi lain soalnya," kata Lo-kiat.
"Kayu Lam tergolong kayu yang paling keras dan rapat.
pesilat biasa saja sukar membelahnya dengan golok, tapi
telapak tanganmu mampu memotongnya, nyata latihan
Lwekangmu selama beberapa tahun ini tidaklah sia2."
Lalu Lo-kiat menunjuk meja pendek di depan mereka
dan berkata pula: "Hotel ini cukup bagus, alat perabotnya
juga terbuat dari kayu Lam. Coba Cap-itsute, boleh kau uji
dengan meja ini, ingin kulihat sampai dimana tingkat
Lwekangmu?"
Peng-say meraba meja yang cukup indah dan kukuh itu,
katanya dengan menyesal: "Meja sebagus ini, kan sayang
kalau dirusak?"
"Biarlah aku yang ganti-rugi kepada pemilik hotet," kata
Lo-kiat. "Hanya saja mungkin tenagamu tidak kuat
merusak meja ini, maka pemilik hotel akan gagal mendapat
keuntungan dari ganti rugi ini."
Peng-say tahu sang Ji-suko sengaja memancingnya, tapi
ia memang ingin coba2 juga, segera ia angkat telapak
tangannya.
"Nanti dulu," kata Lo-kiat sebelum tabasan telapak
tangan Peng-say itu dilakukan. "Bagaimana kalau kita
bertaruh sedikit?"
Peng-say tertawa, jawabnya: "Kalau Ji-suko suka, boleh
saja."
"Begini," kata Lo-kiat. "Bila meja ini dapat kau hantam
remuk, aku yang ganti rugi kepada yang empunya barang.
Jika tidak dapat kau rusakkan, kau harus bayar dua kali
lipat uang ganti rugi meja ini."
Peng-say cukup yakin pasti mampu menghancurkan
meja itu, maka tanpa pikir ia berkata: "Baik, jadi!"
Segera ia menghimpun tenaga, tangan diangkat pula.
Melihat wajah anak muda itu samar2 bersemu hijau, Lokiat
tahu sekali ini dia telah mengerahkan segenap
tenaganya.
Peng-say memang sudah menghimpun segenap tenaga
pada telapak tangan kiri yang hendak digunakan menabas
itu. Tindakannya ini bukan lantaran dia takut kalah, tapi
takut kalau2 dia tak dapat menghancurkan meja itu, hal ini
tentu akan membuatnya malu besar.
Pelahan ia menurunkan telapak tangan kirinya. ketika
sudah dekat meja baru mendadak dihantamkan dengan
keras.
Siapa tahu, meja itu tiada rusak sedikitpun. Keruan
Peng-say bersuara heran dengan muka merah, tak tersangka
olehnya tenaga yang sudah dikerahkan sepenuhnya ternyata
tidak mampu menghancurkan meja itu, ia menjadi heran
apakah Lwekangnya sendiri bukannya maju, sebaliknya
malah mundur?
Kiau Lo-kiat bergelak tertawa. Sudah tentu Peng-say jadi
malu, ia menunduk dan berkata, "Baiklah aku kalah."
"Tidak, kau tidak kalah, justeru kau yang menang,
kemenangan yang gemilang," kata Lo-kiat malah.
Peng-say menyangka orang bicara secara terbalik,
ucapnya sambil menyengir: "Kutahu biarpun Siang-liukiam-
hoat kupelajari dengan lengkap juga tiada gunanya,
buktinya kan sudah jelas."
"Siapa bilang tiada gunanya?" ujar Lo-kiat. "Justeru
tenagamu sekarang sama sekali tidak di bawah pamanmu
Soat Ko-hong."
Peng-say merasa kurang senang, katanya: "Ucapan Jisuko
ini tidakkah terlalu menghina pamanku?"
"Siapa bilang menghina? Coba, boleh kau dorong meja
ini," kata Lo-kiat dengan tertawa.
Peng-say menurut dan coba mendorong meja itu, ia
menyangka meja yang kukuh dan berat itu pasti takkan
bergerak, tak terduga, bergerak sih memang tidak, tapi
begitu tersentuh tangannya, seketika meja itu ambruk
hancur menjadi bubuk. Keruan Peng-say menjadi kaget.
Lo-kiat meraup secomot bubuk kayu meja itu, katanya
dengan tertawa: "Menurut cerita Toa-suko tempo hari,
katanya pamanmu Soat Ko-hong ketika berada di kelenteng
Toa-pekong sana pernah sekali hantam menghancurkan
meja sembahyang, Toa-suko sangat terkejut dan kagum,
katanya tokoh Bu-lim sekarang jarang yang bertenaga
dalam sekuat pamanmu itu. Namun Toa-suko juga
menambahkan bahwa betapapun hebat tenaga dalam Soat
Ko-hong tetap tak dapat menandingi kekuatan Suhu. Soat
Ko-hong hanya dapat membuat remuk bagian meja yang
terkena pukulannya, sebaliknya dengan Ci-he-kangnya
Suhu sanggup menghacur luluhkan sebuah meja
sembahyang seluruhnya. Bisa jadi cerita Toa-suko itu tidak
seluruhnya benar. sebab pukulan pamanmu dahulu itu
mungkin dilakukan dengan sekenanya, bilamana digunakan
sepenuh tenaga bisa jadi seluruh meja sembahyang juga
akan tergetar hancur seperti pukulan Suhu, tapi berdasarkan
kemampuanmu sekarang, sedikitnya kau tidak dibawah
pamanmu, betul tidak menurut pendapatmu?"
Peng-say sendiri sampai melenggong, dengan bingung ia
memandangi meja yang telah hancur menjadi bubuk kayu
itu, se-olah2 tidak memperhatikan apa yang diucapkan
Kiau Lo-kiat.
"Jangan melenggong, apakah sekarang kau masih tidak
percaya?" kata Lo-kiat pula dengan tertawa.
”Sungguh sukar untuk di ... .dipercaya . . . ." ucap Pengsay
dengan ter-gegap2.
"Tapi bukti menjadi saksi, mau-tidak-mau kau harus
percaya. Makanya aku ingin tanya, wahai Cap-itsute,
mengapa Lwekangmu bisa maju sepesat ini?" kata Lo-kiat
dengan tertawa.
"Aku . . . .aku tidak ....tidak tahu. . . ."
"Tambahnya tenaga dalam biasanya tidak mungkin
terjadi dalam waktu sehari atau semalam, tapi apakah kau
percaya bahwa Lwekang memang dapat mendadak
bertambah beberapa kali lipat dalam waktu singkat?" tanya
Lo-kiat pula.
Dengan gelagapan Peng-say menjawab: "Tidak .... tidak
percaya, eh, per. . . .percaya."
"Hahaha, Mengapa sudah bilang tidak percaya, lalu kau
katakan percaya lagi?"
"Ya, betapapun aku tidak percaya terhadap hal2 yang
mustahil terjadi, tapi mau-tidak-mau harus percaya pula
kepada kenyataan didepan mata ini."
"Ketambahan tenaga dalam beberapa kali lipat secara
mendadak, kalau dibicarakan memang mustahil bisa terjadi.
Tapi juga tidak dapat dikatakan tidak mungkin terjadi.
Sebab bagi kaum ahli Lwekang ada semacam ilmu yang
disebut 'Si-oh-koan-teng, pernahkah kau dengar?"
Peng-say menggeleng.
Maka Lo-kiat menyambung pula: "Si-oh-koan-teng
adalah istilah agama Buddha, artinya memberikan
kecerdasan dan kebijaksanaan kepada seseorang. Istilah ini
digunakan dalam ilmu silat, sudah tentu tidak berarti
menyalurkan kecerdasan atau kebijaksanaan kepada
seseorang, tapi dimaksudkan penyaluran tenaga dalam.
Bagi yang menerima penyaluran tenaga itu, dalam waktu
singkat tenaga dalamnya akan bertambah berlipat kali. Cara
bagaimana menyalurkan tenaga dalam? Karena menyagkut
ilmu yang maha tinggi, aku sendiri tidak paham, hanya
kutahu bilamana menggunakan ilmu Si-oh-koan-teng
tersebut, maka seluruh tenaga dalam seorang dapat
disalurkan ke tubuh orang yang lain, dengan demikian
tenaga dalam kedua orang akan terbaur menjadi satu pada
orang yang menerima saluran tenaga itu."
Mendengar sampai disini, Peng-say lantas teringat
kepada Sau Ceng-hong yang berwajah kurus pucat dan tua
waktu kepergok diambang pintu Soh-hok-han ketika dia
hendak minggat diusir Leng Tiong-cik tempo hari. Tanpa
terasa ia berteriak: "Oo, ayah!"
Dengan menghela napas Lo-kiat berkata pula: "Kukira
sekarang kau pasti paham sebab musababnya Lwekang
yang bertambah kuat secara mendadak ini. Selama sebulan
Suhu tirakat, setiap malam beliau selalu mengunjungi
kamarmu. dengan ilmu Si-oh-koan-teng beliau telah
menyalurkan Ci-he-kang padamu, jadi kekuatanmu
sekarang sama dengan kekuatanmu semula ditambah
dengan kekuatan ayahmu kemarin."
Tanpa bicara lagi mendadak Peng-say melompat bangun
terus berlari pergi.
"Tunggu!" seru Lo-kiat ia melemparkan sepotong uang
perak terus mengejur keluar.
—O0—odwo—0O—
Sudah jauh malam, bulan tinggi menghiasi cakrawala
dengan cahayanya yang terang menyinari bumi.
Dengan susah payah akhirnya Lo-kiat dapat menyusul
Peng-say, keduanya berlari secepat terbang. Lampat-laun
Lo-kiat merasa kewalahan, dengan megap2 ia berkata:
"Lambat sedikit, Cap-itsute!"
Peng-say lantas kendurkan larinya. Langkah Lo-kiat
menjadi agak longgar, bicaranya tidak ter-engah2 lagi, ia
berkata pula: "Cap-itsute, apakah kau hendak pulang ke
Soh-hok-han?"
Peng-say mengiakan.
"Bukankah kau kuatir ayahmu akan serba Susah
mengapa mendadak kau hendak pergi ke sana?"
Dengan agak tersendat Peng-say menjawab: "Aku takkan
tinggal lama disana, cukup asalkan tahu kesehatan ayah
tidak beralangan dan segera kutinggalkan pergi lagi."
Lo-kiat juga berduka, katanya: "Gara2 Subo, kalian ayah
dan anak tidak dapat berkumpul. ku-tahu kalian pasti
sama2 merasa berduka. Tapi jangan kuatir. takkan terjadi
apa2 atas diri Suhu, beliau cuma menyalurkan tenaganya
padamu, kini beliau berubah menjadi orang biasa. Kau
disuruh membunuh Ciamtay Cu-ih, supaya kau dapat
langsung menuntut balas bagi nona Cin, Suhu sendiri sudah
kehilangan tenaga dan tidak mampu berbuat apa2 lagi,
terpaksa suruh kau belajar Siang-liu-kiam- hoat secara
lengkap agar pesan Suhu tadi bisa terlaksana."
Dengan pedih Peng-say berkata: "Kutahu maksud ayah,
kupasti melaksanakan harapannya. Akan kumohon kepada
bibi agar mengajarkan bagian kanan Siang-liu-kiam-hoat
padaku, akan kulaksanakan pesan beliau, sebelum lengkap
menguasai Siang-liu-kiam-hoat aku pasti takkan bertanding
secara gegabah."
"Menurut pendapatku, sebaiknya jangan kau pulang ke
Soh-bok-han," kata Lo-kiat. "Setelah kau tahu maksud
ayahmu, bolehlah kau laksanakan sekuat tenagamu, kelak
boleh kau hibur beliau bilamana tugasmu sudah selesai.
Untuk apa sekarang kau pulang kesana, kan hanya
menambah rasa dukanya saja?"
"Tidak, sebelum melihat ayah dalam keadaan baik ,
betapapun hatiku tidak tenteram," kata Peng-say.
"Demi kesehatan ayahmu, hendaklah jangan kau pulang
kesana," bujuk Lo-kiat pula. "Hendaklah kau tahu, meski
kesehatan Suhu sekarang tak beralangan, tapi badannya
jelas sangat lemah, bila kau temui beliau, betapapun hatinya
pasti akan terharu. Kau tidak menjadi soal, tapi Suhu pasti
tidak tahan akan emosinya, betul tidak?"
Tak tahun lagi air mata Peng-say bercucuran, dengan
pedih ia berkata: "Baiklah, aku berjanji takkan menemui
ayah, aku hanya akan memandangnya dari luar jendela
saja, setelah kulihat beliau tidur dengan nyenyak segera
kutinggal pergi."
Lo-kiat tidak bicara lagi. Tidak lama kemudian
sampailah mereka di kaki gunung. Karena ingin cepat2
sampai, Peng-say tidak sabar. ia pegang tangan Lo-kiat
terus dibawa lari ke atas gunung.
Setiba di Soh-hok-han, Lo-kiat kuatir mengejutkan Sunio
dan para saudara seperguruannya, ia tidak masuk melalui
pintu depan, tapi membawa Peng-say memutar ke samping.
kekamar tulis yang biasa didiami sendiri oleh Sau Cenghong.
Kamar tulis itu menghadap ke barat, saat itu rembulan
yang sudah condong ke barat itu sedang memancarkan
cahayanya yang terang dan menembus jendela yang ditutup
dengan kertas tembus cahaya itu, maka keadaan di dalam
kamar cukup jelas kelihatan.
Pelahan Lo-kiat membolongi kertas jendela dan
mengintip kedalam, lalu ia berpaling dan mendesis kepada
Peng-say: "Kebetulan Suhu memang lagi tidur."
Peng-say mengintip juga, dilihatnya di tempat tidur yang
menghadap kejendela itu berbaring seorang berjubah hijau,
tapi mukanya menghadap kesebelah dalam sehingga tidak
kelihatan mukanya, hanya dari bayangan punggungnya
samar2 dapat dipastikan ialah ayahnya sendiri, yaitu Sau
Ceng-hong.
Meski ia tidak tahu sebab-musabab sang ayah selalu tidur
sendirian dikamar tulis ini, tapi keadaan dan pemandangan
ini menimbulkan semacam perasaan pedih dan haru dalam
hati Peng-say, tanpa terasa ia berseru tertahan: "Ayah!"
Di tengah malam sunyi begini, meski suara Peng-say itu
se-olah2 tertahan di tenggorokan, namun cukup jelas
terdengar. Tapi aneh, tidak kelihatan Sau Ceng-hong
bergerak sama sekali. Padahal bagi tokoh persilatan kelas
tinggi seperti dia ini, bila dalam keadaan hening begini tak
dapat mendengar suara Peng-say yang lirih itu, hakikatnya
dia tiada ubahnya seperti seorang tuli.
Karena kedatangannya sudah bertekad takkan
mengejutkan ayah, sebab Peng-say tahu seorang tokoh silat
kelas tinggi bilamana kehilangan tenaga dalam, maka daya
pendengarannya akan jadi puntul seperti orang awam,
sebab itulah sekarang sang ayah tidak terjaga dari tidurnya.
Tapi bila mengingat sebabnya sang ayah sampai berubah
menjadi begitu, tanpa terasa air mata Peng-say bercucuran.
Lo-kiat ikut meneteskan air mata, ucapnya dengan suara
tertahan: "Cap-itsute. bolehlah kau pergi saja."
Peng-say mengiakan pelahan, dengan rasa berat ia
membalik tubuh dan ikut pergi bersama Lo-kiat, namun
beberapa kali dia menoleh lagi, pemandangan ini mirip
orang yang akan berpisah untuk selama-lamanya.
Diam2 Lo-kiat terharu, ia membujuknya: "Kalian ayah
dan anak hanya berpisah untuk sementara waktu saja, kelak
kalian masih dapat berkumpul dan hidup bahagia."
"Kelak? Harus tunggu sampai kapan?" ucap Peng-say
dengan tersenyum getir.
Nadanya membayangkan "kelak" yang tak terbatas itu.
Leng Tiong-cik tidak suka padanya, dalam keadaan
demikian. kecuali ibu tiri itu mati barulah memungkinkan
bagi Peng-say untuk pulang berkumpul dengan ayahnya.
Bagi Sau Ceng-hong yang sudah cukup tua itu, tidaklah
mungkin dia menceraikan isterinya yang mandul itu demi
membela puteranya.
Kiau Lo-kiat berjalan didepan, ber-ulang2 ia menghela
napas, katanya: "Entah apa manfaatnya bagi Sunio dengan
caranya menyingkirkan dirimu. Bilamana tahu begini,
seharusnya Suhu jangan berterus terang kepadanya.
Menurut cerita Suhu, pada malam hari pertama kita pulang
kesini segera beritahukan kepada Sunio tentang dirimu.
adalah darah dagingnya. Seketika air mnka Sunio berubah
tidak senang, meski tidak memberi reaksi pada saat itu juga,
namun Suhu sudah lantas tahu Sunio tidak suka padamu.
Benar juga, dengan segala daya upaya Sunio berusaha
memencilkan dirimu, bahkan cuma urusan perjodohan
Leng Hiang saja Sunio bertengkar dengan Suhu, bahkan
menyatakan anak pasti sama dengan ibunya, maka Suhu
dilarang mengajarkan ilmu silat kepadamu."
Dengan menahan rasa gusar Peng-say bertanya: "Apa
artinya anak pasti sama dengan ibunya? Memangnya ibuku
pernah berbuat salah apa?"
"Kalau diceritakan, hal ini memang tidak beralasan," ujar
Lo-kiat dengan penasaran. "Jangankan paman dan bibimu
bukan manusia jahat dan tak terampunkan, sekalipun
begitu, apa sangkut-pautnya mereka dengan ibumu? Dan
apa sangkut-pautnya dengan pribadimu? Menurut
pendapatku, sebabnya Sunio benci padamu adalah karena
rasa cemburunya, dia cemburu karena kau adalah putera
Suhu, dia gemas karena kau bukan putera yang dilahirkan
dia sendiri, rasa cemburu ini, rasa gemasnya, sama sekali
tidak berdasar. Habis kan salah dia sendiri, kenapa dia
mandul? . . ."
Sampai disini, mendadak Kiau Lo-kiat menahan
mulutnya. mungkin ia merasa tidak pantas ber-olok2
kepada orang tua.
Sejenak kemudian, ia berkata pula: "Dengan keadaannya
Suhu tidak mau menuruti kehendak Sunio dan tidak
mengajarkan kepandaian kepada anaknya sendiri, tapi
beliau juga tidak ingin bertengkar antara suami-isteri dihari
sudah tua begini. Sebab itulah dengan alasan Sunio
menolak perjodohanmu dengan Leng Hiang, dengan gusar
beliau lantas menutup diri dan tirakat, tapi diam2 seluruh
Lwekangnya telah disalurkan kepadamu, beliau berharap
kelak kau akan menonjol di dunia persilatan. Cuma Suhu
yang harus dikasihani, dengan nama dan kedudukannya dia
tidak dapat mengadakan pirayaan bagi anaknya sendiri.
Kau tahu, betapa Suhu mendambakan keturunannya yang
akan mewarisi Lam-han kita ini? Hanya lantaran cemburu
Sunio, segala angan2 Suhu telah lenyap bagai impian,
akhirnya malahan berkumpul dengan anaknya sendiri juga
tidak dapat. Sesunguhnya Suhu juga terlalu mengalah
terhadap Sunio, apabila aku, kalau Sunio tidak dapat
menerima kau, lebih baik kuceraikan dia. Sunio tidak dapat
melahirkan anak, dia sudah melanggar salah satu dari tujuh
pasal kebaktian orang perempuan, untuk mana secara resmi
dapat diceraikan tanpa syarat."
Makin bicara makin bersemangat sehingga Lo-kiat lupa
dia masih berada di Soh-hok-han. Waktu dia menyadari
suaranya sedemikian kerasnya sehingga segenap penghuni
Soh-hok-han dapat mendengar suaranya, namun sudah
terlambat, suaranya sudah telanjur tercetus dari mulutnya.
Selagi ia hendak menyuruh Peng-say lekas pergi agar
Sunio dan lain2 tidak keluar setelah mendengar suaranya.
Pada saat itulah mendadak dari pojok dinding sana
menubruk keluar sesosok bayangan sambil membentak:
"Sattt!"
Di bawah cahaya rembulan kelihatan orang itu mendelik
dan beringas, sikapnya sangat menakutkan.
"He, Toa-suko, aku!" teriak Lo-kiat kaget.
Yang menubruk keluar ini memang betul Sau Peng-lam
adanya.
Lo-kiat mengira sang Suheng salah sangka dirinya
sebagai musuh, maka biarpun tubrukan Peng-lam itu sangat
keras ia tidak berkelit, ia percaya bilamana dirinya sudah
bersuara, tentu Toa-suko akan menarik kembali
serangannya tepat pada waktunya.
Tak terduga serangan Peng-lam itu sama sekali tiada
tanda2 dihentikan, maka tanpa ampun dada Kiau Lo-kiat
yang kurus itu tepat kena dihantam.
Mana Lo-kiat sanggup menahan pukulan Peng-lam yang
dahsyat itu, ia menjerit, tubuhnya mencelat dan "bluk", ia
terbanting jatuh di sana.
Dengan kuatir Peng-say memburu maju untuk
memeriksa keadaan luka Ji-suko itu. Didengarnya Peng-lam
telah memburu dari belakang sambil membentak, "Lari
kemana, bangsat!" — Berbareng itu angin pukulan
menyambar tiba, kedua tangannya menghantam sekaligus,
nyata Peng-say hendak dibinasakannya.
Di bawah cahaya bulan yang cukup terang, tidak
mungkin lagi Peng-lam salah mengenali kawan sendiri,
andaikan pangling, sebelum tahu jelas maksud tujuan
musuh juga tidak pantas melancarkan serangan mematikan
begini. Nyata Peng-lam memang bermaksud membunuh
dirinya dan Kiau Lo-kiat.
Sudah tentu Peng-say tidak mau mati konyol tanpi\a
tahu sebab musebabnya, cepat ia membalik tubuh dan
menangkis.
"Blang", empat tangan beradu, tenaga dalam Peng-say
sekarang jauh di atas Peng-lam, cukup tiga bagian
tenaganya saja kontan menggetar Peng-lam hingga jatuh
terjengkang.
Sambil meraba pantatnya yang kesakitan Peng-lam
merangkak bangun, dengan menyengir seperti orang
linglung ia berseru: "Wah, lihay amat!" — Lalu dengan
mata melotot ia berkata pula terhadap Peng-say: "Orang she
Ting, boleh kau tunggu pembalasanku. Seorang lelaki yang
ingin menuntut balas, sepuluh tahunpun belum terlambat!"
Peng-say jadi melenggong, pikirnya heran: "Toa-suko
hendak menuntut balas apa?"
Selagi ia hendak bertanya. mendadak Peng-lam berlari
pergi turun ke bawah gunung.
Dengan rasa sangsi Peng-say berjongkok untuk
memeriksa luka Kiau Lo-kiat. Ternyata sangat parah luka
Ji-suko itu, darah masih terus merembes keluar dari
mulutnya.
Cepat Peng-say menutuk beberapa Hiat-to penting
ditubuh Lo-kiat, sebelah tangannya menahan dadanya dan
menyalurkan hawa murni uutuk penyembuhan luka dalam
Ji-suko itu.
Di tengah malam sunyi terdengar suara Toa-sukonya
berkumandang dari bawah gunung: "Hahahaha! Liok Pek
sudah kubunuh, haha Liok Pek sudah kubunuh!"
Peng-say tambah bingung dan curiga, entah Toa-suko itu
kenapa, menyebutnya orang she Ting, terang berteriak pula
bahwa Liok Pek telah dibunuh olehnya?
Ia tidak berani banyak pikir lagi, tapi memusatkan
perhatian untuk menyembuhkan luka Ji-sukonya. Ia merasa
denyut jantung Lo-kiat sangat lemah, meski detaknya
bertambah kuat setelah disaluri tenaga dalamnya, tapi ia
belum berani menarik tanganya.
Selang sejenak kemudian, dengan suara lemah Lo-kiat
berkata: "Cap-itsute, sudah, cukuplah."
Peng-say tidak paham ilmu pertabiban, ia tidak tahu
sesungguhnya bagaimana keadaan luka suko itu, melihat
orang sudah dapat berbicara, sangkanya sudah tidak
beralangan lagi, maka ia menurut dan menarik kembali
tangannya sambil berkata: "Ji-suko, biar kuantar kau ke
tempat ayah."
"Jangan, tidak perlu," kata Lo-kiat. Peng-say coba
mendengarkan dengan cermat, katanya kemudian: "Aneh.
mengapa Sunio dan para Suheng sama sekali tiada
terdengar bertindak apa-pun?"
Lo-kiat rada gemetar, ucapnya lemah: "Apa betul?"
"Suara tadi cukup keras, mustahil kalau mereka tidak
mendengar dan seharusnya mereka keluar untuk memeriksa
apa yang terjadi, tapi sampai sekarang ternyata tiada suara
apa2 dan tidak kelihatan seorangpun."
Dengan Lwekangnya sekarang, ditengah malam sunyi
begitu, biarpun daun jatuh di kejauhan juga dapat
didengarkannya, apalagi suara yang ditimbulkan seseorang.
Luka Lo-kiat cukup parah. bicara saja terasa berat,
dengan sendirinya daya pendengarannya telah banyak
berkurang, setelah mengetahui gelagat tidak enak. suaranya
bertambah gemetar, katanya dengan ter-putus2: "Cob . . .
coba pondonglah diriku, kita .... kita ke kamar Sunio dan
....dan lain2 . . . ."
Beberapa kamar di deretan samping sana adalah kamar
tidur para murid Lam-han, Peng-say memondong Lo-kiat
menuju kesalah satu kamar itu.
"Inilah kamar. . .kamar tidur Nio Hoat," kata Lo-kiat.
Segera Peng-say berteriak: "Sam-suko! Sam-suko!. . . ."
Akan tetapi sampai sekian lamanya tiada terdengar
jawaban Nio Hoat,
Gemertuk gigi Kiau Lo-kiat, ucapnya dengan ter-putus2:
"Coba ter. . . .terjang ke dalam!"
Sekali depak Peng-say membikin daun pintu terpentang,
ternyata pintu kamar tidak dipalang dari dalam, hanya
tersentuh pelahan saja lantas terbuka.
Remang2 di dalam kamar dan samar2 terlihat perawakan
Nio Hoat yang kekar itu dengan dada terbuka berbaring
telantang ditempat tidurnya.
Setiba di depan tempat tidur Nio Hoat masih tetap tidak
bergerak, saking tak tahan guncangan perasaannya Lo-kiat
lantas berteriak: "Samsute!"
Peng-say dapat melihat dengan jelas, dengan suara sedih
ia berkata: "Sam-suko sudah. . . .sudah meninggal. . . ."
Dengan menggeh2 Lo-kiat berkata: "Coba ke. . . ke
kamar sebelah. . . ."
Kamar sebelah adalah kamar tidur Si Tay-cu, murid
Lam-han keempat. Keadaan Si Tay-cu juga serupa Nio
Hoat, iapun telentang dengan dada terbuka, juga sudah
mati.
Ber-turut2 adalah Ko Kin-beng, murid kelima dan Kang
Ciau-lin, murid keenam yang berjuluk si kera itu. Kedua
orang itupun mati telentang dengan dada terbuka.
Keempat saudara seperguruan yang berkepandaian
paling tinggi serta bergaul paling erat dengan Kiau Lo-kiat
kini sudah mati semua. Sampai disini Lo-kiat tidak tahan
lagi, ia menangis ter-gerung2, ucapnya dengan suara terputus2:
"Cap. . . .Cap-itsute, coba. . . .coba kau periksa
cara....cara bagaimana matinya Lak-sute. . . ."
Peng-say coba memeriksa tubuh Kang Ciau-lin, katanya
kemudian: "Lak-suko terkena pukulan di bagian dada dan
mati karena nadi jantungnya putus."
"Apakah ada be ... . bekas telapak tangan warna hitam?"
tanya Lo-kiat.
"Ya, ada, tepat di dada Lak-suko," jawab Peng-say.
"Itulah Tay-jiu-in, pukulan khas Say-koan." kata Lo-kiat
dengan menggreget.
Mendadak Peng-say merasa kepala pusing dan
sempoyongan.
"He, didalam kamar masih ada bau obat bius, lekas
keluar!" seru Lo-kiat kaget.
Untunglah sisa obat bius itu sudah tipis, sesudah diluar
dan mengghisap hawa udara segar, rasa pusing Peng-say
lantas lenyap.
Namun Lo-kiat dalam keadaan terluka, daya tahannya
jauh lebih lemah daripada Peng-say, kontan sisa makanan
didalam perutnya tertumpah keluar, bahkan darah ikut
tersembur keluar dan mengotori dada Peng-say.
Cepat Peng-say menutuk lagi Hiat-to dan menyalurkan
pula tenaga dalamnya.
Sejenak kemudian dapatlah Lo-kiat bicara: "Cukuplah,
coba pergi ke kamar Sunio!"
Peng-say tidak tahu dimana letak kamar ibu-gurunya,
setelah ditunjukkan Lo-kiat, segera ia berlari ke sana.
Hanya didorong pelahan saja pintu kamar Leng Tiongcik
lantas terbuka.
"Jangan ter-buru2 masuk!" kata Lo-kiat. Ia kuatir kamar
tidur ibu-gurunya itu juga serupa kamar Lak-kau-ji yang
masih ada sisa obat bius, setelah menunggu sejenak barulah
dia berkata pula: "Baiklah, sekarang boleh masuk!"
Kamar tidur Leng Tiong-cik berbentuk apa yang disebut
"suite room" jaman kini, kamar tidur berikut ruangan duduk
dan sebagainya, antara ruangan duduk dan tempat tidur
diberi aling2 kain tabir,
Waktu tabir disingkap, terlihatlah Leng Tiong-cik
berbaring miring ditempat tidurnya dengan memakai
selimut tipis, tampaknya nyenyak benar tidurnya.
Mehhat keadaan ibu gurunya serupa ayahnya tadi, kaki
dan tangan Peng-say terasa dingin semua, ia merasa ragu2
untuk memeriksa keadaan Leng Tiong-cik.
Padahal tidak perlu diperiksa juga sudah dapat diketahui
apa yang telah terjadi. Kalau Leng Tiong-cik tidak mati,
mustahil dia tidak tahu ada orang masuk kamarnya?
Namun yang dipikir Peng-say adalah segi baiknya, berulang2
ia berkata pada dirinya sendiri: "Musuh tidak berani
membunuh Sunio dan Ayah, maka Sunio dan ayah cuma
pingsan karena obat bius musuh saja."
Kalau melihat keadaan tidur Leng Tiong-cik dan Sau
Cing-hong yang berbaring miring itu memang bisa terjadi
sebagaimana dugaan Peng-say. Tapi kalau bilang musuh
tidak berani membunuh mereka, hal ini jelas sangat
menggelikan. Coba pikir, kalau jelas2 meraka sudah terbius
dan tidak sadar lagi, masa musuh perlu takut lagi kepada
mereka dan tidak berani membunuhnya?
Bisa jadi musuh masih mengindahkan peraturan
Kangouw dan tidak mau membunuh seorang perempuan
sehingga mati dengan dada terbuka.
Dengan kaki terasa lemas Peng-say mendekati tempat
tidur lalu berdiri ter-mangu2.
"Apakah Sunio juga sudah meninggal?" tanya Lo-kiat.
"Ti . . . tidak .... belum . . ." jawab Peng-say.
Rada hati hati Lo-kiat. Tapi segera terpikir olehnya hal
itu hampir tidak mungkin terjadi, pula jawaban Peng-say itu
dirasakannya kurang meyakinkan. Namun ia sendiri tak
dapat bergerak dan tidak dapat memeriksa sendiri keadaan
ibu-gurunya, coba tanya pula: "Darimana kau tahu Sunio
tidak mati?"
"Dia serupa ayah, juga . . .juga sedang tidur dengan
nyenyak, pasti tidak mati!" kata Peng-say.
Lo-kiat sudah luas pengalamannya, ia tahu bagaimana
perasaan Peng-say sekarang, katanya dengan gegetun: "O
jadi Sunio tidur seperti Suhu berbaring dengan menghadap
kedalam?"
"Betul, dia tidur selelap ini, pasti tidak mati," kata Pengsay
pula.
"Sudah tentu kita berharap Suhu dan Sunio tidak mati,"
ucap Lo-kiat. "Tapi kalau mati, hendaklah kau berani
menghadapi kenyataan ini. Cap-itsute, boleh kau.... coba
periksa pernapasan Sunio."
Dengan sebelah tangan memondong tubuh Lo-kiat,
tangan Peng-say yang lain terjulur pelahan ke depan hidung
Leng Tiong-cik. Tapi sampai sekian lamanya tangan Pengsay
tetap terletak di depan hidung ibu-gurunya dan tidak
ditarik kembali.
Lo-kiat dapat merasakan apa yang telah terjadi, air
matanya berderai, ucapnya dengan suara parau: "Sudah
mati?"
"Ya, sudah mati," jawab Peng-say dengan melenggong
seperti patung.
Pelahan ia membalik tubuh dan pelahan berjalan keluar
kamar, langkahnya berat seperti menyeret benda beribu
kati, ia menuju ke kamar tulis Sau Ceng-hong tadi,
Posisi tidur Sau Ceng-hong tadi tidak berubah
sedikitpun, pintu kamarnya juga tidak terpalang, sedikit
terdoroag lantas terbuka, ini membuktikan setelah musuh
meniupkan asap bius, lalu membuka pintu untuk
membunuh Sau Ceng-hong.
Kini Peng-say tidak mengharapkan lagi ayahnya cuma
dalam keadaan tidur, iapun tidak takut kepada sisa obat
bius yang masih tertinggal didalam kamar, begitu pintu
terbuka segera ia memburu ke tempat tidur. Lebih dulu ia
mendudukkan Lo-kiat pada kursi, lalu ia merangkul
jenazah ayahnya yang sudah kaku dan dingin itu, namun
tidak mencucurkan air mata barang setetespun.
"Coba kau periksa punggung Suhu apakah juga terdapat
bekas telapak tangan?" ucap Lo-kiat dengan suara sedih.
Peng-say mengiakan. Segera ia membuka jubah hijau
yang dipakai Sau Ceng-hong, lalu membuka baju dalam,
setelah dilihatnya sekejap, lalu baju2 itu dikenakannya
kembali. Katanya kemudian: "Betul, di punggung ayah juga
ada bekas telapak tangan berwarna hitam, serupa ke-empat
Suheng tadi."
Lo-kiat kuatir anak muda itu terlalu sedih sehingga akan
banyak mempengaruhi tindakan selanjutnya, maka ia
sengaja memberi persoalan kepadanya agar Peng-say
memeras otak, katanya; "Apakah kau tahu siapakah yang
membunuh Suhu dan para Suheng?"
"Ting Tiong dan Liok Pek," jawab Peng-say singkat.
"Ya. pasti tidak salah lagi," kata Lo-kiat "Lebih dulu
mereka telah meniupkan asap pembius ke kamar Suhu dan
lain2, dalam keadaan tidak sadarlah mereka dibunuh.
Secara terang2an, mereka pasti bukan tnandingan Suhu dan
Sunio, terpaksa mereka menggunakan cara rendah dan
kotor ini Sebabnya Toa-suko tidak terbunuh, mungkin
waktu itu dia bangun tidur, waktu merasakan asap pembius
musuh, sekuatnya ia menerjang keluar kamar sehingga
tidak banyak terbius.”
"Bisa jadi Toa-suko melihat perbuatan Ting Tiong dan
Liok Pek dengan caranya yang rendah ini, pada sebelum
kehilangan kesadarannya itu ia masih ingat baik2 nama
kedua bangsat ini, setelah menerjang keluar, Toa-suko
lantas jatuh pingsan. Ketika siuman kembali, kebetulan kita
pulang, Toa-suko menyangka kita ini Ting Tiong dan Liok
Pek, maka tanpa kenal ampun melancarkan serangan maut
kepada kita, Lantaran perawakanmu tinggi besar menyamai
Ting Tiong, maka dia menyangka kau ini Ting Tiong,
tubuhku kurus kecil, maka aku dianggap Liok Pek. Kalau
tidak masa dia menyebut kau orang she Ting dan
menyatakan pula Liok Pek telah dibunuh olehnya? Aku
telah dihantam olehnya sehingga mencelat, dia menduga
aku pasti tak dapat hidup lagi, maka dia mengira sudah
berhasil membunuh Liok Pek. . ."
"Perkiraanmu ini ada yang tidak cocok," ujar Peng-say.
"Mustahil Ting Tiong dan Liok Pek tidak membunuh Toasuko
sekalian sehingga hilanglah semua saksi hidup "
Hati Lo-kiat rada lega mendengar Peng-say dapat
menanggapi persoalannya dengan cermat. Segera ia
membuat persoalan baru agar Peng-say lebih banyak
memeras otak sehingga tidak melulu bersedih memikirkan
kematian ayah, segera ia berkala pula: "Ha! Toa-suko tidak
dibunuh oleh Ting Tiong berdua tidak sulit untuk
dibayangkan. Waktu kita datang tadi di kamar si monyet
masih ada sisa asap bius, ini menandakan Ting Tiong dan
Liok Pek belum lama meninggalkan tempat ini. Di tengah
malam buta, selagi semua orang tidur nyenyak. tentunya
mereka tidak menyangka Toa-suko belum lagi tidur, mereka
hanya meniupkan asap pembius sekamar demi sekamar,
kuyakin di kamarku pasti juga penuh dengan asap bius itu.
Bahwa perbuatan mereka itu berjalan dengan lancar,
sampai Sunio juga tidak merasakannya semua ini pertanda
bahwa yang bekerja cuma Ting Tiong dan Liok Pek berdua,
sebab selain mereka berdua, murid Say-koan angkatan
kedua tiada yang memiliki Ginkang setinggi ini, hanya
mereka berdua saja yang mampu menggunakan Ginkang
mereka yang tinggi sehingga segenap anggota perguruan
kita menjadi korban perbuatan mereka yang licik ini.
Karena mereka meniupkan asap bius sekamar demi
sekamar besar kemungkinan mereka tidak tahu Toa-suko
sempat menerobos keluar kamar, setelah pekerjaan mereka
selesai dan mulai melakukan pembunuhan satu persatu
barulah diketahui kamarku dan kamar Toa-suko kosong
tanpa penghuni. Mungkin mereka menyangka Toa-suko
dan diriku sedang turun gunung sehingga tidak berada di
dalam kamar, mereka tidak menyangka ada orang
menerjang keluar kamar dan jatuh pingsan diluar."
"Jisuko memang tidak tidur di kamar, selimut bantalmu
tentu masih terletak dengan rapi sehingga jelas kelihatan
penghuninya memang lagi keluar. Sebaliknya Toa-suko
habis tidur, tentu tempat tidurnya dapat ditemukan
bekas2nya."
Lo-kiat barkerut kening, katanya kemudian: "Ya,
beralasan juga analisamu, tapi bisa juga diperkirakan begini,
setelah Toa-suko menerjang keluar kamar, dia jatuh pingsan
di tempat yang sukar ditemukan musuh. . . ."
Kirena memikirkan soal2 yang dikemukakan Lo-kiat itu
sehingga rasa berduka Peng-say terlupakan, tapi ketika
berpaling dan melihat jenazah ayahnyaa, mendadak ia
menjadi sedih dan menangis tersedu-sedan.
Meski Lo-kiat mengatakan Toa-sukonya tidak ditemukan
Ting Tiong dan Liok Pek sehingga tak terbunuh oleh
mereka, tapi iapun tahu alasannya itu kurang berdasar,
kalau kamar Sau Peng-lam diketahui ada bekas dibuat tidur,
pasti juga Ting Tiong dan Liok Pek akan memikirkan
sebabnya Peng-lam tidak berada di kamarnya dan tentu
akan berusaha menemukannya. Betapapun luasnya Sohhok-
han, bilamana mereka mau mencari dan menggeledah.
akhirnya tempat jatuh pingsan Peng-lam pasti juga akan
ditemukan.
Sebab apa Toa-suko tidak mati, ini memang suatu tanda
tanya besar dan sukar untuk mendapatkan jawabannya
sekarang, harus tanya kepada Peng-lam sendiri baru jelas
duduknya perkara. Tapi Lo-kiat tahu sang Toa-suko sudah
gila, ditanya juga takkan diperoleh sesuatu keterangan.
Kalau Sau Peng-lam tidak gila, tidak nanti ia
menganggap Lo-kiat sebagai Liok Pek dan menganggap
Peng-say sebagai Ting Tiong. Ia pun tidak mungkin berpura2
gila, suara tertawanya waktu berlari pergi itu
membuktikan dia keracunan sangat dalam, andaikan bisa
sadar kembali, tentu jaringan otaknya juga sudah rusak.
Kiau Lo-kiat berpengalaman luas, tergolong orang
Kangonw kawakan, banyak permainan aneh yang
mengandung mujizat telah dikenalnya, ia menduga gilanya
Sau Peng-lam pasti akibat racun asap bius musuh yang
merusak syaraf otak besarnya.
Waktu Peng-say menangis sambil mendekap jenazah
ayahnya, keadaan Kiau Lo-kiat bertambah payah, ia
menyadari lukanya yang kena hantaman Toa-suko itu
sangat parah dan tiada harapan lagi buat hidup, tapi ia tidak
ingin Peng-say membuang2 tenaga baginya, maka
sedapatnya ia menahan darah yang hampir tersembur lagi
dari mulutnya, ia berkata: "Cap-itsute, hendaklah jangan
berduka, coba dengarkan uraianku. Tentang terbunuhnya
segenap anggota perguruan kita, pembunuhnya jelas Ting
Tiong dan Liok Pek. hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Mungkin kau merasa sangsi, kalau sama2 anggota
persekutuan lima besar. mengapa Say-koan sampai hati
turun tangan sekeji ini? Bagi orang2 yang tidak tahu selukbeluk
Ngo-tay-lian-beng. rasa sangsi ini memang beralasan.
Betapa pun Ting Tiong dan Liok Pek tidak mungKin
melakukan keganasan ini hanya karena dia pernah
dikalahkan Sunio. Tapi kau harus tahu bahwa antara
perguruan kita sudah lama ada selisih paham dengan Saykoan.
Coh-bengcu, Coh Cu-jiu hanya lahirnya saja akur
dengan Suhu, tapi di dalam hati keduanya tidak cocok, Hal
ini disebabkan Suhu tidak menyuKai kepribadian Coh Cu -
iu dan mengangapnya tidak memenuhi syarat untuk
menjadi Beng-cu lima besar. Ketika terjadi persekutuan
pada 20 tahun yang lalu, waktu pemilihan Bengcu, sekuat
tenaga Suhu menolak Coh Cu-jiu menjabat ketua
persekutuan, karena itu hampir saja Coh Cu-jiu tidak
terpilih. Kemudian berkat bujukan Tionggoan sam-yu,
akhirnya Suhu megalah. Tapi sejak itu Coh Cu-jiu lantas
sakit hati kepada Suhu dan memandang Suhu sebagai duri
di dalam daging. Sesungguhnya moral Coh Cu-jiu ini
sangat rendah, di luar persoalan pertemuan di Ki-lian-san,
dimana sejak dikerubut, melulu soal pembunuhan segenap
keluarga Wi-susiok saja sudah cukup memperlihatkan
betapa sempit jiwanya, orang macam begitu mana sesuai
untuk menjadi pemimpin para pahlawan? Karena peristiwa
terbunuhnya keluargn Wi-susiok itu, Suhu pernah
menyesali hal itu sebagai kemalangan Ngo-tay-lian-beng,
dia menyesal dahulu telah mengalah, kalau dia tetap pada
pendiriannya, sekali pun kelima besar gagal bersekutu dan
masing2 mencari jalannya sendiri2, belum tentu kaum kita
akan dapat dikalahkan Ma-kau. Bersekutu memang juga
ada manfaatnya, tapi kalau dipimpin oleh orang yang
berjiwa sempit seperti Coh Cu-jiu, lambat atau cepat Ngotay-
lian-beng juga pasti akan runtuh. Lihat saja sekarang.
Lima besar sudah hilang satu, lantaran kematian Wi-susiok
jelas Boktay-siansing dari Thay-san-pay juga pasti tidak
mau mendukung Coh Cu-jiu sepenuh hati. Ting-yat Suthay
dari Siong-san-pay juga terhina, ditambah lagi kematian Gilim,
murid kesayangannya itu, bilamana kejadian ini
sampai tersiar, mustahil Ting-yat bisa tinggal diam terhadap
Ting Tiong dan Liok Pek, Padahal Tionggoan-samyu terdiri
dari Thian-bun Supek dari Yan-san-pay, Boktay-siansing
dari Thay-san-pay serta Ting-sian Suthay dari Siong-sanpay,
mengingat apa yang sudah terjadi ini, kelak mereka
pasti juga tidak sudi mendukung Coh Cu-jiu. Kalau sudah
begitu, maka tepatlah seperti dugaan Suhu, lima besar
akhirnya pasti akan runtuh. Memang, semua ini adalah
kemalangan bagi dunia kependekaran kita, tapi siapa yang
harus disalahkan? Ting Tiong dan Liok Pek juga serupa
Suhengnya Coh Cu-jiu, semuanya berjiwa sempit,
berpikiran picik, sedikit2 sakit hati dan menuntut balas.
Tidak perlu kau sangsikan lagi, si pembunuhnya pasti
mereka berdua, bisa jadi tindakan mereka ini pun direstui
oleh Coh Cu-jiu. Dasar Suhu memang orang yang jujur dan
tidak ber-jaga2 segala kemungkinan. Padahal setelah
peristiwa dia menolak Coh Cu-jiu menjadi Bengcu, sejak itu
beliau seharusnya ber-jaga2 akan akibatnya. Ngo tay-lianbeng
jelas akan runtuh dalam waktu singkat ini, maka kau
pun tidak perlu kuatir tindakanmu menuntut balas akan
merugikan persatuan kaum pendekar, yang penting
hendaklah kau latih Siang-liu-kiam-hoat dengan lengkap
dan sempurna, paling tidak harus kau bunuh Ting Tiong
dan Liok Pek untuk .... untuk membalas sakit hati Suhu
dan. . . dan para saudara seperguruan kita!"
"Kutahu, Ji-suko, kutahu. ..." jawab Peng-say dengan
tersendat.
Dengan tabah ia berdiri, ia pondong jenazah ayahnya
dan mendekati Lo-kiat. tanyanya: "Ji-suko, bagaimana
keadaanmu sekarang?"
Namun mata Lo-Liat tampak terpejam rapat dan tidak
menjawab, waktu Peng-say merabanya, ternyata sang Jisuko
sudah mangkat. . . .
—0O0—odwo—0O0—
Liong-bun-tin adalah sebuah kota yang cukup ramai di
barat Huiciu. "Gin-pin-lau", demikian nama sebuah
restoran paling besar di kota itu.
Hari tepat lohor, saat yang paling ramai dan sibuk di
restoran itu. Bagian bawah sudah penuh tamu, hanya di
atas loteng yang masih ada tempat lowong, mungkin
kebanyakan tamu malas untuk naik-turun loteng.
Di sebuah meja kecil dekat dengan ujung tangga loteng
berduduk sendirian seorang pemuda berbaju putih, pakaian
tanda berkabung. Melihat wajahnya yang lesu dan sedih,
besar kemungkinan dia sedang berkabung bagi orang
tuanya.
Memang, dia bukan lain daripada Sau Peng-say yang
tiga hari yang baru lalu kematian ayah. Sendirian Peng-say
mengubur jenasah ayahnya dan likuran mayat anggota
keluarga Lam-han, dengan sedih ia meninggalkan Soh-hokhan
dan meneruskan perjalanan ke barat.
Ngo-hoa-koan atau kantor lima bunga, terkenal juga
sebagai Say-koan atau kantor barat, letaknya jauh di
propinsi Sinkiang.
Sinkiang terletak di daerah barat, kalau Peng-say menuju
ke arah barat, apakah dia hendak menuntut balas kepada
Ting Tiong dan Liok Pek?
Jika demikian halnya, dengan kekuatan sendirian,
rasanya terlalu tidak tahu diri. Sebab kalau dia gagal
menuntut balas, sebaliknya terbunuh, lalu siapa yang lagi
akan menuntut balas bagi kematian Cin Yak-leng, Sau
Ceng-hong serta saudara2 seperguruannya?
Apakah karena darah muda, terdorong oleh tekadnya
akan membalas dendam, lalu secara nekat hendak
menempur Ngo-hoa-koan yang mempunyai be-ribu2 anak
murid itu?
Tidak, dalam hal ini Sau Peng-say masih cukup
berkepala dingin. ia tahu bukan soal kalau cuma jiwanya
sendiri yang melayang, yang lebih penting adalah soal
menuntut balas, hal ini harus dilakukannya sendiri, maka
segala urusan tidak boleh bertindak secara gegabah.
Sekalipun tanpa pembantu dan segala sesuatu harus
dilakukannya sendiri, namun ia akan taat kepada pesan Jisuko.
ia harua belajar dulu Siang-liu-kiam-hoat secara
lengkap, habis itu barulah membalas dendam. Paling
sedikit, bilamana Siang-liu-kiam sudah dikuasainya,
harapan berhasilnya menuntut balas akan lebih besar
sehingga tidak sampai sia2 usahanya membalas dendam,
dan mungkin jiwa sendiri akan melayang malah.
Tapi kemanakah dia harus belajar setengah bagian Siangliu-
kiam-hoat yang lain, yaitu bagian kanan?
Di manakah bibinya, Soat Ciau-hoa? Entah, dia tidak
tahu!
Dan dimanakah Soat Koh? Ia pun tidak tahu!
Dari pada mencari orang didunia seluas ini secara
ngawur, tidakkah lebih baik pergi ke Sin-kiang untuk
menyelidiki kekuatan Ngo-hoa-koan yang sebenarnya dan
kalau bisa membalas dendam sekaligus bila ada kesempatan
baik. Syukur kalau dalam perjalanan dapat berjumpa
dengan bibi dan Soat Koh, kalau tidak, pergi ke Sin-kiang
rasanya akan jauh lebih baik daripada luntang-lantung kian
kemari tanpa arah tujuan.
Demikianlah maksud tujuan Sau Peng-say dalam
perjalanan ke barat ini.
Apakah nanti akan berhasil berjumpa dengan bibinya
dan Soat Koh serta memohon mereka mengajarkan
setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, Kali ini terpaksa
terserah kepada nasib nanti.
Untuk hidup, manusia tidak boleh tidak makan. Sebab
itulah Peng-say berada di restoran Gin-pin-Lau itu untuk
memenuhi kebutuhan orang hidup.
Apakah dia membawa sangu yang cukup?
Sudah tentu cukup, bahkan jauh daripada cukup kalau
tidak, mana dia berani masuk ke restoran besar itu?
Maklumlah, harta benda Soh-hok-han yang paling
bernilai sekarang berada padanya dan lebih dari cukup
untuk digunakannya selama hidup.
Namun Peng-say adalah pemuda yang sederhana, sejak
kecil sudah terbiasa hidup hemat, ia bukan tipe pemuda
yang pegang uang terus ber-foya2, terus makan besar.
Apalagi dia baru kematian ayahnya, mana dia ada gairah
buat makan minum besar?
Lihat saja, di meja hanya semangkuk nasi putih dan dua
piring sayur, daging tidak dipesan, arak tidak juga
diminum, tamu begini tentu saja tidak disukai oleh pelayan
restoran, pantas kalau pelayan meminta dia pindah kemeja
yang dekat dengan ujung tangga loteng itu.
Semula Peng-say memilih meja yang berdekatan dengan
jendela, namun pelayan yang biasanya menjilat ke atas dan
meludah ke bawah itu menjadi kurang senang ketika
melihat santapan yang dipesan Peng-say hanya begitu saja,
dengan tertawa yang di-buat2 ia lantas minta Peng-say suka
pindah ke meja dekat tangga loteng dengan alasan anak
muda itu cuma makan sendirian.
Peng-say adalah pemuda yang lugu, ia lihat ruang bawah
memang sudah penuh, bila dirinya mengangkangi sebuah
meja besar, kalau tamu membanjir lagi mungkin dia akan
menghalangi pasaran restoran itu. Maka tanpa keberatan
apa2 dia pindah ke tempat yang ditunjuk.
Kemudian datanglah dua tiga tamu lain yang royal,
ternyata setiap tamu itu mengambil satu meja sendirian dan
si pelayan tidak minta mereka pindah tempat, yang jelas
santapan yang mereka pesan itu jauh lebih banyak dan lebih
berharga daripada pesanan Peng-say.
Maka tahulah dia telah menjadi korban "jiwa penjilat" si
pelayan. Tapi setelah berpikir, dimana- pun juga kaum
budak memang rata2 berjiwa penjilat begitu, maka iapun
tidak mempersoalkannya lebih lanjut.
Ia pikir di dekat tangga loteng atau didekat jendela kan
sama saja, asalkan ada tempat untuk makan, dapat
mendengar obrolan orang, kan cukup?
Sudah dua hari dia menempuh perjalanan, sepanjang
perjalanan sudah cukup banyak didengarnya berita yang
menyangkut Lam-han. Di kota Liong-bun inipun dia ingin
tabu apa yang dibicarakan penduduk setempat, sebab itulah
ia sengaja makan di restoran yang paling ramai.
Kalau ruangan bawah tidak penuh, sebenarnya iapun
malas naik ke atas loteng. Apalagi di ruang bawah yang
penuh tamu itu akan lebih banyak orang membicarakan
persoalan yang ingin didengarnya.
Dia heran darimana khalayak ramai sedemikian cepat
mendengar kemalangan yang menimpa Lam-han, siapakah
yang menyiarkan kejadian ini?
Belum Peng-say menghabiskan satu mangkuk nasinya,
mendadak naiklah serombongan lelaki berseragam kuning
sehingga agak mengacaukan napsu makannya. Apalagi
ketika dikenalinya satu-dua orang berseragam kuning itu,
cepat ia menunduk dan berpaling ke arah lain.
Di atas loteng itu ada lima pelayan, karena datangnya
rombongan tamu itu, para pelayan itu sibuk mengatur meja
buat mereka. Kebetulan orang2 itu terbagi menjadi lima
meja sehingga satu meja tepat diladeni seorang pelayan.
Orang2 yang mengelilingi empat meja segera ber-teriak2.
sebelum pelayan mendekat: "Lekas bawakan arak dan
siapkan santapan!"
Hanya dua laki2 baju kuning yang duduk bersama disatu
meja tampaknya lebih sabar dan tenang daripada
kawannya. Setelah pelayan menyodorkan daftar makanan,
dengan lagak tuan besar seorang lelaki berkepala botak
menerima daftar itu dan dibaca sejenak, lalu berkata:
"Buatkan daging panggang, daging sapi dan kambing
komplit ditambah sup buntut, empat meja yang lain juga
diberi santapan yang sama. Cepat!"
"Dan araknya?" tanya si pelayan.
Lelaki satunya lagi yang kurus kering seperti orang sakit
tebese menjawab: "Arak apa Suheng? Tiok-yap-jing di kota
ini lumayan juga."
"Baiklah. beri arak Tiok-yap-jing!" seru si botak.
Kedua orang yang dikenal Peng-say ini memang betul
Ting Tiong dan Liok Pek, kedua tokoh Say-koan yang lihay
itu.
Orang2 yang berduduk di meja2 lain adalah anak murid
Say-koan yang ikut dinas ke Huiciu. Satu di antara orang2
yang duduk di sebelah sana. yang lebih tinggi satu kepala
daripada orang lain ialah Su Ting-tat yang berjuluk Jiantiang-
siong (cemara seribu depa).
Karena mereka habis bekerja berat, perjalanan mereka
lebih lambat, baru sekarang mereka sampai di Liong-buntin.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 26
Peng-say menyadari seorang diri sukar melawan orang
banyak, bukan saat dan tempatnya untuk membalas
dendam sekarang, maka cepat ia menunduk agar tidak
dikenali musuh, sedapatnya ia menahan rasa murkanya.
Diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri: "Sabar, sabar!
Toa-suko sudah gila, tugas menuntut balas kini terletak
pada diriku seorang, maka sekali2 tidak boleh gegabah dan
mengorbankan nyawa secara sia2"
Di tengah makan minum itu, se-konyong2 Liok Pek
berkata: "Ji-suheng, terbunuhnya segenap anggota Lam-han
bila dibiarkan tersiar begitu saja, mungkin akan tidak
menguntungkan kita."
Meski Liok Pek bicara dengan suara sangat lirih, namun
dapat didengar Peng-say dengan jelas, maka anak muda ini
lantas pasang kuping dan mendengarkan pula.
"Hm, tidak menguntungkan bagaimana?" dermikian
terdengar Ting Tiong mendengus pelahan. "Justeru makin
luas berita itu tersiar. makin menguntungkan kita."
"Tapi kedatangan kita ke Tionggoan ini adalah untuk
menegakkan wibawa terhadapWi-susiok agar tiada anggota
Ngo-tay-lian-beng yang berkompromi dengan Mo-kau. Tapi
siapa saja kalau sudah kepepet pasti melawan, suatu
peristiwa itu saja sudah cukup memusingkan. bila ditambah
lagi dengan berita yang tidak menguntungkan kita ini dan
diketahui Tionggoan-sam-yu, tentu akan timbul rasa tidak
senang mereka, jangan sampai mereka bergabung menjadi
satu dan berbalik memusuhi Say-koan kita, ini kan bisa
runyam."
"Mereka berani'?!" kata Ting Tiong tak acuh_
"Berani atau tidak adalah soal lain," ujar Liok Pek
dengan suara tertahan, "yang jelas, menghadapi persoalan
ini kita harus mengadakan anti propaganda, dengan begitu
barulah kita dapat tidur dengan nyenyak tanpa kuatir lagi."
"Kau kan terkenal sebagai Khong Beng. akalmu pasti
bagus," kata Ting Tiong. "Terus terang. mengenai persoalan
ini aku sendiri sebenarnya rada-rada kuatir. Coba lekas
katakan bagaimana akalmu akan anti propaganda?"
"Kalau tindakan kita cukup beralasan, tentu Tionggoansam-
yu tak bisa omong apa2 lagi," tutur Liok Pek.
"Sekarang kalau kita mengakui kebenaran terbunuhnya
segenap anggota Lam-han secara terang2an, kita nyatakan
dasar pembunuhan itu adalah karena Sau Ceng-hong
berusaha bersekongkol dengan Ma-kau, intriknya ketahuan
kita, maka kita melaksanakan perintah Bengcu dan
membunuhnya."
"Akal bagus!" seru Ting Tiong sambil berkeplok.
"Dengan demikian, bukan saja Tionggoan-sam-yu tak bisa
bicara lagi, bahkan juga tidak berani kompromi dengan
pihak Ma-kau, malahan Thian-bun Totiang pasti akan
memuji tepat pembunuhan yang kita lakukan ini."
"Ya, guru Thian-bun Totiang terbunuh oleh orang Mo-kau,
dia pasti tidak dapat kompromi dengan pihak Mo-kau,
malahan dia justeru sangat benci bila di antara anggota lima
besar ada yang bergaul dengan orangMo-kau, tentu saja dia
akan memuji pembunuhan yang kita lakukan ini. Yang
lebih bagus lagi, kalau Soh-hok-han sudah tiada seorangpun
yang hidup, hal perlakuan kita terhadap Gi-lim. murid
kesayangan Ting-yat Suthay itu tentu juga tak seorangpun
yang tahu. bahkan kita dapat memutar-baliknya kejadian ini
dan menuduh Sau Peng-lam telah memperkosa Gi-lim,
lantaran malu Nikoh jelita itu membunuh diri di Soh-hokhan."
"Bagus!" saking senangnya Ting Tiong berteriak.
Tamu2 lain sampai melengak dan sama memandangnya
dengan ter-heran2. mereka sama menyangka apakah orang
ini sudah gila?
Lantaran lagi senang, Ting Tiong tidak menjadi marah
meski dipandang orang banyak, ia hanya berusaha
menutupi kelakuannya itu dengan berseru pula: "Arak
bagus, arak bagus!"
Karena yang dipuji bagus adalah arak, maka orang lain
tidak memperhatikannya lagi.
Dengan gembira Liok Pek lantas berkata pula dengan
suara pelahan :"Kita membunuh segenap keluarga Lamhan,
hal ini sama dengan membalaskan sakit hati murid
kesayangan Ting-yat. dia tentu akan melupakan dendam
adu pukulanmu dengan dia tempo hari. Coba. Ji-suheng.
julukanku sebagai Khong Beng tidak percuma bukan?"
Sembari berkata ia terus menenggak habis isi cawannya,
lalu memandang Ting Tiong. menunggu pujiannya.
Tak terduga Ting Tiong tidak memberi pujian apa2,
sebaliknya malah berkata, "Wah. Sute, akulah yang sial."
"Sial apa?" tanya Liok Pek dengan bingung.
"Kau tahu pergaulan Sau Ceng-hong sangat luas,
bilamana mereka mendengar aku yang membunuh segenap
anggota keluarga Lam-han, bukan mustahil satu-dua di
antara sahabatnva akan membelanya, lambat atau cepat
pasti ada orang akan menagih utang darah ini kepadaku."
Kuatir sang Suheng tidak berani menanggung resiko,
Liok Pek sengaja mengumpaknya lagi: "Tapi di antara
sahabat Sau Ceng-hong masa ada yang mampu menandingi
Ji-suheng?"
"Be. . . .betul juga," ucap Ting Tiong dengan agak kaku.
Setelah minum lagi beberapa cawan arak, makin dipikir
makin tidak enak, akhirnya ia menyalahkan orang yang
sembarangan menyiarkan berita itu. Mendadak ia
menggebrak meja dan berteriak: "Ku- ...-rang ajar. Kalau
tertangkap, akan kurobek mulutnya!"
"Mulut siapa, Suheng?" tanya Liok Pek.
Pada saat itulah di bawah sana tiba2 terdengar suara
orang tertawa latah, lalu suara parau orang berteriak:
"Seluruh anggota Soh-hok-han terbunuh, pelakunya Ting
Tiong!"
Memangnya Ting Tiong lagi gemas oleh kejadian itu,
kini didengarnya lagi orang berteriak begitu, keruan ia
menjadi murka dan segera hendak menerjang ke bawah
untuk membekuk orang itu, bisa jadi akan dihantam hingga
mampus ditempat atau mungkin akan diseretnya ke atas
loteng untuk kemudian dibanting ke bawah.
Liok Pek kenal watak sang Suheng, cepat ia mencegah:
"Sabar dulu, Suheng, duduklah, tidak nanti dia dapat lolos."
— Lalu ia berpaling dan memberi perintah: "Ting-tat, lekas
turun ke bawah sana dan undang kesini orang yang berteriak2
itu."
Su Ting-tat mengiakan terus berlari turun secepat
terbang. Dengan marah2 Ting Tiong duduk kembali.
Liok Pek berkata: "Entah siapakah orang ini? Jika
Suheng membunuhnya sekarang. kukira juga sudah
terlambat, berita itu sudah telanjur tersiar. Kukira lebih baik
biarkan dia hidup untuk melaksanakan propaganda kita,
bagaimana pikiran Suheng?"
Matipun Ting Tiong tidak mau kehilangan muka.
jawabnya: "Siapa bilang aku hendak membunuh dia?
Biarkan saja dia berteriak, masa kutakut orang membela
Sau Ceng-hong dan menuntut balas padaku? Soalnya
kubenci kepada orang begini, kalau tidak merobek
mulutnya atau menggampar dia beberapa kali rasanya tak
terlampias gemasku."
Diam2 Liok Pek merasa geli, tapi ia menyatakan setuju:
"Ya, betul, memang pantas dihajar dia! Kalau mereka tidak
mengetahui siapa yang gembar-gembor di bawah sana, bagi
Peng-say jelas kenal suara orang itu sebagai Toa-suhengnya,
yaitu Sau Peng-lam.
Pikirnya: "Pantas selama dua hari ini sepanjang jalan
kudengar orang membicarakan peristiwa pembunuhan di
Soh-hok-han, kiranya Toa-suko yang menyiarkannya.
Jangan2 pembunuhnya memang di lakukan Ting Tiong
sendiri dan tidak termasuk Liok Pek? Jika betul demikian,
biarlah kupusatkan perhatianku lakukan Ting Tiong sendiri
dan tidak termasuk Liok Pek? lebih dulu untuk membalas
dendam."
Semula ia bermaksud mencegah kepergian Su Ting-tat
agar Sau Peng-lam tidak dibawa ke sini dan mungkin akan
dibunuh oleh Ting Tiong, tapi kemudian didengarnya Ting
Tiong tidak bermaksud membunuh orang, pula iapun ingin
tahu duduk perkara yang sebenarnya, maka dia menjadi
ragu untuk bertindak.
Sejenak kemudian, terdengarlah suara tertawa Sau Penglam
yang tidak waras itu bergema di bawah tangga loteng,
terdengar suara Su Ting-tat sebagai penunjuk jalan sedang
berkata: "Silakan naik ke atas, Tayhiap!"
Apa yang disebut "Tayhiap" atau pendekar besar itu taklain-
tak-bukan ialah Sau Peng-lam yang berbaju compangcamping
dengan rambut kusut dan muka kotor. berbeda
jauh sekali dengan Sau Peng-lam dahulu yang gagah dan
tampan.
Sesudah naik ke atas loteng, dengan tertawa lebar Penglam
lantas bertanya: "Siapa yang mengundang Sau-tayhiap
ke sini?"
Sinar matanya yang guram tampak jelilatan kian kemari,
sekali pandang saja segera akan di ketahui bahwa orang ini
pasti kurang waras.
Dengan benci Ting Tiong mendelik padanya, sungguh ia
ingin melompat maju dan sekali hantam mampuskan Penglam,
Dengan suara tertahan Liok Pek membisiki sang Suheng:
"Tampaknya dia sudah gila, hendaklah Suheng mengalah
sedikit, biar kutanyai dia."
Ting Tiong lantas melengos kesana. Lalu Liok Pek
menggapai dan berkata: "Silakan duduk di sini, Sautayhiap!"
Dengan lagak tuan besar Peng-lam melangkah ke sana,
setiba di depan Liok Pek, mendadak ia bersuara heran: "He,
tampaknya sudah pernah kukenal kau! Apakah kau yang
mengundangku?"
Melihat Peng-lam tidak kenal lagi padanya, Liok Pek
pikir barangkali anak muda ini benar2 sudah gila, dengan
tertawa ia menjawab: "Ya, akulah yang mengundang kau."
Se-konyong2 Peng-lam membentak: "Siapa namamu?"
Keras juga suaranya sehingga anak telinga orang serasa
pekak. semua orang sama terkejut.
Liok Pek tahu tenaga dalam Peng-lam belum lagi hilang,
ia tidak berani meremehkannya lagi, dengan waspada ia
berkata: "Cayhe she Liok bernama Pek."
Kerut kening Peng-lam mengulang nama itu. Mendadak
ia menengadah dan tertawa terbahak2: "Hahaha! Omong
kosong! Dusta! Liok Pek sudah lama kubunuh, manabisa
kau ini Liok Pek."
Mula2 Liok Pek melengak, tapi lantas teringat olehnya
orang tidak waras, tidak ada gunanya berdebat dengan dia,
akan lebih baik menuruti saja kehendaknya agar dapat
ditanyai dengan lebih jelas, dengan tertawa ia lantas
berkata: "Memang betul, Liok Pek yang itu memang benar
sudah kau bunuh. tapi Liok Pek ini bukan Liok Pek itu,
sungguh, aku tidak membohongi kau."
Mendadak Peng-lam menarik muka dan bertanya: "Jadi
kau pun bernama Liok Pek?"
"Di dunia ini banyak sekali orang yang sama nama sama
she, dengan sendirinya akupun boleh bernama Liok Pek,"
ujar Liok Pek dengan tertawa.
"Tapi nama Liok Pek tidak baik!" kata Peng-lam dengan
rasa jemu.
Cepat Liok Pek bertanya: "Sebab apa tidak baik?"
Alis Peng-lam menegak dan berkata: "Sebab
terbunuhnya segenap anggota keluarga Soh-hok-han
dilakukan oleh Liok Pek!"
Liok Pek berlagak terkejut dan bertanya: "Apa betul?"
"Sudan tentu betul, apa yang dikatakan Sau tayhiap
masa kau berani tidak percaya?!" seru Peng-lam dengan
bertolak pinggang.
"Ya, ya, percaya, tentu percaya!" cepat Liok Pek
menjawab dengan cengar-cengir.
"Sebaiknya selanjutnya kau ganti nama saja, jangan
pakai nama Liok Pek, kalau tidak, bisa jadi akan kubunuh
kau," kata Peng-lam pula.
Karena ingin memancing keterangan dari Peng-lam,
terpaksa Liok Pek mengangguk dan menjawab: "Baik, baik,
akan kuganti namaku."
Se-konyong2 tangan Peng-lam menabok ke depan,
keruan anak murid Say-koan sama terkesiap, mereka
menyangka Sau Peng-lam hendak menyerang sang Susiok.
Namun Liok Pek sendiri ternyata tenang2 saja dan
membiarkan tangan Peng-lam menabok pundaknya,
Peng-say sendiri sudah tahu Toa-sukonya benar2 sudah
gila, Kiau Lo-kiat dianggapnya sebagai Liok Pek, makanya
mengaku sudah membunuh Liok Pek dan sekarang pasti
tidak bakalan membunuh lagi Liok Pek yang asli. Hanya
saja iapun kuatir Liok Pek tidak tahu dan mengira Toasukonya
cuma pura2 gila dan bermaksud membunuhnya,
bila demikian tentu Liok Pek akan mendahului mencelakai
Toa-sukonya.
Maka diam2 Peng-say sudah ber-siap2, apabila Liok Pek
turun tangan, segera ia akan menubruk ke sana untuk
menyelamatkan Peng-lam.
Siapa tahu Liok Pek tetap tenang2 saja tanpa bergerak
sedikitpun, mau-tak-mau timbul juga rasa kagum Peng-say
atas ketabahan keparat she Liok itu.
Sambil menepuk pundak Liok Pek. dengan tertawa Penglam
berseru pula: "Haha, kau. memang sahabat yang paling
baik!"
"Ah, mana," jawab Liok Pek dengan tertawa. "Eh,
numpang tanya, tadi Sau-tayhiap jelas2 berteriak di bawah
sana, katanya terbunuhnya segenap anggota Soh-hok-han
adalah perbuatan Ting Tiong, mengapa sekarang kau bilang
Liok Pek yang melakukannya? Jangan2 tadi kau salah
omong?!"
Peng-lam menghela napas dan menjawab: "Memang
benar Ting Tiong yang membunuh segenap anggota
keluarga Lam-han. tapi yang berbuat tidak cuma dia
sendiri, juga bangsat Liok Pek itu. Cuma dia sudah
kubunuh, kini tertinggal Ting Tiong saja, bilamana Ting
Tiong juga sudah kubunuh, maka selesailah cita2ku dan
akupun tidak perlu ber-teriak2 lagi tentang Ting Tiong
membunuh segenap anggota keluarga Lam-han."
Orang memakinya sebagai "bangsat" di depan hidungnya
sendiri, tapi Liok Pek bisa menerimanya dengan sabar
tanpa membantah, bahkan bertanya pula dengan cengarcengir:
"Siapa yang bilang Ting Tiong yang membunuh
segenap anggota keluarga Lam-han?"
Melengak juga Sau Peng-lam, ia berpikir sambil
mengukur telinga dan menggaruk kepala, mendadak ia
mendelik dan berteriak: "Aku yang bilang, ya, akulah yang
bilang!"
"Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri?" tanya
Liok Pek.
"Apa yang kukatakan masa bisa salah?" kata Peng-lam.
"Memang benar2 Ting Tiong yang membunuh segenap
anggota keluarga Lam-han!"
"Omong kosong!" bentak Ting Tiong mendadak.
Peng-lam jadi terkeiut dan bertanya: "Sia .... siapa kau?"
"Tuanmu inilah Ting Tiong!" bentak Ting Tiong dengan
gusar. "Biar kubunuh kau si gila yang sembarangan
mengoceh ini!" — Segera ia angkat sebelah tangannya dan
hendak menghantam.
Cepat Peng-lam putar badan dan lari sambil berteriak:
"Lelaki menuntut balas, biar sepuluh tahun juga belum
terlambat!"
Rupanya dia belum lagi lupa kelihayan "Ting Tiong"
(sebenarnya Peng-say) pada malam itu, maka tidak berani
beradu pukulan pula dengan Ting Tiong tulen.
"Lari ke mana!?" bentak Ting Tiong terus memburu
maju.
Meski tidak waras, tapi Kungfu Peng-lam belum lenyap,
hanya reaksinya tidak secepat dan segesit orang biasa.
Lantaran sudah takut kepada "Ting Tiong", dia hanya tahu
lari sebisanya dan tidak berpikir mengelak atau
menghindari serangan.
Tampaknya Ting Tiong sudah menyusul tiba, sekali
hantam Peng-lam pasti akan dirobohkan. Pada saat itulah
se-konyong2 terdengar desing angin tajam menyambar dari
belakang, seorang telah menusuknya dengan pedang.
Dalam keadaan demikian, sekalipun Ting Tiong dapat
merobohkan Peng-lam, ia sendiri pasti juga akan dilubangi
oleh tusukan itu. Dengan sendirinya ia tidak mau
menanggung risiko ini, cepat ia berkelit sambil membalik
tubuh untuk menyelamatkan diri.
Waktu ia pandang ke depan, ternyata yang
menyerangnya adalah seorang pemuda berumur 20-an dan
berpakaian berkabung.
Dalam usia semuda ini, kekuatan pedangnya ternyata
tidak dibawah Coh-suhengnya, maka Ting Tiong tidak
berani sembarangan bertindak lagi, tapi iapun tidak rela
melepaskan Sau Peng-lam dan membiarkannya ber-teriak2
semaunya, segera ia membentak tertahan: "Liok-sute, cegat
orang gila itu!"
Serangan Peng-say tadi keburu membebaskan Toasukonya
dari ancaman musuh. tapi kini ia harus mengawasi
Ting Tiong sehingga tidak dapat merintangi Liok Pek. Ia
pikir Liok Pek tiada niat membunuh Toa-suko, akan lebih
baik kalau orang she Ting ini saja yang dijaga, maka
kepergian Liok Pek itu tidak dihalanginya.
Secepat terbang Liok Pek yang bertubuh kurus kecil itu
melayang maju dan menghadang di depan Peng-lam, kedua
tangannya mendorong sekaligus sambil membentak:
"Mundur kembali sana!"
Menghadapi musuh dari depan, cepat juga reaksi Sau
Peng-lam, sekaligus iapun menyambut dengan kedua
telapak tangannya sambil berteriak: "Menyingkir!"
"Blang blang", empat tangan beradu, Peng-lam tidak
mampu menahan tubuhnya, ia tergetar mundur. bahkan
terus menyeruduk meja sehingga dua-tiga meja jungkir balik
dan mangkuk piring berantakan .
Sekujur badan Peng-lam penuh berlumuran sayur dan
kuah, hingga lama tidak mampu bangun.
Tenaga dalam Peng-lam memang kalah setingkat
daripada Liok Pek, sama sekali Liok Pek tidak bergeming di
tempatnya, malahan karena terlalu keras menggunakan
tenaga, papan loteng sampai berkeriat keriut terinjak oleh
kakinya, melihat gelagatnya papan loteng itu bisa
berlubang.
Seketika para tamu restoran itu menjadi panik, yang di
atas loteng takut kena getahnya, beramai sama berlari ke
bawah. Yang di bawah loteng takut loteng ambruk, tanpa
pikir makan minum lagi mereka terus lari keluar. Lebih bagi
tamu yang suka gegares gratis, geger2 ini kebetulan bagi
mereka untuk kabur tanpa bayar.
Hanya sebentar saja, kecuali kedua pihak yang ada
perkara, kebanyakan tamu sama kabur semua, sampai
pengurus restoran dan pelayannya juga cari selamat
sendiri2, siapa yang berani melongok ke atas loteng?
Di atas loteng hanya para anak murid Say-koan saja
yang masih tetap berduduk di tempatnya, kecuali seorang
tamu yang rupanya tidak takut mati dia masih duduk
makan minum disitu. Orang ini memakai topi yang sengaja
ditarik kemuka sehingga wajahnya tidak terlihat jelas.
Melihat Toa-sukonya jatuh menyeruduk meja dan tak
bisa bangun. dalam keadaan kacau segera Peng-say
melompat ke depan Peng-lam, dengan pedang terhunus ia
berjaga di situ.
Ting Tiong bertekad akan membunuh Peng-lam. Ia
pandang Peng-say dan menjengek: "Hm, jadi Anda akan
ikut menanggung perkara ini?"
Peng-say diam saja tanpa menjawab, tapi siap siaga,
sikapnya ini seakan hendak memberitahukan pihak lawan
bahwa dia pantang mundur.
"Apa hubunganmu dengan dia?" tanya Ting Tiong
sambil menuding Peng-lam.
Peng-say tetap tidak bersuara.
Karena belum tahu sampai di mana ilmu pedang anak
muda itu, tapi dari tenaga tusukannya tadi jelas
kepandaiannya tidak rendah, Ting Tiong tidak ingin
mengikat permusuhan dengan lawan tangguh, dengan kata2
halus ia coba membujuk: "Jika tidak erat hubunganmu
dengan dia, sebaiknya kau mau minggir saja, Asalkan kau
mau menyingkir, Say-koan kami pasti tidak menerima
kebaikanmu ini secara sia2 dan tentu akan kami balas
jasamu ini."
Namun Peng-say hanya mendengus saja dan tetap tidak
menjawab.
Nama "Say-koan" sudah ditonjolkan, tapi lawan
malahan cuma mendengus saja. Ting Tiong menjadi ragu2
dan lebih tidak berani menilai rendah lawan. Tapi iapun
tidak mengunjukkan kelemahan sendiri, dia memberi tanda
kepada anak buahnya, lalu berkata pula: "Orang she Ting
sudah bertekad harus membunuh si gila yang sembarangan
mengoceh ini, bila Anda ingin membelanya, lebih dulu
hendaklah memeriksa keadaannya."
Begitu selesai ucapannya, serentak anak murid Say-koan
sama bediri untuk memberi angin kepada paman guru
mereka.
Tak tersangka Peng-say tetap tidak menghiraukan
peringatannya, bahkan ia bertanya: "Segenap anggota Sohhok-
han, yang tertinggi dimulai dari Hancu, yang terkecil
sampai dengan murid termuda Su Ki. seluruhnya 28 orang,
semuanya binasa oleh Tay-jiu-in, coba jawab, kau tahu
tidak kejadian itu?"
Ting Tiong melengak, seketika ia tidak tahu cara
bagaimana harus menjawab.
Peng-say lantas menjengek pula: "Konon Tay-jiu-in
adalah Kungfu khas Say-koan, bahwa Coh-bengcu jauh
berada di Sin-kiang tidak perlu dibicarakan. tapi dia
mempunyai tiga orang Sute yang mahir Tay-jiu-in, seorang
she Hui sudah lama pulang ke akhirat dan tidak perlu
dibicarakan lagi. dua orang lagi masing2 she Ting dan Liok,
waktu terjadinya pembunuhan itu mereka berada di sekitar
Huiciu. bukti sudah nyata, apakah kau berani menyangkal
bahwa ke-28 jiwa Soh-hok-han bukan dibunuh oleh kedua
bangsat itu? Dan sekarang ada orang mengumumkan
peristiwa itu kepada khalayak ramai. tapi kalian malah
hendak membunuhnya, bukankah ini lebih membuktikan
kalian bermaksud membunuh saksi hidup untuk menutupi
dosa kalian."
"Wah, wah, kita telah dituduh secara terang2. Hahaha,
sungguh lucu, sungguh menggelikan!" demikian tiba2 Liok
Pek bergelak tertawa.
Peng-say menoleh dan memandang Liok Pek dengan
sorot mata penuh kebencian, katanya: "Permusuhan ada
awalnya, utang harus bayar. Kenapa kau geli? Apanya yang
lucu? Pokoknya utang darah ini kelak pasti ada orang yang
akan menagih!"
"Siapa yang akan menagih? Kau barangkali? Kenapa
tidak sekarang juga ditagih?" ejek Liok Pek dengan tertawa.
Saking tak tahan, ujung pedang Peng-say sudah bergerak
dan hampir saja melancarkan serangan.
"Eh-eh, jangan ter-buru2, sabar dulu!" kata Liok Pek
pula. "'Jika benar ingin menagih utang, seharusnya cari tahu
dulu sasaran yang tepat? Harus kukatakan lebih dulu, bukan
kami takut padamu, cuma segala persoalan kan harus
dibikin terang, betul tidak? Makanya, sabar sedikit,
dengarkan dulu. Nah, apa artinya tuduhan membunuh saksi
untuk menutupi dosa?"
"Ya, tidak perlu dijelaskan lagi tentu maksudnya kuatir
peristiwa pembunuhan itu akan dibocorkan oleh 'saksi' itu.
Padahal ini bagi kami kan berlebihan. Sebab kalau sudah
jelas pembunuhan itu dilaksanakan dengan ilmu pukulan
khas yang terkenal dengan nama Tay-jiu-in. sedangkan ilmu
pukulan ini adalah monopoli Say-koan kami dan selama ini
kami tidak pernah membuka cabang, nah, apakah kami
perlu kuatir perbuatan kami akan diketahui orang lain?"
Dengan mengertak gigi Peng-say mendamperat:
"Bangsat! Tidak perlu kau putar lidah, tuan muda tidak
nanti salah raba. Maksud tujuan kalian meninggalkan bukti
Tay-jiu-in sudah jelas. Keji benar perhitungan kalian,
sesudah membunuh orang, ingin minum darah pula!"
Liok Pek tertawa dan berkata: "Ai, anak muda memang
suka berdarah panas. Persoalannya belum dibicarakan
sudah marah2 dulu. Eh, coba jelaskan apa artinya 'ingin
minum darah? Marahlah nanti kalau kami sudah mendapat
keterangan."
"Keparat, pendek kata, biarpun hari ini mayatku harus
terkapar di sini, lebih dulu harus kubongkar muslihat
kalian!" teriak Peng-say dengan gusar. "Kalian kawanan
bangsat dari Say-koan ini sudah membunuh masih hendak
memfitnah orang pula. Kalian hendak mendakwa Lam-han
berkomplot dengan Ma-kau untuk menutupi kejahatan
kalian. Kalianpun sengaja meninggalkan bekas pukulan
Tay-jiu-in agar diketahui Tionggoan-sam-yu betapa cara
kalian membunuh orang dan supaya mendapatkan pujian
mereka!"
Mendadak ia angkat pedangnya dan membentak:
"Hayolah maju seluruhnva, kalian kawanan anjing yang
tidak berperasaan ini!"
Satu2nya tamu yang tidak pergi dan tidak takut mati itu
berkerut kening demi mendengar ucapan Peng-say itu,
pikirnya: "Sialan, akupun ikut dimakinya. sungguh
runyam!"
Dalam pada itu Liok Pek nenanggapi dengan
mengggeleng: "Wah, bikin malu saja, begini keras suaramu.
kalau didengar orang yang tidak tahu seluk-beluknya kau
urusan bisa tambah ruwet!"
Mendadak Ting Tiong membentak: "He, apakah kau
anak murid Sau Ceng-hong?"
Su Ting-tat lantas menyeletuk: "ji-susiok, orang ini
mengetahui kematian Hui-susiok, aku jadi ingat dia
memang betul murid Sau-susiok, pantas rasanya aku sudah
kenal dia. Rupanya kita memang sudah pernah melihatnya.
Ketika kita datang ke Soh-hok-han, seluruh murid Lam-han
telah keluar menyambut, dan dia inilah bocah yang muncul
terakhir itu!"
Dengan lirikan hina Ting Tiong berkata: '"Melihat
pakaiannya yang berkabung, memang tidak salah kalau dia
murid Sau Ceng-hong. Hm. hanya murid Sau Cong-hong
saja!" — Ejekan terakhir ini se-olah2 menyesali dirinya
telah menilai terlalu tinggi kepada Peng-say.
"Orang ini perlu dibunuh tidak, Ji-suko?" tanya Liok Pek
dengan tertawa.
Ting Tiong menjawab dengan hambar: "Menurat aturan,
dia berani mencaci maki orang yang lebih tua, dosanya
tidak boleh diampuni. Tapi agar kita tidak dituduh
membunuh orang untuk menghilangkan saksi, bolehlah
diberi hukuman peringatan saja, termasuk juga Sau Penglam
yang sembarangan mengoceh itu juga diberi
keringanan."
"Sau Peng-lam boleh diampuni, orang ini tidak boleh!"
kata Liok Pek dengan suara tertahan.
"Mengapa tidak boleh diampuni?" tanya Ting Tiong.
"Sau Peng-lam sudah gila, tidak perlu dikuatirkan, tapi
orang ini menyaksikan kematian Gi-lim, mungkin dia akan.
. . ."
"Baik, bunuh saja!" bentak Ting Tiong dengan suara
pelahan.
"Biar Ting-tat yang menjajal bobotnya," ujar Liok Pek.
"Tidak perlu dicoba, Ting-tat bukan tandingannya. kau
sendiri saja yang membereskan dia!" '
"Tapi .... tapi . . . . " Liok Pek menjadi ragu2
"Dengarkan," bisik Ting Tiong, "Lwekang bocah ini
kelihatan cukup hebat dan tidak boleh diremehkan, bisa jadi
kita berdua harus maju bersama."
Setelah berdehem, terpaksa Liok Pek berbangkit dan
melolos pedang, ia melangkah maju, katanya dengan
tertawa: "Sutit dari Lam-han ini, sesungguhnya kau keliru.
Say-koan dan Lam-han sama2 anggota lima besar, mana
mungkin saling Bunuh? Marilah, coba2 beberapa jurus
paman-guru, tapi jangan sakit hati, bila ada bagian yang
salah tentu paman akan memberi petunjuk padamu.
Hayolah, kesempatan baik jangan kau lewatkan, lekas
maju!"
Menghadapi musuh, mata Peng-say menjadi merah,
tanpa bicara lagi ia sisipkan tangan kanan pada ikat
pinggang, dengan pedang di tangan kiri secepat kilat ia
mendahului menusuk dada Liok Pek.
Dalam hal main senjata, Ngo-tay-lian-beng atau
persekutuan lima besar, sama mengutamakan permainan
pedang. Walaupun Kungfu Say-koan yang paling terkenal
adalah Tay-jiu-in, tapi ilmu pedangnya juga tidak lemah,
hanya jurus serangannya rada keji dan aneh sehingga
biasanya dihina oleh ahli pedang golongan lain
Menurut dugaan Liok Pek, cukup dalam dua-tiga kali
gebrak saja Peng-say pasti dapat dibinasakan di bawah
pedangnya. Tak terduga, makin lama makin terkejut dia,
dilihatnya ilmu pedang Peng-say. ternyata sangat aneh dan
tidak kalah lihaynya daripada ilmu pedangnya sendiri.
Ting Tiong yang mengikuti pertarungan dari samping
juga terkesiap dan mulai tegang. Dia dan Liok Pek belum
pernah menyaksikan Pedang Kiri dari Siang-liu-kiam-hoat,
sebab di dunia ini memang tidak ada orang yang pernah
memainkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat itu.
Apabila kedua tangan Peng-say dapat memainkan Siangliu-
kiam sekaligus, bisa jadi mereka akan dapat menerka
asal-usul ilmu pedang itu. Tapi sekarang. mereka merasa
ilmu pedang anak muda itu sangat aneh, namun tergolong
ilmu pedang murni dan rasanya sudah rada2 kenal.
Agaknya dahulu sesudah pertemuan di Ki-lian-san.
diam2 Coh Cu-jiu telah mencatat beberapa jurus Siang-liukiam-
hoat yang dimainkan Sau Ceng-in untuk
mengalahkan dirinya itu, setiba di rumah ia coba
memainkan jurus ilmu pedang itu di depan para Sutenya,
sebab itulah Ting Tiong dan Liok Pek merasa seperti sudah
kenal ilmu pedang gaya Sau Peng-say.
Akan tetapi Liok Pek berpengalaman luas, sesudah
bergebrak belasan jurus, lambat laun ia dapat menyelami
gaya ilmu pedang lawan. Sesudah berlangsung sampai jurus
ke-49, ia lihat tidak banyak lagi perubahan serangan Pengsay.
Hanya saja ia masih was-was kalau anak muda itu
masih ada ilmu peding simpanan, yaitu permainan dua
pedang sekaligus. Hal ini terbukti dengan punggung Pengsay
menyandang sepasang pedang,
Tapi menurut keyakinannya, biarpun lawan masih ada
ilmu pedang lain yang lebih lihay, untuk pergantian antara
ilmu pedang satu dengan yang lain tentu ada peluang yang
dapat digunakan untuk menyerangnya.
Bagi jagoan yang berpengalaman seperti Liok Pek,
peluang begitu tentu saja sangat berguna, apalagi dilihatnya
ketika mencapai jurus ke-49, tampaknya Peng-say tidak ada
jurus serangan lanjutan lagi.
Ia tersenyum, ia pikir sekarang tibalah kesempatan yang
baik untuk merobohkan lawan, andaikan tak dapat
membinasakan Peng-say, sedikitnya akan membuatnya
berhias tanda jasa alias luka.
Maka begitu jurus ke-49 selesai dimainkan Peng-say dan
gerak pedangnya menjadi lambat, sedapatnya Liok Pek
lantas melancarkan jurus serangan andalannya, selagi ia
bendak berteriak: "Roboh!" —Tapi pada detik terakhir
sebelum ucapan itu tercetus dari mulutnya, hanya sekejap
itu saja dia berbalik memaki: "Bedebah! sungguh tidak
masuk diakal!"
Kiranya pada detik terakhir itulah se-konyong2 Peng-say
mengeluarkan satu jurus serangan yang sama sekali tak
terhayangkan olehnya.
Jurus ke-50 itu memang sukar dibayangkan, sebab secara
akal sehat memang tidak mungkin terjadi.
Di dunia ini mana ada permainan pedang yang pada 49
jurus permulaan menggunakan satu pedang, tapi pada jurus
ke-50 mendadak kedua pedang digunakan sekaligus?
Secara teori tidaklah mungkin satu tangan bisa
memainkan dua pedang. Apalagi ke-49 jurus permulaan itu
tampaknya sudah berakhir, mana mungkin jurus ke-50 yang
menggunakan dua pedang sekaligus itu adalah serangkaian
dengan 49 jurus yang pertama.
Bagi orang lain hal ini memang tidak mungkin terjadi.
hanya Tio Tay-peng saja yang sanggup melakukannya,
sebab dia adalah orang buntung.
Sesungguhnya 49 jurus ilmu pedangnya yang pertama itu
memang berdiri sendiri, jurus ke-50 itu hanya satu di antara
tiga jurus hasil pemikiran Tio Tay-peng sendiri selama 15
tahun memeras otak.
Hal itu terjadi ketika Tio Tay-peng selesai meyakinkan
ke-49 jurus Siang-liu-kiam-hoat menurut yang diperolehnva
itu, ia merasa ilmu pedang yang dikuasainya itu masih jauh
dari memuaskan. dia tidak tahu masih ada setengah bagian
ilmu pedang ltu jatuh ditangan Soat Ciau-hoa, tapi ia dapat
berpikir kalau ilmu pedang itu bernama Siang liu-kiam-hoat
atau ilmu pedang dua saluran, maka seharusnya ilmu
pedang itu terdiri dari sepasang pedang. Ia tidak peduli
betul atau tidak renungannya itu, ia cuma bertekad akan
menciptakan beberapa jurus ilmu pedang ganda
berdasarkan teori Siang-liu-kiam-hoat itu sekadar untuk
memuaskan hasratnya.
Padahal kedua tangannya sudah buntung, dengan
sendirinya ia tidak dapat memainkan dua pedang sekaligus.
maka ia memeras otak, mencari akal cara. bagaimana
supaya satu tangan dapat menggunakan dua pedang.
Kalau ada kemauan yang keras, biarpun gada besi juga
dapat diasah menjadi jarum. Akhirnya Tio Tay-peng
berhasil menemukan satu cara menggunakan dua pedang
sekaligus. Yaitu satu pedang dilemparkan, lalu mencabut
pedang kedua, bahkan pedang pertama dapat dikendalikan
sesuka hati, lalu bekerja sama dengan pedang kedua untuk
melancarkan jurus kedua dan jurus ketiga.
Untuk itu, dia membuat satu rantai halus yang dipasang
pada gagang pedang pertama dan ujung rantai yang lain
terikat pada telapak tangan sendiri. Sesudah dilatih dengan
giat siang dan malam, akhirnya kedua pedang dapat
dikuasainya dengan leluasa.
Bakat Tio Tay-peng tidak setinggi Sau Ceng-hong, tapi
orang yang giat dan rajin dapat menambal kekurangannya.
Jerih payah selama 15 tahun dapatlah diciptakan tiga jurus
istimewa itu oleh Tio Tay-peng, malahan daya serangannya
pada jurus lempar pedang itu jauh lebih lihay daripada 49
jurus semula, ditambah lagi "cepat", maka segala
kelemahannya jadi tertutup semua oleh jurus serangan maut
ini.
Lima tahun Peng-say belajar pedang bersama Tio Taypeng.
ke-49 jurus Pedang Kiri itu hanya dilatihnya selama
setahun, empat tahun yang lain justeru digunakan untuk
berlatih ketiga jurus serangan ganda tersebut.
Tentu saja Liok Pek tidak pernah menyangka, serangan
ke-50 bisa berubah menjadi dua pedang sekaligus, hampir
saja leher Liok Pek tertembus oleh pedang yang
dilemparkan Peng say itu, untung pengalamannya sangat
luas, hatinya tabah, reaksinya cepat, sedapatnya ia
menangkis. "Krek", kini Liok Pek juga merasakan betapa
kuat tenaga dalam lawan. pedang sendiri tergetar patah,
bahkan tangan kesakitan,
Dengan tangan pegal linu sudah tentu tidak mampu
menggunakan Tay-jiu-in andalannya, kalau jurus serangan
Peng-say yang lain menyusul tiba, jelas jiwanya pasti
melayang.
Keruan Liok Pek ketakutan setengah mati ketika
gabungan dua pedang menyambar tiba, tiada jalan lain
baginya kecuali memejamkan mata dan menanti ajal.
Untunglah pada saat itu juga Ting Tiong turun tangan
menolongnya. Ting Tiong juga menyadari kemampuannya
yang terbatas, kekuatannya tidak banyak lebih tinggi dari
pada sang Sute, jelas tidak dapat mematahkan serangan
Peng-say, jalan satu2nya adalah menangkis sekuatnya dan
pedang patah agaknya sukar terhindar.
Tapi kalau pedang sendiri juga tergetar patah, lalu siapa
lagi yang akan menolongnya? Anak murid Say-koan yang
hadir di situ tiada seorangpun yang berkemampuan seperti
dirinya untuk menolong Sutenya.
Namun keadaan sudah mendesak dan tidak
memungkinkan dia banyak berpikir, terpaksa ia tangkis
serangan musuh sekuatnya.
Apakah tindakan Ting Tiong yang tidak memikirkan
keselamatan sendiri demi menolong jiwa sang Sute ini
memang luhur budi dan setia kawan? Tidak, sama sekali
tidak. Setia kawan dan budi luhur segala tidak laku
sepeserpun baginya. Sebabnya dia mau bertindak sudah
barang tentu telah disiapkan langkah berikutnya yang tidak
membahayakan jiwanya.
Begitu dia melompat maju dan pedang di tangan kanan
ditangkiskan, secepat itu pula tangan kirinya telah meraih
salah seorang murid Say-koan yang paling dekat. Ketika
pedangnya tergetar patah, berbareng murid Say-koan itupun
disodorkan kedepan.
Maka terdengarlah suara jeritan ngeri, gabungan pedang
Peng-say pada jurus ketiga itu berhasil membinasakan
seorang dengan membelah tubuhnya menjadi dua. Korban
itu dengan sendirinya bukan Ting Tiong melainkan murid
Say-koan yang dijadikan setan pengganti atau tumbal itu.
Dalam pada itu Ting Tiong juga sudah menyelinap
keluar dari kurungan cahaya pedang lawan dan berdiri
berjajar dengan Liok Pek.
Gerakan Ting Tiong yang menangkis, meraih orang dan
menggunakannya sebagai perisai, beberapa tindakan itu
dilaksanakannya hampir pada saat yang sama. Ketika
korbannya sudah jatuh barulah Peng-say tahu telah salah
membunuh sasarannya.
Gemas dan menyesal Peng-say, tapi iapun tidak
mendesak maju lagi, sebab untuk bisa menyerang dia harus
mulai main pula dari jurus permulaan. Segera iapun
melompat ke samping Peng-lam.
Sementara itu pedang kedua yang digunakan membunuh
itu sudah dimasukkan kembali ke sarungnya, hanya pedang
pertama yang berantai halus itu masih terhunus. Dengan
tenang dan mantap ia berdiri menjaga di samping Peng-lam
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Karena seorang kawannya terbunuh oleh Peng-say, anak
murid Say-koan yang lain tentu saja sangat marah dan
sedih, tapi tiada seorang pun yang mencari anak muda itu
untuk menuntut balas. Yang mereka sedihkan justeru
adalah paman guru sendiri yang tidak menghargai jiwa
mereka dan dijadikan korban seenaknya. Hanya saja rasa
gusar mereka itu tidak berani dikemukakan secara
terang2an.
Namun sikap diam itu sudah cukup membikin risi Ting
Tiong, ia cukup mafhum perasaan anak buahnya itu, demi
untuk mempertahankan gengsi sebagai orang tua, ia pura2
meratapi yang mati: "O, Tik-hiantit yang malang,
mangkatlah kau dengan tenang. Supek dan Suhumu pasti
akan menuntut balas bagimu agar kematianmu tidak sia2."
Namun anak murid Say-koan itu rata2 berumur di atas
likuran, mereka bukan anak kecil lagi, mana bisa dibohongi
oleh beberapa kalimat itu, sebaliknya mereka malah merasa
muak dan semakin benci terhadap pribadi Ting Tiong,
malahan beberapa orang di antaranya lantas melengos ke
arah lain, se-akan2 tidak sudi memandang cecongor Ting
Tiong.
Melihat itu Ting Tiong menyadari gelagat tidak enak,
cepat ia ganti haluan, ia menghela napas dan berkata: "Ya,
kutahu kalian tentu tidak senang terhadap tindakanku tadi.
Tapi kalian harus tahu, demi menolong gurunya terpaksa
kukorbankan Tik-hiantit. sang guru ada kesulitan, murid
kan wajib mewakilinya?"
Sebagian murid Say-koan mulai manggut2 dan dapat
menerima alasan Ting Tiong itu. Tapi ada sebagian yang
tetap tidak sependapat. Guru ada kesulitan memang murid
wajib membantu. Tapi Tik Siu yang dikorbankan itu
dipaksa secara mendadak dan bukan timbul dari
kehendaknya yang sukarela.
Bagi Liok Pek sendiri, kematian seorang murid tidaklah
dirasakan sayang olehnya, tapi iapun tidak berterima kasih
kepada Ting Tiong. Ia pikir kenapa tidak kau korbankan
muridmu sendiri, demi menyelamatkan aku apa mesti
mengorbankan jiwa muridku pula?
Karena muridnya terbunuh, betapapun Liok Pek harus
memperlihatkan duka-citanya, segera ia menanggalkan
jubahnya, dengan wajah sedih ia menutupi mayat Tik Siu
dengan jubahnya, ucapnya dengan suara pelahan; "Anak
Siu, biarpun gurumu harus mati juga akan kubalaskan sakit
hatimu. . ."
Pada waktu dan tempat begini. ucapan Liok Pek ini
sangat mengharukan, setiap murid Liok Pek sama
merasakan gurunya sendiri benar2 seorang tua yang welas
asih dan sayang terhadap muridnya. Mereka menjadi
terhibur dan berterima kasih.
Seorang murid yang emosi segera tampil kemuka dan
berteriak: "Suhu, ada urusan apa biar Tecu yang maju. biar
murid yang menuntut balas bagi Sute!"
Tapi Liok Pek menggeleng, katanya; "Tidak, aku tidak
boleh kehilangan muridku yang lain lagi. Hayo, Ji-suko,
kita maju bersama!"
Ting Tiong mengahgguk dan berseru: "Betul. untuk
membalas sakit hati Tik-hiantit, kita tidak perlu lagi bicara
peraturan satu-lawan-satu dengan bocah itu,"
Kedua orang saling pandang sekejap dengan tahu-samatahu,
lalu secara terang2an mereka lantas melangkah maju
dan menantang seorang anak muda.
Sudah tentu sandiwara yang dimainkan Ting Tiong dan
Liok Pek itu disaksikan dengan jelas oleh Peng-say, diam2
ia merasa geli dan tambah gemas terhadap kedua manusia
munafik itu. Ia angkat pedangnya dan mendengus: "Pedang
kalian sudah patah, kenapa tidak kalian pinjam pedang
anak muridmu?!"
Tanpa malu2 Ting Tiong menjawab: "Untuk
membereskan anak kecil macam kau masa perlu pakai
pedang? Hm, memangnya kau ini bisa menandingi aku?!"
Liok Pek tidak mau ketinggalan, iapun berkata dengan
tertawa: "Kalau kami pun menggunakan pedang tidakkah
hal ini akan merusak nama baik kami menjadi kaum tua?
Biarlah kau rasakan betapa kerasnya telapak tangan kami."
"Hm, kaum tua yang hebat, gabungan dua orang yang
lihay:" ejek Peng-say.
"Justeru lantaran maju dua orang, maka tidak enak kami
memakai pedang," jawab Liok Pek dengan tak tahu malu.
"Jika demikian, rupanya kalian masih punya rasa malu,
maka aku tidak sungkan lagi, awas serangan!" teriak Pengsay
dengan mendongkol. Ia pikir dua orang tua mengerubut
seorang muda, biarpun kubunuh mereka juga tidak dapat
disalahkan.
Ia mengira ada harapan untuk membalas dendam. Ia
tidak tahu bahwa tanpa bersenjata Ting Tiong dan Liok Pek
justeru lebih lihay, ilmu pukulan justeru adalah Kungfu
andalan mereka.
Karena harus menghadapi kerubutan dua orang, ke-49
jurus Pedang Kiri Siang-liu-kiam-hoat sudah habis
dimainkan dan tidak membawa hasil apa2, tiga jurus
pedang ganda juga dapat dielakkan Ting Tiong berdua
dengan baik. Maka Peng-say menjadi gugup dan tak sabar
lagi.
Dia mengulangi lagi hingga dua kali permainan ke-49
jurus Pedang Kiri ditambah tiga jurus pedang ganda ciptaan
Tio Tay-peng sendiri dan tetap tiada tanda2 akan menang.
Melihat anak muda itu tidak memiliki kepandaian lain,
Ting Tiong dan Liok Pek saling pandang sekejap dengan
senang.Mulailah mereka melancarkan "perang urat syaraf".
Ting Tiong berkata: "Sute, boleh kau istirahat dulu,
sendirian aku pun mampu membereskan dia."
"Tidak, sepantasnya Suheng yang harus istirahat.
menyembelih ayam masa perlu pakai parang? Biarkan
Sutemu ini yang membereskan dia sekalian membalas sakit
hati anak Sin." kata liok Pek dengan tertawa,
"Ya, benar juga." jawab Ting Tiong. "Baiklah aku akan
mundur dulu."
Dia bilang mau mundur dulu, tapi ternyata tidak
mundur, sebab ia tahu sampai saat ini mereka berdua tiada
seorangpun yang yakin dapat melayani ketiga jurus
serangan pedang ganda Sau Peng-say itu.
"Wah, boleh juga semangat Suheng," ujar Liok Pek.
"Baiklah, silakan Suheng membalaskan sakit hati anak Siu,
cuma untuk merobohkan bocah ini. kukira Suheng cukup
menggunakan satu tangan saja. bila dua tangan digunakan
sekaligus kan terlalu menghargai dia."
"Baiklah, boleh kau menyingkir dan saksikan
kubinasakan dia dengan sebelah tanganku," kata Ting
Tiong.
"Baik. aku akan menyingkir kata Liok Pek.
Walaupun di mulut berkata begitu. tapi tiada tanda2 ia
bergeser mundur.
"Eh. apa yang kau beratkan, kenapa tidak mundur."
tanya Ting Tiong pula.
"Setelah kupikir dan kutimbang, kuputuskan akan lebih
baik aku sendiri yang membunuh dia." ujar Liok Pek.
"Oo, betul juga. betapapun anak Siu adalah muridmu
sendiri, tentunya kau tidak rela bila tidak kau bunuh dia
dengan tanganmu sendiri."
"Ai, Suheng benar2 orang yang paham isi hatiku.
"Sesungguhnya Kungfumu tidak lebih lemah daripadaku,
kalau sebelah tangan dapat kubinasakan dia, satu tangan
kau pun dapat mengirim dia ke-akhirat."
"Ya; nungkin. akan kucoba!" kata Liok Pek. 'Jika
demikian, aku akan mundur untuk menonton
pertunjukkanmu!" ucap Ting Tiong dengan tertawa.
Setelah mengikuti ocehan kedua orang yang menyatakan
akan mundur salah satu itu, tapi kenyataannya tiada
satupun yang bergerak, tahulah Peng-say kedua orang itu
sengaja hendak membikin kheki padanya. Maka diam2 ia
memberitahukan dirinya sendiri agar sabar dan sabar lagi.
Akan tetapi, dasar darah muda, makin didengar makin
dongkol dan makin gemas, akhirnya ia tidak tahan dan
mendadak membentak: "Bangsat!Mau enyah lekas enyah!"
Karena teriakan yang penuh emosi ini. permainan
pedangnya menjadi agak kacau. Kesempatan itu tidak disia2kan
Ting Tiong. sebab memang inilah yang dia tunggu.
Kontan telapak tangannya menghantam batang pedang
Peng-say.
Setelah mendapat saluran tenaga dalam Sau Ceng-hong.
kekuatan Peng-say sekarang sudah jauh diatas Ting Tiong
berdua, dengan sendirinya ia dapat memegang erat2
pedangnya dan tidak tergetar lepas.
Tapi lantaran gangguan ini, gerak pedangnya merandek
beberapa detik. hal ini mungkin tidak besar artinya bagi
orang lain, tapi bagi Liok Pek sungguh merupakan suatu
peluang yang amat berarti. Secepat kilat ia melancarkan
pukulan Tay-jiu-in. "plak", dengan tepat pundak Peng-say
kena dihantamnya.
Peng-say sama sekali tidak ber-jaga2 dan juga tidak
sempat menghindar, dengan tepat pundak kiri kena
hantaman itu, seketika merasa seperti kena aliran listrik.
pedang lantas terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai.
Menyadari keadaannya sudah kalah, jiwanya terancam
bahaya, untuk mencari kemenangan dalam terdesak begitu
sudah tidak ada kesempatan lagi, kalau jiwa bisa
dipertahankan sudah untung. Maka sekuatnya ia
mengerahkan tenaga sakti pelindung badan dan siap
menerima pukulan musuh.
Rada melengak juga Liok Pek ketika pukulannya yang
dahsyat tadi tidak merobohkan Peng-say, segera pukulan
tangan lain menyusul lagi. Dalam pada itu Ting Tiong juga
tidak ayal, sekuat tenaga ia pun menghantam.
Begitulah, gabungan tenaga pukulan kedua tokoh Saykoan
itu berbareng hinggap di punggung Peng-say.
Betapa hebatnya tenaga Tay-jiu-in, apalagi latihan Ting
tiong dan Liok Pek sudah mencapai tingkatan yang
mendekati sempurna, sembarang hantam saja dapat
menghancurkan pilar batu, apalagi sekarang mereka
menghantam sepenuh tenaga dan berbareng menyerang
satu sasaran yang sama.
"blang!! tanpa ampun tubuh Peng-say mencelat, bersuara
sedikit saja tidak sempat dan kepalanya terus menumbuk
dinding papan pemisah yang terletak di sebelah sana.
"Blus", seperti batu menimpuk tahu, kepala Peng-say
ambles kedalam papan dinding, hanya tertinggal pundak
dan badan bagian bawah yang bergelantung di sebelah sini,
lalu tidak bergerak lagi.
Dapat menghabisi seorang anak muda yang tangguh.
cukup senang bagi Ting Tiong dan Liok Pek. mereka saling
pandang dengan tertawa ter-bahak2 gembiranya luar biasa.
Segera Ting Tiong membual: "Huh, bocah ini tidak
tahan sekali pukul saja!"
"Memang, hanya sekali pukul dengan pelahan segera
Suheng mengirim dia menghadap Giam-lo-ong (raja
akhirat)," tukas Liok Pek.
Ting Tiong menggeleng dan berkata pula: 'Kalau tahu
bocah ini sedemikian tak becus, mestinya kita tidak perlu
maju bersama, sekarang dia mati dengan cemerlang, tapi
nama kita yang rusak."
"Ah, ini kan bukan pertandingan secara resmi, tapi
tujuan Suheng adalah untuk menuntut balas anak Sui," kata
Liok Pek. "Kalau bertanding sungguh. cukup Ting-tat atau
salah seorang lain juga mampu mengantar dia ke akhirat."
"Apakah pukulanmu yang terakhir tadi tidak tepat
mengenai dia?" tanya Ting Tiong.
"Kulihat Suheng sudah melancarkan pukulan, maka
pada waktu yang tepat kutahan tenaga pukulan supaya
tidak ditertawai orang lain bahwa berdua membunuh
seorang anak muda," ujar Ting Tiong lantas menegur
satu2nya tamu yang masih makan minum disitu: "Eh,
apakah saudara ini mendengar ucapan Suteku?"
"Dengar!" jawab orang itu dengan suara lantang tanpa
menoleh.
"Dengar apa?" tanya Liok Pek.
"Bahwa Ting Tiong dari Say-koan seorang diri telah
membinasakan seorang pengganas berpedang. seorang anak
muda Lam-han yang tidak tahu tebalnya bumi dan
tingginya langit," kata orang itu.
"Hahahaha! Ucapan saudara ini benar2 adil." seru Ting
Tiong dengan ter-bahak2.
Tamu itu pun bergelak tertawa, katanya: "Orang yang
bisa melihat gelagat adalah ksatria terpuji. Dalam keadaan
dan tempat begini masa aku berani bicara secara tidak adil?"
"Ehm, bagus, Anda telah kuanggap sebagai sahabat,"
kata Ting Tiong mengangguk.
"Ah, mana berani kuharapkan bersahabat dengan tokoh2
Say-koan?!" jengek orang itu.
Mendadak Liok Pek membentak; "Angkat kepalamu bila
sedang bicara!"
Tapi orang itu menuang arak di cawan sendiri tanpa
menghiraukan gertakan Liong Pek.
"Sesungguhnya siapa kau?" bentak Liok Pek pula.
Orang itu tetap tidak mengubris.
Liok Pek menjadi gusar dan segera hendak maju untuk
melabraknya. Tapi Ting Tiong keburu menahannya,
katanya dengan tertawa: "Sute, sahabat ini cukup baik, tak
apalah jika dia tidak sudi memberitahukan namanya."
Liok Pek mendengus, katanya dengan dengan
mengancam. "Ingat sahabat, ucapanmu tadi bahwa seorang
kastria harus bisa melihat gelagat tidak boleh kau lupakan.
Kalau tidak, hehe, akibatnya tahu sendiri!"
Tiba2 tamu itu angkat cawannya yang penuh berisi arak
dan dituang kesana sambil berucap dengan nada berdoa:
"Anak muda, bilamana arwahmu tahu. terimalah arak ini
sebagai penghormatanku!"
Tempat tubuh Peng-say bergelantung sana berjarak duatiga
tumbak dari tempat duduk orang itu, tapi arak yang
dituangkan itu setetespun tidak tercecer. tapi seperti anak
panah saja terpancar dari dalam cawan dan langsung
menembus papan dinding dan tepat menyiram diatas kepala
anak muda itu.
Tenaga dalam yang diperlihatkan orang ini membuat
Ting Tiong dan Liok Pek terkesiap, sungguh mereka tidak
menyangka orang yang tidak menyolok ini ternyata juga
orang kosen dunia persilatan.
Terdengar dia berkata pula: "Sendirian kau melawan dua
tokoh Say-koan, biar mati kaupun tidak perlu penasaran,
bahkan harus merasa bangga!"
Seketika Ting Tiong berdua menarik muka.
Namun orang itu terus menyambung pula: "Sebenarnya
ada maksudku akan menyiarkan keperkasaanmu ini, cuma
sayang aku hanya sendirian. biar kusebarkan kejadian ini
juga tidak ada yang mau percaya anak semuda kau ini
mampu melawan dua tokoh terkemuka Say-koan? Kalau
propagandaku toh tak berguna maka lebih baik tidak
kusiarkan saja, hendaklah kau maklum dan jangan marah."
Dia seperti bicara pada dirinya sendiri, tapi ucapannya
itu sama seperti berkata kepada pihak lawan bahwa dia
tidak menyiarkan kejadian itu bukan lantaran dia takut
urusan.
"Haha. betul, betul," seru Ting Tiong dengan tertawa.
"Sute, hayolah kita pergi."
Liok Pek juga tidak berani lagi merecoki orang yang
tampaknya pasti tidak lebih lemah daripada dirinya itu.
iapun tertawa dan menyatakan setuju untuk pergi.
"Ting-tat, coba kau persen sekali tamparan kepada Sau
Peng-lam yang kurang ajar itu!" seru Ting Tiong.
Saat itu Peng-lam sudah dapat bangun berduduk, tapi
kedua lengannya masih kaku pegal sehingga dia tidak dapat
melawan, dengan telak mukanya kena digampar dengan
keras oleh Su Ting-tat.
"Nah, orang gila, bila lain kali kepergok lagi gembargembor,
tentu akan kuhajar kau lebih berat!" seru Ting
Tiong dengan tertawa.
Sesudah orang2 Say-koan pergi seluruhnya, mendadak
Peng-lam berteriak dengan kalap: "Terbunuhnya segenap
anggota keluarga Soh-hok-han, Ting Tiong pelakunya!"
Bisa jadi Ting Tiong masih sempat mendengar teriakan
itu, mungkin juga sudah pergi jauh dan tidak
mendengarnya.
Tapi dengar atau tidak dia takkan lagi membunuh Sau
Peng-lam, sebab Sau Peng-lam akan dibiarkan menyiarkan
cerita itu sesukanya dan pihaknya akan melakukan anti
propaganda, manfaat yang akan ditariknya tentu jauh lebih
besar daripada membunuh Sau Peng-lam. Apalagi,
seumpama sekarang ia hendak membunuhnya juga sudah
terlambat.
Pada saat itulah si tamu tadi telah berdiri dan
menanggalkan topinya, maka terlihatlah pada dahi
kanannya ada toh hijau berbulu, itulah ciri atau tanda
pengenal khas "Ban-li-tok-heng" Thio Yan-coan yang paling
gemar main perempuan itu.
Dia meng-geleng2 kepala, lalu mendekati Peng-lam. Tapi
mendadak ia bersuara heran. Yang didekatinya adalah Sau
Peng-say, dipegangnya kaki Peng-say yang baru saja
bergerak sedikit itu terus ditarik,
"Krek", papan dinding retak dan kepala Peng-say dapat
ditarik keluar oleh Thio Yan-coan. Peng-say menggeleng2kan
kepalanya yang pusing tujuh keliling itu, lalu
bangun berduduk.
"He, kau tidak mati ?" tegur Thio Yan-coan dengan
heran.
Sesudah jernih pikirannya, Peng-say bertanya: "Kemana
perginya kedua bangsat tadi?"
Thio Yan coan tidak menggubrisnya, ia manggut2
sendiri dan berguman, "Tampaknya Liok Pek benar2
menahan tenaga pukulannya dan pukulan Ting Tiong juga
tidak terlalu keras."
"Kau bilang apa?" tanya Peng-say.
Tapi Thio Yan-coan hanya melotot padanya tanpa
menggubris, lalu mendekati Peng-lam.
Peng-say lantas melompat bangun. tertampaklah dua
cabik kain rontok dari punggungnya, setiap cabik kain itu
berbentuk telapak tangan. Kalau sekarang Ting Tiong dan
Liok Pek disuruh menjulurkan tangannya, tentu potongan
kain ini berukuran persis seperti telapak tangan mereka.
Sekali pukul dapat meninggalkan bekas pukulannya pada
kain baju, suatu tanda betapa hehat dan keji tenaga pukulan
mereka itu.
Akan tetapi betapa hebat tenaga pukulan mereka tetap
tidak lebih unggul daripada "Ci he-kang" yang terkenal
sebagai rajanya Lwekang. Tadi Peng-say sempat
mengerahkan tenaga dalam tepat pada waktunya untuk
melindungi tubuh yang kena digenjot oleh Ting Tiong dan
Liok Pek, walaupun Tay-jiu-in kedua tokoh Say-koan itu
tepat mehgenai punggungnya, namun tidak sampai
membuatnya cedera, hanya kain bajunya saja yang rusak.
Sebabnya dia tidak bergerak lagi setelah menumbuk
dinding seperti orang mati adalah karena kepalanya tergetar
cukup keras dan pingsan.
Mestinya dia belum waktunya siuman kembali,
kebetulan arak yang disiramkan Thio Yan-con itu tepat
mengguyur kepalanya sehingga dia segera sadar
kebanyakan kaki bergerak lebih dulu. Sebab itulah Thio
Yan-coan bersuara heran ketika melihat kaki Peng-say
bergerak, padahal sebelumnya dia mengira anak muda itu
sudah mati.
Thio Yan-coan lantas mendekati Peng-lam, tegurnya
dengan tertawa: "Sau-heng, masih kenal orang she Thio
tidak?"
Dengan linglung Peng-lam menggeleng dan menjawab:
"Tidak, tak pernah kulihat kau."
“Di mana Gi-lim?" tanya Thio Yan-coan pula.
"Gi-lim? ....." Peng-lam mengulang nama itu dengan
bingung. Setelah dipikir lagi dan tidak tahu sebutan itu
mewakili apa, lalu ia tanya pula: "Apakah Gi-lim itu nama
orang?"
Dengan mendongkol Thio Yan-coan terus
menamparnya, bentaknya dengan gusar: "Tidak perlu
berlagak pilon didepanku! Dimana Gi-lim?"
Peng-lam tidak mengelak dan juga tidak balas memukul,
ia berguman sendiri: "Dimana Gi-lim? Gi-lim .... Gi-lim?"
"Lekas katakan!" bentak Thio Yan-coan pula.
"Aku .... aku tidak tahu.”
"Tidak tahu juga harus tahu!" bentak Thio Yan-coan lagi
dengan gemas. "Waktu Gi-lim datang ke Kun-giok-ih kan
bersama dengan kau. Sekarang dia menghilang, Ting-yat
Suthay tahunya bersama diriku dan minta kukembalikan
murid kesayangannya itu. Terpaksa kutanya padamu, tidak
nanti kau tidak tahu. Nah. lekas katakan padaku agar dapat
kukembalikan mestika itu kepada gurunya."
"Mestika? Oo, Gi-lim itu benda mestika?" tanya Penglam
pula dengan bingung.
Sampai berjingkrak Thio Yan-coan saking gemasnya, ia
mendamperat: "Bedebah, tidak kupukul kau lagi tentu kau
akan terus main gila padaku!" — Berbareng tangannya terus
bekerja, menampar ke kiri dan menggampar ke kanan.
"Berhenti!" bentak Peng-say tiba2,
"Eh, anak muda, kau juga akan ikut campur urusanku?"
tanya Thio Yan-coan dengan tertawa sambil menoleh.
"Tidak boleh kau pukul Toa-sukoku!"
"Justeru akan kuhajar dia," kata Thio Yan-coan.
Segera Peng-say melolos pedangnya.
Thio Yan-coan menengadah dan bergelak tertawa.
katanya: "Hal lain tidak ada yang kukagumi atas dirimu,
hanya kukagumi kepalamu sangat keras, apakah kau ingin
menumbuk dinding lagi?"'
Sembari berkata ia memandang sejenak ke arah papan
dinding yang berlubang itu dengan air muka
mencemoohkan.
Baru sekarang Peng-say melihat jelas toh hijau dan
berbulu itu di dahi Thio Yan-coan. teringat pula orang
mengaku she Thio, segera ia tahu siapa yang sedang
dihadapinya, mendadak ia berludah ke lantai dan berkata:
"Cis, kiranya kau ini si maling cabul Thio Yan-coan."
Thio Yan-coan paling benci bila orang memaki dia
sebagai "maling cabul", hal ini seperti orang buta yang
pantang dimaki buta dan orang pincang pantang dimaki
pincang. Dengan murka ia lantas melolos golok dan
berkata: "Kau tidak mati di bawah pedang orang Say-koan,
barang kali kau ingin dimampuskan dengan golok kilatku!"
Habis berkata. "sret", segera pedangnya menabas. Cepat
Peng-say menangkis dengan pedangnya-
Karena sudah menyaksikan pedang Peng-say menggetar
patah pedang Ting Tiong berdua tadi, Thio Yan-coan tidak
berani beradu senjata dengan dia, cepat ia menarik kembali
goloknya dan "sret-sret", kembali ia menabas ke atas dan ke
bawah.
Peng-say merasa serangan orang terlalu cepat dan Sukar
untuk ditangkis satu persatu, terpaksa ia mainkan ke-49
jurus ilmu Ped-ng Kiri untuk bertahan dan balas
menyerang.
Thio Yan-coan masih terus menyerang, katanya sambil
menggeleng: "Aneh, kenapa ilmu pedang yang kau mainkan
pulang-pergi sejak tadi melulu ilmu pedang tembakau
begini. Apakah kau tidak pernah belajar ilmu pedang lain?"
Dengan suara keras Peng-say menjawab: "Ya-, kalau
mampu boleh kau coba mematahkan ilmu pedangku yang
tembakau ini!"
"Apa sulitnya?" ujar Thio Yan-coan. "sret", secepat kilat
ia menabas satu kali, yang digunakan adalah salah satu
jurus "Pi-hong-cap-sah-to" atau tiga-belas golok kilat secepat
angin.
Akan tetapi aneh juga, betapa cepat serangannya dan
betapa lihay goloknya, tetap tidak dapat melukai Pang-say.
Menyusul Thio Yan-coan menyerang lagi tiga-empat kali
dan tetap tidak membawa hasil.
Diam2 Thio Yan-coan merasa heran: "Aneh, mengapa
golok-kilatku yang sekali tabas dapat melukai Te-coat Tojin,
sekarang malah tidak mampu mengalahkan anak muda
ini?"
Ia coba mengamat-amati ilmu pedang lawan, dilihatnya
serangan Peng-say tidak terlalu tajam, tapi pertahanannya
sangat rapat, sedikitpun tidak ada peluang. Pantas Ting
Tiong dan Liok Pek tidak dapat mengalahkannya bila tidak
menggunakan akal bulus dengan mengoceh ke timur dan ke
barat untuk memencarkaan perhatian Peng-say.
Tapi Thio Yan-coan tetap tidak percaya kepada
kemampuan lawan, dengan sombong ia berkata: "Terhitung
mulai sekarang, bilamana dalam tujuh jurus tidak kulukai
kau, seketika aku akan berhenti bertempur dan membiarkan
diriku ditabas olehmu!"
Baru habis ucapannya, segera goloknya membacok ke
kanan dan menabas ke kiri, menyabet keatas dan menimpa
kebawah. Gaya serangannya yang aneh dan lihay ini, kalau
saja lawannya tidak memainkan Pedang Kiri dari Siang-liukiam-
hoat, mungkin sepuluh orang Sau Peng-say juga
sudah dihabisi.
Pedang Peng-say yang satu tadi terjatuh dan belum
sempat dijemput kembali, kalau tidak. dengan tiga jurus
pedang ganda mungkin akan dapat msngatasi serangan
Thio Yan-coan itu.
Mendadak Thio Yan-coan membentak: "Awas, inilah
jurus kelima!"
Begitu habis ucapannya, "sret", cahaya golok
menyambar tiba hingga menyilaukan mata Peng-say,
"trang", tahu2 pergelangan tangannya terketuk punggung
golok, sakitnya merasuk tulang, pedangnya terlepas dan
jatuh ke lantai.
"Nah, bagaimana?" tanya Thio Yan-coan dengan tertawa
sambil menarik kembali goloknya.
Peng-say memegangi luka tangannya dengan termangu2,
tampaknya sangat kecewa dan putus asa.
Thio Yan-coan menggeleng kepala, katanya: "Jika kau
bukan Sutenya Sau Peng-lam, kau kira tanganmu dapat kau
pertahankan?"
Dia pandang lengan kanan Peng-say yang disisipkan di
ikat pinggang, lalu berkata pula: "Kau cuma mahir
menggunakan Pedang Kiri, tangan kanan tidak pernah
dipakai, sama saja seperti sampah. Hehe, kalau tidak timbul
pikiran kasihanku, jangan harap lagi kau akan dapat
menggunakan pedang."
Habis berkata, mendadak ia membalik tubuh dan
goloknya terus menusuk.
Peng-say terkejut dan berteriak: "Jangan!"
Kontan Peng-lam yang berada dibelakang Thio Yancoan
itu roboh terjungkal. Tapi Peng-say tahu sang Toako
hanya Hiat-to saja tertutuk oleh ujung pedang, tenteramlah
hatinya.
Segera Thio Yan-coan mendekati Sau Peng-lam dan
mengempitnya dengan sebelah tangan, katanya: "Toasukomu
saja tidak mampu menghindarkan sejurus golokku,
tapi kau mampu menghindarkan sepuluh jurus, baru jurus
ke-11 dapat kurobohkan. Untuk ini boleh kau berbangga
diri."
Ia melangkah pergi, setiba di ujung tangga, kembali ia
berpaling dan menambahkan: "Tapi persoalannya perlu
diulang kembali, di jaman ini, ada berapa orang yang
mampu menghindarkan seluruh ke-13 jurus golokku?"
Habis berkata bergelak tertawalah dia.
"Toa-sukoku hendak kau bawa kemana?" tanya Pengsay.
"Jago yang sudah keok di tanganku tidak sesuai untuk
bertanya-jawab padaku!" kata Thio Yan-coan dengan
angkuh.
"Kau kan ingin tahu kemana perginya Gi-lim?"
"Sudah tahu untuk apa tanya?"
"Tidakkah kau dengar sendiri pembicaraan kedua
bangsat Say-koan tadi?" kata Peng-say.
Waktu bicara tadi antara Ting Tiong dan Liok Pek
digunakan ilmu "Toan-im-jip-bit," yaitu sejenis ilmu
galombang suara, orang lain tidak dapat ikut
mendengarkan, namun Lwekang Peng-say sekarang sudah
lain daripada orang lain, maka dia dapat mengikutinya
dengan jelas.
Thio Yan-coan tadi asyik minum arak, dia cuma melihat
bibir Ting Tiong berdua ber-gerak2 dan tidak tahu apa yang
dibicarakan mereka.
Dengan sendirinya ia tidak tahu sampai dimana
kemampuan Peng-say, ia pikir kalau aku tidak mendengar,
apa pula yang dapat kau dengar?
Segera ia mendengus: "Hm, mereka sembarangan
mengoceh, masa dapat dipercaya." — Nyata ucapannya ini
berlagak se-olah2 dapat mendengar pembicaraan Liok Pek
tadi.
"Tapi kata2 mereka memang tidak salah," tutur Pengsay.
"Gi-lim memang benar2 sudah mati. Apa gunanya kau
tawan Toa-sukoku. dia kurang waras, otaknya sudah rusak,
tiada sesuatu keterangan yang dapat kau korek dari dia."
Karena sudah berlagak serba tahu, terpaksa Thio Yancoan
pura2 lagi, ia mendamperat: "Ah, kau bocah ini juga
suka ngaco-belo seperti mereka!"
"Tapi aku berani bersumpah, aku tidak berdusta," seru
Peng-say. "Harap kau bebaskan Toa-sukoku, segera akan
kuceritakan sejelasnya tentang bagaimana matinya Gi-lim."
"Bila Gi-lim benar2 sudah mati, dari mulut Sau Peng-lam
tentu dapat kuperoleh keterangan, tidak perlu kau banyak
mulut!" bentak Thio Yan-coan.
Peng-say menjadi gugup, cepat ia berseru: "Akan tetapi,
keadaan Toa-sukoku kan dapat kau-lihat sendiri, otaknya
memang benar sudah rusak."
"Hahaha! Jika benar rusak, tentu aku dapat
mereparasinya nanti!" sambil bergelak tertawa segera ia
hendak melangkah pergi.
"Lepaskan!" bentak Peng-say mendadak, sebelah
tangannya terus mencengkeram.
"Hm, bisa apa kau?" tanpa menoleh golok Thio Yancoan
terus menyabet ke belakang, sehingga Peng-say
terpaksa melompat mundur.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 27
Secepat terbang Thio Yan-coan terus berlari turun. Pengsay
tidak jera, kembali ia mengejar. diruang bawah masih
banyak tamu, mereka melayang lewat diatas kepala orang
banyak, begitu sampai diluar, hanya sekejap saja mereka
lantas menghilang.
Biasanya Thio Yan-coan sangat bangga akan
Ginkangnya, ia tidak percaya dirinya tidak mampu
melepaskan diri dari kuntitan seorang anak muda. Tanpa
berhenti dari dalam kota ia berlari keluar kota, ia yakin
larinya sedemikian cepatnya sehingga sukar disusul oleh
sembarangan orang.
Tapi aneh juga, Peng-say masih tetap mengintil
dibelakangnya dalam jarak yang tidak semakin
jauh. Dengan penasaran ia "tambah gas", sejenak kemudian
ia melirik ke belakang. ternyata jaraknya bukannya tambah
jauh, sebaliknya tambah dekat, malahan makin lama makin
dekat.
Diam2 ia mendongkol. Ia sangka akhir2 ini dia terlalu
banyak menguras tenaga di sarang perempuan sehingga
badan keropos dan mempengaruhi kekuatan larinya. Ia
tidak menyadari bahwa karena dia membawa Sau Penglam,
maka Ginkangnya mesti banyak terpotong.
Walau begitu sebenarnya Ginkangnya juga tidak di
bawah Sau Peng-say, soalnya Lwekangny tidak tahan lama
seperti anak muda itu. maklumlah, Ci-he-kang memang tak
dapat dibandingi Lwekang manapun juga. Apalagi Pengsay
masih "gres", masih jejaka. bila berlari dalam jangka
waktu panjang, akhirnya Thio Yan-coan bisa mati lelah,
sebaliknya tak menjadi soal bagi Peng-say.
Begitulah makin kejar makin dekat dan akhirnya
keduanya hampir lari berjajar. Sampai disini baru Thio
Yan-coan mengaku kalah. diam2 ia mengakui kelihayan
tenaga dalam anak muda itu. Mendadak ia berhenti. ia
melolos golok terus menabas tiga kali.
Karena tidak bersenjata dan tidak ber-jaga2. kontan
Peng-say terluka dan darah melumuri dada.
"Jika kau mengejar lagi, sekali bacok kupenggal
kepalamu!" ancam Thio Yan-coan dengan gregetan.
Betapapun jiwa harus diselamatkan, maka Peng-say
tidak berani mengejar lagi. Tapi ia berkata: "Jangan kau
lukai Toa-sukoku!"
Thio Yan-coan berlari beberapa langkah lagi, lalu
berhenti dan menjawab: "Aku tidak mau menjamin. Bila
dia terus berlagak linglung dan tetap tidak menjawab
pertanyaanku, kalau aku naik darah, bisa jadi akan kubedah
batok kepalanya. akan kulihat dimana letak penyakit
otaknya."
"Aku tidak bermusuhan apapun dengan kau, tapi kalau
benar2 kau lakukan seperti apa yang kau- katakan, maka
permusuhan kita akan sedalam lautan!" kata Peng-say.
"Maksudmu kau akan menuntut balas bagi Toasukomu?"
tanya Thio Yan-coan sambil mencibir.
"Ya, semoga kau tidak membunuh Toa-sukoku." jawab
Peng-say.
"Tidak membunuhnya juga boleh, tapi sekarang juga kita
bertanding disini," kata Thio Yan-coan. "Bila kau menang,
aku berjanji takkan membunuhnya, bahkan segera
kubebaskan dia. Jika kau kalah, hehe, seketika juga
kubinasakan dia. Nah, bagaimana, mau coba?"
Dengan sendirinya Peng-say tidak berani coba2, untuk
apa coba2 kalau jelas pasti kalah. Maka ia menggeleng dan
menjawab: "Tidak, kutahu bukan tandinganmu."
"Kalau tak dapat menandingiku, cara bagaimana kau
akan menuntut balas bagi Toa-sukomu?" tanya Thio Yancoan
dengan tertawa.
"Sekarang aku bukan tandinganmu, tapi pada suatu hari
pasti dapat kukalahkan kau," ucap Peng-say dengan tegas.
"Kau yakin?"
"Ya, yakin sepenuhnva!"
"Jika begitu akan kutunggu pembalasanmu!" ujar Thio
Yan-coan dengan bergelak tertawa.
"Tadi kau tidak membunuhku, budimu ini akan selalu
kuingat didalam hati, semoga kelak aku tidak sampai
membunuh kau."
Thio Yan-coan mengangguk, katanya: "Ehm, kau bocah
ini suka omong besar, tapi cukup punya Liangsim (hati
nurani yang baik)."
"Meski aku tidak ingin membunuh kau, tapi bila kau
bikin celaka jiwa Toa-sukoku, betapa pun budimu pasti
akan kulupakan dan akan kubunuh kau untuk membalas
sakit hati Toa-suko."
"Wah, bicara sejujurnya, bukan mustahil pada suatu hari
kau bocah ini benar2 dapat membunuhku, rasanya sangat
berbahaya bila aku bermusuhan dengan kau. Boleh begini
saja, aku berjanji takkan membunuh Toa-sukomu."
"Jika begitu, lebih dulu aku berterima kasih," kata Pengsay
sambil memberi hormat.
"Walaupun tidak kubunuh dia, tapi juga tidak
kubebaskan dia," sambung Thio Yan-coan pula.
"Maksudmu akan kau kekang kebebasan Toa-suko
selama hidup?"
"Tidak sukar untuk memberi kebebasan padanya, untuk
itu akan kutunggu kedatanganmu. Bila kau sudah mampu
menandingi ke-13 jurus golok kilatku, pada saat itu juga
akan kuberi kebebasan padanya."
"Lelaki sejati! .. . ."
"Tak nanti ingkar janji!"
Sesudah mendapat janji Thio Yan-coan, tanpa bicara lagi
Peng-say lantas putar badan dan tinggal pergi.
Dengan mengulum senyum Thio Yan-coan menyaksikan
bayangan anak muda itu makin jauh dan akhirnya lenyap
dari pandangan.
—0O0—odwo—0O0—
Sengtoh, itulah nama ibukota propinsi Sujwan kotaraja
negeri Han pada jaman Sam-kok. "Kakeknya", "anak
kura2", itulah umpatan orang Sujwan bila bicara.
Disuatu rumah minum yang paling laris di kota Sengtoh,
saat itu ada empat orang berduduk mengintari sebuah meja.
"Kakeknya, aku justeru tidak percaya kemahiran meniup
seruling lonte busuk macam Liu Ju-si yang tersohor merdu
itu. Hanya anak kura2 saja yang sudi membuang sepuluh
tahil perak hanya untuk mendengarkan satu lagu suara
serulingnya. Huh, kalau aku, biarpun sepicis saja aku tidak
mau."
Yang bicara itu adalah satu diantara tetamu itu, dia she
Ong, bertubuh pendek gemuk, terhitung langganan setia
rumah minum ini.
Rupanya dia penasaran ketika mendengar temannya
bercerita dan memuji Liu Ju-si, seorang bunga raya tingkat
tinggi dan terkenal di Seng-toh ini, betapa mahirnya meniup
seruling serta betapa dia membayar mahal barulah Liu Ju-si
mau mempertunjukkan kepintarannya itu.
Temannya yang berbadan jangkung melotot. katanya:
"Ong gendut, kau tidak percaya, masih banyak orang lain
yang percaya. Padahal barang siapa yang sudah pernah
mendengar suara serulingnya, tiada satupun yang tidak
memuji. Bulan yang lalu, dengan sepuluh tahil perak
akupun ikut mendengarkan seruling Liu Ju-si, sampai
sekarang, suara serulingnya yang merdu menggetar sukma
itu se-olah2 masih mengiang ditepi telinga! Kau sendiri
terlalu pelit, satu peser saja tidak buang percuma, paling2
kau hanya suka mendengar bunyi katak diwaktu hujan,
mana kau memenuhi syarat untuk menilai baik jeleknya
seruling orang?"
"Bukan soal berani bayar sepuluh tahil perak lantas tepuk
dada seperti dirimu," jawab Ong gemuk dengan penasaran.
"Yang kumaksudkan, daripada buang2 waktu
mendengarkan seruling Liu Ju-si, apalagi mesti bayar, lebih
baik pergi saja ke-alun2 selatan sana."
Alun2 selatan yang dimaksudkan adalah sebuah tanah
lapang yang biasa dipakai berkumpul kaum kelana tukang
sunglap, pemain akrobat, penjual obat dan sebagainya.
"Ya, kutahu kau gemar menonton akrobat." kata si
jangkung yang bernama Ciu Kay. "Memang disana banyak
tontonan gratis."
"Tapi aku kesana bukan menonton akrobat melainkan
mendengarkan lagu seorang anak muda," tutur Ong gendut.
"Hari ini adalah hari terakhir, besok dia akan pindah lagi
ketempat lain."
"Apakah lagu yang dibawakan anak muda itu dengan
seruling?" tiba2 seorang temannya yang lebih muda
bertanya, orang ini bernama Li Dong.
"Benar," jawab Ong gendut. "Mendengarkan serulingnya
Liu Ju-si harus bayar. mendengarkan seruling anak muda
itu gratis, bahkan berani kukatakan, seruling anak muda itu
berpuluh kali lebih enak didengar daripada Liu Ju-si."
"Ah, aku tidak percaya," kata Ciu Kay. "Jika benar dia
mempunyai kepandaian begitu tinggi. kenapa dia mesti
mencari makan di-alun2."
"Dia main seruling bukan untuk mencari makan. tapi
cari isteri."
"Cari isteri? Main seruling mencari isteri apa
maksudnya?" tanya orang keempat, seorang she Be.
"Meski dia memakai merek 'menjual lagu mencari isteri',
tapi habis main dia tidak minta bayaran dari para
pendengarnya. Dia hanya minta para pendengarnya ikut
bantu mencarikan jejak isterinya yang hilang," tutur Ong
gendut. "Katanya isterinya hilang pada setahun yang lalu,
dunia seluas ini tentu sukar dicari, maka ia memohon
khalayak ramai suka membantunya."
"Khalayak ramai dapat membantunya dengan cara
bagaimana?" ujar orang she Be. "Sedangkan bentuk
isterinya apakah bundar atau lonjong juga tidak seorangpun
yang tahu."
"Dia melukis potret isterinya dan tertulis bernama 'Soat
Koh'," tutur Ong gendut pula. "Ada nama ada gambar.
asalkan ada orang pernah melihatnya tentu akan
memberitahukan padanya dan sesuai petunjuk itu mungkin
isterinya akan dapat ditemukan."
Di meja sebelah sana masih ada seorang tamu anak
muda yang berdandan sebagai pelajar, mukanya putih
seperti berpupur. sambil minum sambil membaca. Melihat
mukanya yang cakap jika dia berganti pakaian perempuan
pasti akan jauh lebih cantik daripada perempuan asli.
Suseng atau pelajar itu tampaknya asyik membaca, tapi
kalau diperhatikan, jelas lebih sering dia pasang kuping
mendengarkan obrolan yang berlangsung diantara
rombonganOng gendut dimeja sebelah.
Ketika dia mendengar Ong gendut menyebut nama "Soat
Koh", tanpa terasa kitab yang dipegangnya jatuh kelantai.
cepat2 kitab itu dijemputnya kembali.
Dalam pada itu terdengar si jangkung yang bernama Ciu
Kay sedang berkata: "Tapi aku tetap tidak percaya ada
orang yang mahir meniup seruling melebihi Liu Ju-si."
"Kalau tidak percaya, hayolah ikut ke-alun2 sana dan
coba mendengarkan sendiri," ajak Ong gendut dengan
tertawa.
"Ah, ditempat ramai seperti alun2, kalau kecopetan, nah,
baru tahu rasa," ujar Ciu Kay.
"Memangnya kau bawa berapa ratus tahil perak?" tanya
Ong gendut dengan tertawa.
"Tidak pergi jauh, untuk apa membawa sangu banyak2.
Tapi kalau lima atau enam tahil selalu tersedia di saku,"
jawab Ciu Kay.
"Jika begitu, berani kukatakan, biarpun uangmu itu nanti
kecopetan juga tidak sia2 setelah kau dengar lagu yang
dibawakan anak muda di-alun2 sana."
Karena propaganda si gendut yang muluk2, akhirnya
teman yang lain jadi tertarik, serentak mereka menyatakan
setuju pergi ke-alun2.
Setelah empat orang ini pergi. Suseng yang duduk dimeja
sebelah segera membayar dan ikut pergi juga. Diam2 ia
berpikir: "Jangan2 nama Soat Koh hanya secara kebetulan
saja sama. Tapi ingin juga kudengarkan betapa menariknya
lagu yang dibawakan seruling orang itu?"
--oOdwOo--
Ketika rombongan Ong gendut sampai di-alun2, suasana
tampak ramai sekali.
Aneka ragam pedagang sudah membuka dasar-an, ada
yang menjual alat2 keperluan se-hari2, ada yang menjual
pakaian jadi dan cita. tapi lebih banyak lagi tukang obat dan
penjaja makanan, di sudut lain berkumpul lagi pemain
akrobat, tukang sunglap dan macam2 pertunjukan lain.
Suasana hiruk-pikuk dan ber-jubel2,
"Ramai begini dia main seruling, siapa yang mau
mendengarkan?" ujar orang she Be tadi.
"Betapa berisiknya juga tak dapat menutupi suara
serulingnya yang melengking tinggi dan nyaring itu, kalau
tidak percaya, setiba disana kau akan tahu sendiri." kata
Ong gendut dengan tertawa.
"Dimana pemain seruling itu?" tanya Ciu Kay dengan
napas agak ter-engah2 karena berjalan sekian jauhnya.
"Itu dia. disana, di pojok sana!" kata Ong gendut sambil
menuding ke depan. "Hayo cepat. seruling sudah disiapkan,
hampir ditiupnya, bila penonton sudah berkerumun tentu
sukar lagi mendapat tempat."
Segera ia mendahului ber-lari2 anjing kesana. Sesudah
dekat, Ciu Kay melihat didepan anak muda pemain seruling
itu memang betul terletak sebuah lukisan potret seorang
perempuan dengan raut muka daun sirih. mata besar
menyenangkan.
Dibawah potret tertulis dua huruf "Soat Koh", lebih ke
bawah lagi adalah judul yang berbunyi: "Mencari isteri",
berikutnya adalah beberapa baris huruf kecil yang berbunyi:
"Isteriku Soat Koh terpencar sejak bulan lima tahun yang
lalu, bilamana khalayak ramai ada yang tahu isteriku seperti
tertera pada potret ini diharap sudilah memberitahu agar
kami suami-isteri dapat berkumpul kembali. terima kasih".
Hilangnya bulan lima, sekarang juga bulan lima, jadi
tepat setahun yang lalu.
Lalu di sampingnya terdapat pula satu baris huruf yang
berbunyi: "Pemain hanya ingin berkenalan dengan para
penonton dan tidak terima pemberian apapun".
Sementara itu anak muda itu sudah selesai menggosok
serulingnya, dia sudah berduduk tegak. jari jemarinya mulai
menekan lubang2 serulingnya, dia mencoba dua-tiga suara,
lalu mulailah suara serulingnya bergema memecah angkasa.
Saat itu pertunjukan para pemain akrobat dan tukang
sulap di sebelah sana juga sedang mencapai klimaksnya.
Suara tambur dan bende bergemuruh diseling suara teriakan
dan bentakan yang keras, namun suara apapun juga tidak
dapat mengatasi suara seruling yang mengalun merdu itu.
Setiap orang, baik yang berdiri mengelilingi anak muda
peniup seruling ini maupun yang sedang menonton sunglap
dan akrobat, semuanya mendengar suara seruling yang
menggetar kalbu, lama. . .dalam benak mereka hanya
berkecamuk suara seruling melulu dan se-akan2 tidak
terdengar lagi suara lain.
Suara tambur dan bende masih berbunyi, suara bentakan
dan teriakan juga masih bergemuruh, tapi yang didengar
telinga penonton2 itu hanya suara seruling saja yang merdu
dan lambat-laun mempengaruhi pikiran mereka.
Penonton2 yang tadinya berkerumun disekeliling pemain
akrobat dan tukang sunglap itu mulai bergeser kesebelah
sini, tempat pemain seruling ini. Ditambah lagi orang yang
baru datang juga tertarik oleh suara serulingnya, maka
dalam waktu singkat orang yang berkerumun bertambah
banyak dan ber-jubel2.
Melihat penontonnya sama bubar, dengan sendirinya
pemain akrobat dan tukang sunglap menjadi tidak
bersemangat lagi, tapi mereka tidak sirik terhadap si pemain
seruling yang menganggu pencarian nafkah mereka, sebab
mereka sendiri pun ke sengsem oleh suara seruling yang
luar biasa itu, merekapun ikut berkerumun dan
mendengarkan.
Seketika hati setiap orang sama terpikat dan tiada yang
bersuara, semuanya mendengarkan dengan cermat.
Berpuluh meter di sekelilingnya yang tadinya ramai dengan
orang yang berlalu lalang kinipun menjadi sepi nyenyak
seperti kuburan, hanya suara seruling yang masih terus
mengalun merdu membubung ke angkasa.
Dengar punya dengar, suara seruling itu mengingatkan
Ong gendut kepada isterinya yang baru mati tahun yang
lalu, sudah begitu nasib malang lain juga menimpa, dagang
rugi, modal habis, teringat semua itu ia menjadi sangat
berduka. Sekarang rasa duka itupun timbul mendadak, tak
tertahan lagi air matanya berderai.
Li Dong, juga terkenang kepada kematian anaknya yang
paling kecil, anak perempuan, seluruhnya dia mempunyai
delapan anak lelaki, hanya anak perempuan kecil inilah
anak kesayangan. Karena kematian anak itu selama tiga
hari dia sembunyi didalam kamar, tidak makan dan tidak
minum. Sekarang rasa duka selama tiga hari itu serentak
timbul kembali, ia menjadi sedih sekali.
Melihat dua kawannya menangis, Ciu Kay coba
memperhatikan apakah temannya yang she Be itupun ikut
menangis atau tidak. Tapi sebelum si Be mencucurkan air
mata, ia sendiri jadi teringat lebih dulu bulan yang lalu
kecurian seribu tahil perak, padahal uang itu merupakan
hasil tabungannya untuk hari tua. tapi seluruhnya dikuras si
maling. Keruan ia sangat sedih dan mencucurkan air mata.
Orang she Be itu belum kawin, dia mempunyai gundik
kesayangan bernama Ho-hoa, si teratai, namun gundik
kesayangan itu ternyata tidak tahu diri, malahan
bergendakan dengan pemuda lain dan akhirnya minggat
bersama.
Semula ia bertahan sedapatnya agar tidak mencucurkan
air mata, tapi demi teringat kepada gundik kesayangan yang
minggat itu, sungguh ia merasa kehilangan muka dan
pukulan batin yang hebat. Padahal selain gundik itu selama
hidupnya dia tidak pernah mencintai siapapun juga. Ketika
bapaknya matipun dia tidak meneteskan air mata, tapi si
teratai yang dicintainya justeru kabur bersama orang, kini
hidupnya tinggal sebatangkara, maka sedihlah dia dan air
matapun berderai.
Begitulah suara seruling yang memilukan itu
menimbulkan kesedihan setiap orang yang mendengarnya,
kecuali orang gila yang tak berperasaan atau orang tuli yang
tidak dapat mendengar, biarpun jago silat kelas tinggi juga
pasti akan terpengaruh oleh suara seruling yang sedih ini
dan mencucurkan air mata.
Ketika suara seruling itu sampai di suatu bagian,
mendadak anak muda itu berhenti meniup dan menyimpan
kembali serulingnya.
Siapapun tahu lagu sedih yang dibawakan anak muda itu
belum berakhir, tapi tiada seorangpun yang bertanya, sebab
mereka belum tenang kembali dari rasa sedihnya, belum
kembali dalam keadaan normal.
Anak muda peniup seruling itu lantas berduduk tenang
di tempatnya, menunggu kalau2 ada di antara penonton
dapat memberitahukan jejak Soat Koh yang dicarinya itu.
Asalkan ada kabar sedikit saja, biarpun di ujung langit juga
dia akan mencarinya ke sana.
Tujuannya meniup seruling adalah untuk memancing
penonton melihat potret yang dipasangnya, yaitu potret
"Soat Koh" yang dicarinya itu, dari salah seorang penonton
diharapkan akan didapatkan keterangan jejak "isteri" yang
hendak dicarinya.
Pada saat itulah, di balik kerumunan orang yang berjubel2
itu tiba2 berlari datang seorang muda yang
berdandan sebagai kacung. Dia tidak sempat mendengar
suara seruling tadi, tapi dari penonton yang berkerumun di
situ ia mendapat tahu bahwa pemain seruling itu sengaja
main musik untuk mencari isteri.
Segera kacung itu mendesak ke tengah kerumunan orang
banyak sambil berteriak: "Permisi!Maaf, permisi!"
Dengan susah payah dan terus mendesak saja, akhirnya
ia sampai juga di bagian dalam walau pun dengan mandi
keringat, ia pandang potret yang terpasang di tanah itu, lalu
mendekati anak muda pemain seruling dan bisik2 beberapa
kata padanya.
Anak muda itu menjadi girang, cepat2 ia kemasi
barangnya, ia tarik kacung tadi dan berseru; "Mari pergi!"
Dengan sebelah tangan ia membuka jalan, tidak perlu
berdesakan, tapi orang2 yang berkerumun itu lantas
tersingkir kesamping, dengan mudah saja ia dapat keluar
dari kerubungan orang banyak. Di bawah petunjuk si
kacung, anak muda itu masuk ke suatu gang sempit dan
mendadak mereka berhenti di depan sebuah rumah.
"Ini, di sini!" kata si kacung dengan tertawa,
Pintu gerbang rumah itu bercat hitam dan terbuka, di
kedua sisi pintu tergantung lampu kerudung merah yang
tidak menyala. Ada papan pintu yang bertuliskan tiga
huruf: "Kun-hong-ih."
Melihat nama "Kun-hong-ih" dan lampu merah itu, si
anak muda jadi teringat kepada "Kun-giok-ih". nama2
tempat itu sama artinva, yaitu "rumah perempuan cantik".
Sambil berkerut kening anak muda itu bertanya dengan
suara tertahan: "Ini kan rumah pelacuran?!"
"Betul," jawab si kacung dengan tertawa. "Nona kami
juga serupa tuan, sama2 menjual seni untuk
mempertahankan hidup. Dia tidak serupa pelacur umum.
dia tidak menjual tubuh."
"Oo, dia juga mahir meniup seruling maksudmu?" tanya
si anak muda.
"Ya, nona kami she Liu bernama Ju-si," tutur si kacung
dengan tertawa. "Dia mendengar suara serulingmu sangat
merdu, maka sengaja mengundangmu."
"Akan tetapi. . . ." anak muda itu ragu2.
Mendengar suara orang di luar, saat itu juga germo atau
muncikari rumah lampu merah itu melongok keluar. lalu
berteriak ke dalam: "Ada tamu!"
Si kacung cepat memberi tanda dan berseru: "He, jangan
berteriak, bukan tamu biasa!"
Germo itu memandang sekejap pada si anak muda,
melihat pakaiannya yang kasar dan sudah rada kumal, jelas
bukan tamu yang berkantung padat, segera ia mendengus
terhadap si kacung: "Siau Sam, apakah tamu ini samaran
pangeran atau cukong gede?"
Si kacung melotot dan menjawab: "Meski bukan cukong
gede, tapi nona Liu kami yang sengaja mengundangnya
kemari,"
Sikap menghina muncikari itu segera berubah. ia
menegas; "Nona Liu yang mengundangnya?"
Sungguh ia tidak percaya bahwa sang "ratu"' yang
biasanya disanjung puji oleh pemuda anak keluarga
pembesar dan hartawan dan tetap jual mahal itu sekarang
malah sengaja mengundang tamu dari luar. Tampaknya
tamu ini memang luar biasa.
Si kacung mengiakan pertanyaan muncikari tadi dengan
sikap yang penuh teka-teki.
Si germo jadi ragu2 pula, ia pikir jangan2 anak muda ini
adalah keluarga pembesar atau orang penting yang sengaja
menyamar, kalau tidak masakah Liu Ju-si menaruh
perhatian kepadanya.
Tentu saja ia tidak melewatkan kesempatan untuk
menjilat, cepat ia munduk2 dan berkata: "Silakan. silakan
masuk, Kongcu!"
Anak muda itu tampak ragu2 sejenak, setelah berpikir,
akhirnya ia teguhkan hati dan melangkah masuk ke dalam.
Cepat si kacung berlari ke depan untuk memberi
petunjuk jalan.
Luas juga halaman rumah pelacuran ini, halaman dalam
adalah lantai batu, kedua sisi terdapat deretan kamar. Dari
dalam kamar terdengar suara bersenda gurau laki2 dan
perempuan. Terkadang didepan beberapa kamar terdiri
perempuan bersolek bicara berlebihan dan main mata
terhadap tamu yang masuk.
Namun anak muda itu tidak berpaling juga tidak melirik.
matanya memandang ke depan dan ikut si kacung langsung
ke bangunan belakang yang berloteng.
Di ruang bawah itu terbagi menjadi dua ruangan duduk
dengan alat perabot yang serba mentereng, dinding penuh
berhias lukisan dan tulisan seniman ternama. Dipandang
sepintas lalu ruangan ini mirip rumah keluarga hartawan
atau pembesar,
Setelah berada di dalam ruangan itu, dari samping
muncul seorang babu setengah umur yang baru turun dari
tangga loteng, dengan tertawa sibabu menegur si kacung:
"Siau Sam, apakah sudah datang?"
Si kacung mengangguk.
Segera babu setengah umur itu berkata kepada anak
muda tadi: "Silakan Kongcu ikut naik ke atas loteng."
Cepat ci kacung berpaling dan menjelaskan kepada tamu
undangannya: "Nona kami berdiam di atas loteng, silakan
naik ke atas."
Anak muda itu tampak sangsi, katanya: "Dapatkah. . . ."
"Anda khusus diundang oleh nona kami kenapa ragu
untuk naik ke atas, apalagi di atas sana suasana akan lebih
asyik," ujar si kacung dengan tertawa.
Akhirnya menurut juga anak muda itu, ia naik ke atas
loteng dengan si babu sebagai penunjuk jalan.
"Ai, Kongcu sungguh lain daripada yang lain," kata si
babu dengan tertawa. "Anda tahu, betapa banyak orang
yang ingin naik ke atas loteng dan sampai sekarang belum
terkabul cita?nya!"
Anak muda itu tidak menanggapi melainkan ikut saja ke
atas.
Setiba di atas loteng, seorang pelayan kecil
menyongsongnya dan menegur: "Mak Ong, kenapa
sembarang tamu kau bawa ke atas?"
"Dia ini tamu yang diundang nona," jawab mak Ong.
"Oo, jika begitu pergilah kau, serahkan dia padaku," kata
si pelayan cilik.
Sungguh tak terpikir oleh anak muda itu bahwa seorang
pelacur dapat berlagak seperti tuan besar, ber-turut2
berganti beberapa penunjuk jalan baru boleh bertemu.
Dia menyangka pelayan cilik ini adalah pengalang
terakhir, siapa tahu setelah membelok kesana dan sampai di
depan sebuah kamar tidur, tertampak seorang pelayan lain
menyelinap keluar dari kamar dan mendesis dengan jari di
depan bibir, tanda agar jangan berisik supaya tidak
mengejutkan orang yang sedang tidur.
"Apakah nona sedang tidur?" tanya pelayan cilik yang
pertama.
"Nona sakit kepala dan sedang istirahat," jawab si
genduk terakhir ini.
"Tamu yang diundang nona sudah datang," tutur pelajan
tadi.
Sama sekali genduk cilik itu tidak memandang anak
muda yang berada dibelakang kawannya dan lantas berkata:
"Suruh dia kembali lagi besok bila sakit kepala nona sudah
sembuh."
Pelayan pertama tadi mengiakan. Belum lagi dia
berpaling, tanpa disuruh anak muda itu sudah maju ke sana
dan bertanya kepada genduk itu: "Apakah parah sakit
kepala nona kalian?"
"Siapa kau?" genduk itu sengaja bertanya.
"Dia inilah tamu yeng diundang nona," si pelayan
pertama tadi menyeletuk.
Seperti tidak acuh genduk cilik itu memandang sekejap
pada anak muda itu, lalu menjawab dengan ketus: "Parah
atau tidak sakit kepala nona, apa maksudmu ?"
Dengan sungguh2 anak muda itu menjawab: "Jika parah
sudah tentu tak berani kuganggu, kalau tidak parah, harap
disampaikan kepadanya agar dia suka memberitahukan
padaku, di manakah dia pernah bertemu dengan perempuan
yang bernama Soat Koh."
"Supaya disampaikan padanya? Maksudmu aku yang
tanya kepada nona, kemudian kuberitahukan pula
padamu?" si genduk menegas.
"Ya, begitulah, tolong!" kata si anak muda sambil
memberi hormat.
Tapi genduk cilik itu menggeleng, katanya: "Tidak aku
tidak berani. Bila sakit kepala, nona suka marah2, bisa2 aku
nanti kena damperat. Mau tanya boleh kau tanyakan
sendiri."
Habis berkata ia terus tarik si pelayan pertama tadi dan
diajak pergi.
"He. he!" seru anak muda itu dengan suara tertahan.
Genduk tadi menghentikan langkahnya sambil berpaling.
dengan mata mendelik ia berkata: "Huh, kenapa kau ini
tidak tahu sopan santun, memangnya namaku 'Hehe'?"
Anak muda itu menyadari kesalahannya, dengan
mengulum senyum cepat ia ganti ucapan: "O, maksudku . .
. maksudku adik ini. . . ."
Tapi mendadak genduk itu membentak pula: ”Huh,
siapa adikmu?"
Si anak muda menjadi serba salah, ucapnya dengan
tertawa: "Habis apa yang harus kusebut?....."
Si pelayan cilik tadi menyeletuk; "Cici ini bernama Junban."
Genduk itu melototi kawannya seperti menyalahkan dia
mengapa sembarangan memberitahukan namanya kepada
orang.
Tapi si anak muda lantas berkata: "Ehm. nama yang
bagus, nama yang indah!"
"Huh, indah apa, tidak perlu kau memuji, tidak bakalan
kusampaikan pertayaanmu kepada nona kami," demikian
kata si genduk.
"Apakah kau takut diomeli?" tanya si anak muda.
"Jika kau tidak takut, boleh masuk sendiri," ujar si
genduk yang bernama Jun-ban
"Ap . . . .apakah boleh?" anak muda itu menjadi sangsi.
"Nona kan sudah tahu akan kedatanganmu, kenapa tidak
boleh?"
"Sudilah kau lapor lagi sekali?" pinta si anak muda.
"Nona sedang istirahat, tidak berani kuganggu dia."
Tunggu saja sampai Jun-ban dengan tertawa
"Ya. terpaksa begitu," si anak muda mengangguk.
"Kau tunggu saja di sini, kami akan pergi," kata Jun-ban
pula.
Eh. jangan pergi!" seru anak muda itu. "Kalau nona
kalian bangun kan perlu dilayani kalian."
"Ada kau yang melayani dia, kami tidak perlu lagi." Junban
tertawa ter-kikik2.
Muka anak muda itu menjadi merah dan terjengah:
"Wah, aku. . . ."
"Kenapa jengah? Jangan berpikir yang bukan2," Kata
Jun-ban. "Justeru sengaja kuberi kesempatan padamu untuk
melayani nona. umpamanya kalau nona sudah bangun,
tuangkan secangkir teh. bilamana hatinya senang, dengan
cepat tentu akan dia mengatakan apa yang kau ingin tahu."
Anak muda itu pikir betul juga ucapan genduk nakal itu.
Maka ia lantas berjaga di depan pintu setelah Jun-ban
berdua pergi, dengan cermat ia dengarkan setiap suara
didalam kamar.
Tapi sejak pagi tunggu sampai sore, perut sudah
kelaparan, namun didalam kamar tetap tiada sedikit
suarapun, se-olah2 didalam kamar hakikatnya tiada
penghuninya. Namun si anak muda yakin di dalam kamar
pasti ada orangnya, sebab dia dapat mendengar suara orang
bernapas waktu tidur didalam kamar bahkan
pernapasannya merata, itulah tandanya orang sedang tidur
nyenyak.
Lantaran dia mengharapkan keterangan orang maka ia
ingin mematuhi pesan jun-ban tadi, akan dilayani sebaiknya
si nona yang dimaksudkan agar selekasnya dapat
menemukan Soat Koh yang dicarinya itu.
Sudah hampir setahun ia mencari, baru sekarang ada
sedikit petunjuk yang menyenangkan kesempatan ini tidak
boleh di-sia2kan, bahkan harus selekasnya diketahui dengan
jelas dan pasti, sehari pun tidak boleh terlambat lagi. Sebab
satu hari terlambat menemukan Soat Koh berarti pula satu
hari terlambat menuntut balas. Padahal selama setahun ini
api balas dendam benar2 telah membakar hatinya dan
semakin berkobar, mana boleh ditunda lagi sekarang?
Tiba2 didengarnya di dalam kamar ada orang berkeluh
pelahan. . . .Anak muda itu bergirang. ia tahu itulah suara
orang sakit yang baru bangun.
Didalam hati ia berseru: "Hayolah lekas minta teh.
begitu kau berseru segera kumasuk dan menuangkan teh
bagimu."
Tapi yang terdengar hanya keluhan2 lagi beberapa kali.
Syukur akhirnya didengarnya suara seorang perempuan
berseru: "Jun-ban! . .Jun-ban! . . .Tuangkan teh bagiku!"
Langsung saja anak muda itu mendorong pintu dan
masuk ke dalam. Yang per-tama2 dilihatnya adalah sebuah
ranjang tembaga kuning yang indah dengan kelambu tipis
yang digulung ke atas, orang yang berbaring ditempat tidur
itu muka menghadap kesana dengan selimut merah tipis
menutupi tubuhnya. hanya kelihatan rambutnya yang
terurai dibantal. mukanya juga tidak kelihatan.
Akan tetapi didinding belakaag ranjang itu ada sebuah
cermin tembaga yang mengkilat sehingga wajahnya
terpantul dengan jelas.
Sedemikian menarik wajah itu, sungguh sangat cantik,
cuma sayang hanya wajah saja yang terlihat sehingga tidak
dapat mencerminkan kulit badannya yang putih halus dan
menggiurkan itu.
Anak muda itu sudah banyak melihat wanita cantik
didunia ini, maka dia tidak sampai terkesima, ia cuma
merasa sayang perempuan secantik ini juga terjerumus ke
pecomberan di tempat begini.
Di sebelah sana, dekat tempat tidur dan jendela ada
sebuah meja, di sebelahnya ada pula sebuah almari berkaca.
Diatas meja itu ada poci dan cangkir teh.
Anak muda itu terus mendekati meja dan menuangkan
setengah cangkir teh. Dengan membawa cangkir itulah dia
mendekati tempat tidur. Ia ragu? sejenak, sebab ia tidak
tahu cara bagaimana harus meladeni orang yang ingin
minum, apakah mesti memayangnya bangun dan
memanggilnya agar minum sendiri?
Didengarnya perempuan ditempat tidur itu lagi berkata
pula dengan ter-putus2: "Jun-ban . . .mana. . . .mana
tehnya, bangunkan aku. . . ." Dari suaranya yang berkeluh
kesah itu agaknya kepalanya memang lagi sakit dan
mungkin tidak sanggup untuk minum sendiri. Maka anak
muda itu bermaksud memayangnya bangun, ia pikir
sebaiknya menyapanya dulu, kalau orang tidak menolak
barulah akan dikerjakannya.
Dengan suara pelahan ia lantas memanggil: "No. .
.nona!"
Tapi perempuan itu tidak menggubrisaya, mungkin haus
dan kepalanya terlalu sakit, dia tetap berkeluh saja: "Teh. .
.teh. . .mana tehnya. . . ." —mungkin juga pikirannya tidak
jernih sehingga tidak tahu orang yang menegurnya itu
bukan pelayannva melainkan suara seorang lelaki.
Anak muda itu pikir bila orang sudah minum mungkin
pikirannya akan sadar, kalau tidak sadar, cara bagaimana
bisa dimintai keterangan? Karena itu. ia tidak
menghiraukan perbuatannya sopan atau tidak. segera ia
duduk ditepi ranjang dan merangkul perempuan untuk
dibangunkan, sedang cangkir teh ditangan lain lantas
disodorkan kebibirnya.
Dalam keadaan muka beradu muka, wajah perempuan
itu dapat terlihat dengan jelas.Matanya terpejam tapi dapat
dipastikan besar dan indah, alisnya lentik seperti dilukis,
mukanya jelas sangat cantik. apalagi kulitnya yang putih
halus, biarpun lelaki berhati baja juga akan goyah.
Yang luar biasanya adalah bau harum tubuhnya. dari
kejauhan tak diketahui darimana timbulnya bau harum,
setelah anak muda itu merangkul tubuhnya barulah
diketahui bau harum di ruang kamar timbul dari badan
perempuan ini.
Bau harum semerbak itu mau-tak-mau terus terendus
hidung anak muda itu, ditambah lagi apa yang
dipandangnya dan tubuh lunak dalam rangkulannya,
sembari memberi minum orang, hati anak muda itu
berguncang hebat dan mukapun merah panas.
Perempuan itu, Liu Ju-si, minum teh dengan mata tetap
terpejam, entah dia sengaja tidak mau membuka mata atau
memang kepala sakit sehingga sukar melek. pendek kata,
sampai saat ini dia seperti belum mengetahui orang yang
memberi minum itu bukanlah Jun-ban.
Mungkin dia lantas terpulas lagi, sebab mendadak
sebelah pahanya terjulur keluar dari selimutnya. Tentu saja
paha yang mulus itu terlihat juga oleh anak muda itu.
Itulah paha yang padat, halus dan licin, jangankan anak
muda yang belum pernah melihat paha perempuan,
sekalipun pemuda bangor yang setiap hari terbenam di
rumah pelesiran juga pasti akan tertarik oleh paha yang
mulus ini.
Sampai melotot mata anak muda itu, ber-ulang2 ia
menelan air liur, kerongkongan serasa kering. badan terasa
panas, jantung berdetak lebih keras.
Lebih hebat lagi ketika mendadak, entah sejak kapan,
tahu2 selimut yang menutupi badan Liu Ju-si juga merosot
kesamping, sehingga ketika memandang keatas pahanya,
seketika badan si anak muda seperti kena aliran listrik,
sekujur badan tergetar dan tanpa terasa cangkir yang
dipegangnya jatuh ketempat tidur.
Apa yang dilihatnya ternyata tubuh Liu Ju-si yang
telanjang bulat. Rupanya perempuan ini tidur dengan
membuka semua pakaiannya tanpa sehelai benang pun.
Keruan anak muda itu ternganga, mana dia pernah
meiihat perbukitan yang subur dengan alang2 lebat serta
gua rahasia yang tersembunyi.
Dia benar2 melongo oleh pemandangan yang luar biasa,
ia sampai lupa daratan entah dirinya masih berada didunia
ramai ini atau sudah berada di surga?
Se-konyong2 Lui Ju-si membuka matanya sedikit,
melihat anak muda itu dalam keadaan kesima dan tidak
melakukan sesuatu tindak lanjutan, diam2 ia merasa
gegetun.
Mendadak ia menggreget, sesuai rencana semula. Liu Jusi
terus berbangkit, anak muda itu lantas dirangkulnya,
tubuhnya yang licin seperti ular itu terus menggelondot
dalam pangkuan anak muda itu.
"Bukalah pakaianmu dan hayolah!" bisiknya sambil
membuka kancing baju anak muda itu.
Mendingan kalau dia tidak bicara, begitu mendengar
suaranya, benak anak muda yang lupa daratan itu
mendadak seperti kena dikemplang, seketika ia terkejut:
"Ah, ia sudah mendusin, dia mengetahui aku telah
mengintip badannya! Ai, kenapa aku tidak dapat
mengekang perasaan sendiri?"
Pikiran itu berkelebat dalam benak anak muda itu ia
merasa malu dan menyesal, cepat ia mendorong tubuh Liu
Ju-si, tak terpikir olehnya apa tujuan perempuan itu
mendadak memeluknya, dia malah menyesali dirinya
sendiri yang tergolong ahli Lwekang tingkat tinggi, tak
dapat menguasai berkobarnya napsu berahi.
Segera ia berdiri, tanpa bersuara ia melangkah keluar.
"He, jangan pergi!" seru Liu Ju-si.
"Aku takkan pergi," jawab anak muda itu sambil berdiri
ditepi pintu.
"Masuklah kemari!" seru Lui Ju-si pula.
"Sesudah kau berpakaian dengan sendirinya aku akan
masuk kesitu untuk minta keterangan padamu," jawab si
anak muda.
Buru2 Liu Ju-si mengenakan pakaiannya, sungguh ia
tidak paham, mengapa ucapannya tadi malah membikin
anak muda itu ketakutan dan kabur keluar kamar.
Seyogyanya. dengan rayuannya tadi seharusnya mirip api
disiram minyak sehingga makin membakar napsu
berahinya.
Memang. bagi seorang yang beriman lemah, satu kalimat
kata yang "panas" pasti akan membakar dan meleburnya.
Tapi bagi anak muda itu, bukan saja tidak dapat lebih
menjerumuskan dia, sebaliknya malah menyadarkan
pikirannya, menyadarkan dosanya.
Suka kepada kecantikan, suka pada keindahan adalah
pembawaan setiap manusia. Kecantikan Liu Ju-si dapat
mengguncangkan hati anak muda itu. keindahan tubuh Liu
Ju-si dapat menimbulkan rangsangan yang belum pernah
dirasakannya selama ini. Rasa heran dan ingin tahu
membuat pandangannya melekat pada apa yang dilihatnya
dan merangsang napsu berahinya, kalau keadaan ini
didiamkan saja, bisa jadi seluruh akal sehatnya akan
tenggelam dan runtuh sehingga tak terkendalikan.
Tapi bilamana terjadi sesuatu perubahan dari luar yang
memecahkan ketenangan itu, misalnya suara yang
datangnya mendadak, begitu syarafnya tergetar dan
merasakan kesalahannya, seketika dia akan dapat
menguasai lagi perasaannya dengan Lwekangnya yang
tinggi dan kuat. lalu tanpa pikir lagi akan ditinggal pergi.
Waktu Liu Ju-si berduduk tadi, gerakannya itu telah
memecahkan "ketenangan" dan menyadarkan anak muda
itu dari lamunannya, ditambah lagi kata2 rayuan yang
semakin mengganggu seluruh ketenangannya, maka anak
muda itu lantas sadar seluruhnya.
Liu Ju-si lantas mengenakan pakaiannya, lalu memanggil
dengan suara halus: "Sekarang masuklah kemari!"
Begitu anak muda itu muncul. seketika Liu Ju-si
menunduk malah, ia tidak berani menatap anak muda yang
baru saja telah melihat seluruh rahasia tubuhnya itu.
Dengan malu2 ia berkata: "Janganlah kau marah bahwa
aku sengaja hendak merayu kau."
Anak muda itu rada melengak, segera ia bertanya:
"Sebab apa kau berbuat begitu?"
"Aku ingin menyerahkan tubuhku padamu agar. . . .agar.
. ."
Karena tidak tahu apa maksud tujuan orang, anak muda
itu menegas: "Agar apa?"
"Agar kau mau mengajarkan kepandaian meniup
serulingmu yang hebat itu?"
"Kau sendiri kan juga mahir main seruling?"
"Tapi terlalu jauh kalau dibandingkan kepandaianmu
yang dapat memikat pendengarnya hingga mengikuti
kemanapun kau pergi."
Anak muda itu menjadi heran, tanyanya; ”Dari mana
kau tahu ada pendengar yang terpikat dan mengikuti
diriku?"
Liu Ju-si tidak lantas menjawab, setelah merancang
baik2 jawabannya barulah dia berkata: "Kudengar dari
seorang tamuku yang pernah terpikat oleh suara
serulingmu."
"Oo? Tapi demi ingin belajar main seruling kau rela
menyerahkan tubuhmu, apakah tidak terlalu besar
pengorbananmu ini?" ucap anak muda itu.
Sejak tadi Liu Ju-si tidak berani bicara dengan menatap
muka, baru sekarang pelahan ia mengangkat kepalanya dan
memandangnya sekejap, menunduk pula dan berkata: "Jika
begitu, dapatkah sekarang kau ajarkan permainan
serulingmu padaku?"
Anak muda itu diam saja. Segera Liu Ju-si mendesak:
"Jika kau menolak aku pun tidak mau memberitahukan
urusan yang kau ingin tahu."
"Bila begitu, aku mohon diri," segera anak muda itu
berbangkit.
Sama sekali Liu Ju-si tidak menyangka orang itu
wataknya, cepat ia berseru: "Nanti dulu Soat-kongcu."
Anak muda itu berhenti dan menjawab: "Aku tidak she
Soat, tapi she Sau."
"Kau tidak mau mengaku she Soat, apakah kau pun
tidak mau mengaku bernama Peng-say?" tanya Liu Ju-si.
Seketika Peng-say membalik tubuh, dengan emosi ia
bertanya dengan suara keras: "Dari mana nona tahu aku
bernama Soat Peng-say?"
"Soat Koh yang bilang," jawab Liu Ju-si dengan tertawa.
"Tidak mungkin Soat Koh tahu, dia cuma tahu aku
bernama si Tolol," kata Peng-say.
"Betul, dia hanya tahu kau bernama si Tolol, tapi apakah
kau lupa pernah menusuknya dengan pedangmu di Ciaujiu-
wan dahulu?"
"Apakah kau bersahabat baik dengan Soat Koh?" tanya
Peng-say dengan penuh penyesalan.
"Kalau bukan sahabat baik, mana bisa dia
memperlihatkan pedangmu yang kau gunakan melukai
bahu kanannya itu? Bukankah di garang pedang itu terukir
namamu yang asli?"
"Pedang itu masih. . . .masih disimpannya?" tanya Pengsay
dengan suara gemetar.
"Sudah tentu senjata itu disimpannya baik2. Dia sedang
menunggu, pada suatu hari iapun akan balas menusuk bahu
kirimu dengan pedang yang tak berperasaan itu."
"Di. . . .dimana dia sekarang?"
"Bila kuberitahukan padamu, apakah kau berani
menemui dia?" tanya Liu Ju-si dengan tertawa.
"Kujelajahi dunia ini, tujuanku justeru hendak mencari
dia," jawab Peng-say.
"Kau tidak takut akan dibalas tusuk satu kali?"
"Aku melukai dia, memang pantas kalau dia tusuk
diriku."
"Ehm. boleh juga kau. Cuma sayang, biarpun tidak
takut, tidak boleh kuberitahukan padamu secara percuma."
"Apakah kau minta kuajarkan permainan seruling
padamu?" tanya Peng-say.
Padahal tujuan Liu Ju-si hanya ingin tahu tujuan Pengsay
yang sesungguhnya, hal belajar seruling hanya sebagai
alasan belaka. Tapi dia berlagak seperti sekarang memang
begitulah tujuannya dan mengiakan.
Terpaksa Peng-say menghela napas dan berkata;
"Baiklah, akan kuajarkan kau."
Diluar dugaan, setelah Peng-say menyanggupi Liu Ju-si
berbalik menggeleng kepala dan berkata pula dengan
tertawa: "Jika ada tekad seperti sekarang, kenapa dahulu
mesti berpisah dengan dia?"
"Dialah yang meninggalkan diriku," kata Peng-say
dengan menyesal.
"Jika pedangmu tidak menusuk bahunya dan melukai
hatinya, apakah dia dapat meninggalkan dirimu? Apakah
kau tidak tahu ada maksudnya akan berkumpul selama
hidup dengan kau?"
"Urusan yang sudah lalu hendaklah jangan dibicarakan
lagi," kata Peng-say dengan menghela napas. "Nona Liu,
aku berjanji akan mengajarkan keahlian main seruling
padamu, tapi tidak dapat kuajarkan sekarang juga. Hal ini
harus kau setujui. kalau tidak akupun batal minta
pertolonganmu."
"Mengapa tidak dapat mengajarkan sekarang juga?"
tanya Liu Ju-si.
"Sebab kau tidak memiliki dasar Lwekang yang kuat,
untuk belajar lagu serulingku ini diperlukan orang yang
mempunyai dasar Lwekang selama berpuluh tahun.
Padahal aku menanggung sakit hati orang tua dan harus
kutuntut balas, tugasku ini tidak boleh tertunda sekian
tahun hanya karena harus mengajarkan main seruling
padamu."
"O, lantaran itulah, maka tadi kau hendak pergi begitu
saja tanpa tanya dimana beradanya Soat Koh?"
"Jika sekarang kau tetap tidak setuju. terpaksa akupun
mohon diri lagi."
"Bilakah sakit hatimu dapat kau balas?"
"Entah, sukar dipastikan."
"Bila selama hidupmu tak dapat menuntut balas, lalu
bagaimana?"
"Selama hidup pula tidak sempat kuajarkan main
seruling padamu."
"Dan kalau kau mati sebelum berhasil membalas
dendam?"
Peng-say menjadi kurang senang, katanya: "Terlalu
banyak nona memikirkan berbagai kemungkinan itu, lebih
baik batalkan saja persetujuan kita."
"Ah, janganlah berjiwa terlalu sempit, aku takkan terlalu
mempersulit kau." kata Liu Ju-si dengan tertawa.
"Jika demikian, mohon diberitahu dimana beradanya
Soat Koh." pinta Peng-say dengan hormat.
"Semoga kau dapat membalas dendam dengan cepat,
tapi janganlah melupakan janjimu akan mengajarkan main
seruling padaku."
"Janji seorang lelaki sejati tidak nanti diingkari. Asalkan
kau beritahukan dimana beradanya Soat Koh dan dapat
kuketemukan dia, jangankan beberapa tahun atau sepuluh
tahan, sampai ubanan juga akan kuajarkan kau seperti
janjiku."
Diam2 Liu Ju-si merasa senang. ia menegas pula:
"Betulkah akan kau ajarkan sampai ubanan?"
"Nona adalah orang cerdas, tentu tidak perlu belajar
sampai ubanan. Numpang tanya. sesungguhnya dimanakah
Soat Koh berada?"
"Jangan buru2 tanya dia dulu, kujamin hari ini juga
dapat kau temukan dia." ucap Liu Ju-si dengan tertawa.
"Nona ada urusan apalagi?" tanya Peng-say.
"Ingin kutanya dulu, apakah Soat Koh sudah menikah
dengan kau?"
Peng-say tidak tahu apa artinya pertanyaan ini, dia
menjawab: "Belum!"
"Jika begitu, mana boleh kau cari dia dengan
menggunakan semboyan 'jual seni cari isteri'?"
"Hendaklah jangan kau tertawakan, kugunakan
semboyan itu ada dua maksud tujuan."
"Dua maksud tujuan?" Liu Ju-si menegas.
"Pertama, agar mendapatkan simpatik khalayak ramai,
mungkin ada yang tahu dan kasihan padaku, lalu
memberitahukan jejak Soat Koh."
"Kau memperalat simpatik orang yang ingin membantu
kau dengan setulus hati, meski caramu ini cukup baik, tapi
bukankah caramu inipun sama dengan menipu orang yang
bermaksud baik hendak membantu kau? Selain itu, Soat
Koh masih perawan suci, apakah kau tidak kuatir menodai
nama baiknya atau membikin marah padanya?"
"Demi menemukan dia, aku tidak sayang menipu orang
yang ingin membantuku dan juga tidak peduli apakah akan
menodai nama Soat Koh atau tidak. Bila dia marah akan
lebih baik lagi. semboyan jual seni mencari isteri yang
kupakai itu justeru ingin kupancing dia marah."
"Ah, tahulah aku, tanpa istilah mencari isteri kau kuatir
takkan menimbulkan perhatian Soat Koh, begitu bukan?"
Peng-say mengangguk, kutanya: "Ya, bila dia dengar
dirinya telah berubah menjadi isteri orang, mau-tak-mau dia
pasti akan menaruh perhatian. Dalam gusarnya, tentu dia
akan mencari diriku."
"Tapi apakah kau tahu di dalam hal ini ada suatu
kekurangan?"
"Oo. mohon petunjuk," kata Peng-say
"Kau kira Soat Koh akan marah, ini hanya jalan
pikiranmu sendiri, bila dia berjiwa besar, tidak
menghiraukan ulahmu itu atau dia pikir nama orang
banyak yang sama, bisa jadi yang dicari bukan dia. Lalu
apakah tidak sia2 belaka akalmu itu? Cuma, akhirnya dapat
juga kau temukan petunjuk melalui perantaraanku, tidaklah
sia2 jerih payahmu."
"Entah cara bagaimana nona mendapat tahu aku
menjuai seni di-alun2 sana?"
"Coba kau terka?"
"Nona senantiasa berdiam di rumah, dengan sendirinya
tidak sembarangan pergi ke tempat begitu, mungkin nona
cuma mendengar ceritera orang lain."
"Bukan," kata Liu Ju-si sambil menggeleng.
"Habis dari mana nona mengetahuinya?"
"Soal ini jangan dibicarakan sekarang, boleh?"
"Nona tidak suka menjelaskan, dengan sendirinya tak
dapat kupaksa. Apakah nona masih ada pertanyaan lain?"
"Ada, suatu pertanyaan lagi, pertanyaan terakhir. yakni,
apa maksud tujuanmu dengan berbagai cara dan jalan kau
cari Soat Koh?"
"Bolehkah tak kujawab pertanyaan ini?"
"Tidak kau jawab berarti selamanya kau takkan
menemukan Soat Koh."
"Maksudmu, bila tidak kujelaskan tujuanku mencari dia,
maka iapun tidak mau menemui aku?"
"Ya, begitulah," kata Liu Ju-si.
"Jika demikian, jadi Soat Koh sudah tahu aku sedang
mencari dia?"
"Sebabnya kutahu kau jual seni di-alun2 justeru dia yang
memberitahukannya padaku. Dia yang minta kuundang
kau kesini, tapi harus kau katakan dahulu tujuanmu
mencari dia barulah dia mau bertemu dengan kau."
Peng-say menghela napas, katanya: "Jika demikian harap
sampaikan kepadanya bahwa ada urusan sangat penting
kucari dia, kumohon dia sudi memberi kesempatan untuk
bertemu."
"Urusan penting apa?' tanya Liu Ju-si.
"Bila berhadapan tentu akan kujelaskan."
"Apakah sekarang tidak dapat kau katakan?"
Tergerak hati Peng-say, ia sengaja perkeras suaranya dan
berkata: "Guru Soat Koh, Soat Ciau hoa, sesungguhnya
adalah bibiku, adik ibuku. Maka kumohon dia suka
membawaku menjumpai gurunya. bibiku."
"Apa tujuanmu menemui gurunya?"
"Aku belum pernah kenal bibi, sangat ingin kutemui
beliau untuk bercengkerama antara anak keluarga sendiri."
"Kukira tidak cuma ini saja tujuanmu?"
"Melulu ini saja apakah belum cukup?"
"Belum," jawab Liu Ju-si.
"Ibuku sudah meninggal, berita duka ini harus
kuberitahukan kepada bibi."
"Hanya urusan ini kau cari Soat Koh menjelajah dunia
ini, kukira tidak benar seluruhnya."
Peng-say mencucurkan air mata dan berkata pula:
"Ayahku terbunuh, aku tidak mampu menuntut balas, maka
ingin kumohon bantuan bibi."
"Akan kau mohon dia membantu dengan cara
bagaimana?" tanya Liu Ju-si.
"Agar mengajarkan semacam ilmu pedang sakti padaku."
"Bila bibimu tidak mau mengajarkan padamu?"
"Akan kumohon hingga mati."
"Selain itu apakah tiada jalan lain untuk menuntut
balas?"
"Ya, tidak ada," jawab Peng-say.
"Sakit hati ayahmu memang harus dibalas, jelaslah
sekarang sebabnya kau cari Soat Koh dengan susah payah
dan bukan cuma pura2 belaka," kata Liu Ju-si.
"Maka kumohon sudilah engkau menyampaikan
padanya, semoga dia kasihan pada tekadku akan menuntut
balas bagi sakit hati ayahku dan sukalah dia membawaku
menemui bibi."
Liu Ju-si berdiam agak lama, ucapnya kemudian sambil
menggeleng: "Dia tidak percaya kepada penuturanmu, biar
kusampaikan juga percuma."
Peng-say dapat menduga Soat Koh pasti berada di sekitar
situ, apa yang dikatakan Liu Ju-si pasti tidak dusta, sebagai
orang perantara ia hanya disuruh membuktikan
kesungguhan hatinya mencari Soat Koh, tapi setelah
ditunggu dan ternyata Soat Koh tidak memberi reaksi apa2,
jelas nona itu tetap tidak mau bertemu dengan dirinya.
sebab itulah Liu Ju-si menyatakan tiada gunanya
menyampaikan permintaan Peng-say itu.
Namun. Peng-say juga tidak membongkar soal Soat Koh
bersembunyi disitu, dengan menyesal ia berkata pula:
"Nona Liu, tentunya kau tahu sebab apakah dia tidak mau
menemui diriku? Lalu harus bagaimana barulah akan
berhasil tujuanku ini?"
"Dia pernah berkata padaku bahwa tujuanmu mencari
dia pasti ada sangkut-pautnya dengan adik misanmu yang
bernama Cin Yak-leng. entah betul tidak hal ini?"
"Cin Yak-leng sudah mati," tutur Peng-say.
"Mati? Cara bagaimana matinya?"
"Seorang jahat bernama Ciamtay Cu-ih telah
membunuhnya!" kata Peng-say dengan penuh dendam.
Kamar tidur Liu Ju-si itu ada sebuah pintu tembus
kekamar sebelah. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara
orang mendengus di kamar sebelah itu-
Seketika Peng-say tahu Soat Koh bersembunyi disitu,
suara dengusan itu ia masih dapat dikenalnya sebagai suara
Soat Koh.
Tapi kalau nona itu tidak mau keluar. bila Peng-say
masuk kesana dan nona itu lantas lari, kan urusan bisa
tambah runyam malah. Maka Peng-say berusaha agar Soat
Koh mau keluar dengan sendirinya, ia pura2 tidak
mendengar suara dengusan itu. ia berkata pula: "Ilmu silat
Ciamtay Cu-ih jauh di atasku untuk membalas dendam
Piaumoayku itu, satu2nya jalan juga harus mencari bibi
agar beliau suka mengajarkan ilmu pedangnya padaku."
"Keterus-teranganmu ini, bila kusampaikan padanya,
kukira Soat Koh pasti takkan menolak lagi."'
"Ya. semoga demikian hendaknya," kata Peng-say.
Tapi setelah sekian lama masih tiada suara apa2. Pengsay
lantas memecahkan kesunyian itu, tanyanya: "Nona
Liu. Soat Koh tetap tidak mau menemui diriku, menurut
kau, apa sebabnya?"
"Kukira mungkin ia masih dendam pada kejadian yang
dulu," jawab Liu Ju-si.
"Maksudmu. perihal kulukai dia itu?"
"Ya, biarpun dia balas menusuk kau satu kali kukira rasa
dendamnya tetap tak terhapus, maka lebih baik dia tidak
bertemu dengan kau agar kau pun tidak dapat membalas
sakit hati segala. Pembalasan secara keji ini bukankah jauh
lebih menyakitkan daripada dibalas menusuk kau dengan
pedang?"
Di balik ucapan Liu Ju-si itu nyata iapun rada menyesali
ketegaan hati Soat Koh yang tetap tidak mau keluar.
Peng-say menghela napas, tiba2 ia mengeluarkan
seruling kemalanya.
"Kau mau main seruling?" tanya Liu Ju-si.
"Ya," jawab Peng-say. "Suara seruling dapat menyatakan
rasa penyesalanku, hendaklah kau jangan pergi, dengarkan
dulu satu laguku."
Liu Ju-si tahu ucapan Peng-say itu ditujukan kepada Soat
Koh, tapi dengan tertawa ia menjawab: "Mana aku mau
pergi? Dapat menyaksikan kepandaianmu yang hebat ini,
biarpun diusir juga aku tidak mau pergi."
"Cuma sayang Soat Koh tidak berada disini," kata Pengsay.
"Jika dia di sini kuyakin iapun takkan pergi."
"Dari mana kau tahu?"
"Ya, sebab sedikitnya dia harus mendengarkan isi hatimu
apakah benar2 merasa menyesal."
Peng-say tidak bersuara lagi, ia bersimpuh dilantai, lalu
mulai meniup lagu "Siau-go-yan-he" yang sedih memilukan
itu, suara seruling yang rawan berkumandang kesetiap
pelosok rumah pelacuran "Kun-hong-ih" itu.
Lagu "Siau-go-yan-he" itu terbagi dalam empat bagian,
arti lagu menceritakan kehidupan yang sengsara,
sebatangkara, kelaparan dan kedinginan.
Belum lagu itu sampai pada bagian yang kedua, setiap
penghuni rumah WTS itu sama mencucurkan air mata.
Liu Ju-si jadi berduka juga akan nasibnya sendiri, iapun
mendekap mukanya dan menangis tersedu-sedan, diam2
iapun mengakui lagu sedih ini sukar dibandingi oleh lagu
yang sering dibawakan dengan serulingnya, boleh dikatakan
bedanya seperti langit dan bumi.
Selama setahun ini Peng-say menjual seni disepanjang
perjalanannya, paling2 dia hanya meniup lagunya sampai
bagian kedua dan tidak pernah disambung lagi. Tapi
sekarang sekaligus ia teruskan bagian ketiga dan keempat,
tampaknya ia ingin merampungkan seluruh lagu Siau-goyan-
he itu.
Padahal ia menyadari bilamana seluruh lagu Siau-goyann-
he itu dihabiskan. maka akibatnya akan sangat
merugikan kesehatannya sendiri, tapi demi mengharukan
hati Soat Koh agar mau keluar menemuinya, segala akibat
pun tak dipikir lagi.
Lagu "Siau-go-yan-he" hanya satu kali pernah dibawakan
seluruhnya oleh Peng-say ketika berlatih semadi menurut
gambar yang tercantum dalam buku not seruling itu.Waktu
itu dia belum tahu kelihayan lagu itu sehingga dia hampir
tumpah darah, maka untuk selanjutnya ia menjadi kapok
dan tidak berani meniupnya lagi. Sedangkan dalam
usahanya "menjual seni mencari isteri" ini paling2 dia
hanya meniup bagian pertama saja untuk menarik perhatian
penonton dan tidak lebih dari itu.
Lagu bagian pertama itu nadanya juga menyedihkan,
tapi tidak memedihkan, biarpun diulang sepuluh atau
seratus kali juga tidak beralangan. Tapi bagian lanjutan lagu
itu justeru sangat memilukan dan memedihkan, bilamana
nadanya sudah memuncak, maka rasanya seperti di-sayat2
dan akibatnya pasti tumpah darah.
Kini bagian ketiga dan keempat lagu itu ber-turut2
disuarakan oleh Peng-say, tentu saja banyak di antara
pendengarnya tidak tahan, ada beberapa tamu yang lagi
pelesir dirumah pelacuran itu tidak dapat menguasai diri
lagi dan menangis ter-gerung2. Sekalipun ada yang tidak
menangis keras, paling tidak rasa pedihnya juga sukar
ditahan. Begitu memilukan lagu itu sehingga pendengarnya
rasanya sudah putus asa dan ingin menumbukkan
kepalanya agar mati dan tamatlah segalanya daripada hidup
nelangsa di dunia ini.
Ditengah rasa dukanya, diam2 Liu Ju-si merasa heran:
"Meski bagian belakang lagu ini sangat mengharukan
orang, tapi tidak selembut dan merdu seperti bagian depan,
ditengah lagu ini seperti ada sesuatu kekurangan yang tidak
lengkap."
Rupanya Liu Ju-si paham seni suara. pandangannya
lebih tinggi daripada orang biasa, ia pikir suara seruling ini
terlalu bersahaja dan terpencil, rasanya harus dipadu
dengan suara alat musik yang lain. Lebih jauh didengarnya
suara seruling itu se-olah2 orang yang lagi berkeluh-kesah
dan menyatakan rasa rindu antara suami-istri yang sudah
lama berpisah.
Diam2 Liu Ju-si sangat terharu, pikirnya: "Sungguh luar
biasa kepandaian meniup seruling orang ini, Soat Koh pasti
akan terharu olehnya."
Di kamar sebelah itu memang sedang berduduk seorang
Suseng cakap, dia adalah samaran Soat Koh.
Sejak dia dilukai Peng-say di semenanjung Cian-ciu dan
berlari pergi dengan luka lahir-batin, selama itu iapun tidak
pernah melupakan "si Tolol", meski dia menyadari pemuda
yang berhati keji itu tidak menaksir dirinya, bahkan adalah
murid musuh sang guru, tapi bila terbayang kepada wajah
dan suara si Tolol, betapapun kenangan itu tak dapat
dihapus dari lubuk hatinya.
Akan tetapi dirinya adalah seorang perempuan. kalau
pemuda itu datang mencarinya masih dapat didamaikan
kembali serta melupakan sakit hati tusukan pedang itu,
sebaliknya dirinya tidaklah mungkin pergi mencari anak
muda itu tanpa kenal malu.
Waktu dia tinggal pergi dengan membawa keretanya
yang berwarna kuning emas itu, dia tidak terus pergi jauh
melainkan bersembunyi didalam kota Ciau-ciu, ia masih
menaruh harapan kalau2 "si Tolol" akan mencarinya.
Siapa tahu beberapa hari sudah lalu dan "si Tolol" tetap
tidak nampak mencarinya, ia pikir mungkin anak muda itu
sudah pergi bersama "Adik Leng" yang dicintainya itu dan
dirinya sudah dilupakan.
Ia menjadi menyesal dirinya telah bantu "si tolol"
membunuh Ciamtay Boh-ko, setelah mereka
berkumpul, dirinya lantas kehilangan "sahabat", bahkan
ditusuk pula oleh pemuda yang berhati keji itu.
Makin dipikir makin gemas dia, pernah dia mengambil
keputusan akan balas menusuk pemuda keji itu, bilamana
lukanya sudah sembuh segera dia akan pergi mencarinya
untuk menuntut balas.
Tapi sesudah lukanya sembuh lantas terpikir olehnya:
"Kalau sudah menuntut balas, lalu mau apa? Apakah
setelah balas menusuknya sekali lalu hatiku akan merasa
senang?"
Apalagi lantas teringat olehnya anak muda itupun
pernah menolongnya. Bahwa dirinya sampai dilukai anak
muda itu adalah karena rasa cemburunya yang kalap,
sehingga anak muda itu terpaksa bertindak demikian.
Pelahan2 rasionya memberitahukan bahwa sesungguhnya
dia tidak beralasan untuk menuntut balas kepada "si Tolol".
Begitulah, setelah berlapang dada, ia tidak jadi menutut
balas kepada "si Tolol", ia terus meninggalkan Ciau-siu-wan
dan melanjutkan pekerjaannya sebagai "bandit sosial".
Belum lama berselang ia datang ke Seng-toh sini, di
ibukota propinsi Sujwan dia mulai mencari
sasaran yang sekiranya dapat dikuras kekayaannya untuk
kemudian diberikan kepada rakyat miskin.
Tak terduga, di rumah minum itulah kebetulan dia dapat
mendengarkan percakapan Ong gendut berempat tentang
pemain seruling yang "menjual seni untuk mencari isteri"
itu.
Karena ingin tahu. pula iapun hendak melihat
bagaimana orang yang suara serulingnya bisa melebihi
seruling Liu Ju-si sebagaimana dikatakan Ong gendut itu.
sebab ia sendiripun pernah mendengar permainan seruling
Liu Ju-si, ia tidak percaya ada orang lebih mahir
daripadanya. Maka diam2 iapun membuntuti rombongan
Ong gendut menuju ke-alun2.
Sama sekali tak disangkanya bahwa orang yang "menjual
seni mencari istri" itu, "istri" yang hendak dicarinya ialah
dirinya. Jelas orang yang sedang meniup seruling adalah si
"hati keji" yang tidak pernah dilupakannya itu.
"Sebab apa mendadak dia ingin mencari diri ku?
Lantaran tidak dapat melupakan hubungan baik dahulu
atau ada kehendak lain?" demikian Soat Koh merasa sangsi.
Betapapun ia tidak berani mengharapkan dirinya masih
dikenang oleh "si Tolol", sebab anak muda itu kan sudah
mempunyai "adik Leng". mana bisa berpikir lagi pada
dirinya?
Namun bergetar juga ketika membaca tulisan "menjual
seni mencari istri" itu. Ia tidak menyalahkan "si Tolol"
karena telah menganggapnya sebagai isteri, sebab tadinya ia
memang juga berhasrat hidup berdampingan selamanya
dengan "si Tolol", asalkan anak muda itu dengan hati tulus
menghendaki demikian, dengan senang hati pula dia mau
menjadi istrinya. Andaikan ada maksud lain juga tidak
menjadi soal, cukup asalkan "si Tolol" mau memikirkan
dirinya.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 28
Yang dikuatirkannya adalah di dalam hati "si Tolol" itu
hakikatnya tidak pernah ada dirinya. bahwa dirinya dicari
hanya karena mengharapkan sasuatu dari dia. Jika
demikian adanya, maka dirinya lebih suka menanggung
rindu selama hidup daripada menemui anak muda itu.
Demi mencari tahu maksud tujuan sesungguhnya "si
Tolol", maka sebelum permainan seruling Peng-say selesai,
buru2 ia lantas berkunjung ke tempat Liu Ju-si.
Selama setahun ini, agar gerak-geriknya bisa lebih leluasa,
selama itu Soat Koh selalu menyamar sebagai lelaki.
Terkadang iapun meniru lelaki yang masih single, iapun
masuk ke rumah pelesiran segala. Sudah tentu dia tidak
benar2 ingin "main perempuan", dia datang ketempat
begituan hanya sekalian mencari sasaran empuk yang
sekiranya dapat digerayangi harta bendanya.
Liu Ju-si tidak tahu Soat Koh adalah perempuan
menyamar sebagai lelaki, melihat kecakapannya, sikapnya
yang biasa dingin terhadap tamunya telah berubah menjadi
hangat. tampaknya dia berharap akan ikut Soat Koh
kembali ke jalan yang baik.
Tentu saja diam2 Soat Koh merasa geli terhadap
perempuan suci di tengah pecomberan ini. ia heran masih
banyak sasaran lain yang dapat dipilih, mengapa justeru
dirinya yang ditaksir?
Tapi iapun tidak membongkar rahasianya sendiri, iapun
sering datang ke tempat Liu Ju-si untuk mendengarkan
suara serulingnya. Setelah berkenalan agak lama, lambatlaun
ia menganggap Liu Ju-si sebagai sahabat karib,
sebaliknya Liu Ju-si jadi terlanjur jatuh hati pada Soat koh,
setiap hari ia berharap akan kunjungan Soat Koh. Malahan
kalau Soat koh hadir, berkeras ia tidak mau terima "uang
karcis".
Hari ini, sudah siang Liu Ju-si masih juga belum bangun.
Soat Koh menerobos ke dalam kamarnya dan berduduk
ditepi ranjang serta membangunkannya.
Pekerjaan rutin Liu Ju-si adalah malam terima tamu dan
siang tidur. Kedatangan Soat Koh itu disangkanya pelayan
yang memanggilnya bangun, maka dengan ke-malas2an ia
bangun berduduk. Tapi ketika dilihatnya yang duduk ditepi
ranjangnya ialah Soat Koh, ia terkejut dan cepat menyusup
pula kedalam selimutnya. Maklumlah. dia tidur dalam
keadaan bugil.
Soat Koh lantas merangkulnya, melihat kemulusan
tubuh Liu Ju-si, biarpun sesama perempuan tergiur juga
hatinya. Ia mendapat akal dan dibisikinya Liu Ju-si.
Semula Liu Ju-si terkejut dan bergirang ketika tubuhnya
dirangkul Soat Koh, disangkanya orang hendak melakukan
perbuatan yang tidak senonoh, tapi setelah mendengar
bisikan Soat Koh, ia jadi melonggong dan hilanglah rasa
girangnya.
Ia masih tidak percaya bahwa Soat Koh juga seorang
perempuan, tapi setelah diraba dan ternyata kosong dan
lapang barulah ia percaya.
Liu Ju-si kurang senang karena merasa dikibuli, Soat
Koh meminta maaf dan membujuknya, akhirnya ia setuju
membantu Soat Koh dan akan mencoba kesungguhan "si
Tolol" dengan daya seks Liu Ju-si.
Selesai berunding, lalu Siau Sam disuruh mengundang
"si Tolol".
Soat Koh tahu nama asli "si Tolol" adalah Soat Peng-say,
lalu iapun ceritakan perkenalan dan pengalamannya serta
perpisahannya dengan Peng-say, sebab itulah Liu Ju-si juga
mengetahui Peng- say pernah menusuk Soat Koh satu kali,
cuma ia tidak tahu sebenarnya Peng-say she Sau, hal inipun
tidak diketahui Soat Koh.
Setelah segala sesuatu diatur rapi, Soat Koh sembunyi
dikamar sebelah, dilihatnya Peng-say terjebak sesuai
rencana. Tak terduga perempuan secantik Liu Ju-si juga tak
berhasil memikat anak muda itu, maka hati Soat Koh
sangat terhibur. Ditunggunya dalam tanya-jawab dengan
Liu Ju-si itu Peng-say akan menyatakan rasa rindunya
terhadap Soat Koh, dengan begitu Soat Koh akan ke luar
untuk menemuinya.
Siapa tahu Peng-say menjawab dengan sejujurnya tanpa
bohong sedikitpun, maklum, dia memang tidak pernah
berdusta, sama sekali ia tidak menyatakan rasa rindunya
terhadap Soat Koh, dengan terus terang ia mengatakan
tujuannya mencari Soat Koh adalah untuk minta agar Soat
Koh suka membawanya menemui Soat Ciau-hoa, guru Soat
Koh dan bibi Peng-say.
Padahal, biarpun dusta belaka, cukup satu patah-kata
saja akan menyenangkan Soat Koh, akan tetapi suatu kata
bohong yang indah saja tak di dengarnya.
Tentu saja Soat Koh sangat kecewa, apabila bukan
ucapan Peng-say yang terakhir: "Suara seruling ini akan
menyatakan rasa penyesalanku, janganlah kau pergi,
dengarkan dulu laguku ini!" — Hampir saja ia tinggal pergi
saking gemasnva dan tak mau bertemu lagi dengan Pengsay.
Tepat juga ucapan Liu Ju-si, Soat Koh tidak pergi ia
ingin mendengarkan suara hati anak muda itu, bilamana
betul2 menyesal barulah ia akan keluar menemuinya.
Peng-say ingin mengharukan hati Soat Koh dengan suara
seruling, tindakan ini juga tepat, cuma tidak diduganya lagu
"Siau-go yan-he" itu akan mendatangkan hasil yang tak
terduga.
Ia bermaksud merusak dirinya sendiri, dengan demikian
sakit hati Soat Koh akan hilang, jadi tujuannya ingin
membuktikan penyesalannya karena dahulu salah melukai
Soat Koh.
Namun bagi Soat Koh hal ini telah diterima dengan
salah pengertian lain. Suara seruling yang sedih itu
disangksnya sebagai pernyataan isi hati Peng-say yang rindu
padanya, ia menjadi sangat terharu dan mencucurkan air
mata, kalau saja tidak tenggelam oleh irama seruling yang
memilukan itu tentu dia sudah berlari keluar untuk
bertemu.
Perlu diketahui bahwa lagu "Hina Kelana" "memang
harus dibawakan dengan paduan suara seruling dan kecapi,
maka lagu tersebut mengembangkan kesetiaan persahabatan
yang kekal atau melukiskan cinta sejati antara laki2 dan
perempuan yang abadi, hal tersebut tergantung pada
perbedaan jenis kelamin kedua pemain alat musik itu, bila
dibawakan oleh dua lelaki atau dua perempuan bersama,
makna lagunya melukiskan persahabatan yang tak
terpisahkan. sebaliknya jika dimainkan bersama oleh
sepasang lelaki-perempuan, maka nadanya mengalunkan
perasaan cinta sehidup semati antara kedua sejoli itu.
Tapi kalau lagu ini hanya dibawakan oleh seruling atau
kecapi secara solo, maka bagaimanapun tak dapat
mengumandangkan saripati lagu yang harus dibawakan
secara duet antara seruling dan kecapi, bilamana
dipaksakan bermain solo, maka pemainnya akan merasa
timpang dan akibatnya bisa mengalami luka dalam atau
kelumpuhan seperti orang yang salah berlatih Lwekang.
Jadi lagu itu dibawakan duet seruling dan kecapi akan
memikat pendengarnya dan membuainya hingga lupa
daratan dan pasrah segalanya.
Sebaliknya kalau dimainkan sendirian, selain dirinya
sendiri akan cedera, pendengarnya juga akan sangat terharu
oleh lagu sedih itu.
Bilamana antara pendengar itu ada sengketa atau
dendam apapun dengan si pembawa lagu tersebut, maka
segala persoalannya dari sakit hati akan berubah menjadi
rasa kasihan dan simpatik, akhirnya pergi dengan menangis
dan segala dendam pun hapus.
Maksud Peng-say dengan lagunya ini adalah untuk
membikin cedera dirinya sendiri sebagai tanda
menyesalnya, ia tidak menduga lagu "Siau-go-yan-he" ini
akan sebesar ini daya pengaruhnya, ia terus menyelesaikan
lagunya dengan harapan Soat Koh akan keluar
menemuinya setelah hilang rasa dendamnya.
Di pihak lain Soat koh jadi semakin terhanyut oleh lagu
sedih itu dan makin berderai air matanya.
Ia pikir anak muda itu ternyata sedemikian mendalam
cintanya kepadanya, bila tahu begini sejak dulu2, biarpun
lengannya ditabas buntung juga takkan ditinggal pergi.
Padahal tidak demikian halnya. sejak mula Peng-say
tidak pernah timbul rasa cinta segala kepadanya, lebih2
tidak ada maksud seperti apa yang terkandung didalam lagu
serulingnya. Sudah tentu bukan maksud Peng-say hendak
menipu Soat Koh, maka sehabis lagu itu iapun tumpah
darah.
Soat Koh sendiri tidak tahu keadaan Peng-say, ia masih
ter-mangu2 di kamar sebelah.
Adalah Liu Ju-si yang berduduk berhadapan dengan
Peng-say lantas menjerit kaget dan bertanya: "He, ken ....
kenapa kau? . . . ."
Sedapatnya Peng-say menahan darah yang hampir
tumpah pula, serunya dengan suara terputus-putus: "Soat
.... Soat Koh, dapatkah kau maafkan dan keluarlah
menemui aku?"
Tak tahan lagi Soat Koh, ia berlari keluar. katanya
sambil menangis: "Untuk ....untuk apa kau menyiksa diri
begini?"
Ia menyangka anak muda itu senantiasa memikirkan dia
sehingga sakit keras dan sekarang penyakitnya kambuh
sehabis meniup serulingnya.
"Dapatkah kau berjalan?" tanyanya sambil mendekap
Peng-say.
Karena Lwekangnya sangat kuat, tumpah darah itu tidak
beralangan bagi Peng-say, ia tidak menjawab, sebaliknya
bertanya: "Dapatkah kau memaafkan diriku?"
"Kalau tidak, masakah aku mau keluar?" jawab Soat Koh
dengan berlinang air mata.
Diam2 Peng-say terhibur, ia mengira rasa dendam Soat
Koh sudah hilang, nyata tidak sia2 lagu serulingnya tadi.
Dengan tertawa ia lantas menjawab pertanyaan Soat
Koh tadi: "Setelah bertemu dengan kau, hatiku tidak ada
beban pikiran lagi, jangankan cuma berjalan, berlaripun aku
sanggup."
Muka Soat Koh menjadi merah, omelnya: "Di depan
orang luar, jangan sembarang omong!"
"Wah, aku si mak comblang juga dianggap orang luar?"
sela Liu Ju-si, ia menghela napas, lalu menyambung pula:
"Pada waktu perlu, sebentar2 panggil Taci, sesudah tidak
dibutuhkan jadilah orang luar. Ai, memang aku yang
bodoh, untuk apa orang luar mengganggu disini, biarlah
aku pergi saja!"
Soat Koh menjadi malu, cepat ia memanggil: "Jangan
pergi, Cici!"
"Aku tidak boleh pergi, ada keperluan apa lagi?" tanya
Liu Ju-si.
"Aku ... aku ingin mengucapkan terima kasih kepada
Cici," ucap Soat Koh dengan tergagap.
"Kukira tidak perlulah," kata Liu Ju-si sambil melirik
Peng-say.
"Bila dia dapat berjalan. biarlah sekarang juga kami
mohon diri," kata Soat Koh.
"Mohon diri?" Liu Ju-si menegas dengan rawan. "Lalu
kalian akan pergi kemana?
"Akan kubawa dia menemui guruku," tutur Soat Koh.
Peng-say menjadi girang, ia memberi hormat kepada Liu
Ju-si, katanya; "Aku harus lekas2 menemui bibi, tentang
budi kebaikan Cici biarlah kubalas di kemudian hari."
Cepat Liu Ju-si membalas hormat dan berkata: "Semoga
kepergian Kongcu ini dapat menunaikan cita2 membalas
dendam!"
Soat Koh menguatirkan kesehatan Peng-say, ia bertanya:
"Apakah benar kau dapat berjalan?"
"Tidakkah kau dengar sendiri dia hilang laripun sanggup,
kenapa tidak dapat berjalan? ujar Liu Ju-si sambil tertawa.
"Kalau kalian tidak percaya, sekarang juga boleh kalian
lihat lariku," kata Peng-say sambil membusungkan dada.
Karena membusungkan dada, hampir saja ia ter-batuk2,
maka ia tidak berani lari sungguh2 sehabis bicara.
Melihat napas Peng-say agak sesak. Soat Koh mengomel:
"Huh, jangan sok perkasa!"
Karena ingin lekas2 menemui sang bibi, dengan tertawa
Peng-say berkata: "Jangan kuatir, tak beralangan jika
sekarang juga kita berangkat!"
Melihat air muka anak muda itu cukup segar Soat Koh
lantas berkata: "Baiklah Cici, kami mohon diri."
Liu Ju-si mengantar mereka keluar "Kun-hong-ih",
katanya: "Aku tidak mengantar lebih jauh lagi, selamat
jalan! Tidak lama lagi akupun akan meninggalkan tempat
ini."
"Cici hendak pindah kemana?" tanya Soat Koh.
"Menjadi orang yang bebas!" jawab Liu Ju-si.
"Apakah Cici mempunyai biaya cukup untuk
membebaskan diri dari cengkeraman muncikari." tanya
Soat Koh.
"Selama beberapa tahun, uang tabunganku sudah cukup
banyak dan lebih daripada cukup untuk membebaskan diri
dari tempat kotor ini, sisanya cukup bagiku untuk keperluan
hidup selama beberapa tahun."
"Dan bagaimana beberapa tahun kemudian?" tanya Soat
Koh.
"Apabila ada yang sudi, aku akan kembali kejalan yang
baik," jawab Liu Ju-si.
"Semoga Cici mendapatkan suami yang baik, tahun
depan kami harapkan arak pernikahanmu," kata Soat Koh.
Dengan wajah sayu Liu Ju-si hanya tersenyum hambar.
Peng-say lantas memberi hormat dan mengucapkan selamat
tinggal.
"Kau tidak tanya dimana aku akan berteduh setelah
meningalkan tempat ini?" kata Liu Ju-si.
"Memangnya engkau akan meninggalkan Seng-toh dan
pindah kekota lain?" tanya Peng-say.
"Tidak, aku tetap tinggal di kota ini," jawab Liu Ju-si.
"Aku sebatangkara dan seorang perempuan lemah, kukira
kota ini tetap lebih aman bagiku."
"Ya. betul juga," ucap Peng-say sambll mengangguk.
"Aku akan mondok di Po-keng-am (nama biara) diluar
kota ini," kata Lui Ju-si pula.
"Kau akan Jut-keh (keluar rumah, artinya meninggalkan
masyarakat ramai dan menjadi Nikoh)," tanya Peng-say.
"Tidak, aku belum lagi bosan pada kehidupan dunia fana
ini, aku cuma tirakat saja di biara itu untuk beberapa tahun,
bila ketemu jodoh, tentu akan kuundang kalian," tutur Liu
Ju-si dengan tertawa.
"Marilah kita berangkat!" kata Soat Koh tiba2.
Liu Ju-si menyaksikan kepergian Peng-say berdua
dengan ter-mangu2, setelah bayangan mereka lenyap
dikejauhan baru ia masuk dengan perasaan berat.
0oodwoo0
Peng-say dan Soat Koh meneruskan perjalanan ke arah
barat laut. Sepanjang jalan keduanya tidak banyak
bercakap.
Sesudah sekian jauhnya, tiba2 Peng-say berkata:
"Kupikir tidaklah aman bagi nona Liu untuk menetap di
Sengtoh."
"Tidak aman bagaimana?" tanya Soat Koh.
”Dia adalah perempuan penghibur terkenal di kota ini
dan hampir setiap pemuda kenal dia, coba pemuda keluarga
siapa yang mau ambil isteri bekas pelacur? Biarpun nona itu
hanya menjual seni dan tidak menjual tubuh, tapi namanya
tetap pelacur. Bila dia ingin mencari jodoh yang baik di sini,
kukira tidaklah mudah. Naga2nya, akhirnya cuma menjadi
gundik orang."
"Jadi menurut pendapatmu, lebih baik dia pindah ke kota
lain, begitu?" tanya Soat Koh.
"Di kota lain, karena tidak dikenal, tentu akan lebih
mudah mendapat jodoh baginya," kata Peng- say. "Kalau
tetap di Seng-toh, andaikan nanti ada yang mau padanya,
bisa jadi dia akan tertipu malah, entah mengapa dia merasa
berat meninggalkan Sengtoh?"
"Semula akupun heran, tapi setelah dia memberitahukan
kita akan tirakat di Po-keng-am, maka tahulah aku
maksudnya."
"Memangnya apa maksudnya?" tanya Peng-say.
"Tunggu kau, apalagi?" kata Soat Koh sambil melototi
anak muda itu sekejap.
"Tunggu aku?" Peng-say menegas dengan heran. "Untuk
apa menunggu diriku?"
Soat Koh mengira anak muda itu berlagak pilon, dengan
mendongkol ia berkata pula: "Janji sendiri masa kau
lupakan sama sekali?"
"Ah, betul, pernah kujanjikan akan mengajarkan lagu
Siau-go-yan-he kepadanya!" seru Peng-say.
"Hm, jadi baru sekarang kau ingat?" jengek Soat Koh.
"Coba kalau dia benar2 pindah ke tempat yang jauh dan
tidak menentu, kelak bila sakit hatimu sudah terbalas dan
kau pun ingin menepati janji, lalu ke mana akan kaucari
dia? Sekarang dia menyatakan akan tetap tinggal di Sengtoh
dan akan tirakat di biara yang disebutkan itu, hal ini
kan sama saja seperti memperingatkan kau agar jangan lupa
pada janjimu sendiri agar kelak kau cari dia di alamat yang
disebutkan itu."
"Yang kupikir hanya menuntut balas saja sehingga lupa
akan janjiku kepadanya," kata Peng-say dengan menyesal.
"Dan kalau sakit hatimu sudah terbalas, apakah kau
betul2 akan pergi ke Po-keng-am untuk mengajar main
seruling padanya?"
"Seorang lelaki sejati harus menepati janji, jangankan dia
sudah memberi alamat tempat tinggalnya, andaikan tidak
diketahui alamatnya juga akan kucari dia hingga ketemu,"
kata Peng-say tegas.
"Salahku sendiri memperalat dia untuk mencoba dirimu,
tak tersangka kesempatan baik ini digunakannya untuk
minta ajaran main seruling padamu," omel Soat Koh
kepada dirinya sendiri.
"Mencoba diriku? Mencoba hal apa?" tanya Peng-say
dengan heran.
"Masa kau masih berlagak bodoh?" omel Soat Koh pula.
"Hm, jika kau ternyata lelaki yang tidak keruan, jangan
harap kau akan dapat bertemu denganku."
Peng-say menjulurkan lidah, katanya: "Wah, berbahaya!
Jika imanku kurang teguh, bisa jadi. . . ." mendadak ia tidak
meneruskan ucapannya.
Waktu Soat Koh meliriknya, dalam sekejap itu
dilihatnya wajah Peng-say telah berubah pucat kuning, ia
terkejut dan bertanya: '"He, kenapa kau?"
"Karena . . . .karena berjalan, lukaku menjadi . . .
.menjadi tambah parah ,...."
Cepat Soat Koh memayangnya. Mereka berhenti pada
kota terdekat dan mencari hotel. Setelah istirahat tiga hari,
Peng-say merasa lukanya sudah agak sembuh, disuruhnya
Soat Koh membeli dua ekor kuda untuk melanjutkan
perjalanan.
Tapi Soat Koh kuatir luka anak muda itu kambuh lagi, ia
tidak beli kuda melainkan menyewa sebuah kereta kuda.
Terpaksa Peng-say menurut dan ikut dia menumpang
kereta. Didengarnya nona itu memberi pesan kepada kusir
agar kereta langsung menuju ke Kengciu di propinsi
Kamsiok.
"Apakah bibi tinggal di wilayah Kamsiok?" tanya Pengsay.
"Sejak kutahu urusan, Suhu sudah menetap di lereng Kilian-
san dekat Kengciu." jawab Soat Koh.
"Sungguh sangat kebetulan." kata Peng-say, "guruku juga
tinggal di lereng Ki-lian-san, cuma sayang bukan di daerah
Kengciu melainkan di sekitar Kamciu, meski sama2 lereng
Ki-lian-san, tapi jaraknya beribu li jauhnya, jadi tidaklah
mudah jika ingin kutemui guruku."
Pegunungan Ki-lian memang terbagi menjadi lereng
pegunungan Ki-lian utara dan selatan, lereng utara
membujur jauh ke wilayah barat dan be-ribu2 li
panjangnya. Hanya lereng selatan saja terletak di wilayah
Kamsiok, namun luasnya juga sukar dijajaki, biarpun
berputar selama hidup juga belum tentu dapat bertemu
dengan seorang kenalan. Apa-lagi Tio Tay-peng dan Soat
Ciau-hoa masing2 bertempat tinggal terpisah dan tekun
berlatih Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja sukar untuk bertemu
secara kebetulan.
Begitulah sepanjang jalan Peng-say dan Soat Koh selalu
bermalam di suatu kamar, Soat Koh menganggap Peng-say
sebagai suami sendiri, dilayaninya dengan segenap tenaga
dan pikiran. Diladeni si cantik, sudah tentu Peng-say terima
dengan senang hati, namun Soat Koh hanya
menganggapnya sebagai orang sakit, maka lama2 timbul
rasa Peng-say se-olah2 hidupnya terikat dan kurang bebas.
Setengah bulan lagi, tibalah di Kengciu, sewa kereta
dibayar, dengan berjalan kaki mereka menuju ke suatu
dusun terpencil di kaki gunung Ki-lian.
"Disitulah Suhu bertempat tinggal," kata Soat Koh
sambil menuding dusun terpencil itu dari kejauhan.
Sementara itu hari sudah mulai gelap, daerah utara
adalah tempat dingin, kehidupan penduduk setempat sudah
terbiasa hemat dan sederhana, di dusun kecil itu hanya berkelip2
dua-tiga cahaya lampu, dipandang dari jauh mirip
api pospor di pekuburan.
Soat Koh membawa Peng-say langsung menuju ke
sebelah utara dusun kecil itu, agaknya mereka sudah dekat
dengan tempat kediaman Soat Ciau-hoa, mendadak Soat
Koh berteriak dengan gembira: "Suhu Suhu. . . ."
Tiba2 Peng-say merasa angin tajam menyambar tiba,
cepat ia berseru: "Awas!"
Berbareng sebelah tangannya lantas menghantam ke
belakang. Terdengar suara jeritan ngeri, kontan seorang
penyergap terpukul roboh.
Dalam pada itu Soat Koh juga sudah melolos
pedangnya, "sret-sret", seorang penyergap lain juga
dirobohkan olehnya.
Namun penyergap tidak cuma terbatas dua orang saja,
waktu Peng-say menyapu pandang sekelilingnya, ternyata
masih ada tujuh atau delapan orang berbaju kuning
mengitari mereka.
Mungkin orang2 itu tidak menyangka Kungfu Peng-say
dan Soat Koh akan begini lihay, maka mereka tidak
menyerang serentak, setelah kedua temannya roboh barulah
mereka terkejut, segera mereka melolos senjata dan
mengerubung maju.
Berkat tenaga dalamnya yang kuat, Peng-say melayani
musuh dengan bertangan kosong. Meski ilmu pukulannya
kurang lihay, tapi angin pukulannya sangat dahsyat, lawan
tidak berani mendekat.
Soat Koh memutar kedua pedangnya, deigan suara
nyaring ia membentak: "Kawan lelaki liar
darimanakah kalian ini?!"
Beberapa orang berbaju kuning ini ternyata lebih tangguh
daripada dua orang yang dirobohkan itu, empat orang di
antara mereka mengerubuti Soat Koh secara teratur. Satu di
antaranya berteriak: "Jiwa gurumu sebentar lagi akan
melayang. lekas kalian menyerah saja!"
"Hm, kaum keroco macam kalian saja berani main gila
di sini?" jengek Soat Koh. "Sret-sret", secepat kilat ia
menusuk ke kanan dan ke kiri, dua musuh dirobohkan lagi.
Dia menguatirkan keselamatan sang guru, cepat ia berseru:
"Kakak Peng, lekas kau bantu Suhuku, beberapa orang ini
serahkan saja padaku." ia tahu kepandaian sendiri jauh di
bawah Peng-say, sedangkan musuh menyatakan jiwa
gurunya akan segera melayang, jelas ada musuh tangguh
sedang dihadapi sang guru, maka ia minta Peng-say yang
memberi bantuan kepada gurunya daripada dirinya sendiri.
"Baiklah, kau sendiri harus hati2" seru Peng-say.
"Tidak menjadi soal, lekas pergi!" desak Soat Koh.
Segera Peng-say mendorong kedua tangannya kedepan,
selagi lawan berkelit, peluang itu segera digunakan untuk
menyelinap keluar dari kepungan musuh.
Empat orang berseragam kuning itu tahu di depan sana
ada kawan lain yang akan mengadang Peng-say, maka
mereka tidak mengejar, tapi terus memburu kesana untuk
membantu dua kawannya mengerubuti Soat Koh.
Dengan satu lawan enam ternyata Soat Koh masih diatas
angin. Waktu Peng-say menoleh dan melihat keadaan Soat
Koh yang cukup mantap itu segera ia berlari ke depan sana,
tidak jauh dilihatnya sebuah rumah batu, di dalam rumah
ramai suara bentakan orang.
Baru saja ia mendekati rumah batu itu, tujuh atau
delapan orang berseragam kuning segera memapaknya dan
tidak membiarkan Peng-say masuk ke rumah untuk
membantu Soat Ciau-hoa.
Tanpa pikir Peng-say mengerahkan tenaga dan
menghantam. Karena tenaga pukulannya sangat kuat,
kawanan orang berseragam kuning itu tidak mampu
menahannya, mereka sama melompat mundur dan
terluanglah jalan lalu bagi Peng-say.
Waktu Peng-say maju lagi, tiba2 terdengar suara "krekkrek"
beberapa kali, ia tahu itulah suara alat jepret, cepat ia
lolos pedang yang baru dibuatnya, ia sampuk ke kanan dan
pukul ke kiri, beberapa panah kecil warna hitam kena
disampuk jatuh.
Menyusul terdengarlah jeritan ngeri di belakangnya, dua
orang berseragam kuning yang baru saja dilalui Peng-say itu
roboh binasa oleh panah hitam kecil itu.
Cepat Peng-say berteriak: "Jangan memanah, Soatcianpwe,
Wanpwe datang membantu dan bukan musuh!"
Tapi baru saja ia melangkah maju lagi, kembali beberapa
anak panah hitam itu menyambar tiba. Untung gerak
pedang Peng-say cepat luar biasa, semua anak panah itu
dapat disampuk jatuh.
Mungkin Soat Ciau-hoa tidak percaya Peng-say adalah
bala bantuannya, maka bila anak muda itu melangkah maju
segera ia menyerangnya dengan panah. Kalau Peng-say
berhenti di tempatnya, panahpun tidak dibidikkan.
Di dalam rumah suara beradunya senjata berdering
ramai. dipandang dari luar jendela, samar2 kelihatan empat
bayangan orang sedang bertempur dengan sengit. Kuatir
diserang lagi dengan panah berbisa, Peng-say juga tidak
berani mendekat lagi.
Diam2 Peng-say menjadi gelisah karena sang bibi tidak
dapat membedakan antara kawan dan lawan, tahunya
cuma membidikkan panah untuk menyerang musuh.
Seketika ia menjadi bingung cara bagaimana untuk
menerangkan asal-usulnya sendiri agar sang bibi mau
menerima bantuannya dan membiarkannya masuk, ia tidak
tahu bahwa lantaran buntung tangan kiri Soat Ciau-hoa,
maka pada waktu bertempur rada repot karena tidak dapat
menggunakan dua pedang. Meski ilmu permainan kedua
pedang yang diciptakannya jauh di bawah Siang-liu-kiamhoat
yang asli, tapi juga jauh lebih berguna dari pada
setengah bagian Siang-liu-kiam, yaitu Pedang Kanan yang
diperolehnya itu.
Ilmu pedang ciptaannya itu tak dapat dilatihnya sendiri,
hanya diajarkannya kepada Soat Koh, ia menjadi sangat
kesal dan gemas, ia pikir kalau dirinya tidak buntung tentu
ilmu pedang ciptaannya itu akan menjagoi dunia persilatan.
Sekarang ia sendiri malah tidak dapat memainkan ilmu
pedang ciptaannya sendiri, untuk menambal kekuatan
tangan ini ia merasa perlu menciptakan semacam senjata
rahasia sebagai alat pembantu bila menghadapi musuh.
Sebab itulah dengan tekun ia memeras otak dan
mempelajari gambar, akhirnya berhasil dibuatnya sebuah
tangan palsu, dengan tangan kiri palsu yang dipasangnya
dengan pegas, maka di dalam tangan itu disembunyikan
anak panah. Asalkan tangan palsu terangkat ke arah musuh,
segera pegas bekerja dan membidikkan panah.
Cara menggunakan senjata ini juga diajarkannya kepada
Soat Koh, meski Soat Koh dapat menggunakan senjata
rahasia itu dengan leluasa, tapi caranya tidak disimpan di
dalam tangan palsu melainkan harus pencet alat jepretnya
dengan jari, karena itulah baik kecepatan maupun daya
tembak anak panahnya menjadi kurang lihay.
Walaupun begitu Soat Koh dapat memasang berpuluh
anak panah kecil di dalam bumbung dan bila ketemu
musuh banyak, sekaligus anak panahnya dapat
dihamburkan secara ber-turut2. Seperti kejadian dahulu,
kawanan bandit terkenal Macan-elang-serigala juga
terjungkal oleh panah Soat Koh itu.
Kalau panah muridnya saja selihay itu, apalagi panah
Soat Ciau-hoa, biarpun jago yang lebih lihay daripada
kawanan bandit Macan-elang-serigala itupun sukar
menghindari panah berbisanya.
Berkat panah maut itulah Soat Ciau-hoa sekarang
bertahan di dalam rumah, sejauh itu hanya tiga musuh saja
yang mampu menerjang masuk, sisanya cuma ber-teriak2
saja diluar rumah dan tiada satupun berani mendekati jarak
tembak panah berbisa itu.
Dengan sendirinya Peng-say jadi was-was, ia kuatir bila
meleng sedikit saja mungkin ia sendiri pun akan dimakan
oleh panah berbisa itu, cukup asalkan keserempet saja
sudah bisa runyam.
Ia tidak tahu cara bagaimana Soat Ciau-hoa yang cuma
bertangan satu itu menghadapi kerubutan musuh dan masih
sempat membidikkan panah. Umpama diketahui cara
membidik panah itu berkat bantuan alat jepret yang
terpasang di tangan palsu, mau-tak-mau iapun harus kagum
terhadap Soat Ciau-hoa yang mampu membagi
perhatiannya, disamping melayani kerubutan musuh dapat
pula membidikan panah untuk merintangi serbuan musuh
dari luar.
Diam2 iapun yakin ketiga musuh yang berhasil
menerjang ke dalam rumah itu pasti bukan lawan lemah,
sedangkan sang bibi sebegitu jauh juga belum dapat
mengalahkannya, mungkin kekuatan kedua pihak hanya
seimbang, makanya sang bibi berusaha merintangi
masuknya musuh lebih banyak, bisa jadi kalau ketambahan
satu musuh lagi sang bibi akan kewalahan, sebab itulah
iapun tidak mau mengambil risiko membiarkan dirinya
masuk, kecuali kalau diketahui jelas2 dirinya benar2 bukan
musuh melainkan hendak membantunya.
Kuatir sang bibi akhirnya bisa kecundang, cepat Peng-say
memperkenalkan diri: "Soat-cianpwe, Wanpwe ini murid
Tio Tay-peng, kuharap Wanpwe diperbolehkan masuk ke
situ untuk membantu Cianpwe."
Ia mengira dengan keterangannya ini tentu Soat Ciauhoa
takkan merintangi dia lagi dengan panah. Tak tahunya,
mendingan kalau dia tidak mengaku sebagai murid Tio
Tay-peng. demi mendengar keterangan itu, Soat Ciau-hoa
menjadi lebih curiga, begitu melihat dia melangkah maju,
serentak belasan panah hitam dibidikkan lagi.
Dengan rada kelabakan barulah Peng-say berhasil
menyampuk dan menghindari hujan panah itu, dengan
berkeringat dingin ia berteriak: "Jangan lepas panah lagi!
Wanpwe benar2 murid Tio Tay-peng dan bukan barang
palsu, Wanpwe ingin membantu dan janganlah lepaskan
panahmu. biarkan kumasuk ke situ!"
Terdengar suara seorang perempuan berteriak di dalam
rumah: "Hm, murid Tio Tay-peng masakah sekonyol itu?
Kalau mampu hayolah terjang masuk kemari. hanya berteriak2
saja apa gunanya? Tidakkah kau lihat tiga orang
sudah menerjang masuk ke sini?"
Di balik ucapannya itu se-akan2 hendak bilang kepada
Peng-say bila mau membantu harus mampu menerjang ke
dalam, kalau tidak. apa gunanya?
Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya: "Kiranya kau
hendak menguji kepandaianku. Tapi memang betul, musuh
mampu menerjang ke dalam, kalau aku tidak mampu, cara
bagaimana aku dapat membantunya?"
Karena pikiran itu, segera ia berseru: "Baik, Wanpwe
akan coba menerobos di bawah hujan panah Cianpwe!"
"Coba saja!" seru suara perempuan itu.
Segera Peng-say mengerahkan tenaga, pedangnya
berputar dengan kencang, dengan pelahan ia masuk ke
dalam rumah.
Begitu kencang pedangnya berputar sehingga disiram air
saja tak bisa tembus, namun kecepatan panah ternyata
melebihi siraman air, angin yang diterbitkan putaran
pedang dapat mendesak mundur siraman air, jadi bukan
batang pedang langsung menahan airnya, tapi untuk
mendesak mundur sambaran panah jelas tidak mudah.
Kalau angin pedang tidak cukup kuat, betapapun rapatnya
sinar pedang juga akan ditembus oleh anak panah.
Untunglah tenaga dalam Sau Peng-say sekarang boleh
dikatakan maha sakti, didunia ini mungkin jarang ada yang
dapat menirukan dia melangkah masuk ke rumah itu
dengan pelahan di bawah hujan panah maut Soat Ciau-hoa.
Panah hitam kecil itu satupun tidak dapat menembus
lingkaran sinar pedang Peng-say, waktu anak muda itu
berada di dalam rumah, panah yang terpasang di dalam
tangan palsu Soat Ciau-hoa juga habis dihamburkan.
Tiga jagoan yang mengerubut Soat Ciau-hoa itu sangat
terperanjat melihat Peng-say dapat melangkah masuk ke
situ di bawah hujan panah berbisa itu. Padahal mereka
harus menerjang masuk dengan gerak cepat, jika harus
masuk dengan langkah lambat seperti Peng-say, jelas
mereka tidak mampu. Nyata kepandaian anak muda ini
jauh di atas mereka bertiga, bilamana dia benar2 bergabung
dan membantu Soat Ciau-hoa, maka maksud mereka
hendak menawan perempuan itu pasti gagal, bahkan jiwa
merekapun menjadi persoalan.
Mereka tidak menunggu sampai Peng-say ikut dalam
pertempuran, tapi segera pergencar serangan sekuatnya,
maksud mereka hendak melukai dulu Soat Ciau-hoa, habis
itu baru mengerubut Peng-say pula.
Soat Ciau-hoa sendiri mengira maksud jahat kedatangan
Peng-say, maka perhatiannya terbagi untuk mengawasi
gerak-gerik anak muda itu.
Sejak tadi dia mampu bertahan dengan satu lawan tiga,
tapi sekarang setelah perhatiannya terpencar, keadaannya
menjadi berbahaya, apalagi pihak lawan telah
mempergencar serangannya.
Mendingan setelah melihat Peng-say tidak ikut
menyerangnya, hatinya menjadi lega. Ia tidak tahu bahwa
kedatangan Peng-say memang benar2 hendak
membantunya, soalnya anak muda tidak tahu cara
bagaimana harus bantu Soat Ciau-hoa, maka sejauh itu dia
belum lagi ikut bertempur.
Lambat laun Soat Ciau-hoa merasa tak tahan lagi akan
tekanan musuh, tanpa menghiraukan lagi Peng-say kawan
atau lawan, segera ia berteriak: "Setan cilik, katanya datang
membantuku, kenapa tidak cepat turun tangan?"
Rupanya serangan para pengerubut itu sangat gencar
sehingga membingungkan Peng-say yang belum banyak
berpengalaman, ia tidak tahu dari mana harus menyerang
agar sekali hantam dapat mematahkan kepungan musuh.
Soat Ciau-hoa tambah gemas melihat anak muda itu
masih diam saja, teriaknya dengan gusar: "Sesungguhnya
kau datang untuk membantu atau bukan? Kalau mau
membantu hendaklah lekas keluarkan pedangmu dan
serang musuh agar tekanan mereka padaku bisa agak
longgar."
”Musuh terlalu kuat, kalau cuma seorang saja yang
kutahan tidak banyak manfaatnya bagi Cianpwe." kata
Peng-say.
Diam2 Soat Ciau-hoa mendongkol, gerutunya didalam
hati: "Kurang ajar? Belum lagi membantu sudah menilai
rendah perbawa sendiri dan menilai tinggi kekuatan
musuh!"
Tapi lantas terpikir pula olehnya bahwa ucapan Peng-say
itu memang juga beralasan, musuh sedang menyerang
dengan mati2an, bila cuma satu saja yang dihalau tetap
tidak banyak manfaatnya.
Menurut jalan pikiran Peng-say, bila cuma seorang
musuh saja yang dihadapi, musuh yang masih berada diluar
rumah itu tentu akan ikut menyerbu kedalam, akibatnya
tetap tidak menguntungkan.
Jalan yang paling baik adalah berusaha kerja sama
dengan sang bibi dengan memainkan Siang-liu-kiam-hoat,
sekaligus ketiga musuh dibinasakan, dengan demikian
musuh yang lain tentu akan ketakutan, cara ini dirasakan
paling baik. Padahal kalau dia hanya menghadapi satu dua
musuh saja, kesempatan untuk main Siang-liu-kiam-hoat
dengan sang bibi menjadi terhalang. Karena pikiran inilah
maka ia menjadi ragu2 untuk ikut bertempur.
Akan tetapi sebagai orang muda, Peng-say kuatir akan
menimbulkan rasa canggung bagi sang bibi jika dia
terang2an minta Soat Ciau-hoa mengeluarkan Siang-liukiam-
hoat untuk menundukkan musuh. Ia pikir kalau
bibinya sendiri yang teringat kepada cara mengalahkan
musuh dengan Siang-liu-kiam-hoat sesudah berhasil tentu
orang tua itu akan merasa senang dan bangga.
Maka setelah berpikir, dengan sopan ia lantas berkata:
"Wanpwe hanya belajar satu jurus Siang-liu-kiam-hoat
dengan Suhuku, Kungfu lain boleh dikatakan tidak
berguna, maka perlu mohon petunjuk Cianpwe cara
bagaimana harus kuserang musuh?"
Baru sekarang Soat Ciau-hoa ingat anak muda ini
mengaku sebagai murid Tio Tay-peng, dengan sendirinya
yang dikuasai adalah Pedang Kiri Siang-liu-kiam-hoat,
kalau saja Pedang Kiri dan Pedang Kanan Siang-liu-kiamhoat
bergabung, maka tiada sesuatu yang tak dapat
dipatahkan oleh ilmu pedang maha sakti ini.
Kesempatan baik ini mana boleh di-sia2kan sekarang?
Soat Ciau-hoa bukan perempuan bodoh, begitu
mendengar ucapan Peng-say itu segera ia tahu maksud anak
muda itu hendak mengajaknya memainkan Siang-liu-kiam
bersama untuk mengalahkan musuh. Diam2 ia mengakui
bocah ini cukup cerdik, rupanya sejak tadi dia sudah
merancangkan caranya mengalahkan musuh, makanya
tidak mau sembarangan ikut terjun ke arena pertempuran.
Karena keadaan sudah mendesak, Soat Ciau-hoa tidak
sempat banyak berpikir lagi, pada suatu kesempatan yang
baik, mendadak ia berteriak: "Kiong-siang-kut-thau!"
Itulah nama jurus pertama dari Siang-liu-kiam- hoat.
Peng-say memang sudah siap, begitu mendengar istilah
itu serentak ia melompat maju dan berdiri sejajar dengan
Soat Ciau-hoa, berbareng pedang mereka terus bergerak
dari kanan dan kiri dengan jurus pertama tersebut.
Begitu sinar pedang berkelebat, kontan terdengar jeritan
ngeri, dua orang musuh seketika binasa dibawah jurus
serangan "Kiong-siang-kut-thau".
Waktu Soat Ciau-hoa menyebut pula jurus kedua "Putcun-
kay-ti", tanpa ampun musuh yang masih tersisa itupun
menjerit dan tertabas tubuhnya sebatas pinggang.
Segera Peng-say menarik kembali pedangnya, selagi ia
hendak menyembah kepada Soat Ciau-hoa, se-konyong2
sinar pedang berkelebat, sang bibi malah menusuk hulu
hatinya, keruan Peng-say terkejut dan menjerit: "Bi. . . ."
belum lanjut ucapannya, terpaksa dia harus melompat
mundur.
Serangan pertama tidak kena sasarannya, segera tusukan
kedua dilontarkan Soat Ciau-hoa.
Lantaran tenaga dalam Peng-say telah bertambah
beberapa kali lipat, dengan sendirinya Ginkangnya juga
maju pesat, meski kurang berpengalaman di medan tempur,
tapi gerak perubahannya sangat cepat. dengan mudah saja
ia dapat mengelakkan seringan Soat Ciau-hoa sembari
berseru: "Mengapa bibi menyerang diriku?!"
"Siapa bibimu?" bentak Soat Ciau-hoa dengan bengis,
"Bocah yang suka membual dan berdusta, rasakan tiga kali
seranganku!"
Menyusul ia menyerang lagi tiga kali dengan cepat.
dengan susah payah dapat juga Peng-say menghindarnya,
namun wajahnya menjadi pucat, ia tidak berani lagi
menyebut Soat Ciau-hoa sebagai bibi. katanya: "Sebab apa
Cianpwe menyerang padaku?"
Setelah beberapa kali serangannya tak dapat mendesak
Peng-say, timbul juga rasa sayangnya pada kepandaian
anak muda itu, diam2 Soat Ciau-hoa berpikir apapun juga
maksud kedatangan anak muda itu, yang jelas tadi orang
sudah membantunya. Maka ia tidak menyerang lagi,
bentaknya: "Dimana Suhumu? Apakah dia sembunyi
diluar?"
"Guruku berada jauh ribuan li sana, tidak nanti datang
kesini," jawab Peng-say.
Sudah tentu Soat Ciau-hoa tidak percaya, jengeknya:
"Hm, masa gurumu mau membiarkan kau datang sendirian
kesini? Lekas mengaku, di mana gurumu bersembunyi?
Memangnya kau sangka aku tidak tahu rencana keji kalian
guru dan murid yang mengincar Siang-liu-kiam-bohku?"
Cepat Peng-say menyangkal: "Tidak, tidak mungkin
terjadi begitu! Guruku jauh berada di lereng gunung dekat
Kamciu, bila Wanpwe berdusta biarlah aku disamber
geledek."
Air muka Soat Ciau-hoa menjadi agak tenang, tapi ia
lantas mendengus: "Hm, kalau begitu, untuk apa kau
datang kemari? Memangnya kau tahu aku ada kesulitan dan
sengaja kemari untuk membantuku?"
"Wanpwe tidak tahu Cianpwe sedang dikerubut musuh.
kedatanganku ini ...."
"Ingin minta kuajarkan Pedang Kanan Siang-liu-kiam
padamu, begitu bukan?" tukas Soat Ciau-hoa dengan
menyeringai.
Peng-say mengangguk dengan jujur, katanya: "Betul, tapi
Wanpwe ingin memberitahukan sesuatu lebih dulu, mohon
Cianpwe memberi kesempatan padaku untuk menutur. . . ."
”Kurang ajar si Tio Tay-peng itu, dia berani
meremehkan diriku?!" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.
"Tidak, tidak, Guruku juga senantiasa merindukan
Cianpwe siang dan malam. ..."
Mana Soat Ciau-hoa mau percaya bahwa Tio Tay-peng
masih rindu padanya, segera ia mendamperat: "Kentut!
Omong kosong!"
Cepat Peng-say menjelaskan: "Meski apa yang
kukatakan itu memang perkiraanku sendiri, tapi Wanpwe
berani menjamin bahwa guruku sama sekali tiada maksud
menghina atau meremehkan Cianpwe."
"Hm. tidak perlu kau membela manusia tak berbudi ini!"
damperat Ciau-hoa. "Bilamana dia hargai diriku, manabisa
dia cuma menyuruh kau datang ke sini sendirian, jelas
karena dia yakin muridnya saja cukup kuat untuk
mengalahkan aku. makanya hanya kau saja yang disuruh
kemari untuk merampas kitab ilmu pedangku. Nah, lekas
katakan terus terang, bukanlah dia menyuruh kau merebut
kitab pusakaku ini?"
"Mana kuberani rebut barang milik Cianpwe," jawab
Peng-say.
"Tidak berani rebut, menipu kan juga bisa? Hm. pantas
kau pura2 memanggil bibi padaku. Ini rasakan pedangku!"
Cepat Peng-say berteriak: "Cianpwe memang benar2
adalah bibiku, jika kubohong. . . ." namun tusukan pedang
Soat Ciau-hoa tahu2 sudah menyamber tiba, terpaksa Pengsay
mengegos kesamping sambil berteriak: "Nanti dulu,
Cianpwe, dengarkan penjelasanku!"
Tapi serangan Soat Ciau-hoa masih terus berlangsung, ia
telah memainkan Siang-liu-kiam-hoat bagian Kanan.
Karena mengira kedatangan Peng-say hendak menipu kitab
pusakanya, serangan Soat Ciau-hoa sekarang menjadi tidak
kenal ampun lagi.
Dalam keadaan kepepet. terpaksa Peng-say mainkan juga
Pedang Kiri untuk menangkis. Karena Pedang Kanan dan
Pedang Kiri kedua orang berasal dari Siang-liu-kiam-hoat
yang sama, dengan sendirinya keadaannya menjadi
setanding. Tapi Soat Ciau-hoa lebih matang latihannya,
pula Peng-say tidak berani benar2 bertempur melawan sang
bibi, ia tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya,
dengan sendirinya Peng-say rada terdesak di bawah angin.
Dalam keadaan demikian bilamana Soat Ciau-hoa mau
membunuh Peng-say tentu akan terbuka banyak
kesempatan. Peng-say tahu bahaya, cepat ia ber-teriak2
pula: "Dengarkan penjelasanku, Cianpwe! Dengarkan
dulu!"
Terkesiap juga Soat Ciau-hoa melihat anak muda itu
masih mampu bersuara meski dalam keadaan terdesak. ia
pikir kalau beberapa jurus lagi tak dapat mengalahkan anak
muda itu, tentu dirinya pun akan ditertawakan Tio Taypeng,
maka ia tidak menghiraukan seruan Peng-say,
sebaliknya pergencar serangannya sambil berkata: "Jika kau
mampu boleh bunuhlah aku, kalau tidak jangan harap
ocehanmu akan dapat mengelabuhi diriku!"
Nyata dia menganggap Peng-say sengaja hendak
menipunya seperti halnya Tio Tay-peng dahulu. Mulut
manis tapi hati berbisa. Karena itu serangannya tambah
kalap, kalau bisa sekali tusuk ia hendak merobohkan Pengsay.
Serangan gencar dan dahsyat ini membuatnya menjadi
kelabakan, terpaksa ia bertahan sekuatnya dan tidak dapat
bersuara pula.
Dalam pada itu kawanan orang berseragam kuning di
luar itu sudah tahu ketiga kawannya yang berada didalam
rumah telah terbunuh, be-ramai2 mereka lantas berpencar
dan hendak kabur. Namun Soat Koh tidak memberi
kelonggaran kepada mereka sehingga ada sebagian terpaksa
harus melawan serangan Soat Koh itu.
Ketika mendengar seruan Peng-say, Soat Koh menjadi
kuatir sang guru akan salah paham dan bertempur sendiri
dengan anak muda itu, tiada hasratnya lagi untuk
merintangi larinya musuh. Karena sedikit kendur itulah,
kawanan berseragam kuning lantas melompat mundur dan
kabur, hanya orang terakhir saja karena sedikit terlambat
masih sempat dibinasakan oleh Soat Koh.
Hanya sekejap saja orang2 berseragam kuning itu sudah
kabur hingga bersih. Segera Soat Koh berlari ke dalam
rumah. Dilihatnya sang guru sedang bertempur sengit
melawan Peng-say, ia mengira anak muda itu tidak tahu
lawannya adalah gurunya, maka cepat' ia berseru: "Hei,
kakak Peng, mengapa kau bergebrak dengan Suhuku?"
Habis itu iapun memanggil Soat Ciau-hoa: "Suhu!"
"Ehm, kau sudah pulang, muridku?" jawab Soat Chuhoa.
"Ya, Suhu, murid sudah pulang," seru Soat Koh.
"Apakah kakak Peng kurang hormat padamu, Suhu?
Handaklah kau ampuni dia, suruh dia minta maaf
padamu."
"Apakah kau tahu dia murid siapa?" tanya Soat Ciauhoa.
"Kutahu dia murid Tio Tay-peng,"
"Masakah kau lupa pesan yang pernah kukatakan
padamu. Tio Tay-peng itu manusia berhati binatang. anak
didiknya mana bisa orang baik. Setelah kau tahu dia murid
orang she Tio itu. mengapa kau malah membelanya?"
"Tapi dia. . . .dia adalah keponakanmu, Suhu!"
Se-konyong2 Peng-say menjerit terluka oleh pedang Soat
Ciau-hoa, cepat Soat Koh berteriak: "Ampuni dia, Suhu!"
"Tidak ada ampun baginya!" jawab Ciau-hoa
Bahu kanan Peng-say tertusuk pedang, meski tidak
mengalangi permainan pedang kiri, tapi lukanya ini sedikit
banyak mempengaruhi pikirannya, keadaannya menjadi
semakin terdesak.
Soat Koh sangat cemas, teriaknya sambil menangis:
"Jangan, Suhu, jangan kau bunuh dia, tidak boleh kau
bunuh dia!"
"Mengapa tidak boleh kubunuh dia?" tanya Ciau-hoa.
"Mana boleh Suhu membunuh Keponakannya sendiri?
Suhu, hendaklah kau ampuni dia . . ."
"Kau tertipu, muridku, dia bukan keponakanku."
"Kakak Peng," seru Soat Koh. "lekas kau jelaskan asalusulmu."
"Aku . . .aku. . . ." hanya kata ini saja sempat diucapkan
Peng-say karena gencarnya serangan Soat Ciau-hoa.
"Lekas kau memberi penjelasan, kakak Peng!" desak Soat
Koh pula.
"Hm, hakikatnya dia bukan keponakanku segala, apanya
yang perlu dijelaskan?" jengek Soat Ciau-hoa.
Melihat Peng-say tetap diam saja dan tidak memberi
penjelasan, Soat Koh mengira anak muda itu benar2 telah
berdusta padanya. Tapi iapun tidak peduli, ia pikir asalkan
anak muda itu mencintainya dengan setulus hati, peduli
dusta atau tidak? Yang penting sekarang harus mohon
kemurahan hati sang guru agar jangan membunuhnya.
Karena itu dengan sangat ia memohon pula, "Suhu,
harap engkau kasihan padanya dan ampunilah jiwanya ..."
"Dia telah menipu kau, sebaliknya kau malah mintakan
ampun baginya?" teriak Soat Ciau-hoa dengan gusar.
Soat Koh berlutut dan menyembah. mohonnya pula:
"Suhu, harap ingat padaku dan jangan membunuh dia ... ."
"Sedemikian keras kau mohonkan ampun baginya.
apakah kau jatuh cinta padanya?" bentak Soat Ciau-hoa.
dengan gusar.
Tapi Soat Koh hanya menyembah lagi dan tidak berani
mengaku terus terang.
Dengan bengis Ciau-hoa membentak pula: "Katakan
terus terang, kau cinta padanya bukan?"
Meski mulutnya bertanya, dalam hati iapun tahu
pertanyaannya itu berlebihan. Sebab kalau muridnya tidak
jatuh cinta pada bocah ini, mana mungkin mintakan ampun
baginya tanpa alasan, apalagi dia mengaku sebagai murid
Tio Tay-peng.
Karena sudah terlalu apal Soat Ciau-hoa berlatih Siangliu-
kiam-hoat, walaupun sambil bicara, serangannya tidak
menjadi kendur. Dia menghela napas dan berkata, "O,
muridku, bukankah sudah kuperingatkan beratus kali agar
jangan se-kali2 kau jatuh hati kepada anak atau murid Tio
Tay-peng"?"
"Aku. . .aku tidak jatuh hati padanya," jawab Soat Koh.
"Murid hanya mohon agar Suhu suka mengampuni
jiwanya, untuk itu pada titisan yang akan datang murid
pasti akan membalas kebaikan Suhu ini."
"Sudah terlambat meski sekarang kau menyangkal." kata
Ciau-hoa, "cret", sekali tangan palsu terangkat, satu batang
panah hitam terus menyambar ke depan.
Namun Soat Koh sudah siap ketika berlutut di lantai,
cepat iapun membidikan sebuah panah. "Cring", dua anak
panah saling bentur di udara dan jatuh ke tanah.
Diam2 Peng-say bersyukur lolos dari ancaman maut itu,
kalau Soat Koh tidak menolong, saat ini jiwanya mungkin
sudah melayang di bawah. panah berbisa itu.
Soat Ciau-hoa menjadi gusar, damperatnya: "Sudah
kukatakan sejak dulu, bila kau mencintai anak Tio Taypeng,
maka pasti akan kubunuh bocah itu, kalau kau
merintangi kehendakku, kau sendiri juga akan kubunuh!"
"Cret-cret", kembali dua anak panah meluncur keluar
dari tangan palsunya. Tapi segera terdengar pula "cringcring"
dua kali, kembali anak panah itu dijatuhkan pula
oleh panah Soat Koh.
"Kurang ajar!" bentak Soat Ciau-hoa.
"Suhu, silakan kau bunuh. ... . .bunuh saja diriku!" seru
Soat Koh dengan suara ter-putus2.
"Setelah kubinasakan bocah ini segera kubunuh murid
khianat seperi kau ini! "damperat Ciau-hoa, segera ia
hendak angkat tangan palsu lagi.
Soat Koh tahu bila sang guru membidikan anak
panahnya tiga sekaligus, maka dirinya pasti tidak mampu
menahannya, tampaknya jiwa kekasihnya pasti akan
melayang, lalu apa artinya hidup ini bagi dirinya? Lebih
baik berangkat saja lebih dulu dan menunggu di akhirat.
Segera ia berteriak: "Kakak Peng, biarlah kita bertemu
nanti di alam baka. . . ." berbareng itu ia lantas melolos
pedangnya.
Soat Ciau-hoa menjadi gugup, tak disangkanya cinta
muridnya sudah sedemikian mendalam terhadap bocah ini,
selagi ia hendak membentak agar Soat Koh jangan
bertindak nekat, se-konyong2 batang pedangnya bergetar
dan "trang", tahu2 pedangnya patah menjadi dua,
Kiranya sedikit merandek itulah telah memberi peluang
bagi Sau Peng-say untuk mengerahkan tenaga dalamnya,
pedangnya terus menyampuk, maksudnva hendak
mendesak mundur Soat Ciau-hoa agar dirinya sempat
menyelamatkan Soat Koh dari tindakan bunuh diri. Tak
terduga tenaga dalamnya terlalu kuat sehingga pedang Soat
Ciau-hoa tergetar patah. Keruan Ciau-hoa terkejut dan
berdiri melenggong.
Kesempatan itu segera digunakan Peng-say untuk
melompat ke samping Soat Koh dan merampas pedangnya,
katanya sambil menggeleng: "Jangan kau bunuh diri!"
Tapi Soat Koh tidak menjadi girang melihat Peng-say
sudah lolos dari bahaya, dengan suara
gemetar ia mengomelnya: "Ken. . . .kenapa kau
mematahkan pedang kesayangan guruku. . . ."
"Demi menyelamatkan kau, terpaksa aku bertindak
begitu," kata Peng-say, "salah dia sendiri,
tenaganya tidak. . ." mendadak ia merasa ucapannya itu
dapat menyinggung perasaan sang bibi, maka cepat ditelan
kembali.
Walaupun tidak lanjut ucapannya, namun Soat Ciau-hoa
dapat menangkap apa yang hendak dikatakan anak muda
itu, dengan gusar ia berteriak: "Muridku, gurumu merasa
terhina, bilamana kau sendiri tidak membunuhnya untuk
membalaskan dendamku, mulai saat ini kita putus
hubungan sebagai guru dan murid!"
Soat Koh menjadi cemas, teriaknya; "Jangan marah
dulu, Suhu. . . ."
"Bunuh dulu dia baru panggil Suhu padaku, kalau tidak
boleh enyah bersama bocah ini!" bentak Ciau-hoa dengan
bengis.
Sambil menggeleng Soat Koh menghela napas, segera
dilolosnya, dipandangnya Peng-say.
"Apakah aku akan kau bunuh?" tanya anak muda itu.
Soat Koh menggigit bibir dengan air mata berderai.
Peng-say membuang pedangnya di tanah sambil
menghela napas panjang, katanya: "Baik, silakan bunuh
diriku, tak dapat kurusak hubungan baik guru dan murid."
Dengan suara gemetar Soat Koh berkata: "Terima kasih
atas kebaikan kakak Peng, hendaklah maklum, aku tidak
dapat mengingkari perguruan sendiri pada waktu ajalku,
tapi aku pasti akan. . . .akan menyusul kau. . . ."
Peng-say jadi teringat kepada budi pertolongan nona itu,
apabila Soat Koh tidak mengadu panah dengan gurunya,
sejak tadi mayat sendiri pasti sudah terkapar disitu. Kalau
memamng harus mati, jika sekarang mati di bawah pedang
Soat Koh kan tidak perlu lagi menyesal. Apalagi dapat
mengeratkan kembali hubungan guru dan murid itu,
kematiannya sungguh sangat berharga.
Dari nada ucapan Soat Koh ia dapat menangkap
maksudnya, tentunya nona itu akan membunuh diri setelah
dirinya dibunuhnya nanti. Mau-tak-mau timbul juga rasa
haru Peng-say akan cinta Soat Koh padanya, namun dia
hanya berkata dengan hambar: "Kukira tidak perlu nona
berbuat begitu silakan nona bunuh saja diriku, biar mati aku
tidak menyesal, hanya ada satu permintaanku hendaklah
nona suka memenuhi."
Dengan menangis Soat Koh menjawab: "Aku
tidak....tidak dapat berjanji apa? padamu ...."!
Peng-say tahu sebabnya nona itu tidak dapat menerima
permintaannya adalah karena dia sudah bertekad akan
bunuh diri untuk menyusulnya ke alam baka, jelas tidak ada
waktu untuk berbuat apapun baginya. Namun ia tidak ingin
si nona mati bersamanya, dengan sungguh2 ia lantas
berkata: "Jika kau tidak menerima permintaanku, matipun
aku tidak tenteram."
Mengira anak muda itu ada urusan penting yang periu
diselesaikan, terpaksa Soat Koh berkata: "Baiklah, entah
urusan apa yang harus kulaksanakan bagimu."
Peng-say menghela napas panjang, katanya: "Beberapa
hari yang lalu, sering aku bermimpi bertemu dengan
mendiang ibuku, kulihat ibu berkata kepadaku dengan
wajah sedih bahwa sudah lama aku tidak menjenguk beliau,
tempat tinggal ibu sudah rusak bila hujan kebocoran,
lembab dan becek."
"Hm. omong kosong!" jengek Soat Ciau-hoa tiba2.
Peng-say tidak menghiraukannya, ia melanjutkan dengan
sedih: "Sejak kubelajar pedang selama selama lima tahun
dengan guruku, selama ini belum pernah berziarah ke
makam ibuku. Kupikir barangkali makam ibu telah rusak
atau tidak terawat, makanya memberi mimpi padaku?"
Mau-tak-mau hati Soat Ciau-hoa tergetar juga, ia pikir
anak ini ternyata punya rasa berbakti, bukan mustahil apa
yang diuraikannya itu memang ada benarnya. Kali ini
menyangkut arwah orang mati, ia tidak berani lagi
sembarangan mengejeknya.
Terdengar Soat Koh lagi berkata: "Jadi maksudmu
menghendaki kuperbaiki makam ibumu?"
"Ya. memang urusan inilah yang merisaukan pikiranku.
entah nona sudi melakukannya atau tidak" kata Peng-say.
Soat Ko pikir pekerjaan ini tidaklah sukar, sesudah
diperbaiki makam ibunya baru kubunuh diri untuk
menyusulnya. Maka ia lantas bertanya: "Entah dimana
letak makam ibumu?"
"Asalkan kau tanya kepada keluarga Cin yang menjabat
gubernur militer Pakkhia, tentu akan diberitahu," jawab
Peng-say.
"Apakah itu rumah adik misanmu Cin Yak-leng?" tanya
Soat Koh dengan hampa.
Peng-say mengangguk.
Mendadak Soat Ciau-hoa bertanya: "Apakah ibumu mati
di rumah Cin Ci-wan?"
Peng-say tidak menggubrisnya, ia tetap bicara terhadap
Soat Koh: "Setiba di rumah keluarga Cin, tidak perlu kau
bilang kenal padaku, cukup bertanya dimana letak makam
ibuku saja. Boleh kau mengaku sanak keluarga Soat dari
Say-pak dan ingin berziarah kemakam Soat Kun-hoa, tentu
mereka akan mengantar kau ke makam ibuku. Nah, tiada
urusan lain lagi, silakan kau turun tangan saja."
"Jadi ibumu benar2 bernama Soat Kun-hoa?" tanya
Ciau-hoa pula.
Soat Koh merasa ada harapan baik, cepat ia pun
bertanya: "Pernah hubungan apa Soat Kun-hoa itu dengan
Suhu?"
"Dia itulah adik kandungku," jawab Ciau-hoa.
"Wah, jika begitu, bukankah Suhu memang betul bibi
kakak Peng?" seru Soat Koh girang. "Suhu, dia ternyata
tidak berdusta padamu, juga tidak. . .tidak menipuku."
Tapi Soat Ciau-hoa menjengek pula: "Memang sudah
kuduga bilamana bocah ini diberi kesempatan bicara tentu
akupun akan terbujuk, rasanya sekarang aku menjadi
beberapa bagian percaya padanya. Akan tetapi, hm, aku
tidak mudah tertipu. Kalau tujuannya memang hendak
menipu, dengan sendirinya lebih dulu ia telah mencari tahu
nama dan seluk beluk adik kandungku itu."
Dengan mendongkol Peng-say berseru: "Didunia ini
mana ada orang sengaja mengaku orang sebagai ibunya?
Pula guruku kan juga tidak tahu kau mempunyai adik
perempuan bernama Kun-hoa?"
"Ya, asal-usulnya memang tidak pernah kuceritakan
kepada lelaki tidak setia itu," kata Soat Ciau-hoa seperti
bergumam.
"Itu dia, bahwa guruku tidak tahu, tapi aku malah tahu
kau berasal dari keluarga Soat di Say-pak, kau pun
mempunyai seorang kakak, yaitu pamanku yang bernama
Soat Ko-hong, betul tidak?" tanya Peng-say.
"Hm. rasanya sekarang tipuanmu sudah membuat aku
percaya delapan bagian," jengek Ciau-hoa.
"Memangnya bagian mana lagi yang masih kau
sangsikan?" tanya Peng-say.
"Ada kemungkinan adik perempuanku kemudian juga
berkenalan dengan Tio Tay-peng dan dengan sendirinya ia
dapat memperoleh macam2 keterangan dari adikku itu,
dengan demikian kau lantas disuruh kemari untuk menipu
diriku agar kuajarkan Siang-liu-kiam padamu karena
mengingat kau adalah anak adiknya sendiri."
"Cianpwe juga tahu nama Cin Ci-wan, apakah kau pun
tahu dia juga putera bibimu yang bernama Soat Hun-lan?"
"Betul, aku memang mempunyai bibi yang menikah
dengan orang Pakkhia, puteranya menyabat pangkat
gubernur militer, kejadian ini pernah tersiar sampai ke Saypak
dan diketahui oleh setiap anggota keluarga Soat di
sana,"
”Dan puteri Cin Ci-wan yang bernama Yak-leng adalah
Piaumoayku, hal ini sudah diketahui muridmu. Sekarang
ingin kutanya, mengapa nona itu bisa menjadi
Piaumoayku? Kau bilang aku dusta dengan mengaku Soat
Kun-hoa sebagai ibuku, lalu keluarga pembesar yang
dihormati itu apakah boleh sembarangan kuakui sebagai
familinya? Kalau Soat Kun-hoa bukan ibuku, darimana
kutahu siapa Soat Hun-lan? Bisa jadi kau akan bilang
mendiang ibuku yang memberitahukan kepada guruku, tapi
bila kau mau pergi ke Pakkhia dan menyelidiki, tentu kau
akan tahu apakah benar keluarga Cin mempunyai sanak
famili diriku ini?"
"Hm. seumpama kau betul anak adikku. lalu mau apa?"
jengek Ciau-hoa pula. "Jika kau ingin membantu Tio Taypeng
untuk menipu kitab pusakaku. jangan kau harap."
"Suhu." sela Soat Koh, "ayah kakak Peng dibunuh orang,
ia ingin belajar Siang-liu-kiam secara lengkap untuk
menuntut balas sakit hati dan bukan ingin membantu orang
she Tio itu untuk menipu kitab pusaka kita."
"Jangan kau bela dia," teriak Ciau-hoa dengan gusar.
"Lekas kau bunuh dia jika kau masih anggap aku ini
gurumu!"
Soat Koh menjadi cemas, air matanya bercucuran,
katanya: "Suhu, ken. . . .kenapa harus membunuhnya,
Bukankah dia ke. . . .keponakanmu sendiri. . . ."
"Jangankan cuma anak adik perempuanku, sekalipun
anak kakakku, keturunan langsung keluarga Soat, juga
harus kubunuh tanpa ampun!" seru Ciau-hoa. "Kau masih
muda dan tidak kenal kebusukan hati manusia, justeru
dengan menonjolkan hubungan famili inilah dia sengaja
hendak menipu Siang-liu-kiam-boh, tentu ayahnya
terbunuh dan dia ingin menuntut balas segala hanya sebagai
alasan belaka, semua ini adalah ajaran orang she Tio itu.
Umpama betul ayahnya terbunuh juga aku tidak perlu
pusing."
"Jika begitu, cukup kalau kita tidak mengajarkan Pedang
Kanan padanya, mengapa mesti membunuh dia?" ujar Soat
Koh.
"Tidak, harus bunuh," kata Ciau-hoa tegas. !
"Suhu," Soat Koh memohon pula dengan pedih, "murid
sudah tahu bersalah, biarlah selanjutnya kujauhi dia saja,
boleh?"
Soat Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika
demikian, kematiannya boleh diampuni, tapi hukuman
hidup tidak boleh bebas."
"Memangnya akan kau apakan diriku?" teriak Peng-say
dengan gusar.
"Tabas sendiri tangan kananmu!" bentak Ciau-hoa.
"Apakah menyesal lantaran pedangmu tergetar patah
olehku?" jengek Peng-say.
"Bila menyesal tentu tangan-kirimu yang harus
dipenggal, tangan kananmu kan tidak bersalah padaku,"
kata Ciau-hoa.
"Memangnya kenapa tangan kananku yang kau incar?"
tanya Peng-say.
"Tio Tay-peng menyuruh kau kesini untuk menipu
Pedang Kanan Siang-liu-kiam-boh, dia sendiri sudah
buntung tangan kanannya dan tidak berguna lagi. dengan
sendirinya dia berharap kau akan dapat meyakinkan
Pedang Kanan ini agar kelak menjadi jagopedang nomor
satu di dunia, sedikitnya dia akan ikut merasa bahagia
sebagai guru si jago nomor satu di dunia. Tapi harapannya
itu justeru akan kurintangi, ingin kulihat setelah tangan
kananmu buntung, lalu cara bagaimana kau akan menjadi
jago pedang nomor satu?"
“Ber-ulang2 kau tuduh guruku menyuruhku menipu
kitab pusakamu, jika aku dapat membuktikan guruku tiada
maksud demikian, lalu bagaimana?" tanya Peng-say.
"Bila dia tidak menyuruh kau menipu, aku akan pergi ke
Kamciu dan menyembah padanya!" jawab Ciau-hoa tegas.
"Dan tangan-kananku apakah tetap harus kutabas?"
tanya Peng-say dengan tertawa.
"Dengan sendirinya batal, tidak perlu lagi!" kata Ciauhoa.
Dengan tenang Peng-say lantas menutur: "Kalau tidak
salah, guruku seperti tidak tahu sama sekali bahwa di dunia
ini adalah dua jilid Siang-liu-kiam-boh yang terbagi menjadi
Kiri dan Kanan."
Soat Ciau-hoa termenung sejenak, katanya kemudian:
"Ya, dia memang tidak tahu, hanya aku saja yang tahu
Siang-liu-kiam-boh terdiri dua jilid."
"Nah, kalau orang lain tidak tahu, darimana aku
mendapat tahu bibi?" tanya Peng-say,
Sekarang Soat Ciau-hoa tidak menolak lagi dipanggil bibi
oleh Peng-say, jawabnya: "Ya, kulupa tanya padamu
darimana kau tahu hal itu, dengan sendirinya bukan
gurumu yang memberi tahu, sebab dia hanya menemukan
kitab bagian kiri dan tidak tahu masih ada setengah bagian
yang kusembunyikan, sedangkan di dalam kitab juga tiada
penjelasan bahwa kitab dibagi menjadi dua jilid yang.
masing2 dapat berdiri sendiri, maka bagi pemegang salah
satu bagian itu biarpun berlatih selama hidup juga tidak
menyadari ilmu pedang yang diyakinkannya itu sebenarnya
cuma setengah bagian saja."
"Apakah bibi tahu siapa pencipta Siang-liu-kiam?" tanya
Peng-say.
"Ketua Pak-cay, Lenghiang-caycu Sau Ceng-in." jawab
Soat Ciau-hoa.
"Nah, yang memberitahukan padaku tentang Siang-liukiam-
hoat yang meliputi Pedang Kiri dan Pedang Kanan
justeru ialah puteri Leng-hiang-caycu sendiri, namanya Sau
Kim-leng."
"Berapa usia Sau Kim-leng sekarang."
"Kurang lebih 20 tahun."
Seketika Sau Ciau-hoa mendelik. damperatnya. "Setan
cilik jangan kau bicara secara ngawur. Sau Ceng-in. sudah
mati selama 28 atau 29 tahun. dari mana bisa mempunyai
anak perempuan berumur 20-an."
Peng say tidak menjawab, tapi bertanya lebih dulu,
"Darimana bibi mengetahui Sau Ceng-in sudah mati 28
atau 29 tahun lamanya?"
"Umumnya orang Bu-lim cuma tahu Sau Ceng-in sudah
lama menghilang, tapi kutahu dia mati dipegunungan Kilian.
Siang-liu-kiam-boh justeru berhasil kutemukan pada
jenazahnya."
"Cara bagaimana bibi dapat memastikan jenazah itu
ialah Sau Ceng-in?" tanya Peng-say.
"Dia wafat dengan duduk didalam gua, kedua tangannya
memegang dua kotak yang berisi kitab ilmu pedang kanan
dan kiri, dia duduk menghadapi dinding gua, pada dinding
terukir tulisan yang berbunyi: 'Siang-liu-kiam-boh ini
diberikan kepada orang yang berjodoh menemukannya,
barang siapa mendapatkan kitab pusakaku ini harus
membunuh ketiga orang. . . .tapi nama ketiga orang yang
dimaksudkannya cuma terukir satu huruf 'Ciam' saja, lalu
dicoret, di bawah terukir namanya Sau Ceng-in. Coba pikir,
kalau jenazah itu bukan Sau Ceng-in yang hilang, lantas
siapa?"
"Nyata Toapek memang tidak berpikir tentang nama dan
kedudukan segala. dia memang bijaksana dan berjiwa besar,
pada waktu ajalnya beliau masih bermurah hati dan tidak
jadi menyuruh orang yang menemukan kitab pusakanya
harus membunuh musuhnya."
Soat Ciau-hoa terkejut, ia bertanya: "Toapek? Kau
panggil dia Toapek? Memangnya Leng-hiang-caycu itu
pamanmu?"
Peng say mengangguk.
"Lantas siapa pula Moayhuku (suami adikku)?"
-ooo0dw0ooo-
Jilid 29
Dengan suara pedih Peng-say menjawab: "Mendiang
ayahku ialah Soh-hok-hancu, ketua Lam-han. beliau
meninggal ter. . . .terbunuh oleh kawanan penjahat dari
Say-koan!"
Segera ia menceritakan peristiwa terbunuhnya Sau Cenghong
dan segenap anggota Lam-han, diuraikan pula kisah
cinta ayah dan ibunya dahulu.
Melihat Peng-say dan sang guru sudah dapat bicara
dengan asyiknya, Soat Koh menjadi girang, cepat ia pergi
memasak air dan menyeduh satu poci teh, lalu pergi ke
dapur menanak nasi, sibuk sekali dia bekerja, disangkanya
kebahagiaan sudah ada harapan, Suhu takkan memaksanya
berpisah lagi dengan kekasihnya, bisa jadi akan ....
Teringat akan menjadi isteri orang dan melahirkan anak
segala, tanpa terasa mukanya menjadi merah meski berada
sendirian.
Dalam pada itu Peng-say telah berceritera sampai dia
menemukan Soat Koh, lalu berangkat ke Ki-lian-san sini.
"Jika adik-misanmu Cin Yak-leng tidak mati tentu
kaupun takkan mencari muridku dengan 'semboyan
menjual seni mencari isteri', bukan?" kata Soat Ciau-hoa.
"Sebenarnya aku memang tidak . . .tidak pantas
mencemarkan nama baik Soat Koh, untuk ini harap bibi
suka memaafkan," pinta Peng-say.
"Ada hubungan apa pula antara kau dan Sau Kim-leng?"
tanya Ciau-hoa.
Peng-say lantas menceritakan pula hal ikhwal lahirnya
Sau Kim-leng, bahwa nona itu sesungguhnya adalah puteri
Ciamtay Cu-ih. Lalu mengenai dirinya ditawan Liok-ma
serta cara meninggalkan Leng-hiang-cay untuk menolong
Cih Yak-leng, dalam perjalanan itulah dia berkenalan
dengan Soat Koh. semua diceritakannya dengan jelas.
Akhirnya ia berkata pula: "Dari ibunya Sau Kim-leng
mendengar bahwa Siang-liu-kiam-boh terbagi menjadi dua
jilid, yaitu Pedang Kiri dan Pedang Kanan, dari Sau Kimleng
pula kudengar cerita mengenai ilmu pedang maha sakti
itu."
Soat Ciau-hoa menjadi kurang senang, katanya:
"Menurut ceritamu, tampaknya Sau Kim-leng itu rada2
menaksir padamu."
"Dia cantik seperti bidadari, mana bisa jatuh hati pada
bocah tak becus macamku ini. kukira bibi salah sangka."
"Jika dia benar2 jatuh hati padamu, tentunya sangat kau
harapkan bukan?"
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Kelak aku harus
membunuh ayahnya, di antara kami tak mungkin
berkawan, lambat atau cepat kami adalah musuh."
"Dan sampai saat ini kau belum lagi melupakan
kematian Cin Yan-leng bukan?"
"Yak-leng dalam pandanganku sudah menjadi istriku,
kematiannya sama seperti kematian mendiang ayahku,
sama pentingnya bagiku, betapapun harus kubalaskan sakit
hatinya."
"Hm, seorang pecinta yang setia juga kau ini," jengek
Ciau-hoa dengan kurang senang.
Peng-say memohon dengan sangat: "Dapatkah bibi
kasihan pada tekadku akan membalas dendam dan sudilah
mengajarkan Pedang Kanan padaku?"
"Akan kuajarkan Pedang Kanan padamu, tapi dua syarat
harus kau penuhi," kata Ciau-hoa.
"Kedua syarat apa, silakan bibi katakan."
"Syarat pertama, tukar menukar, saling belajar antara
Pedang Kiri dan Pedang Kanan."
"Untuk ini perlu izin guruku," kata Peng-say.
"Demi balas dendam muridnya kukira dia pasti akan
meluluskan permintaanmu."
"Dan syarat kedua?" tanya Peng-say.
Dengan wajah kereng Soat Ciau-hoa berkata dengan
suara tertahan: "Selanjutnya kau tidak boleh menggubris
muridku."
Syarat kedua ini bisa gampang dan bisa sulit
pelaksanaannya. Bila sampai hati, tentu mudah dilakukan.
Jika hati tidak tega, betapapun sulit untuk dilakukan.
Peng-say menjadi ragu2, katanya kemudian: "Mohon
penjelasan lebih lanjut, cara bagaimana baru bibi anggap
tidak menggubrisnya? Untuk itu apakah selanjutnya aku
tidak boleh bicara satu patah kata pun dengan Soat Koh?"
Ciau-hoa memandang sekejap kearah dapur. melihat
Soat Koh asyik menanak nasi dan tidak memperhatikan
keadaan disini. ia lantas mengangguk dan berkata dengan
suara lirih: "Betul. seterusnya kau dilarang bicara dengan
muridku."
"Jika dia yang mengajak bicara padaku?" tanya Peng-say.
"Jawab saja dengan ketus." kata Ciau-hoa, "Sekali dua
kali kau jawab dengan ketus. ia merasa tidak mendapat
tanggapan yang simpatik. dengan sendirinya iapun
mendongkol dan takkan mengajak bicara lagi padamu."
Bahwa dia disuruh "jotakan" dengan Soat Koh yang
jelas2 telah mencintainya, sesungguhnya peng-say tidak
tega bertindak demikian. Karena itulah ia menggeleng dan
menjawab: "Tidak, bibi, hal ini tidak dapat kupenuhi."
"Tidak dapat? Kenapa tidak dapat?" teriak Soat Ciau-hoa
dengan gemas.
Mendengar suara sang guru yang rada tidak benar itu,
cepat Soat Koh datang dengan membawa pelita, tegurnya
dengan tertawa: 'Kakak Peng, kenapa kau bikin marah lagi
pada Suhuku?"
"O, ti. . .tidak. . . ."
Belum lanjut ucapan Peng-say, cepat Ciau-hoa berdehem
sehingga Peng-say urung bicara lebih jauh ia memandang
ke sana, dilihatnya sang bibi sedang mendelik padanya seakan2
marah karena dirinya telah menanggapi ucapan Soat
Koh tadi.
Rumah batu itu sangat sederhana, terbagi dalam tiga
ruang berjajar, ruangan kiri pakai tirai adalah kamar tidur,
ruangan kanan agak kecil dan sempit digunakan sebagai
dapur, hanya ruangan tengah ini agak luas dan longgar, di
sini terdapat sebuah meja kayu dan dua bangku batu, lain
barang tidak ada. Pertarungan sengit yang terjadi tadi,
ternyata tidak sampai merusak meja yang mepet dinding. .
Melihat betapa sederhananya rumah ini, Peng-say tahu
kehidupan se-hari2 sang bibi pasti cukup sengsara, begitu
hematnya sehingga seluruh rumah hanya pakai sebuah
pelita minyak saja yang dibawa kian kemari oleh Soat Koh
itu.
Waktu Peng-say bicara dengan sang bibi diruang tengah
ini, keadaan ruang tengah ini gelap gulita Soat Koat sendiri
sibuk menanak nasi dan memasak air di dapur, maka dia
menggunakan pelita satu2nya itu. Sekarang ia datang
dengan membawa pelita itu, ruangan tengah ini menjadi
terang.
Kehidupan di daerah utara memang lebih sulit daripada
daerah selatan, biarpun keluarga hartawan, kalau sudah
malam juga jarang yang memakai penerangan di kamar
tidur, terkecuali kalau sedang bekerja memasak atau
menjahit. Biasanya satu rumah paling2 cuma dinyalakan
satu atau dua lampu saja.
Karena sudah biasa hidup hemat, maka di rumah Soat
Ciau-hoa inipun hanya digunakan satu lampu. Padahal
selama belasan tahun tinggal di rumah batu ini hakikatnya
mereka tidak pernah kedatangan tamu, maka sebuah lampu
sudah cukup bagi mereka.
Begitulah setelah Soat Koh menaruh pelita minyak itu di
atas meja, dilihatnya cangkir teh di depan Peng-say belum
lagi terminum, ia bersuara heran dan menegur pula: "He,
apakah kau tidak haus, kenapa teh itu tidak kau minum?"
Peng-say tidak berani menjawabnya lagi, tapi ditanya
kalau tidak menjawab tenggorokan rasanya gatal, saking
tidak tahan terpaksa ia hanya berdehem belaka.
"Nah, kerongkonganmu sudah kering begitu, masa masih
sungkan?, hayolah lekas diminum!" seru Soat Koh dengan
tertawa.
Terpaksa Peng-say menurut, cangkir teh itu diangkatnya
dan sekaligus diminumnya hingga habis. Soat Koh tertawa
puas. Dilihatnya ketika sosok mayat tadi belum lagi
dibersihkan. cepat ia berkata pula: "Peng-ko (kakak Peng),
hayolah bantu gotong mayat ini keluar!"
Peng-say berbangkit hendak membantunya.
Melihat pemuda itu sedemikian penurut, Soat Ciau-hoa
melototnya dengan bengis: "Tahukah kau siapa orang2 ini?"
"Keponakan tidak tahu," jawab Peng-say.
"Tidak tahu apakah juga tidak bisa berpikir?" damperat
Ciau-hoa." Melihat tampangmu sih bukan orang bodoh.
mengapa otakmu begitu bebal?"'
"Suhu." sela Soat Koh. "begitu tiba musuh lantas
menyerang kami, sedikitpun tidak diperoleh keterangan
apapun, betapapun cerdiknya juga sukar meraba asal-usul
musuh."
"Hm, pintarmu cuma membela dia." omel Ciau-hoa.
"Memangnya sudah lupa janjimu kepada Suhu? Itukah
namanya menjauhi dia? Huh, anak perempuan, tidak tahu
jaga diri, tahunya cuma ingin baik padanya. Padahal lelaki
kebanyakan adalah kaum rendahan, makin baik kepadanya,
dia justeru memandang hina padamu. Jika kau tidak gubris
padanya, dia berbalik akan merasa tertarik padamu dan
mengintil di belakangmu seperti anjing membuntuti
majikannya."
Selama ini antara guru dan murid itu hidup seperti ibu
dan anak kandung, meski biasanya Soat Ciau-hoa selalu
berwajah dingin, tidak suka bercanda, tapi Soat Koh juga
tidak begitu takut padanya. Di mulut saja ia berjanji akan
menjauhi Peng-say, hal ini dilakukan sebagai siasat
sementara saja, setelah urusan selesai, janjinya itu tidak
benar2 ditaatinya.
Iapun tahu sang guru sangat sayang padanya. maka
dengan tertawa ia menjawab: "Peng-ko kan juga keponakan
Suhu sendiri, jika kujauhi dia. kan sama seperti tidak
menghormati Suhu?"
Bahwa dia justeru ingin mendekati Peng-say. Soat Ciauhoa
menjadi kewalahan, terpaksa ia mendengus, katanya:
"Hm, hati lelaki seperti jarum di dasar lautan. Yang rugi
kelak adalah kau sendiri!"
Dengan tertawa Soat Koh menjawab: "Bila dia berani
mengkhianati aku, seperti gurunya orang she Tio itu
mengkhianati Suhu, hm, tidak mungkin aku sebaik hati
Suhu dan cuma menabas sebelah lengannya saja, betapapun
aku pasti berdaya mencabut nyawanya. Tapi aku percaya
Peng-ko pasti bukan manusia tak berbudi dan tidak setia
begitu."
"Hm, tunggu dan lihat saja kelak!" jengekCiau-hoa.
Peng-say sendiri tidak memperhatikan percakapan guru
dan murid itu, sebab merenungkan pertanyaan Soat Ciauhoa
tadi, ia pikir tidak nanti sang bibi bertanya tentang
orang2 berseragam kuning itu tanpa sebab. tentu ada
sangkut paut dengan dirinya.
Setelah memeras otak. tiba2 teringat olehnya dandanan
orang Say-koan juga berseragam kuning. segera ia
berkeplok dan berseru: "Ah. tahulah aku. Orang2 ini adalah
anak murid Say-koan."
"Betul tidak keterangan Peng-ko itu. Suhu?" tanya Soat
Koh.
"Hm. anggaplah dia pintar." jawab Ciau-hoa.
Soat Koh merasa heran, tanyanya: "Selamanya kita tiada
hubungan apapun dengan Ngo-hoa-koan di Sinkiang,
apalagi soal permusuhan, mengapa mereka melancarkan
kepungan dan serangan kepada Suhu secara besar2an?"
"Hal ini memang salahku sendiri," tutur Soat Ciau-hoa
dengan gegetun. "Sejak gurumu telanjur membunuh guru
silat Beng Eng-kiat di Pakkhia dan berpisah dengan kau,
aku lantas pulang ke sini dan tidak pernah bertanding
dengan siapa lagi untuk menjajal kelihayan Siang-liu-kiamhoat
kita. Selama belasan tahun ini kuhidup prihatin di
rumah, tidak berpikir lagi tentang nama segala. Akan tetapi
hidup sendirian lama2 terasa kesepian juga, bulan yang lalu
timbul hasratku untuk keluar lagi, tapi akupun kuatir nanti
kau pulang dan tak dapat menemukan diriku, maka aku
hanya pesiar di tempat2 yang berdekatan saja, kukira
dengan cepat dapat pulang lagi ke sini. Suatu hari aku
pesiar ke danau Pusdam di wilayah Sinkiang, di sana
kulihat banyak orang Bu-lim hendak berkunjung ke Ngohoa-
koan untuk menemui Coh-bengcu, Coh Cu-jiu. Dari
keterangan yang kuperoleh, kiranya Ngo-hoa-koan yang
termashur itu terletak di pegunungan di tepi danau Pusdam,
aku jadi tertarik, diam2 kupikir apakah ilmu pedangku
dapat menandingi Coh Cu-jiu? Bukan maksudku hendak
mengalahkan Coh Cu-jiu agar namaku bisa terkenal,
kupikir asalkan dapat menandingi Coh-bengcu, maka
latihanku selama belasan tahun ini tidaklah sia2. Karena
pikiran ini, aku lantas ingin mencoba Siang-liu kiam-hoat,
segera kudatangi Ngo-hoa-koan untuk menemui Coh Cujiu.
Orang she Coh ini tidak malu sebagai Beng-cu para
ksatria dunia persilatan, orangnya cukup ramah, meski
orang datang terang2an untuk menantang bertanding,
dengan rendah hati ia terima dengan baik dan langsung
turun kalangan sendiri. Kepandaian tokoh Ngo-hoa-koan
itu memang hebat, dengan mudah dapatlah ia menahan ke-
49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku, sedikitpun aku tidak lebih
unggul, bahkan beberapa kali aku hampir terserang, kutahu
dia sengaja mengalah sehingga kusempat mengeluarkan
seluruh ke~49 jurus Siang-liu-kiam-hoatku. Tatkala mana
banyak tamu yang menyaksikan pertandingan itu, meski
mereka adalah sahabat Coh Cu-jiu, tapi melihat diriku yang
tidak terkenal ini mampu melayani ketua Ngo-tay-lian-beng
dengan sekian lamanya, mau-tak-mau mereka sama
bersorak memuji diriku. Tentu saja aku sangat senang dan
mengira Siang-liu-kiam tidak percuma kulatih. Tak terduga,
mendadak Coh Cu-jiu melancarkan serangan kilat tiga kali,
dua serangan sempat kuhindar. serangan ketiga sukar
kuelakkan, waktu kutangkis dengan pedangku, kontan
pedangku tergetar mencelat oleh tenaga dalamnya yang
maha kuat. Dia bergelak tertawa dan berkata: 'Maafapakah
perlu diteruskan?' -Sudah kalah, masa aku berani
bertanding lagi. segera kumohon diri dan pulang dengan
lesu. Sungguh kecewa hatiku dan patah semangat. Kupikir
Coh Cu-jiu memang tidak maLU sebagai salah satu tokoh
dari Su-ki, semula dia mengalah, bila sejak mulai dia lantas
menggunakan serangan kilatnya, jelas Siang-liu-kiam-hoat
yang kulatih bukan tandingannya, hanya dalam beberapa
jurus saja aku pasti kalah, sungguh percuma Siang-liu-kiamhoat
yang tersiar sebagai ilmu pedang nomor satu di dunia
ini."
"Persoalannya bukan begitu," kata Peng-say, mestinya ia
hendak menceritakan apa yang terjadi di Ki-lian-san dulu
ketika Sau Ceng-in mengalahkan ketiga rekannya agar sang
bibi tahu berita Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu
bukan cuma omong kosong belaka, tapi setelah dipikir lagi,
ia urung bicara.
Soat Ciau-hoa hanya melotot padanya, lalu
menyambung ceritanya: "Dalam perjalanan pulang itu,
kutahu ada orang sedang mengikuti jejakku, tapi aku tidak
menghiraukannya, setiba di rumah diam2 aku pertinggi
kewaspadaan. Dua hari pertama tidak terjadi apa2, sampai
hari ketiga, yaitu malam kemarin dulu, selagi tidur, tiba2
kudengar ada pejalan malam mendekati rumah batu ini.
Aku diam saja dan pura2 tidak tahu. Tapi ketika Ya-hengjin
(pejalan malam) itu sudah dekat dan berada dalam jarak
bidik panahku. segera kulepaskan panah dan berhasil
membinasakan dua orang. Sisanya menjadi ketakutan dan
sama mundur. Tidak lama kemudian. seorang berdiri di
kejauhan dan berteriak padaku: 'Soat Ciau-hoa. tahukah
siapa yang kau bunuh itu?' - Aku menjawab. Peduli siapa
dia. pokoknya asalkan berani menyatroni nyonyamu dan
bermaksud busuk, maka sama saja dia mengantar kematian
ke sini! -Karena orang itu dapat menyebut namaku, kupikir
orang ini tentu musuhku, mungkin melihat diriku waktu
bertanding dengan Coh Cu-jiu, setelah kutinggalkan Ngohoa-
koan, dia lantas menguntit kemari dan bermaksud
menuntut balas padaku. Sama sekali tak kuduga bahwa
mereka justeru adalah anak buah Coh Cu-jiu sendiri. Maka
orang itu lantas berkata pula: 'Kau berkunjung kepada
Bengcu. karena berterima kasih, Bengcu menyuruh kami
balas berkunjung ke tempatmu ini, siapa tahu kau ini
memang sudah biasa berbuat jahat, sekaligus kau bunuh
dua murid Ngo hoa-koan. - Mendengar orang yang
kubunuh itu adalah murid Ngo-hoa-koan, aku menjadi
gugup, tapi aku tidak mau mengaku salah, kataku: 'Tengah
malam buta be-ramai2 mendatangi tempatku, sudah tidak
menegur, diam2 mengepung tempat ini, jadi maksud tujuan
kalian tidaklah bajik, masa pakai alasan mengadakan
kunjungan balasan. Hm, kau kira aku ini anak umur tiga
yang dapat kau tipu?' Tapi orang itu lantas menyangkal
pula: 'Soalnya kami tidak tahu di mana tempat tinggalmu.
kami ingin cari tahu lebih dulu. bila sudah jelas barulah
kami berkunjung secara resmi. Tapi kau tidak kenal
kebaikan. kontan menyerang dengan panah berbisa dan
main bunuh. sekarang kau malah menuduh kedatangan
kami ini bermaksud jahat, memangnya kau kira orang Ngohoa-
koan boleh kau binasakan sesukamu?' -Sudah tentu aku
tidak percaya kepada alasannya, aku mendengus dan
berkata: 'Habis kalian mau apa sekarang?'— Beberapa anak
buahnya lantas ber-teriak2: 'Membunuh orang harus
mengganti jiwa' — Aku menjawab: 'Kalau mampu boleh
coba saja terjang masuk ke sini!" -Serentak beberapa orang
menerjang maju, ada yang menerobos jendela, ada yang
menerjang dari pintu, Tapi begitu berada dalam jarak bidik
panahku, segera kubinasakan mereka. Dengan bengis
kubentak: 'Kalau tidak taku mai boleh coba maju lagi!'
-Rupanya jumlah mereka masih ada dua-tiga puluh orang,
mereka menjadi gentar melihat kelihayan panahku,
bukannya menerjang maju, sebaliknya malah mundur
dengan ketakutan. Orang yang pertama lantas berseru: 'Soat
Ciau-hoa, seluruhnya sudah sembilan anak murid Ngo-hoakoan
yang kau bunuh!' -Kutahu mereka pasti tidak mau
damai, aku menjadi nekat dan berteriak: 'Sekalipun Coh
Cu-jiu datang sendiri kesini, jika dia berani sembarangan
menerobos masuk kerumahku juga akan kupanah tanpa
ampun. Kalau tidak percaya kau yang bicara ini boleh
coba2 menerjang masuk kemari!' - Agaknya orang itu juga
jeri dan tidak berani mendekat, ia pura2 tidak dengar dan
berkata pula: 'Sebainya kau menyerah saja dan ikut kami ke
Ngo-hoa-koan untuk minta ampun kepada Coh-bengcu.
Kami Boh-pak-sam-hiong (tiga jagoan dari gurun utara)
berani menjamin jiwamu pasti takkan diganggu.' -Nama
Boh-pak-sam-hiong cukup tenar di utara tembok besar, ilmu
silat mereka tidak boleh diremehkan, bandit yang biasanya
membunuh orang tanpa berkedip itu meski sekarang sudah
cuci tangan dan kembali ke jalan yang baik, tapi siapa
berani bilang mereka benar2 telah bertobat? Di depan Coh
Cu-jiu berapa pula harganya nama mereka? Sudah tentu
aku tak mau tertipu dan menyerahkan jiwaku di tangan
mereka. Dengan suara keras kujawab: 'Selama hidup Soat
Ciau-hoa malang melintang sendirian dan tidak pernah
menyerah kepada siapapun, kalau mampu boleh coba kau
masuk kemari untuk meringkus diriku, kalau tidak berani
boleh lekas enyah. Suruh aku minta ampun kepada Coh
Cu-jiu? Hm, untuk apa harus kuminta maaf, anak muridnya
yang cari mampus sendiri kesini, kenapa salahkan diriku?'
-Boh-pak-sam-hiong tahu aku tak bakalan menyerah,
merekapun tidak bicara lagi. Kedua pihak terus bertahan
hingga terang tanah, kukuatir Say-koan akan datang bala
bantuan lagi, bila kedatangan tokoh kelas tinggi tentu
panahku tidak mampu mengalangi lawan lagi dan akhirnya
aku pasti akan tertawan. Kupikir mumpung musuh tangguh
belum tiba, lebih baik kutinggalkan tempat ini saja. Siapa
tahu, kutahan musuh yang akan menyerbu ke dalam rumah
dengan panah, waktu kuterobos keluar musuh juga
merintangi aku dengan menghujani aku dengan panah.
Kalau panah biasa tidak kutakuti, tapi Boh-pak-sam-hiong
ditambah lagi anak murid Say-koan yang tergolong jago
pilihan, jika setiap anak panah musuh harus kusampuk
dengan pedangku, betapapun kurasakan agak repot."
Bicara sampai di sini ia pandang Peng-say sekejap,
diam2 ia heran darimana anak muda ini dapat meyakinkan
Kungfu setinggi itu dan dapat menerjang kemari di bawah
hujan panah yang kuhamburkan.
"Kemudian Soat Ciau-hoa menyambung pula: "Karena
tidak mampu menerjang keluar, aku menjadi gelisah.
Kudengar tertua Boh-pak-sam-hiong yang bernama Pah Lo
itu berkata pula dengan tertawa: 'Soat Ciau-hoa, apakah
sekarang kau tidak lagi mau menyerah?' — Tapi aku tetap
bertahan di dalam rumah dan tidak menggubrisnya. Setelah
berjaga sehari semalam, pagi tadi Pah Lo berteriak lagi
padaku: 'Soat Ciau-hoa, apakah perutmu tidak lapar?'
-Padahal, didalam rumah ini masih cukup tersedia
perbekalan, namun pada suatu hari akhirnya juga akan
habis, apalagi bila bala bantuan mereka tentu aku pun tidak
mampu bertahan lebih lama lagi. Aku sudah mengambil
keputusan bila keadaan kepepet, lebih baik kumati di
medan tempur daripada menyerah untuk diringkus. Dengan
tekad begitu, aku tidak gelisah lagi, kutunggu kedatangan
bala bantuan mereka, berapa orang yang mampu menerjang
masuk akan kubereskan berapa orang pula, bila dapat
kurobohkan beberapa jagoan Say-koan, sedikitnya aku tidak
sampai rugi. kalau mati juga tidak perlu penasaran. Tak
tersangka, sebelum bala bantuan tiba, Boh-pak-sam-hiong
lantas mulai menyerbu ke sini begitu malam tiba dan
terjadilah pertarungan sengit.Mungkin mereka mengira aku
telah kelaparan dua hari, tentu tenaga sudah banyak
berkurang, tanpa menunggu lagi datangnya bala bantuan
segera mereka bertindak lebih dulu, mungkin mereka pikir
akan dapat menawan atau membunuhku, dengan begitu
mereka pun akan mendapat pujian oleh Bengcu mereka.
Padahal di dalam rumah ini setiap hari kumakan cukup
kenyang dan tidak pernah kelaparan, hanya saja lantaran
berjaga selama dua malam, karena tidak tidur, semangatku
kurang cukup, untung kalian keburu datang, kalau tidak
mungkin jiwaku bisa melayang."
Mendengar sampai di sini, diam2 Soat Koh membatin:
"Menurut cerita Suhu, beliau tidak bersalah apa2 terhadap
Coh Cu-jiu, tapi mengapa Coh Cu-jiu menyuruh Boh-paksam-
hiong menguntit ke sini dan menyergap Suhu?"
Mendadak terdengar Soat Ciau-hoa berteriak dengan
gemas: "Keparat Coh Cu-jiu itu benar2 brengsek. dia tidak
berani membunuhku secara terang-terangan, tapi mengirim
anak buahnya dan bertindak secara rendah begini. Hm,
kalau tidak kuketahui gerak-gerik mereka, bisa jadi aku
sudah terbius oleh dupa Boh-pak-sam-hiong dan terbunuh
secara tidak sadar. Sunguh aku tidak tahu ada permusuhan
apa antara Coh Cu-jiu dengan diriku sehingga dia sampai
bertindak sekeji ini padaku."
Mendadak ia berteriak gusar, rupanya ia jadi teringat
kepada cerita Peng-say tentang terbunuhnya segenap
anggota Lam-han oleh orang2 Say-koan, maka ia pikir
bukan mustahil Coh Cu-jiu juga menggunakan cara Ting
Tiong dan Liok Pek yang menghabisi orang Lam-han, dan
menyuruh Boh-pak-sam-hiong untuk menyegapnya.
Soat Koh menggeleng, katanya: "Suhu, selamanya Coh
Cu-jiu tiada permusuhan apapun dengan kita, tidak
mungkin dia mengirim orang mencelakai Suhu. Kalau Bohpak-
sam-hiong adalah bekas bandit, tentu dalam hal
pemakaian obat bius dan sebagainya cukup mahir, dengan
mengirim mereka kesini, mungkin Coh Cu-jiu bermaksud
menawan Suhu hidup2"
"Dugaan Soat Koh memang betul," tukas Peng-say.
"Tujuan Coh Cu-jiu jelas hendak menawan bibi, bila cuma
mau membunuh, tentu pada waktu bertanding dengan dia
bibi telah dibunuhnya."
Soat Ciau-hoa melotot, katanya: "Kau bilang dugaan
muridku betul, kau hanya menurut secara ngawur saja.
Padahal, hm, untuk apa Coh Cu-jiu menawan diriku
hidup2, memangnya dia menaksir pada diriku yang sudah
nenek2 ini?"
"Ah, Suhu kan belum tua, masa mengaku sudah
nenek2," kata Soat Koh dengan tertawa. "Menurut
pandanganku, bukan mustahil Coh Cu-jiu itu memang
mempunyai niat jahat, mungkin sekali pandang dia telah
jatuh cinta kepada Suhu."
"Ngaco-belo!" omel Soat Ciau-hoa. "Kurang- ajar, berani
kau mengguraui gurumu?!"
Soat Koh menjulur lidah dan tidak berani bicara lagi.
Melihat kelakuan muridnya yang lucu itu, tertawalah
Soat Ciau-hoa.
Tiba2 Peng-say berkata dengan sungguh2: "Tujuan Coh
Cu jiu hendak menawan bibi adalah karena ingin memaksa
bibi merekam kembali kitab Siang-liu-kiam-boh."
"Tidak bisa jadi," kata Soat Ciau-hoa. "Dia sendiri
berkepandaian tinggi hanya dalam beberapa
jurus saja dapat mengalahkan aku, Siang-liu-kiam-hoat
cuma bernama kosong, tiada sesuatu yang luar biasa. dalam
pandangan Coh Cu-jiu lebih2 tiada artinya."
"Yapi kuyakin selain maksud tujuan ini, tiada alasan bagi
Coh Cu-jiu uatuk menawan bibi," kata Peng-say. "Ucapan
bibi tentang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama kosong
adalah salah besar."
"Salah besar?" Soat Ciau-hoa merasa kurang senang,
"Memangnya kau kira pamanmu Sau Ceng-in itu sangat
hebat? Hm, dahulu akupun percaya Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia. padahal tidak lebih daripada kentut
belaka. Selama beberapa tahun aku berusaha sia2
mempelajari ilmu pedang yang tiada gunanya ini."
"Bibi tidak lengkap belajar pedang kiri Siang-liu-kiam,
setelah mengalami kekalahan lantas patah semangat, maka
timbul rasa kecewa," kata Peng-say. "Padahal pamanku
Leng-hiang-caycu pernah mengalahkan kedua orang kosen
dari timur dan barat dengan kedua pedangnya, mendiang
ayahku cukup maklum akan kejadian itu, makanya Ji-suko
disuruh memberitahukan padaku agar sebelum kucari
Hong-hoa-wancu untuk menuntut balas. lebih dulu aku
diharuskan belajar lengkap Siang-liu-kiam. Kemudian
segenap anggota Lam-han terbunuh, ayahku mati secara
mengenaskan. Toa-suko juga dibawa pergi oleh Thio Yancoan,
macam2 dendam kesumat itu semakin menguatkan
tekadku untuk belajar lengkap Siang-liu-kiam-hoat."
Lalu Peng-say menceritakan lebih jelas lagi segala
pengalamannya selama ini.
"O, lantaran itulah baru kau cari muridku. begitu? Hm,
hati Soat Koh terlalu lemah, tentunya dia telah kau bujuk
dan kau tipu, akhirnya membawa kau ke sini."
Cepat Soat Koh menyela: "Suhu, dia tidak menipuku.
Murid tahu, dia ....dia. . . ."
"Dia kenapa?" tukas Soat Ciau-hoa.
Lagu "Siau-go-yan-he" telah menimbulkan salah paham
Soat Koh, disangkanya Peng-say mencintainya secara
mendalam. Tapi untuk mengatakan terus terang kepada
gurunya ia merasa tidak enak.
Maka dengan gelagapan ia menjawab: "O, ti. . .tidak
apa2. Pendek kata, murid yakin dia tidak menipuku,"
Soat Ciau-hoa memandang Peng-say sekejap diam2 ia
membatin mungkin Soat Koh telah dicekoki obat bius apa
sehingga nona itu percaya penuh padanya. Pikirnya:
"Mungkin dengan modal kecakapanmu, mudahlah bagimu
untuk menipu anak perempuan. Tapi aku justeru tidak mau
memenuhi kehendakmu. Bila kau ingin belajar lengkap
Siang-liu-kiam, lebih dulu Soat koh harus dibikin patah hati
lebih dulu."
Didengarnya Peng-say berkata pula: "Bibi, ada suatu
urusan belum sempat kujelaskan padamu."
"Apakah mengenai pamanmu mengalahkan kedua tokoh
timur dan barat dengan Siang-liu-kiam-hoatnya?" tukas Soat
Ciau-hoa.
Peng-say mengangguk, katanya: "Ya, kisah ini sangat
panjang jika diceritakan. . . ."
"Lantaran terlalu panjang, maka tadi kau malas
menceritakan bukan? Jika demikian, tidak perlulah kau
ceritakan, akupun malas untuk mengikuti ceritamu."
"Bukan ku-enggan menceritakan, soalnya peristiwa itu
sedikit banyak menyangkut nama baik mendiang ayahku.
Tadi waktu bibi bilang Siang-liu-kiam-hoat cuma bernama
kosong dan bibi telah sia2 mempelajarinya, mestinya waktu
itu akan kujelaskan duduknya perkara. Tapi setelah kupikir,
urunglah kukatakan."
"Dan sekarang?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Demi meluruskan pandangan bibi. terpaksa kujelaskan,"
kata Peng-say.
"Hm, kukira lebih baik kau hemat tenaga saja, tidak
perlu kau ceritakan," jengek Soat Ciau-hoa. "Betapapun aku
tidak percaya Sau Ceng-in mampu mengalahkan kedua
tokoh timur dan barat. Bila benar2 terjadi begitu, bukankah
hal itu sudah menggemparkan dunia persilatan dan pasti
sudah kudengar, masakah perlu kau ceritakan sekarang."
"Apakah bibi ingat tulisan yang ditinggalkan pamanku di
dinding batu itu. dia menyatakan barang siapa
mendapatkan kitab pusakanya harus membunuh ketiga
orang ini. Tahukah bibi siapa ketiga orang yang
dimaksudkan itu?"
"Tidak dia jelaskan, darimana aku tahu?"
"Bukankah paman hanya menulis satu huruf 'Ciam' saja
lantas dihapus lagi. Huruf 'Ciam' itu dimaksudkan Honghoa-
wancu dari lautan timur, Ciamtay Cu-ih."
"Hm, darimana kau tahu?" jengek Soat Ciau-hoa.
"Bila sudah kuceritakan apa yang terjadi dalam
pertemuan Su-ki di Ki-lian-san, dengan sendirinya bibi akan
tahu orang yang dimaksudkan paman itu ialah Ciamtay Cuih."
Soat Ciau-hoa menjadi ragu, tanyanya: "Lalu sisa dua
orang lainnya apakah kau pun tahu?"
"Dua orang lagi, yang satu ialah Ngo-hoa-koancu Coh
Cu-jiu dan yang lain ialah ....ialah mendiang ayahku!"
"Wah, untung tidak dia tulis dengan jelas, kalau tidak,
bilamana Siang-liu-kiam sudah lengkap kupelajari dan aku
diharuskan taat melaksanakan pesannya untuk membunuh
ketiga orang kosen itu, kan jiwaku sendiri yang bakal
melayang?"
"Bilamana Siang-liu-kian-hoat benar2 lengkap dikuasai,
tidak sulit untuk membunuh tokoh sakti timur dan barat
itu."
"Tidak sulit membunuh kedua tokoh sakti itu. lalu
apakah juga tidak sulit untuk membunuh ayahmu?"
"Suhu," sela Soat Koh, "engkau tahu ayah Peng-ko kan
sudah meninggal. . . ."
"Jangan banyak mulut, sudah tentu kutahu Moayhu
(suami adik) yang tidak punya perasaan itu sudah mati,"
kata Soat Ciau-hoa. "Yang kumaksudkan, bilamana dia
belum mati, apakah juga dapat membunuhnya dengan
Siang-liu-kiam-hoat?"
"Ayahku juga bukan tandingan Siang-liu-kiam." kata
Peng-say lebih lanjut.
"Bukan tandingannya. jadi dapat juga dibunuh," kata
Ciau-hoa. "Hm. sungguh aku berharap manusia yang tak
berbudi dan tak setia ini belum lagi mampus, dengan
demikian biar dia dibunuh oleh anak kandungnya sendiri."
"Bibi, mana boleh kau bicara begitu?" sanggah Peng-say
dengnn kurang senang.
"Kenapa tidak boleh?" jengek Ciau-hoa. "Dosa orang ini
pantas dibunuh, bila dia masih hidup, demi membalas sakit
hati adikku, tentu akan kusuruh kau membunuhnya."
"Mana bisa jadi!" seru Peng-say dengan aseran.
"Jika aku berjanji akan mengajarkan Pedang Kanan
padamu dengan syarat kau harus membunuh dia, nah, akan
kau lakukan atau tidak?"
"Perbuatan durhaka dan terkutuk itu mana bisa
kulakukan. Jika bukan ingin membalas dendam ayah
hakikatnya aku tidak sudi belajar Siang-liu-kiam segala."
"O, jika demikian, jadi kedatanganmu memohon
pengajaran Pedang Kanan padaku, tujuanmu adalah untuk
menuntut balas bagi ayahmu?"
"Ya, memang," jawab Peng-say tegas.
"Hm, tadinya kukira tujuanmu demi membalas sakit hati
Piaumoaymu," jengekCiau-hoa.
"Itu adalah tujuanku yang kedua," kata Peng-say.
"Hm, Sau Ceng-hong berjuluk 'Kun-cu-kiam', padahal
dia sama sekali bukan seorang Kuncu (ksatria, laki2 sejati),"
kata Cian-hoa pula.
"Bolehkah bibi tidak lagi menyinggung mendiang
ayahku?" pinta Peng-say dengan gusar.
"Bila telingamu merasa tertusuk, boleh kau tutup
kupingmu saja," kata Cian-hoa. Ia berpaling dan tanya Soat
Koh: "Coba katakan, muridku, Sau Ceng-hong itu seorang
Kuncu atau bukan?"
Soat Koh gelagapan: "Aku. . . .aku tidak tahu. . . ."
"Apabila dia benar2 seorang Kuncu sejati, tentu dia
takkan meninggalkan ibu kakak Peng-mu. betul tidak?"
Terpaksa Soat Koh menjawab: "Ya, be. . . .betul!"
"Ayah yang keji mana bisa melahirkan anak yang
berbudi. Wahai, muridku. hendaklah kau hati2 dan
waspada," ucap Ciau-hoa dengan arti yang dalam.
"Sudahlah, Suhu. jangan kita bicara urusan ini,
dengarkan saja cerita Peng-ko tentang pertemuan Ki-liansan
dahulu."
"Betul, memang ingin kudengar ceritanya itu, kalau
tidak, betapapun aku tidak percaya Sau Ceng-in dapat
mengalahkan Tang-say-ji-ki (kedua orang kosen timur dan
barat) dengan Siang-liu-kiam-hoat."
Maka bertuturlah Sau Peng-say menurut apa yang
didengarnya dari Kiau Lo-kiat tempo hari mengenai
peristiwa di Ki-lian-san yang jarang diketahui orang Bu-lim
itu.
Ketika Peng-say bercerita sampai Ciamtay Cu-ih
dikalahkan pamannya hanya dalam jurus kesembilan,
dengan bertangan kosong hanya dalam 50 jurus juga dapat
mengalahkan Coh Cu-jiu, sampai melenggong Soat Ciauhoa
mengikuti cerita itu, hampir2 dia tidak percaya hal itu
benar2 bisa terjadi. Tapi apa yang diceritakan Peng-say itu
memang kejadian nyata dan tidak mungkin karangan
belaka, mau-tak-mau Soat Ciau-hoa percaya penuh tanpa
sangsi.
"Jika demikian," ucap Ciau-hoa setelah habis cerita
Peng-say itu, "jadi berita tentang Siang-liu- kiam nomor satu
di dunia itu memang bukan omong kosong?!"
"Dan cara bagaimana bibi berhasil menemukan jenazah
Toapek?" tanya Peng-say.
"Kalau Cui-hun dan lain2 dapat menemukannya, dengan
sendirinya akupun dapat."
"Apakah bibi tidak bersama satu rombongan dengan
mereka?"
"Jika satu rombongan dengan mereka, masa aku dapat
hidup sampai sekarang? Begitu mereka menemukan jenazah
Sau Ceng-in, segera mereka mulai bertengkar sendiri
memperebutkan kitab pusakanya, sampai akhirnya tiada
satupun yang dapat hidup. Bilamana aku berada bersama
mereka, dengan sendirinya tak terhindar dari perebutan dan
pasti juga akan terbunuh."
"Apa yang terjadi itu ternyata dengan jitu telah diterka Jisuko,"
ujar Peng-say.
"Sungguh sangat menggelikan, mereka hanya asyik
saling gasak, tiada seorangpun yang sempat meraih Siangliu-
kiam-boh. Ketika aku tiba di sana, kotak kemala yang
berisi kitab pusaka itu masih terpegang baik2 di tangan Sau
Ceng-in, jelas tidak pernah disentuh oleh siapapun. Di
sekitar jenazah Sau Ceng-in yang berduduk itu berserakan
mayat para petualang itu."
"Bibi dapat menemukan tempat itu, apakah berita
keberangkatan Cui-hun dan lain2 ke Ki-lian-san itu
sebelumnya telah didengar oleh bibi?" tanya Peng-say.
"Di antara sahabat Cui-hun yang diajak serta itu adalah
seorang kenalanku bernama Cu Hoay-tong. . . ." Sampai di
sini ia merandek, ia merasa tidaklah terhormat bilamana
bercerita tentang masa lalu dengan kenalannya dari
golongan hitam.
"Apakah Cu-cianpwe itulah yang memberitahukan
kepada bibi akan kepergiannya ke Ki-lian san?" tanya Pengsay.
Lega juga hati Soat Ciau-hoa karena Peng-say tidak
tanya hubungannya dengan Cu Hoay-tong, jawabnya: "Dia
hanya bilang hendak pergi mencari Kiam-boh nomor satu
di dunia segala dan tidak mengatakan tempat tujuannya."
"Lalu darimana bibi tahu menyusulnya ke Ki-lian-san?"
tanya Peng-say pula.
"Begitu mendengar Kiam-boh nomor satu di dunia,
hatiku tertarik, pernah kutanya Cu Hoay-tong di mana dia
akan mencari kitab pusaka itu, tapi dia tetap tidak mau
mengatakan tempatnya."
"Untung dia tidak memberitahu, kalau tidak, tentu bibi
akan ikut pergi."
"Kalau ikut pergi dan mati rasanya kebetulan malah
bagiku, daripada kemudian aku tertipu oleh gurumu," kata
Ciau-hoa dengan menyesal,
"Selama ini guruku tidak pernah bercerita mengenai
kejadian ini, tapi dari cerita yang kudengar dari Soat Koh,
tindakan guruku itu memang tidak pantas."
"Tidak pantas apa, bahkan keterlaluan, dia. .. . .dia. . . ."
seru Ciau-hoa dengan gusar, air matapun bercucuran.
Melihat sang bibi berduka, cepat Peng-say mengalihkan
pokok pembicaraan: "Bibi, sungguh tidaklah mudah
akhirnya dapat kau temukan mereka di Ki-lian-san."
Ciau-hoa mengusap air matanya dengan sapu-tangan
yang disodorkan Soat Koh, katanya kemudian:
"Sebenarnya dari Cu Hoay-tong juga pernah kudengar
tempat tujuannya meski secara samar2 ia bilang yang dituju
adalah sebuah gunung ternama."
"Jika demikian urusannya menjadi lebih mudah."
"Tapi gunung ternama di dunia ini terlalu banyak,
selama tujuh tahun aku mencari, mujurlah akhirnya dapat
kutemukan tempatnya. Tanpa nasib baik, sampai ubanan
juga jangan harap akan menemukannya."
"Dapat menemukannya juga belum tentu berarti mujur,"
ujar Peng-say.
Ciau-hoa mengangguk, pikirnya: "Memang betul bukan
kemujuran. Kalau tidak kutemukan kitab pusaka itu, tentu
Tio Tay-peng takkan timbul pikiran jahat dan mungkin dia
akan hidup bersamaku hingga tua."
Berpikir sampai di sini. dia mengeluarkan Siang-liukiam-
boh, saking gregeten kitab pusaka itu ingin
dimusnakannya.
Peng-say tidak tahu buku yang dikeluarkan Soat Ciauhoa
itu adalah Siang-liu-kiam-boh, ketika melihat sampul
buku itu tertulis "Siang-liu-kiam" barulah dia menaruh
perhatian penuh.
"Hm. kau ingin memilikinya bukan?" jengek Ciau-hoa
melihat anak muda itu terus mengincar kitab yang
dipegangnya itu.
Peng-say jadi tergegap, katanya: "Dengan ....dengan
sendirinya ingin, apakah ....apakah hendak bibi berikan
padaku?"
"Sekarang belum dapat kuberikan," kata Ciau-hoa.
"Habis ka . . . .kapan?" kata Peng-say.
"Tak dapat kupastikan, bisa jadi tiga tahun sepuluh
tahun dan mungkin lebih lama lagi."
"Masa perlu begitu lama?" tanya Peng-say dengan agak
kecewa.
"Tidaklah sulit jika kau ingin segera memilikinya," kata
Ciau-hoa.
"Bagaimana caranya?" tanya Peng-say girang.
"Rebut saja!"
"Rebut?!Mana kuberani."
"Kenapa tidak berani? Kungfumu lebih tinggi
daripadaku, jelas aku tidak dapat mempertahankan kitab
ini."
Tergelitik juga hati Peng-say dan ada maksud mencoba2nya.
"Hayolah cepat turun tangan!" Ciau-hoa menantangnya
pula. "Asalkan kau sanggup merebutnya takkan kusalahkan
kekasaran tindakanmu."
"Bibi," kata Peng-say, "betapa hasratku ingin menuntut
balas, tentu bibi cukup memaklumi."
"Tentu saja kumaklum, tapi kalau kau tidak main rebut,
tentu kau harus tunggu lagi lima atau sepuluh tahun lagi."
Selagi Peng-say bermaksud bertindak, tiba2 dilihatnya
Soat Koh melangkah ke belakang gurunya, lalu menggeleng2
kepala kepadanya.
Tergerak pikiran Peng-say: "Ya. Mana bisa bibi begini
murah hati padaku? Jangan2 kitab ini palsu. bukan kitab
yang tulen."
Maka dengan tertawa ia berkata: "Ah, mana berani
kumain rebut segala. biarlah kelak bila bibi suka hati dan
mau memberikannya padaku barulah kuberani terima."
"Jika begitu boleh kau tunggu saja," kata Ciau-hoa
sambil menyimpan kembali kitabnya.
Kesempatan baik telah di-sia2kan, Peng-say rada
menyesal. Tapi lantas teringat tentunya tiada sebabnya Soat
Koh menggeleng padanya, kitab itu pasti palsu, andaikan
dapat merebutnya juga tiada gunanya sama sekali.
Selagi ia menghibur dirinya sendiri, tiba2 sang bibi
berkata: "Mendingan kau tidak main rebut, sekali kau main
rebut, tentu kubikin kau menabas buntung tangan kirimu
sendiri."
Air muka Peng say menampilkan perasaan tidak
percaya.
Mendadak jari Ciau-hoa menjentik, "crit", setitik sinar
perak menyambar ke atas. kontan mnancap pada buntut
seekor cecak yang lagi merayap di dinding. Itulah sebuah
Am-gi atau senjata rahasia berbentuk jarum yang sangat
lembut.
Baru saja Peng-say sempat melihat jelas bentuk senjata
rahasia itu. tahu2 cecak itu telah jatuh ke bawah.
Padahal kaki cecak secara alamiah berdaya isap dan
dapat melengket di dinding dengan sangat kuat. biarpun
matipun tidak mau jatuh ke bawah. Tapi sekarang hanya
satu biji jarum kecil saja mengenai ekornya dapat
membuatnya jatuh.
Waktu Peng-say mengamatinya, dilihatnya badan cecak
yang jatuh di lantai itu dari warna putih kelabu telah
berubah menjadi hitam hangus.
Dengan pelahan Soat Ciau-hoa lantas berkata: "Dahulu,
waktu gurumu merampas kitab pelajaran Pedang Kiri
dariku, diluar tahunya lengan kanannya telah kutusuk
dengan jarum ini. Apabila tadi kau jadi main rebut, tentu
kau pun tak terhindar oleh tusukan jarumku ini."
Muka Peng-say menjadi pucat setelah mendengar
keterangan ini, sama sekali ia tidak tahu sang bibi masih
ada ilmu simpanan. bila dirinya sembarangan main rebut,
tentu akan terperangkap dan mungkin saat ini lengan
kirinya sudah buntung.
Didengarnya Soat Ciau-hoa lagi berkata pula: "Kulihat
waktu main pedang, tangan-kananmu selain disisipkan
pada ikat pinggang, mungkin karena latihanmu hanya
terpusat pada pedang kiri sehingga tangan kanan
hakikatnya seperti barang cacat yang tak terpakai. Karena
kau sudah biasa menggunakan tangan kiri, dengan
sendirinya kau akan rebut kitabku dengan tangan kiri pula,
dan bila tangan-kirimu tertusuk jarumku. dalam sekejap
saja racun akan menjalar ke siku, mau-tak-mau kau harus
memenggal lengan kirimu sendiri bilamana ingin
menyelamatkan jiwanu."
Apabila lengan kiri sampai buntung, maka Pedang Kiri
yang telah dilatihnya selama ini akan hanyut juga, makin
dipikir Peng-say merasa makin ngeri, Sungguh tak pernah
terpikir olehnya bahwa sang bibi ternyata seorang
perempuan yang begini keji.
"Dalam hatimu sekarang tentu kau memaki aku ini
orang keji bukan?" tanya Ciau-hoa, "Hm, bila benar2 aku
sekeji itu. tentu tidak perlu kukatakan rahasiaku ini
kepadamu. Mendingan lantaran kau dapat menghormati
orang tua dan tidak berani bertindak kasar sehingga
terhindarlah kau dari malapetaka. Untuk selanjutnya
menghadapi segah sesuatu hendaklah kau ber-hati2.
berpikirlah sebelum bertindak."
Atas petua ini, terpaksa Peng-say menunduk dan
menjawab: "Ajaran bibi memang benar."
Waktu menengadah. dengan sorot mata berterima kasih
ia pandang Soat Koh sekejap.
"Padahal, umpama benar kau main rebut, setelah Suhu
menusuk kau dengan jarumnya, tentu juga beliau akan
segera memberi obat penawar padamu." kata Soat Koh.
"Ya, kuyakin tidak nanti bibi melihat kematianku tanpa
menolong. Maksud tujuannya hanya memberi hajar adat
saja padaku, sungguh aku sangat berterima kasih," kata
Peng-say.
"Hm, mula2 kau mengejek diriku, sikapmu itu . . tidak
hormat padaku, lalu berani main rebut kitab segala, kan
pantas bila kuhukum kau dengan pemenggal sebelah
lenganmu. Kenapa mesti kutolong kau pula?" jengek Soat
Ciau-hoa.
"Suhu, bilakah dia mengejek dirimu?" tanya Soat Koh.
"Suruh dia bicara sendiri," omel Ciau-hoa.
"Ya, memang salahku tidak seharusnya kubilang bibi
menemukan Siang-liu-kiam-boh bukan tanda kemujuran,"
tukas Peng-say.
"Kau mengejek aku saling menganiaya dengan gurumu
lantaran berebut Siang-liu-kiam-boh, dari situ kau anggap
penemuan kitab itu bukanlah kemujuran," kata Ciau-hoa.
"Tapi kalau Tio Tay-peng tidak tiba2 timbul pikiran jahat
dan membuntungi lengan kiriku, manabisa menimbulkan
saling menganiaya begitu? Dia yang lebih dulu tidak setia
padaku. dengan sendirinya akupun tidak perlu mengampuni
dia."
Peng-say tidak berani banyak omong lagi, ia cuma
mengiakan saja.
"Sudah selesai belum nasi yang kau tanak?" tanya Ciauhoa
tiba2 kepada Soat Koh.
"Sudah beres, sebentar kubuat lagi sedikit dendeng dan
sayur asam," jawab Soat Koh.
"Lekas dibuatkan, isi perut lebih penting," kata Ciau-hoa.
"Mayat2 ini biar dibereskan oleh kakakmu Peng sendirian."
Peng-say lantas menyeret mayat2 itu keluar. Dilihatnya
Soat Koh sedang membuat sayur dj dapur yang gelap, ia
bermaksud menyalakan obor untuk membantunya. Tapi
dilihatnya sang bibi telah memanggilnya: "Kemari sini,
ingin kutanya pula padamu."
Peng-say mendekatinya dan berduduk, tanyanyaa: "Bibi
ingin tanya apa?"
"Sesungguhnya kau mengharapkan Pedang Kanan
Siang-liu-kiam dariku atau tidak?" tanya Ciau-hoa.
"Mengapa tidak?" jawab Peng-say. "tapi bibi sudah
mengatakan harus menunggu lagi lima atau sepuluh tahun .
. . ."
"Bila kuajarkan setelah sepuluh tahun lagi, bagimu
apakah tidak kehilangan kesempatan untuk menuntut
balas?"
"Memang, bisa jadi dalam waktu beberapa tahun lagi
musuh sudah meninggal. tatkala mana Siang-liu kiam-hoat
juga tiada gunanya lagi bagiku. Tapi kalau bibi berkeras
begitu. terpaksa kutunggu saja."
"Kaupun tidak perlu tunggu, cukup asalkan kau dapat
membujuk gurumu mengeluarkan Kiam-boh yang
dimilikinya, dapatlah kita adakan tukar-menukar."
"Bagus sekali kalau begitu," kata Peng-say dan tertawa
"Itulah syarat pertama yang kukatakan tadi. Mengenai
syarat kedua, bila tidak kau taati, maka soal tukar-menukar
kitab pun batal."
"Syarat kedua ini agak ..." Peng-say merasa serba susah.
"Sudah kukatakan kau harus bersikap dingin padanya,
tapi kau tidak berbuat demikian, sebaliknya malah sangat
menurut kepada setiap perkataannya. Tahukah sebabnya
mendadak kukatakan akan mengajarkan Siang-liu-kiamhoat
padamu setelah lima atau sepuluh tahun lagi?"
"Masa lantaran .... lantaran aku tidak menjauhi
muridmu? . . . ."
"Bukankah memang begitu? Jika syarat kedua ini tidak
kau laksanakan, jangankan cuma lima atau sepu]uh tahun.
selama hidup juga jangan harap akan mendapatkan Siangliu-
kiam-hoat dariku."
"Sungguh aku tidak tahu apa paedahnya bila
kulaksanakan kehendakmu ini?” Peng-say menggeleng.
"Tahukah kau Soat Koh sangat mencintai kau?"
"Apa salahnya kalau begitu?" tanya Peng-say.
"Jika dia menyukai seorang lelaki yang jujur, tentu aku
tidak anti, tapi dia tidak boleh mencintai seorang lelaki yang
tidak teguh imamnya yang di benci gurunya. Sebab seorang
lelaki bila cintanya tidak teguh, akibatnya yang rugi ialah
pihak peremruan. Aku tidak mau Soh Koh mengulangi
sejarah gurunya."
"Dimanakah ada tanda aku tidak ....tidak setia atau tidak
teguh? . . . ." tanya Peng-say dengan tergegap.
"Sepenuh hati kau bertekat membalas dendam
sumoaymu, cintamu padanya boleh dikatakan tulus dan
teguh. Tapi sekarang Soat Koh juga mencintai kau. lalu
bagaimana sikapmu?"
Peng-say merasa serba salah, jawabnya: "Aku sendiri kan
belum ber ....beristeri. . ."
"Maksudmu, karena Soat Koh cinta padamu, supaya
tidak mengecewakan dia, maka kau mau nikahi dia?"
"Lelaki sudah dewasa wajib menikah, asal.. .. asalkan
Soat Koh sudi menjadi .... menjadi isteriku dan bibi juga
setuju, Soat Koh memang. . .memang jodohku yang
setimpal."
"Hm. kau nikahi dia karena terpaksa, apakah kelak kau
tak menyesal?"
"Masa keponakan ter . . . terpaksa?”
"Tidak terpaksa, jadi sukarela?"
Peng-say mengangguk.
Mendadak Soat Ciau-hoa menjadi gusar, raungnya
tertahan: "Kau masih berani menyatakan cintamu ini
setulus hati?"
"Memangnya ken.... kenapa?" Peng-say terkejut.
"Dalam pandanganmu Cin Yak-leng sudah menjadi
isterimu, kata2 ini diucapkan oleh kau sendiri, betul tidak?"
"Betul," jawab Peng-say.
"Nah, sekarang isterimu mati dan kau nikah lagi, apakah
cintamu ini tulus dan murni?"
Peng-say tak acuh, jawabnya: "Kalau Yak-leng tidak
mati, tentu saja akan kunikahi dia. Sekarang dia telah
terbunuh, aku bersumpah akan membalaskan dendamnya.
Kata orang kuno, ada tiga pasal orang yang tidak berbakti,
pasal utama di antaranya ialah tidak punya keturunan.
Nah, tentu aku tidak boleh sendirian selama hidup hanya
lantaran kematian Yak-leng. Kelak, bilamana Soat Koh
sudah menjadi isteriku, cintaku padanya akan teguh tanpa
berubah selamanya, kenapa bilang cintaku tidak murni?"
"Kentut!" bentak Ciau-hoa mendadak.
Tanpa terasa ia memaki. suaranya menjadi agak keras,
kuatir didengar Soat Koh, ia coba berpaling kesana, untung
Soat Koh asyik membuat sayur dan tidak memperhatikan
apa yang terjadi di sini.
Dengan suara tertahan Soat Ciau-hoa lantas berkata
pula: "Kaum lelaki kalian memang terlalu egois, sedikit2
menonjolkan ujaran orang kuno tentang tiga pasal tidak
berbakti segala, hakikatnya kentut belaka. Kalau bukan
diracuni oleh ujar orang kuno itu, tidak nanti adik
perempuanku menjadi korban lelaki seperti ayahmu itu. . .
Kalau menurut pernyataannya, jadi ayahmu itupun
pencinta yang luhur? Dia menyukai adik perempuanku, tapi
lantaran tidak disetujui Leng Tiong-cik. dia tidak berani
membela ibumu dan membiarkan ibumu diusir oleh Leng
Tiong-cik. Baginya. cintanya terhadap Leng Tiong-cik
adalah tulus dan murni, hanya demi mendapatkan anak,
maka dia bergendak dengan adik perempuanku, ia merasa
perbuatannya itu harus dimaklumi demi mendapatkan
keturunan yang merupakan salah satu pasal utama ketidak
berbakti orang lelaki. Tapi apakah kaum lelaki pernah
berpikir bagi nasib ibumu? Bukankah hidupnya menjadi
merana lantaran perbuatan ayahmu? Jika bukan Sau Cenghong,
tidak nanti kau kehilangan kasih ibu dan ayah sejak
kecil?"
Peng-say tertunduk dan tidak dapat bersuara.
Makin bicara makin marah Soat Ciau-hoa. sambungnya
pula: "Ingin kutanya padamu. setelah kau nikahi Soat Koh,
apabila dia tidak dapat melahirkan, lalu bagaimana
sikapmu?"
"Tidak ....tidak nanti kunikah lagi . . . ." jawab Peng-say
dengan tergagap.
"Hm, aku tidak percaya di dunia ada lelaki sebaik ini,
sudah tentu bukannya tidak mungkin ada lelaki demikian,
tapi kau ini anaknya Sau Ceng-hong. ada ayah masa ada
anak yang tidak menurun? Terhadap orang lain mungkin
aku masih menaruh harapan bagi Soat Koh. tapi terhadap
dirimu, betapapun aku tidak percaya."
"Dengan contoh seperti nasib ibuku, mana dapat kubikin
susah lagi anak perempuan lain?" bantah Peng-say.
"Jika demikian, jadi bila benar2 Soat Koh tidak dapat
melahirkan anak, maka kau tetap akan setia padanya, pasti
tidak meniru cara ayahmu?"
"Ya, pasti tidak!" jawab Peng-say tegas.
Soat Ciau-hoa menggeleng, katanya: "Kukira jika kau
benar2 seorang setia, tidak seharusnya kau nikah lagi
dengan Soat Koh."
Peng-say menjadi bingung, tanyanya: "Mengapa tidak
boleh?"
"Coba jawab, Cin Yak-leng telah melahirkan anak
bagimu belum?" tanya Ciau-hoa.
Muka Peng-say menjadi merah, katanya: "Janganlah bibi
berpikir yang bukan2, selama ini hubunganku dengan Yakleng
selalu berada dalam batas2 kesopanan."
"Bagus." kata Ciau-hoa. "Kalau Cin Yak-leng benar
isterimu, meski dia sudah mati dan tidak meninggalkan
anak bagimu, kan seharusnya kau tidak boleh menikah lagi
melainkan harus taat kepada pernyataanmu sendiri, setia
sampai akhir hidupmu."
"Ini ....ini.... "
"Kenapa? Apa salah?" tukas Soat Ciau-hoa. "Antara
laki2 dan perempuan, asalkan suka sama suka. cinta
mencintai, kenapa mesti hidup resmi suami-isteri baru
benar2 dianggap suami-isteri? Bila Cin Yak-leng tidak mati,
jelas kau pasti akan menikahi dia, ini pernyataanmu sendiri,
kaupun bilang dalam pandanganmu dia sudah menjadi
isterimu. Dengan demikian, bila dia belum mati, tapi
lantaran berbagai rintangan dia gagal menjadi isterimu.
apakah kau takkan menganggap dia sebagai isterimu lagi?
Suami-isteri dalam batin lebih baik daripada suami-isteri
lahiriah, ikatan batin kan lebih kekal daripada ikatan
jasmani?"
Peng-say hanya manggut2 saja tanpa bersuara.
"Akhirnya kau paham juga, bagus sekali! Maka selama
hidupmu ini kau harus membujang seperti seorang
perempuan yang menjanda, selamanya kau tidak boleh
menikah. dengan demikian barulah kau terpuji sebagai
lelaki pecinta yang suci murni."
"Masa di dunia ini ada lelaki yang membujang seperti
perempuan menjanda?. . . ."
"Kenapa tidak ada? Perempuan boleh menjanda, lelaki
kan juga harus menduda?" dia merandek sejenak, lalu
berkata pula: "Umpama kau tidak tahan membujang dan
ingin beristeri, aku takkan peduli jika kau ambil isteri orang
lain, tapi tidak boleh menikahi Soat Koh. Jika kau anggap
bibimu ini keterlaluan, terserah, boleh kau maki sesukamu
di dalam hati."
"Aku tidak boleh menikahi Soat Koh, dengan sendirinya
akupun takkan menikahi perempuan lain."
"Bisa demikian tentu saja lebih baik," kata Ciau-hoa.
Setelah dipikir, hatinya merasa tidak enak, katanya pula:
"Jangan kau salahkan bibi karena menganggap kau ini
murid Tio Tay-peng. maka sengaja mengarang macam2
alasan untuk menaklukkan kau. Bukan mustahil kau pun
akan setia padanya bila menikahi Soat Koh, tapi kulihat
cintamu kepada Soat Koh tidaklah tulus, hanya disebabkan
dia cinta padamu, karena kasihan, maka kau menikahi dia.
Rasa simpatik begini menunjukkan kau ini pemuda yang
perasa, orang yang perasa tentu juga pencinta yang tidak
teguh, dapat jatuh cinta kepada perempuan lain lagi.
Padahal kalian berdua yang satu adalah keponakanku, yang
lain adalah muridku, sudah tentu aku tidak ingin Kalian
mengalami hal yang menyesal dan mengecewakan. Pula,
sekarang karena kau kasihan kepada Soat Koh dan
menikahi dia, siapa berani menjamin kelak. kau takkan
kasihan lagi kepada anak perempuan lain dan menikahinya
pula. Sebab itulah aku paling benci kepada lelaki yang sok
pencinta. Peng-say. mengingat bibimu, hendaklah kau putus
cinta muridku ini."
Sampai akhirnya nada Soat Ciau-hoa se-olah2 orang
yang memohon dengan sangat, jangankan Peng-say sudah
terpengaruh oleh ocehannya tadi. melulu nadanya yang
memohon ini saja sudah cukup membuat hatinya lunak.
Terpaksa ia menjawab: "Baiklah bibi, akan kulakukan
menurut kehendakmu."
"Bagus, selanjutnya hendaklah kau jauhi dan bersikap
seketusnya terhadap muridku itu. Maklumlah, jika kau
tidak bersikap ketus padanya, tidak nanti dia patah hati.
Dan kalau dia tidak patah hati, sama saja kau bikin celaka
dia selama hidup."
"Kukira cara demikian kurang baik." kata Peng-say.
"Apakah ada akalmu yang lebih bagus untuk mematikan
cinta Soat Koh padamu?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Akan kujauhi dia sedikit demi sedikit supaya tidak
terlalu menyolok sehingga dia juga takkan terluka hatinya,
karena sikapku yang dingin, lama2 dia sendiri juga akan
jemu padaku dan akhirnya dengan sendirinva dia takkan
gubris lagi padaku, cara demikian kan jauh lebih baik?"
Soat Ciau-hoa pikir jalan pikiran Peng-say ini memang
boleh juga, tanyanya kemudian: "Kau yakin akan dapat
menjauhi Soat Koh?"
"Manusia berperasaan, untuk menjauhi seorang teman
yang tak bersalah padamu secara mendadak memang bukan
suatu pekerjaan mudah. tapi lama2 tentu tidak menjadi
soal."
"Tapi kau harus bersumpah," kata Ciau-hoa.
"Bersumpah akan menjauhi Soat Koh? Baiklah, demi
kebaikannya aku akan bersumpah."
"Hanya menjauhi dia saja belum cukup."
'Habis bagaimana?" tanya Peng-say.
"Kau harus bersumpah selama hidupmu takkan
mengadakan upacara nikah dengan Soat Koh."
"Baiklah, demi Allah, aku bersumpah. . . ."
"He. bersumpah apa?" tanya Soat Koh tiba2 muncul dari
dapur dengan membawa nampan berisi nasi dan empat
piring sayuran.
Sementara itu hari sudah jauh malam, sebegitu jauh
Peng-say belum makan apa2, tentu saja perutnya terasa
lapar. ia pandang daharan yang dibawa Soat Koh itu sambil
menelan air liur.
Soat Ciau-hoa sendiri juga sudah lapar, segera ia berkata:
"Mulailah kita makan, Soat Koh, pergi kau mengambil lagi
sebuah bangku."
Setelah menaruh bangku yang diambilnya didepan meja,
Soat Koh mengulangi pertanyaannya tadi kau bersumpah
apa?"
"Oo. . .ti. . .tidak sumpah apa2," jawab Peng-say dengan
tergegap. Ia tidak berani memandang si nona, ia berlagak
mengincar santapan dimeja.
"Sudahlah, jangan omong iseng lagi, marilah makan Soat
Ciau-hoa membelokkan perhatian Soat Koh. Segera ia
mendahului menyumpit sepotong daging dan diberikan
pada Peng-say.
"Terima kasih." ucap Peng-say pelahan. Tanpa sungkan2
Peng-say pegang dendeng itu terus dilalapnya.
"He, nanti dulu. tidak boleh kau makan!" seru Soat Koh
tiba2.
Peng-say jadi melengak, tanyanya: "Tidak boleh
dimakan? Apakah belum masak?"
"Belum masak tentu tidak kusuguhkan," kata Soat Koh
dengan tertawa. "Tanganmu baru saja digunakan menyeret
mayat dan belum dicuci. mana boleh dibuat pegang
makanan?"
"Oya, aku lupa," kata Peng-say sambil menaruh kembali
dendengnya, segera ia menuju dapur untuk cuci tangan.
Soat Koh lantas berbangkit dan hendak ikut ke sana.
"Kau mau apa?" tanya Ciau-hoa.
"Darah masih berlepotan di-mana2, biar kubersihkan
dulu," kata Soat Koh.
"Tidak perlu, bersihkan saja nanti."
"Kalau tidak dibersihkan dulu, rasanya jijik, mana ada
napsu makan?"
"Makanlah sekedarnya, habis makan kita harus
berangkat, buat apa dibersihkan segala?"
"Berangkat kemana?" tanya Peng-say yang baru muncul
dari dapur.
'Mencari gurumu," kataCiau-hoa.
"Mencari guruku?" Peng-say menegas dengan
terperanjat.
"Ya. kenapa, tidak boleh?" kataCiau-hoa.
"Boleh. boleh, tentu saja boleh!" jawab Peng-say cepat.
Sejenak kemudian, ia berkata pula: "Tapi. bibi. janganlah
hendaknya kau mencari guruku untuk berkelahi."
"Cis, siapa yang mencarinva untuk berkelahi?" gerutu
Ciau-hoa. "Kucari dia justeru hendak minta maaf padanya."
"Dahulu guruku yang bersalah kepada bibi, mestinya
beliau yang harus datang kesini dan minta maaf padamu."
"Huh. dia mau minta maaf padaku. tunggu kalau
matahari terbit dari barat."
"Soalnya guruku tidak tahu dimana berada bibi, nanti
kalau sudah kulaporkan, tentu beliau akan datang kemari."
"Sudahlah. kau kan bukan gurumu, darimana tahu dia
akan kesini untuk minta maaf padaku?"
Selagi Peng-say ingin menjelaskan sesuatu, tiba2 Ciauhoa
berkata pula: "Padahal juga bukan urusan dahulu itulah
maka kuhendak minta maaf padanya."
"Oo, memangnya untuk apa bibi minta maaf?"
"Kau lupa pernah kutuduh kau disuruh gurumu kesini
untuk merebut kitab pusakaku, bila bukan demikian. aku
akan menjura dan minta maaf padanya. Akhirnya terbukti
memang bukan begitu, apa yang sudah kukatakan harus
kupegang teguh, janjiku harus kutepati. Jika aku diharuskan
minta maaf karena kejadian dahulu itu, matipun aku tidak
sudi."
"Kedatanganku secara mendadak tentu menimbulkan
salah paham bibi, tapi kalau bibi berkeras hendak mencari
guruku untuk minta maaf, tentu saja akan kubawa ke sana."
"Huh, jangan lain di mulut lain di hati!'" jengek Soat
Ciau-hoa.
"Kutahu guruku sangat ingin bertemu dengan bibi, jika
bibi mau kesana, tentu saja kebetulan, betapapun
keponakan tidak berani lain di mulut lain di hati."
"Jika demikian, mengapa tadi kau kuatir aku akan
mencari dia untuk berkelahi? Karena rasa kuatir ini,
tentunya kau tidak suka membawaku kesana. Apa ini bukan
lain di mulut lain di hati?"
"Betul, keponakan memang kuatir, makanya kuharap
janganlah bibi mencari guruku untuk berkelahi,
permohonanku itu timbul dari lubuk hatiku jadi bukannya
tidak berani membawa bibi kesana. Hendaklah bibi maklum
bahwa guruku benar2 sangat ingin bertemu dengan bibi,
biarpun menyerempet bahaya juga akan kulaksanakan cita2
guruku itu."
Mendengar Peng-say dua kali menyebut Tio Tay-peng
sangat ingin bertemu dengan dia, hati Soat Ciau-hoa jadi
tergerak, pikirnya: "Jangan2 lelaki berheti kaji itu akhir2 ini
merasa menyesal karena telah melukai aku dan hal ini telah
dilihat oleh bocah Sau Peng-say, seharusnya sejak dulu2 dia
mencari diriku."
Ia tidak tahu bahwa Tio Tay-peng memang menyesal
atas perbuatannya dahulu itu, sebabnya dia tidak mencari
Soat Ciau-hoa adalah dia salah sangka ibu Sau Peng-say
sebagai Soat Ciau-hoa. Karena Peng-say mengaku ibunya
sudah meninggal, maka disangkanya Soat Ciau-hoa telah
meninggal. Apabila dia tahu Soat Ciau-hoa masih hidup,
tentu dia akan mencarinya betapa pun rintangan yang harus
dihadapinya.
Maka berkatalah Soat Ciau-hoa: "Baiklah, anggap kau
bicara dengan setulus hati. Bolehlah kita berangkat sehabis
makan."
"Suhu," kata Soat Koh, "sudah beberapa malam engkau
kurang tidur, bagaimana kalau istirahat dulu barang
beberapa hari barulah kita berangkat ke Kimciu?"
"Tidak, tidak boleh istirahat lagi, kita harus cepat2
meninggalkan tempat ini."
"Kenapa mesti ter-buru2?" tanya Soal Kolh.
"Ucapan gurumu memang betul, Soat Koh," kata Pengsay,
"Kita memang harus lekas2 meninggalkan tempat ini."
"Sebab apa?" tanya Soat Koh.
"Con Cu jiu cukup kenal Siang-liu-kiam-hoat, dia sendiri
pernah dikalahkan oleh ilmu pedang ini, sebab itulah dia
bertekad mencari jalan untuk mematahkan setiap jurus ilmu
pedang ini. Meski waktu gurumu bertanding dengan dia
hanya menggunakan Pedang Kanan, kukira dia pasti
mengenali setengah bagian Siang-liu-kiam ini. Karena dia
pernah dikalahkan Toapek, dia menjadi sirik dan rela
menurunkan derajat sendiri dan bergabung dengan Ciamtay
Cu-ih untuk mencelakai pamanku. Sekarang Siang-liu-kiam
muncul kembali. hal ini tentu saja membuatnya tidak enak
makan tidak nyenyak- tidur, kalau gurumu tidak dibereskan
tentu dia tidak rela. Bahwa dia mengirim Boh-pak-samhiong
dengan anak buahnya ke sini, menurut dugaanku,
tujuannya selain hendak menawan gurumu untuk
memaksanya merekam Siang-liu-kiam-hoat, berbareng itu
gurumu akan dipaksa mengaku darimana mendapatkan
ajaran Siang-liu-kiam. Dia kuatir Toapek belum lagi mati,
betapapun dia pasti ingin tahu dengan jelas. Mengingat
urusan sepenting ini, tentu Cuh Cu-jiu tidak bertindak
kepalang tanggung. bisa jadi rombongan Boh-pak-samhiong
hanya perintis yang dikirim, mungkin ia sendiripun
berangkat ke sini. Bilamana kita tidak berangkat sekarang.
kalau anak murid Say-koan sempat bergabung dengan Coh
Cu-jiu dan memburu ke sini maka sukarlah bagi kita untuk
lolos."
"Kukira urusan ini tidak nanti begini kebetulan. Sudah
dua hari Boh-pak-sam-hiong mengerubut Suhu disini.
kenapa dia tidak muncul. Maka kuyakin malam inipun
takkan terjadi apa2 dan Suhu dapat tidur sepuasnya, biarlah
kita berangkat saja besok."
Peng-say sengaja hendak memusuhi kehendak si nona
supaya dia marah, maka ia menjengek: "Hm. kalau kita
berangkat besok, mungkin satupun diantara kita takkan bisa
lolos dari cengkeraman Coh Cu-jiu."
"Kau takut kepada Coh Cu-jiu."
"Aku ingin membalas dendam dan orang pertama yang
akan kucari ialah Coh Cu-jiu, masa kutakut padanya?"
jawab Peng say. "Jika dia datang. kebetulan bagiku untuk
mengadu jiwa dengan dia. Andaikan tidak mampu
kukalahkan dia dan gagal membalas dendam, bagiku tidak
menjadi soal, betapapun bibi tidak boleh ikut menempuh
bahaya. Demi keselamatan bibi, kan pantas kalau kita lekas
meninggalkan tempat ini."
"Baiklah, kutahu kau tidak takut mati menghadapi Coh
Cu-jiu." kata Soat Koh dengan tertawa. "Cuma aku tidak
setuju dengan analisamu. Kau bilang kemungkinan Coh
Cu-jiu akan menyusul tiba, bilamana betul demikian, tentu
Boh-pak-sam hiong dan begundalnya tidak perlu ter-buru2
menyerbu ke dalam sini dan melabrak Suhuku dengan
mati2an, kenapa mereka tidak bertahan dan mengepung
saja sambil menunggu kedatangan Coh Cu-jiu?"
Soat Koh mengira alasannya ini pasti akan membikin
bungkam Sau Peng-say. tak terduga anak muda itu lantas
mendengus, katanya: "Hm, orang yang pikirannya
sederhana memang selalu memandang setiap persoalan
pada permukaannya saja."
Tentu saja Soat Koh mendongkol, ia tertegun . katanya
kemudian: "Kau bilang pikiranku sederhana?"
"Tidakkah memang begitu?" ujar Peng-say. ”Padahal bila
kau mau berpikir lebih cermat, tentu akan paham
segalanya."
"Pikiranku memang sederhana, hakikatnya aku tadak
paham apa2 "jawab Soat Koh dengan marah.
"Karena kau mengaku berpikiran sederhana, kujelaskan
padamu," kata Peng-say. "Sebabnya Boh-pak-sam-hiong
tidak menunggu kedatangan Coh Cu-jui!. alasannya sangat
sederhana, yakni seperti apa yang pernah juga dikatakan
bibi sendiri. mereka ingin memperlihatkan kemampuan
mereka kepada sang Bengcu. Soalnya menurut perhitungan
mereka, orang yang dikirim melapor kepada Coh Cu-jiu
pasti akan tiba kembali dalam waktu singkat ini. Mereka
pikir sebelum Coh Cu-jiu tiba. bila mereka berhasil
menawan bibi, tentu akan berjasa besar. Andaikan sukar
terlaksana keinginan mereka, asalkan bertahan hingga
datangnya Coh Cu-jiu. tentu segala persoalan akan beres
juga. Perhitungan mereka ini bila tidak meleset dari
dugaanku tentu akan lebih terbukti setiap saat Coh Cu-jiu
akan muncul disini. Mengenai Coh Cu- jiu mengirim anak
buahnya supaya menguntit jejak bibi memang bukannya
tidak beralasan. Soalnya dia ingin tahu sebagian Siang-liukiam-
hoat yang lain kecuali sebagian yang dipahami bibi
itu. ia ingin tahu apakah Toapek sudah meninggal atau
masih hidup. Coh Cu-jiu adalah gembongnya kaum iblis,
sudah tentu dia sangat licik dan licin. setiap tindaktanduknya
tentu juga sudah dipikir dengan masak2, tidak
nanti dia berbuat sesuatu kebodohan seperti sangkaan
orang."
Soat Koh menjadi bungkam, betapapun ia tak dapat
berdebat dengan Peng-say, dengan mendongkol ia berolok:
"Bagus, didunia ini ternyata ada orang yang memuji
kepintaran musuhnya."
Diam2 Soat Ciau-hoa merasa puas melihat cara bicara
Peng-say yang tajam itu sehingga membikin sirik Soat Koh,
ia pikir bila begini terus menerus. akhirnya nona itu pasti
akan kecewa dan gemas terhadap anak muda itu dan bisa
jadi cintanva akan pudar. Maka ia lantas menyela:
"Sudahlah. kalian tidak perlu bertengkar, jangan buang2
waktu lagi. lekas makan, lalu berangkat."
"Jangan2 kau percaya ocehannya, Suhu. biarlah kita
berangkat besok saja," demikian Soat Koh masih terus
ngotot.
"Sudahlah, muridku," kata Ciau-hoa. "Kutahu kau
sayang kepada gurumu dan kuatir gurumu terlalu lelah.
Tapi hendaklah jangan kau cuma memikirkan gurumu,
sebaliknya malah bikin celaka kita bertiga. Uraian kakakmu
Peng bukannya tidak beralasan. Daripada tinggal di sini
dengan kemungkinan bahaya akan mengancam, lebih baik
gurumu saja lelah sedikit dan cepat2 meninggalkan tempat
ini."
Terpaksa Soat Koh menganguk dan tidak bicara lagi.
Selesai isi perut, ketiganya lantas bebenah seperlunya, lalu
berangkatlah menuju ke Kamciu.
Sepanjang jalan Soat Koh tidak bicara dengan Peng-say,
mungkin ia masih mendongkol. Tapi kebetulan malah bagi
Peng-say.
—0O0— O0dw0O —0O0—
Jilid 30
SUATU hari sampailah mereka di Kamciu.
"Di mana Suhumu bertempat tinggal?" tanya Ciau-hoa.
"Di kaki puncak Ki-lian." tutur Peng-say.
Mereka bertiga menunggang kuda, maka Peng-say lantas
mendahului melarikan kudanya ke kaki gunung.
Melihat suasana ditepi jalan, diam2 Soat Ciau hoa
merasa gegetun.
Kiranya jalanan ini adalah jalan yang dahulu pernah
dilaluinya bersama Tio Tay-peng waktu dari hotel mereka
menuju ke Ki-lian-san. Kejadian itu sudah 20 tahun
berselang, tapi pemandangan setempat masih serupa
dahulu, sedikitpun tidak berubah.
Ia masih ingat, satu2nya yang berbeda adalah dahulu
sedang turun salju, sedangkan sekarang cuaca terang
benderang, namun urusan dan orangnya sudah tidak sama,
bayangan kekasih di masa lalu itu kini entah berada di
mana?
Setiba di kaki gunung, Soat Ciau-hoa menunjuk sebuah
jalan kecil dan berkata: "Dahulu aku dan Tio Tay-peng
manjat ke atas melalui jalan ini, di atas puncak sana
kutemukan Siang-liu-kiam-boh."
”Di sebuah gua rahasia di sekitar puncak Sana guruku
menetap," tutur Peng-say.
"Oo?" diam2 Soat Ciau-hoa merasa heran mengapa Tio
Tay-peng memilih gua rahasia di sini sebagai tempat
tinggalnya?
Didengarnya Peng-say bertutur pula: "Dua-tiga kali
setiap bulan guruku pasti mendaki ke puncak gunung
melalui jalan kecil ini. Suatu hari pernah kuminta Suhu
membawa serta diriku main2 ke atas gunung, tapi Suhu
tidak mengizinkan, katanya di puncak gunung hanya salju
melulu, tiada sesuatu yang menarik. Karena penolakan
Suhu itu, selanjutnya aku tidak pernah minta lagi, tapi
diam2 kupikir Suhu terlalu mementingkan dirinya sendiri,
diatas puncak tentu pemandangan sangat indah dan Suhu
hanya ingin menikmatinya sendiri."
"Hm, mana boleh kau berpikir begitu, masa ada guru
yang tidak mau menikmati pemandangan indah bersama
muridnya?" jengek Soat Koh mendadak. "Di puncak
gunung sangat dingin dan memang salju melulu, jelas tiada
sesuatu yang menarik, makanya gurumu tidak mau
mengajak serta kau. Hanya orang udik saja yang tidak
pernah lihat salju dan merasa tertarik oleh pemandangan di
puncak gunung."
"Aku memang orang udik, makanya ingin menikmati
pemandangan salju yang memenuhi puncak gunung," kata
Peng-say.
Soat Koh tampak kurang senang, katanya: "Kenapa
akhir2 ini selalu kau bicara ketus padaku?!"
"Jika kau anggap ucapanku kasar, jangan kau gubris
diriku," jawab Peng-say dengan tertawa.
"Hm, memangnya kau kira aku suka menggubris kau?"
jengek Soat Koh. "Hanya karena pendapatmu keliru,
terpaksa aku menyeletuk untuk membetulkan jalan
pikiranmu."
"Bila pandanganku keliru dan kau suka memberi koreksi,
tentu saja aku berterima kasih padamu," kata Peng-say.
"Tapi pendapatku atas kepergian guruku ke atas puncak itu
mempunyai alasan tersendiri. Bibi bilang Siang-liu-kiamboh
ditemukan di atas puncak itu, hal ini mengingatkan
padaku ketika setiap kali Suhuku turun dari atas puncak,
beliau selalu kelihatan berduka, jelas kepergian Suhu ke atas
puncak itu bukan untuk menikmati pemandangan segala.
Tentu beliau ada alasan lain sehingga aku tidak boleh ikut."
"Alasan lain apa?" tanya Soat Koh.
"Bibi, jika aku salah omong hendaklah engkau jangan
marah." pinta Peng-say.
"Katakan saja," ujar Ciau-hoa.
Maka Peng-say lantas menyambung: "Mungkin Suhu
kuatir kuganggu ketenangannya di atas puncak, sebab
beliau di sana hanya termenung mengenangkan kekasihnya
di masa lampau. . . ."
"Maksudmu setiap kali gurumu pergi ke puncak sana
hanya untuk mengenangkan Suhuku?" tanya Soat Koh
dengan tertawa.
"Omong kosong!" omel Soat Ciau-hoa.
"Bukan murid yang omong, tapi dia," ujar Soat Koh
sambil menuding Peng-say.
"Hm, kutahu sebab apa Tio Tay-peng sering naik ke atas
puncak, tentu karena dia tidak puas dengan Pedang Kiri
yang dilatihnya," kata Soat Ciau-hoa. "Meski dia tidak tahu
kitab yang diperolehnya itu cuma setengah bagian, tapi
dalam hati dia tahu hanya Pedang Kiri saja tidak mungkin
mencapai nomor satu di dunia. Demi untuk menyelidikinya
secara tuntas, maka dia sering mendatangi tempat wafatnya
Sau Ceng-in dengan tujuan kalau dapat menemukan Kiamboh
yang benar2 dapat membuatnya menjadi jago pedang
nomor satu di dunia."
"Tapi selain Siang-liu-kiam-hoat, pamanku tidak
mempunyai ilmu pedang lain lagi yang dapat dikatakan
nomor satu di dunia, sedangkan guruku sudah tahu dengan
pasti bahwa yang dilatihnya adalah Siang-liu-kiam-hoat,
mana mungkin dia mencari Kiam-boh lain lagi? Betapapun
tuduhan bibi kepada guruku ini tidak dapat kusetujui."
"Aku tidak perlu minta persetujuanmu," jengek Ciauhoa.
"Jika tidak percaya, setiba di atas pun tak nanti tentu
dapat kau buktikan bahwa ucapan bibimu tidaklah keliru."
Begitulah mereka lantas turun dari kuda dan berjalan ke
atas menyusuri jalan sempit itu.
Jalan itu jarang dilalui orang sehingga hampir tidak
kelihatan sebagai jalan lagi, ditambah dari atas gunung
sering ada salju yang cair dan mengalir turun melalui jalan
itu, maka jalannya terasa lembab dan licin.
Tidak jauh, Peng-say meninggalkan jalan sempit itu dan
melompat ke atas batu padas terus melayang ke atas. Hal ini
segera ditiru oleh Soat Ciau-hoa dan Soat Koh, dengan
Ginkang mereka terus melayang dan meloncat ke atas
dengan cepat.
Setiba di suatu tempat yang agak datar, tertampak di
pojok sana ada sebuah gua, untuk memandang ke sini dari
bawah harus dilakukan dengan mendongak, tapi
dibandingkan puncak Ki-lian yang ribuan kaki tingginya,
tempat ini tidak lebih hanya kaki gunung saja.
"Di dalam gua inilah guruku bertempat tinggal," kata
Peng-say.
"Sungguh tak tersangka dibalik batu2 padas ada tempat
datar begini, hebat juga gurumu dapat menemukannya,"
kata Soat Koh.
Karena bakal bertemu dengan bekas kekasihnya,
betapapun hati Soat Ciau-hoa rada berdebar, suaranya
menjadi rada gemetar, dengan tergegap ia bertanya;
"Apakah Su . . . .Suhumu sekarang berada di dalam gua?"
"Mungkin tidak ada," jawab Peng-say. "Kalau beliau ada
di dalam gua, kedatangan kita tentu sudah dilihatnya.
Sekarang tiada terdengar sesuatu suara, agaknya Suhu telah
naik ke atas puncak lagi."
Diam2 Ciau-hoa menghela napas lega, ejeknya: "Hm,
tentunya ke atas gunung untuk mencari pusaka pula."
Peng-say mendahului masuk ke dalam gua, tapi
mendadak ia bersuara heran: "He, tidak betul'"
"Tidak betul bagaimana?!" tanya Ciau-hoa dengan
jantung berdetak.
"Tampaknya sudah lama sekali Suhu meninggalkan
tempat ini," kata Peng-say. Dia meraba debu di atas meja
batu, lalu berkata pula: "Inilah tempat yang kami gunakan
sebagai meja makan, biasanya selalu dibersihkan, tapi
sekarang debu setebal ini. jelas sudah cukup lama meja ini
tidak pernah digunakan."
"Mung . . . mungkinkah terjadi sesuatu?" tanya Ciau-hoa
dengan kuatir.
"Kukira tidak sampai terjadi apa2," kata Peng-say.
"Mungkin kedatangan kita tidak kebetulan, Suhu sedang
pergi ke tempat jauh dan sudah beberapa bulan tidak
pulang."
Ciau-hoa agak kecewa, tanyanya pula: "Apakah kau tahu
dia pergi kemana?"
"Bila Suhu pergi jauh, beliau tentu meninggalkan pesan,
boleh jadi dia akan memberitahukan padaku kemana beliau
pergi," kata Peng-say sambil mendekati sebuah tempat
tidur, ia coba menggerayangi bawah tempat tidur.
"Apa yang kau cari?" tanya Soat Koh.
Peng-say tidak menjawab, tapi dari bawah tempat tidur
ditariknya keluar sebuah peti kayu. Ia membuka tutup peti,
dilihatnya isinya cuma pakaian melulu dan tiada secarik
kertas apapun.
"Aneh," gumamnya. "Suhu pergi jauh tapi tidak
membawa pakaian, juga tidak meninggalkan pesan.
Padahal waktu kuturun gunung, beliau telah berkata
padaku bahwa bila beliau bepergian tentu akan
meninggalkan surat di dalam peti ini."
Soat Ciau-hoa tampak ikut prihatin, katanya; "Kukira
mungkin terjadi sesuatu diluar dugaan. Apakah gurumu
selalu membawa Siang-liu-kiam-boh di dalam bajunya?"
"Selamanya Suhu tidak pernah membawa benda2
penting dalam bajunya, milik beliau yang penting selalu
disembunyikan di liang yang terletak di bawah tempat
tidur," tutur Peng-say.
"Jika begitu lekas kau periksa adakah terdapat Siang-liukiam-
boh," kata Ciau-hoa. "Kalau tidak ada, hanya ada dua
kemungkinan. kitab pusaka itu dibawa serta oleh gurumu
atau sudah ditemukan oleh musuh yang telah mencelakai
gurumu."
Segera Peng-say meraba lagi kebawah tempat tidur.
dipindahkannya sepotong batu, lalu ditariknya keluar satu
bungkusan dan dibukanya, terlihatlah benda2 berharga
sebangsa emas perak, tiada terdapat barang sejenis kitab dan
sebagainya.
"Coba cari lagi!" kata Ciau-hoa dengan agak tegang.
Peng-say meraba pula agak lama, akhirnya ditemukan
lagi satu bungkus kecil kain biru berbentuk segi empat,
sekali pandang lantas tahu isinya pasti sebangsa buku.
Cepat bungkusan itu dibukanya, betul juga, isinya adalah
beberapa jilid buku pelajaran silat serta cara2 bersemadi
agar menjadi dewa segala, yaitu sebangsa primbon yang
banyak terdapat di pasar. Tapi seselah diperiksa lagi, paling
bawah adalah satu jilid buku kain tipis, sampul buku tiada
tertulis apa2, hanya pada kanan-kiri terlukis sebatang
pedang panjang.
"Itulah Siang-Hu-kiam-boh," seru Ciau hoa. "Jika
kitabnya masih terdapat disini. tentunya gurumu juga tidak
mengalami bahaya. Mungkin gurumu sedang pergi jauh
dan belum pulang. Jika ada alangan, tidak nanti kitab
pusaka yang diincar setiap orang ini masih tersimpan
dengan baik disini."
Peng say sendiri tidak pernah melihat kitab pusaka ini.
iapun tidak tahu apakah kitab ini tulen atau palsu. Ia coba
membalik halaman pertama, tertampaklah di tengah2
halaman tertulis "Siang-liu-kiam-boh", sehalaman penuh
hanya tertulis empat huruf-besar ini. hanya di bagian kanan
atas diberi catatan oleh Tio Tay-peng yang berbunyi: "Kitab
ini dihadiahkan kepada anakku Tio Peng-say, dari ayah".
Sekali pandang saja Peng-Say lantas mengenali tulisan
tangan gurunya, ia tidak heran tentang salah paham
gurunya yang menyangka dirinya sebagai anaknya.
Tapi Soat Ciau-hoa lantas gusar, tanyanya: "Siapa itu
Tio Peng-say?"
Kiranya iapun dapat mengenali tulisan Tio Tay-peng, ia
tidak menyangka laki yang tidak setia itu mempunyai pula
anak yang bernama "Tio Peng-say", maka ia sangat marah.
Cepat Peng-say menjawab: "Yang dimaksud ialah
diriku."
"Kau. . . .kau. . . .jadi kau ini anak Tio Tay-peng?" teriak
Ciau-hoa dengan suara melengking.
"Bukan, Suhu salah sangka ...,."
Tapi Soat Ciau-hoa sudah kadung naik darah, ia tuding
Peng-say dan memaki: "Bagus, kau memang nomor satu
dalam hal berdusta. Hm, tadinya kau mengaku sebagai
anak Sau Ceng-hong, dustamu ini sungguh sangat rapi,
pantas kau tahu seluk-beluk keluarga Soat kami, kiranya
kau ini anak haram yang dilahirkan adik perempuanku
yang tidak tahu malu dengan keparat Tio Tay-peng itu."
Dia tidak memberi kesempatan kepada Peng-say untuk
memberi penjelasan, mendadak ia berpaling dan berkata
kepada Soat Koh. "Lolos pedangmu dan bantu aku
membunuh anak haram ini!"
Melihat sang guru benar2 murka dan mencabut pedang.
cepat Soat Koh berseru: "Suhu, bukankah sudah kau
sanggupi takkan membunuh dia?"
"Aku berjanji takkan membunuh muridnya Tio Taypeng,
tapi tidak pernah menyanggupi tidak membunuh
anaknya," jawab Soat Ciau-hoa.
"Apa per. . . .perbedaannya?" ujar Soat Koh.
Ciau-hoa tahu sendirian sukar membunuh Peng-say, ia
menjadi gusar melihat Soat Koh belum lagi melolos
pedangnya, damperatnya dengan gusar: ”Budak kurang
ajar, tambah lama kau kau tambah tidak menurut perintah
gurumu!"
"Bukan murid tidak menurut perintah, tapi kita sudah
berjanji tidak membunuhnya, kita tidak. . .. tidak boleh
ingkar janji. . . ."
"Anak haram ini telah menipu kita, dosanya harus mati"
teriak Ciau-hoa,
"Bibi," kata Peng-say, "dapatkah kau tenangkan diri dan
dengarkan penjelasanku?"
"Bukti nyata terdapat di depan mata, apalagi yang akan
kau jelaskan?" damperat Ciau-hoa.
"Suhu, berikan kesempatan padanya," Soat Koh ikut
memohon.
Sambil mengangkat pedangnya, Soat Ciau-hoa berteriak
dengan gusar: "Jika kau tidak segera melolos pedang dan
membunuhnya, selanjutnya kita putus hubungan sebagai
ibu dan anak."
"Apa katamu, Suhu?!" teriak Soat Koh terkejut.
"Orang ini adalah kakakmu, kau telah mencintai
kakaknya sendiri, kalau bukan dia yang mampus biarlah
kau yang mati, sudah ber-ulang2 ibu memperingatkan agar
jangan menggubris anak atau murid Tio Tay-peng, yang
kukuatirkan justeru kejadian ini. Sekarang hal ini benar2
terjadi, bila kau merasa berat membunuh kakak sendiri.
boleh kau bunuh diri saja."
Soat Koh tampak sedih, katanya: "Sekalipun dia
memang kakakku dari satu ayah, tapi kami....kami tidak
berbuat. . . ."
"Lolos pedangmu!" teriak Ciau-hoa dengan bengis.
Mendadak Peng say bergelak tertawa, katanya: "Hahaha,
di dunia ini ternyata ada orang memaksa kakak adik saling
membunuh, sungguh jarang terlihat."
"Justeru sekarang boleh kau lihat!" bentak Ciau-hoa.
"Bibi, seumpama kau benci pada guruku yang tidak setia
padamu dan anaknya harus kau bunuh untuk
melampiaskan dendammu, tapi tidak seharusnya dalam
keadaan demikian kau katakan rahasia ayah Soat Koh.
Perlu bibi ketahui, Soat Koh dan aku sama2 suci bersih,
jangan kau gunakan alasan hubungan kami yang tidak
senonoh dan mendesak dia membunuhku. Kini biarpun kau
paksa dia. kukira dia takkan sampai hati membantu kau
membunuh kakaknya sendiri."
Mendadak Soat Ciau-hoa mengacungkan pedangnya
sambil berteriak: "Tanpa bantuannya, aku sendiripun
sanggup membunuh kau!"
Peng-say berlagak tak acuh untuk meredakan suasana
yang tegang, katanya dengan tertawa: "Sudah tentu, aku
memang bukan tandingan bibi, tapi kumohon sebelum bibi
turun tangan sudilah berpikir lagi lebih cermat apakah
mungkin aku ini anak Tio Tay-peng? Usia Soat Koh lebih
muda dari padaku, apakah sebelum bibi kenal guruku. lebih
dulu ibuku sudah kenal dia?"
Pertanyaan terakhir ini membikin pikiran Soat Ciau-hoa
agak jernih, pikirnya: "Ya. memang tidak mungkin. Sejak
kukenal Tio Tay-peng sehingga putus hubungan, belum
pernah kami berpisah seharipun. Pada masa itu tidak
mungkin dia kenal Kun-hoa, jika mereka kenal setelah
hubungan kami putus tentu tidak dapat melahirkan anak
yang lebih tua daripada Soat Koh. Jangan2 Tio-peng yang
linglung itu benar2 salah mengenali bocah ini sebagai anak
yang kulahirkan?"
Tiba? dilihatnya Peng-say mengeluarkan satu biji mutiara
merah. Soat Ciau-hoa kenal mutiara ini, serunya: "He, Pitun-
cu!"
"Betul, lantaran Pi-tun-cu inilah guruku salah sangka aku
sebagai puteranya," kata Peng-say sambil menuding mutiara
merah yang dipegangnya. "Hal ini tidak kuketahui
sebelumnya, Kiau-jisuko yang membantuku menganalisa
sebab-musabab guruku mau mengajarkan Siang-liu-kiam
kepadaku. Kalau bukan disebabkan salah sangka guruku,
biar pun dia mau terima aku sebagai muridnya tentu juga
aku diharuskan memenggal lengan kanan sendiri seperti
dia!"
"Soat Koh," kata Ciau-hoa tiba2, "coba keluarkan Pi-tuncu
pemberian ibu itu."
"Bibi, sudah jelas dia she Tio, mengapa masih
memanggilnya Soat Koh?" ujar Peng-say.
"Mengapa ibumu dahulu juga menyuruh kau she Soat
dan tidak memberitahukan bahwa sebenarnya kau she
Sau?" jawabCiau-hoa.
Peng-say menjadi bungkam. Soat Ciau-hoa berkata pula:
"Akupun mempunyai pikiran yang sama dengan ibumu,
tidak ingin anak kandung sendiri ikut she ayahnya yang
tidak berbudi dan tidak setia. Sang ayah tidak memenuhi
kewajiban sebagai orang tua, mana boleh menerima
keturunan tanpa susah payah?"
"Kenapa tidak kau katakan sejak dulu?, ibu. selama ini
anak mengira dirinya adalah anak yatim piatu yang tidak
punya ayah-ibu," kata Soat Koh.
"Sejak kecil kau sering tanya padaku mengenai ibumu,"
tutur Ciau-hoa dengan menyesal, "aku pura2 kenal ibumu,
padahal yang kuceritakan adalah kisah hidupku sendiri.
Sebabnya tidak kukatakan siapa ibumu adalah karena aku
mempunyai kesukaran sendiri. Aku lebih suka selama hidup
tidak dipanggil ibu daripada kau mengetahui perbuatan
busuk ayah-bundamu di masa lalu."
"Tapi hubungan antara bibi dan guruku kan sudah
diketahui olehnya?" sela Peng-say.
"Kuceritakan pengalamanku yang pahit itu kepadanya
adalah supaya dia paham betapa busuknya kaum lelaki
sehingga tidak sampai mengulangi sejarah ibunya. Kupikir,
kalau dia tidak tahu aku ini ibunya, tentu hubungan kalian
yang harus dibatasi ini tidak sampai mempengaruhi
jiwanya, tak tersangka, meski kuperingatkan dengan susahpayah,
tetap tidak ada gunanya," Ciau-hoa meng-geleng2,
lalu menyambung pula: "O, anakku bila nasihat ibu tidak
kau turut. kelak tentu kau akan tertipu pula oleh lelaki."
Soat Koh tertawa, katanya: "Bu, jangan kuatir, anak
cukup cerdik. kalau pihak lawan tidak ber-sungguh2 hati,
tidak mudah anak tertipu."
"Anak-cucu mempunyai rejekinya masing2, akupun
malas lagi urus dirimu," ujar Soat Ciau-hoa. "Mana Pi-tuncu
itu, coba keluarkan!"
"Sampai sekarang apakah bibi masih sangsi padaku?"
tanya Peng-say.
"Ya, kalau Soat Koh tidak dapat memperlihatkan Pi-tuncu,
jelas ceritamu tentang Tio Tay-peng salah mengenali
kau sebagai anaknya lantaran melihat mutiara merah ini
tentu juga bohong besar."
Soat Koh lantas membalik kesana untuk membuka baju
luar, sampai lama barulah ia dapat mengeluarkan Pi-tun-cu
yang disimpannya di dalam kutang.
Mutiara ini asalnya adalah milik Cui-hun Tojin, yaitu
murid tertua Bu-tong-pay, bentuknya serupa dan besarnya
juga sama seperti Pi-tun-cu milik Peng-say itu, andaikan ada
sedikit perbedaannya, kalau tidak tahu bahwa mutiara itu
ada dua biji, tentu mudah dikacaukan.
Dengan tertawa Peng-say berkata: "Untung mutiaramu
tidak hilang, kalau tidak tentu bibi akan menyangka
mutiaraku ini adalah pemberianmu."
Soat Koh melotot padanya, katanya: "Manabisa
kuhilangkan mutiara ini, lebih2 tidak nanti kuberikan
padamu."
Melihat mutiara anaknya masih tersimpan baik2, Ciauhoa
merasa lega, katanya: "Kelak bila kau dapatkan orang
yang dapat dipercaya, dengan sendirinya boleh kau berikan
mutiara ini kepadanya seperti pernah kukatakan padamu.
Tapi harus hati2. jangan salah pilih orang,"
Peng-say lantas menggoda: "Pantas tidak nanti diberikan
padaku. kiranya aku bukan orang yang dipenujui nona."
Dengan gusar Ciau-hoa melototi anak muda itu dan
mengejek: "Kurang ajar! Hendaklah kau bersikap sopan
sedikit, mulai sekarang jauhi anak-perempuanku. Mana
kitabnya? Setelah bertukar, pergilah kau ke arahmu sendiri
dan jangan bertemu lagi dengan anakku."
"He, seb. . . .sebab apa?" tanya Soat Koh cepat.
"Kenapa? Kau merasa berat berpisah dengan bocah ini?"
tanya Ciau-hoa.
"Ti. . . .tidak. . bukan. . . ." Soat Koh menjadi malu.
"Baik, ibu sangat senang karena Pi-tun-cu tidak kau
berikan padanya, walaupun bocah ini tidak jelek, tapi kau
harus paham dia murid siapa dan anak siapa? Satu saja
cukup, apalagi dua2nya, baik guru maupun ayahnya adalah
lelaki yang tak dapat dipercaya, lalu apakah dia ini dapat
dipercaya? ”
"Aku lebih suka kau kawin dengan seorang cacat
daripada ikut dia." Dalam gugupnya Soat Koh menjadi lupa
akan malu, serunya: "Peng-ko!"
"Ada apa?" tanya Peng-say.
"Ayolah. katakan isi hatimu kepada ibuku!"
"Isi hati apa?" tanya Peng-say pula.
"Tidak dapatkah kau nyatakan hatimu tetap tak kan
berubah untuk selamanya?"
"Apa gunanya biar pun kukatakan?" Peng-say berlagak
bodoh.
Berderailah air mata Soat Koh. katanya dengan terputus2:
"Nyata dalam ....dalam hatimu hakikatnya .... tidak
ada diriku . . . ."
"O, anakku, rupanya baru sekarang kau tahu. kata Ciauhoa.
"Bilamana dia memikirkan kau mustahil dalam
keadaan begitu dia tidak bicara. Maksud tujuan bocah ini
jelas cuma mengincar Pedang Kananmu, kini tujuannya
hampir tercapai, mana dia pikirkan dirimu lagi? Kan sudah
kukatakan betapapun dia tidak dapat dipercaya?"
"Makanya aku tidak perlu menyatakan isi hati segala,"
tukas Peng-say sambil menyengir.
Ciau-hoa kuatir dalam keadaan terangsang bisa jadi anak
muda itu akan menceritakan terpaksa harus menjauhi Soat
Koh karena ditekan oleh dirinya. Maka cepat ia menyela:
"Lekas berikan kitab mu!"
"Apakah bibi tidak ingin menemui guruku lagi?" tanya
Peng-say.
"Aku sengaja datang minta maaf padanya, tapi dia tidak
ada di sini, mana mungkin kutunggu dia di sini? Biarlah
pertemuan ini kubatalkan saja."
"Bibi masih dendam pada guruku, bila bertemu tentu
marah, boleh juga tidak jadi bertemu.Mengenai minta maaf
segala kukira juga tidak perlu. Tapi bibi kan seharusnya
memberi kesempatan kepada Soat-Koh untuk menemui
ayahnya."
Soat Koh gemas kepada Peng-say karena anak itu tidak
berbudi, ucapnya sambil menggeleng: "Aku pun tidak ingin
tinggal lebih lama lagi di sini."
"Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?" tanya Pengsay.
Soat Koh melengos, katanya dengan menahan air mata:
"Marilah kita pergi, ibu!"
"Apakah kau bermaksud menahan kami di sini? tanya
Soat Ciau-hoa.
"Betul, sebaiknya kalian tunggu dulu sampai pulangnya
guruku," kata Peng-say.
"Siapa tahu bilakah dia akan pulang?"
"Suhu tidak membawa pakaian segala, mungkin
berangkatnya ter-gesa2, sepantasnya beliau takkan pergi
terlalu lama, bisa jadi dalam satu-dua hari ini dia akan
pulang."
"Lalu bagaimana setelah dia pulang?" tanya Ciau-hoa.
"Kan kebetulan jika kalian memang bermaksud menemui
guruku?" ujar Peng-say. "Selain itu, sebelum guruku pulang,
betapapun aku tidak berani mengadakan tukar-menukar
kitab."
"Dalam pesannya jelas2 kitab itu telah diberikan
kepadamu, mengapa kau tidak berani mengambil keputusan
sendiri?" tanya Ciau-hoa.
"Aku bukan Tio Peng-say, tidak berani kuterima, harus
kutemui dulu guruku untuk menjelaskan duduknya perkara,
bilamana kemudian Suhu setuju diberikan kepada Sau
Peng-say barulah kitab ini benar menjadi milikku."
"Huh, omong melulu," omel Ciau-hoa. "Kau tidak berani
mengambil keputusan, boleh juga batal tukar menukar. Kita
berangkat, Soat Koh, orang macam ayahmu itu tidak
bertemu juga tidak perlu menyesal. Mengenai ilmu pedang
nomor satu di dunia, mungkin Sau Peng-say ini
mengimpikannya bagi kita tidak ada artinya, tidak perlu
mengandalkannya untuk membalas dendam apa segala."
Sudah tentu Peng-say tidak ingin kehilangan kesempatan
baik ini, sekali ibu dan anak itu pergi, ke mana lagi harus
mencari mereka kelak?
Karena cemas, cepat ia berseru: "Nanti dulu, bibi!"
"Tukar atau tidak?"Ciau-hoa menegas.
"Kukira Suhu pasti tahu masih ada Pedang Kanan Siangliu-
kiam, kuyakin beliau pasti akan menukarnya . . . ."
"Tentu saja, tak dapat tukar menukar pasti juga dia akan
main rebut," jengek Cian-hoa.
"Janganlah bibi terlalu memandang rendah kepribadian
guruku," protes Peng-say.
"Huh, kepribadian Tio Tay-peng itu berharga berapa satu
kilo?" jengek Ciau-hoa. "Hm. kitab Pedang Kiri itu
bukankah dapat dia rebut dariku dengan cara yang kotor?
Jangan kau banyak omong lagi. bilamana aku naik darah.
jangankan tukar menukar, mungkin akan kuminta kembali
secara resmi, kalau perlu kamipun akan main rebut, main
rebut juga kami tidak perlu malu karena kitab itu asalnya
memang milikku,"
Peng-say mem-balik2 halaman kitab yang dipegangnya
itu dan berkata: "Jika demikian, bila aku tidak menurut
akan tukar menukar, kan boleh dikatakan orang paling
goblok di dunia ini?!"
"Jangan kau salah omong, bukan kau menurut, tapi kau
yang minta tukar menukar ini," kata Ciau- hoa.
"Meski bibi menggunakan akal mundur dulu untuk
kemudian mendesak maju, padahal bibi sendiri sebenarnya
sangat ingin mendapatkan kitab Pedang Kiri ini, sama
halnya seperti hasratku ingin mendapatkan Pedang kanan,"
kata Peng-say dengan tertawa. "Baiklah, boleh kita tukar
menukar sesuai kepentingan masing2, cuma .... ."
"Kenapa? Kau takut aku berdusta dan minta kukeluarkan
juga kitabku untuk tukar menukar Secara koritan?" tanya
Ciau-hoa.
"Jika bibi sudah berjanji akan tukar menukar, masa
keponakan berani curiga lagi? Bila perlu boleh bibi ambil
dulu kitabku ini, tapi hendaklah bibi tahu, kitab Pedang Kiri
ini bukanlah palsu." sembari bicara ia terus mem-balik2
halaman kitab itu.
"Kupercaya tidak palsu, berikan sini!"
Selagi Peng-say hendak menyatakan agar jangan sang
bibi nanti memberikan kitab Pedang Kanan palsu,
mendadak dilihatnya dari dalam kitab yang dipegangnya itu
melayang jatuh secarik surat. Cepat ia menjemputnya dan
dibaca, ternyata tulisan tangan gurunya,
Kiranya Tio Tay-peng memang bepergian jauh dan
meninggalkan pesan. hanya suratnya diselipkan di dalam
kitab pedang itu, kalau tidak di-balik2 setiap halamannya
sukarlah menemukannya.
Dilihatnya surat itu tertulis: "
Peng-say anakku. Bila surat ini kau temukan, ayahmu pasti
sudah tidak berada lagi di dunia fana ini. Mestinya tidak ingin
kuberitahukan rahasia bahwa gurumu sebenarnya juga ayahmu,
namun tidak dapat kukelabui kau selama hidup.
Anakku, di masa lalu ayahmu telah berbuat sesuatu yang
sangat tercela, sebab itulah sejauh itu tidak berani kuakui kau
sebagai anak. Peristiwa lama itu sampai kini ayahmu masih
belum berani menuliskannya dengan jelas di sini, kukira lebih baik
kau tidak perlu tahu. Mengenai aku ini ayah kandungmu,
janganlah kau sangsi, ibumu sudah meninggal belasan tahun,
ilmu pedangmu sudah jadi. ayah tidak perlu berkuatir apa2 lagi,
biarlah kupergi menyusul ibumu. Aku bersalah padanya, biarlah
kupergi ke tempat yang menimbulkan peristiwa duka itu untuk
menghabisi hidupku ini agar bisa cepat2 bertemu dengan ibumu
dialam baka untuk menyatakan rasa penyesalanku."
Sampai terkesima Peng-say membaca surat itu.
Ciau-hoa juga ingin tahu apa yang tertulis dalam surat
itu, ia bertanya: "Apa yang ditulis gurumu? Adakah dia
memberitahukan ke mana dia pergi?"
Peng-say tidak menjawabnya. sikapnya kelihatan aneh.
Soat Ciau-hoa menjadi tidak sabar, mendadak ia sambar
suat itu dari tangan Peng-say.
Ketika dibacanya kalimat "Peng-say anakku", ia
mendengus dan anggap Tio Tay-peng sudah linglung
sehingga salah mengenali orang lain sebagai anaknya. Tapi
mendadak air mukanya berubah hebat ketika membaca
lebih lanjut. gumamnya: "Tidak berada lagi di dunia fana
ini? Ap . . . .apa yang hendak dilakukannya?"
Jantung Ciau-hoa mulai berdetak keras, ketika surat itu
habis dibaca seluruhnya, seketika iapun kesima seperti
kehilangan sesuatu surat itu terjatuh dari pegangannya juga
tidak dirasakan lagi.
Dengan tersendat Peng-say berkata: "Bi. . .bibi.
tampaknya Suhu. . .Suhu sudah. . . ."
Mau-tak-mau Ciau-hoa meneteskan air mata ucapnya
sambil menggeleng: "Masa si linglung ini tidak dapat
membedakan ibumu bukan diriku dari nama kami?"
"Tapi Suhu tidak mengetahui nama ibuku," tutur Pengsay.
"Dia tidak pernah tanya padamu?"
"Pernah, tapi. . .tapi tidak kukatakan. . . ."
"Mengapa tidak kau katakan?" bentak Ciau-hoa.
"Apakah kau sengaja hendak menipunya?"
Peng-say lantas menceritakan kedatangan Tio Tay-peng
di rumah keluarga Beng di Pakkhia dahulu. di mana Tio
Tay-peng telah mendepaknya sehingga dia jatuh tersungkur,
ia bertutur: "Ketika Suhu melihat dari bajuku jatuh keluar
sebiji mutiara, beliau lantas mengira aku ini anaknya. Aku
sendiripun tidak tahu seluk-beluknya, sebaliknya Suhu juga
tidak langsung mengakui aku sebagai anak, beliau cuma
bilang kenal ayahku. katanya aku bernama Tio Peng-say.
Dengan sendirinya aku tidak percaya, kutanya bila dia
kenal ayahku apakah juga kenal ibuku? Dia bilang tentu
saja kenal, katanya ibuku bernama Soat Ih-nio, kukatakan
salah, dia lantas bilang ibuku ada nama lain Soat Ciau-hoa.
Kupikir mungkin dia ingin menipu mutiaraku. makanya
sengaja menyebut beberapa nama. Maka ketika dia berbalik
tanya siapa nama ibuku jika apa yang dikatakanaya itu
keliru, aku menjadi tidak berani omong terus terang.
Kemudian Suhu memaksa diriku ikut ke sini untuk
mengajarkan Siang-liu-kiam padaku, tadinya kukuatir
kalau2 lengan-kananku juga akan ditabasnya seperti dia,
maka aku berkeras tidak mau mengangkat guru padanya,
tapi setelah dia memperlakukan diriku seperti anaknya
sendiri, juga berjanji takkan menabas lenganku. barulah aku
mulai belajar pedang padanya. Lima tahun kubelajar ilmu
Pedang Kiri, selama itu Suhu tidak bicara tentang ibuku.
Pernah satu kali kutanya apakah betul dia kenal ayahku. dia
mengangguk, katanya ayahku juga she Tio, jadi seharusnya
aku ikut she ayah. Waktu itu aku tidak mau, tapi kuminta
Suhu suka menceritakan segala sesuatu tentang ayahku.
Rupanya Suhu menjadi kurang senang dan tidak mau
bercerita apa2 lagi, maka akupun tidak berani tanya lebih
lanjut. Kupikir Suhu tidak bermaksud jahat padaku, akupun
tidak berpikir hal lain dan tekun belajar Pedang Kiri dengan
Suhu,"
Sampai di sini Peng say menghela napas, lalu
sambungnya lagi: "Sayang waktu itu Suhu tidak tanya
padaku siapa nama ibuku, selama berkumpul lima tahun,
aku sudah cukup kenal kepribadian Suhu dari dekat, bila
beliau tanya lagi tentang ibuku, tentu akan kukatakan terus
terang nama ibu, dengan demikian mungkin Suhu akan
menyadari kekeliruannya sendiri dan tidak menganggap
bibi sudah meninggal sehingga bertekad menyusul bibi
dialam baka seperti apa yang terjadi sekarang ini."
Setelah tahu duduknya perkara, dengan tertawa getir
Ciau-hoa berkata: "Dahulu aku bergaul rapat dengan
gurumu, kukuatir dia memandang rendah padaku, maka
kugunakan nama samaran Soat Ih-nio. Meski kemudian ia
dapat menyelidiki nama asliku, tapi iapun tidak yakin
apakah Soat Ciau-hoa itu namaku yang sebenarnya.
Seumpama kau beritahu nama ibumu juga dia takkan ragu
Soat Kun-hoa bukanlah diriku, agaknya memang sudah
takdir harus terjadi berbagai kesalah pahaman ini."
"Dan kedatangan kita sekarang jelas sudah terlambat,"
kata Peng-say, ”apakah bibi tahu tempat yang
menimbulkan duka seperti apa yang dimaksudkan guruku
ini?"
"Kau sendiri sudah tahu bukan?"
"Entah betul tidak dugaanku, kukira yang dimaksudkan
adalah suatu tempat di atas puncak yang didatangi Suhu
beberapa kali setiap bulan untuk mengenangkan bibi
itulah."
Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Betul
atau tidak, setelah kita pergi kesana tentu akan
mengetahuinya."
Habis berkata ia lantas mendahulai melangkah keluar
dan mendaki ke atas puncak.
Setiba di tempat tujuan, berdasarkan ingatan Soat Ciauhoa,
dengan cepat dapatlah ditemukan tempat yang pernah
didatangi rombongan Cui-hun dahulu, disitulah Cui-hun
dan kawan2nya saling bunuh membunuh memperebutkan
Siang-liu-kiam- boh.
Cui-hun tidak membawa lagi Pi-tun-cu. maka serupa Cu
Hoay-tong. tubuhnya juga telah membeku terbungkus oleh
salju sehingga terwujut tiang es.
Memandangi kedua tiang es berbentuk tubuh manusia
itu, teringat kepada pertemuannya pertama kali dahulu,
Ciau-hoa merasa terharu.
Peng-say dan Soat Koh tidak tahu siapa2 yang terbeku di
situ, tapi mereka tahu tentu kedua orang itu mati saling
labrak, jelas satu di antaranya pada waktu akan mati masih
mengerahkan sisa tenaganya untuk membinasakan lawan
sehingga akhirnya kedua orang gugur bersama.
Sesudah berhenti sejenak segera Ciau-hoa berlari ke gua
yang dahulu ditemukan Siang-liu-kiam-boh itu. Dilihatnya
di dalam gua mayat bergelimpangan, seluruhnya ada
belasan, keadaan ini serupa dengan apa yang dilihatnya
likuran tahun yang lalu, mayat2 itu masih menggeletak di
tempat semula.
Hanya di dalam gua dahulu cuma ada sesosok mayat
yang duduk menghadapi dinding gua, tapi sekarang mayat
yang duduk menghadap dinding adalah dua sosok. Tempat
di mana mayat kedua ini berduduk itu adalah tempat yang
mudah tersorot cahaya dari luar, yakni tempat di mana Soat
Ciau-hoa berduduk setelah menemukan kitab pusaka,
karena kegirangan ia terus duduk membaca disitu.
Kotak kemala yang berisi kitab itu terletak di samping
mayat itu, tempat kotak kemala itupun tidak bergeser,
keadaan ini serupa Soa Ciau-hoa lagi asyik membaca kitab
temuannya di masa likuran tahun yang lalu.
Memandangi mayat kedua itu, meneteslah air mata Soat
Ciau-hoa yang terus membeku di pipinya dan tak dapat
kering, ia tahu keadaan didalam gua yang tidak berubah itu
sengaja dipertahankan oleh Tio Tay-peng, sekaligus iapun
teringat kepada kunjungan Tio Tay-peng ke tempat ini
beberapa kali setiap bulan seperti cerita Peng-say, tentunya
Tio Tay-peng berduduk di tempat ini untuk mengenangkan
dan menyesali kejadian dahulu.
Agaknya setelah Tio Tay-peng salah sangka Peng-say
sebagai anaknya, lalu ia bertekad akan mati berduduk di
tempat yang penuh kenangan ini. setiap bulan dia pasti
datang kesini. mungkin dalam lamunannya ia telah bertemu
dengan ibunya Peng-say.
Setelah Peng-say selesai belajar Pedang Kiri, Tio Taypeng
merasa tiada sesuatu kekuatiran lagi, maka pada
kunjungan terakhir ke gua ini, dia duduk disitu pula tanpa
mengerahkan tenaga dalam sehingga membiarkan dirinya
mati beku begitu saja.
Menurut jalan pikirannya. setelah sukma meninggalkan
raganya tentu akan segera berkumpul dengan sukma ibunya
Peng-say dan tak terpisahkan lagi. Cuma sayang ibu Sau
Peng-say bukanlah Soat Ciau-hoa, apabila cerita sukma
atau roh memang ada, tentu roh Tio Tay-peng akan kecelik
dan kecewa hingga sekarang, sebab sampai saat ini tentu dia
masih belum berhasil bertemu dengan arwah Soat Ciau-hoa
di alam halus.
Mendadak Soat Ciau-hoa tertawa aneh, katanya
terhadap mayat Tio Tay-peng: "Tio cilik, sewaktu hidupmu
kau salah sangka keponakanku sebagai anakmu, sesudah
mati kau pun salah sangka adik perempuanku sebagai
isterimu. Hendaklah kau tunggu dulu, suatu hari kita pasti
akan bertemu lagi dan berkumpul untuk selamanya."
Setelah merandek sejenak, ia menggeleng dan berkata
pula: "Rasanya aku pun sangsi, bila setiap hari kau
menghadapi arwah adik perempuanku yang kau kira
sebagai diriku, jangan2 akhirnya Kun-hoa juga akan
terpikat olehmu."
Tiba2 ia duduk berjajar dengan mayat Tio Tay-peng,
katanya pula dengan tertawa: "Kukira akan lebih baik bila
cepat2 kususul kau saja, jangan kuatir kau!"
Tidak lama kemudian, waktu Peng-say dan Soat Koh
menyusul tiba, mereka merasa di dalam gua sunyi senyap
se-olah2 tidak pernah didatangi siapapun juga.
Soat Koh rada merinding melihat mayat yang
bergelimpangan di dalam gua, dengan suara agak gemetar
ia berseru: "I. . .ibu, di . . . .dimana kau?"
Pandangan Peng-say lebih tajam, segera dilihatnya
bayangan tubuh sang guru yang berduduk sejajar dengan
bibinya, dengan suara pedih ia lantas berkata: "Kulihat
ibumu duduk disamping jenazah guruku."
Akhirnya Soat Koh dapat juga melihat ibunya, ia tuding
mayat di samping sang ibu yang diketahuinya sudah lama
beku itu dan bertanya: "Apakah dia . . . .dia ini ayahku?"
Peng-say mengangguk, jawabnya: "Ya. Boleh kau minta
ibumu berbangkit saja!"
Disangkanya setelah menemukan mayat Tio Tay-peng,
sang bibi menjadi sangat berduka sehingga seketika duduk
ter-mangu2 disitu.
Soat Koh juga berpikir begitu, pelahan ia mendekati dan
berseru pelahan: "Ibu!" — Tapi mendadak ia terus menjerit
pula.
Keruan Peng-say kaget dan memburu maju serta
bertanya: "Ada apa?"
Soat Koh tidak menjawab. ia tuding darah yang
bergenang di tanah, sekujur badan gemetar sehingga sukar
bersuara lagi.
Melihat darah itu mengaiir dari tubuh sang bibi, diam2
Peng-say mengeluh urusan bisa celaka. Cepat ia memeriksa
pernapasan Soat Ciau-hoa, ternyata napas sang bibi sudah
berhenti. Dilihatnya lengan tunggal Soat Ciau-hoa
memegang sebilah belati dan tepat menikam di ulu hati
sendiri.
Dengan berduka cita, akhirnya Peng-say dan Soat Koh
mengubur mayat Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa didalam
satu liang lahat yang sama.
Ketika menguruk gundukan salju yang terakhir, Soat
Koh tidak tahan lagi, ia jatuh berduduk di samping kuburan
yang ditimbuni dengan salju itu dan menangis ter-gerung2.
Peng-say tidak membujuknya, ia masuk kedalam gua
dan membawa keluar mayat yang duduk menghadapi
dinding itu. Pada wajah mayat ini ada bekas luka pedang,
ciri khas ini makin meyakinkan Peng-say bahwa orang ini
pastilah pamannya sendiri. yaitu Leng-hiang-caycu Sau
Ceng-in.
Waktu di Leng-hiang-cay, Sau Kim-leng pernah bilang
pada wajah ayahnya ada sesuatu ciri yang sangat menyolok,
tak disangkanya ciri khas yang dimaksud adalah codet
bekas luka. Pikirnya: "Dengan ilmu pedang Toapek yang
nomor satu di dunia, siapa pula yang mampu melukai
mukanya ini?"
Pertanyaan ini kecuali Sau Kim-leng dan Liok-ma
mungkin tiada orang lain yang dapat menjawabnya.
Setelah jenazah Sau Ceng-in dikubur, Peng-say memberi
hormat terakhir dengan menyembah beberapa kali, katanya:
"Suatu hari kelak bila Titji (keponakan) berhasil belajar
lengkap Siang-liu-kiam-hoat, tentu akan kubunuh Ciamtay
Cu-ih dan Coh Cu-jiu untuk membalas sakit hati Toapek."
Se-konyong2 terdengar Soat Koh mendengus di
belakangnya: "Hm, membunuh Ciamtay Cu-ih untuk
membalas dendam Piaumoay dan membunuh Coh Cu-jiu
untuk membalas sakit hati ayah, untuk apalagi kau bilang
akan membunuh kedua orang itu untuk membalas sakit hati
Toapekmu? memangnya kau akan membunuh mereka,
kenapa kau tambahi sebagai jasamu bagi pamanmu."
"Eh, kenapa kau tidak menangis lagi?" tanya Peng-say
ambil berpaling.
"Memangnya kenapa? Kau senang melihat aku mati
menangis?" omel Soat Koh.
"Manabisa?" ujar Peng-say. "Aku justeru kuatir
kesehatanmu terganggu oleh karena kau kelewat sedih
menangis."
"Huh, jangan sok baik hati," jengek Soat Koh. 'Jika benar
kau kuatir aku kelewat sedih, mengapa tidak kau hibur
diriku?"
"Ayah-bundamu wafat dua2nya, kejadian mendadak ini
tentu sangat berduka bagimu, ingin membujuk dan
menghibur juga sukar rasanya, kukira akan lebih baik kau
menangis se-puas2nya agar hatimu merasa lega."
"Berikan Kiam-bohmu padaku." tiba2 Soat Koh
menjulurkan tangannya.
Peng-say mengeluarkan Kiam-boh Pedang Kiri tanpa
ragu sedikitpun terus disodorkan.
Setelah menerima, dengan hati2 Soat Koh menyimpan
Kiam-boh itu, lalu bertanya: "Mengapa mendadak kau
menjadi baik hati dan tidak sangsi lagi?"
"Kau kan puteri guruku, hanya kaulah yang berhak
menerima kitab pusaka ini," kata Peng-say. "cuma kuharap
engkau suka kembali she Tio agar sesudah meninggal
guruku merasa lega karena kitab pusakanya telah berada di
tangan ahli warisnya yang sesungguhnya. Aku sendiri
bukan Tio Peng-say yang dimaksudkan Suhu, tidak
seharusnya kumiliki kitab ini."
"Tapi aku tetap bernama Soat-koh dan tidak mau
bernama Tio-koh."
"Kukira kurang baik. . . ."
"Kenapa tidak baik, namaku Soat-koh dan she Tio,
kenapa tidak boleh?"
"O, Tio Soat-koh? Hm, bagus, nama ini memang lebih
sedap didengar." seru Peng-say sambil berkeplok.
"Kau berbuat murah hati, tampaknya aku harus meniru,"
kata Soat-koh setelah berpikir sejenak dan mengeluarkan
kitab pusaka Pedang Kanan, katanya pula: "Ibu sudah
berjanji akan menukar kitab ini dengan kitabmu, sebab
itulah pada waktu mengubur jenazah beliau diam2 telah
kuambil, sedianya akan kutukarkan dengan kitabmu."
Memandangi kitab Pedang Kanan di tangan Soat-koh
itu, jantung Peng-say berdetak keras, hampir saja ia
mengulurkan tangannya untuk menerima, tapi segera
dilihatnya Soat-koh telah menyimpan kembali kitab itu dan
berkata: "Sebenarnya aku pun berniat menukarkan kitab ini
denganmu, waktu kuminta kitab Pedang Kiri darimu
memang sudah timbul niatku itu. Tak tersangka kau bicara
tentang hak milik segala, kupikir alasanmu memang tepat,
kitab ayahku memang benar adalah hakku, maka tanpa
sungkan telah kuterima dengan baik dan sekarang kupikir
tidak perlu lagi kutukar dengan kau."
Peng-say menjadi sangat kecewa, tanyanya: "Mengapa
kau berubah pendirian?"
"Jika kitab yang menjadi hakku, kan pantas kalau
kuterima, sekarang tiada barang lain yang dapat kau tukar
denganku, mana boieh kuberikan kitabku ini dengan
percuma?"
Peng-say garuk2 kepala dan merasa menyesal, tahu
begini, berikan saja kitab itu dan tidak perlu banyak omong.
Soat-koh dapat menerka apa yang dipikir anak muda itu,
katanya: "Kau pun tidak perlu menyesal, seumpama tadi
kau tidak perlu banyak bicara, tentu aku pun akan
mengemukakan alasan ini untuk meminta kembali kitab
yang menjadi hakku ini."
"Jika demikian, jadi kau memang tidak mempunyai
maksud tukar-menukar?"
"Siapa bilang tidak, bila kau tidak tahu aturan. terpaksa
kutukar dengan kau, tak tersangka kau ini cukup bijaksana
dan murah hati."
Kembali Peng-say garuk2 kepala, katanya: "Kau bilang
kau pun akan bermurah hati, entah maksud...."
"Aha, akhirnya kelihatanlah belangmu," jengek Soatkoh.
"Hm kau pun tahu aku ini orang yang berwatak terus
terang. kau tahu aku ini takkan bikin rugi padamu."
Terpaksa Peng-say memohon: "Kuharap nona suka
menolong, maklumlah sakit hatiku sedalam lautan. .."
"Sudahlah, kutahu betapapun kau harus menguasai
Siang-liu-kiam dengan lengkap, tidak perlu kau main
minta2, aku pasti takkan membikin kecewa padamu."
Peng-say bergirang, cepat ia tanya: "Jika begitu, entah
kapan baru boleh kuterima kitabmu Pedang Kanan itu?"
"Kapan katamu? Bilakah kukatakan akan kuberikan
padamu?" tanya Soat-koh dengan heran.
Peng-say menjadi kelabakan. katanya; "Ha... habis ...."
"Kiam-boh tidak akan kuberikan padamu, tapi aku pun
takkan bikin kecewa kau, dengan sendirinya ada caraku
untuk mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat padamu agar kau
dapat membalaskan sakit hati Piaumoaymu."
Peng-say meraba kepalanya lagi dengan sangsi,
gumamnya: "Tanpa kitabnya cara bagaimana dapat
kupelajarinya dengan lengkap?"
"Terdapat guru didepan mata dan tidak kau mohon,
yang kau pikirkan hanya ingin mendapatkan kitab yang
berupa benda mati itu, sungguh tolol!" ucap Soat-koh
sambil menggeleng.
Tanpa pikir Peng-say terus menjura. katanya dengan
tertawa: "Jika demikian, sekarang juga ku-angkat guru
padamu, cuma selanjutnya harus membikin repot Suhu."
"Kalau tidak repot, cara bagaimana harus ku-ajar kau
dan bagaimana pula akan kau ajar aku?" kata Soat-koh.
Lalu iapun memberi homat dan berkata: "Nah, aku pun
mengangkat guru padamu."
"Kiam-boh sudah kau punya, untuk apa mengangkat
guru padaku?" tanya Peng-say.
"Aku tidak boleh lebih rendah satu angkatan dari
padamu," ujar Soat-koh.
Selagi Peng-say hendak tanya apa alangannya biarpun
lebih rendah satu tingkatan. Tiba2 ia merasa ucapan Soatkoh
itu mengandung arti yang dalam. pikirnya: "Jika dia
bermaksud mengikat perjodohan denganku, dengan
sendirinya sang suami tidak boleh lebih rendah satu
tingkatan. Ai, sekali pun kau suka padaku, bagiku justeru
sulit, selama hidupku ini tidak nanti kunikahi kau dengan
resmi."
Maklumlah, dia sudah bersumpah pada Soat Ciau-hoa,
selama hidup ini memang tidak boleh mengadakan upacara
nikah dengan Soat-koh.
Didengarnya Soat-koh berkata pula: "Dari pada belajar
dari kitab yang mati kan lebih baik mendapat petunjuk guru
secara langsung dan tentu akan mendapat kemajuan lebih
cepat. Boleh kita saling belajar di gua bawah sana, bila ada
waktu senggang kitapun dapat berziarah ke sini, bagus
bukan?"
Hak utama sekarang dipegang orang, mau-tak-mau
Peng-say harus menurut, jawabnya: "Baiklah, gagasanmu
memang baik."
Kedua orang lantas menyembah lagi didepan kuburan
Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa, lalu mereka turun
kebawah gunung dan berdiam di gua bekas tempat tinggal
Peng-say, di mana anak muda itu belajar Pedang Kiri
selama lima tahun dengan Tio Tay-peng.
Di dalam gua itu masih cukup banyak tersedia
perbekalan, maka mereka tidak perlu kuatir apa2, hari ini
juga mulailah mereka saling belajar ilmu pedang masing2.
Malamnya, karena terikat oleh adat istiadat. dalam hal
tidur menjadi persoalan.Menurut pikiran Soat-koh, asalkan
hati masing2 sama suci bersih. kenapa mereka tidak boleh
tidur bersama satu ranjang?
Ketika luka Peng-say belum sembuh, pada waktu
bermalam di hotel. Soat-koh sudah pernah beberapa kali
tidur bersama Peng-say disatu ranjang, sebab itulah Soatkoh
mengemukakan pendapatnya itu secara lugu tanpa
merasa malu atau kikuk.
Akan tetapi Peng-say menolak dengan keras, jangankan
tidur bersama satu ranjang, sebab ia kuatir pergaulan
mereka akan tambah mesra dan jatuh lagi ke dalam jurang
cinta dan sukar lagi dipisahkan, bahkan anak muda itu tidak
berani tidur di dalam gua, ia lebih suka tidur di tempat
terbuka diluar gua, biarpun kenyang derita kedinginan.
sedapatnya ia ingin menjauhi Soat-koh.
Betapapun Soat-koh adalah anak perempuan. tidak enak
baginya untuk memaksa tidur bersama Peng-say. Maka
malam itu keduanya lantas tidur terpisah, yang satu di
dalam dan yang lain di luar gua.
Beberapa hari berlalu dengan cepat, lambat laun Soatkoh
merasakan Peng-say sengaja hendak menghindarnya,
dengan sendirinya rasa harga dirinya tertusuk. ia mulai
kesal dan tidak bersemangat belajar pedang.
Hari ini Peng-say sudah apal berlatih jurus pertama
Siang-liu-kiam-hoat yang bernama "Kiong-siang-kut-thau"
itu, ia minta Soat Koh mengajarkan lagi jurus kedua yang
bernama "Put-cun-kay-ti". Akan tetapi Soat-koh menolak,
katanya mesti tunggu setelah ia sendiri pun menguasai jurus
pertama barulah sama2 mengajarkan jurus kedua.
Tunggu punya tunggu, sampai setengah bulan barulah
Soat-koh dapat menguasai jurus pertama, nyata
kemajuannya sedikitnya selisih tiga kali daripada Peng-say.
Jurus kedua malahan dapat diapalkan Peng-say dengan
lebih cepat, hanya dua-tiga hari saja sudah mahir dan dapat
bekerja sama dengan sangat rapat dengan jurus pertama.
Sebaliknya Soat-koh memerlukan waktu hampir sebulan
barulah dapat menguasai jurus pertama untuk bisa bekerja
sama dengan jurus yang sama dengan tangan kanan.
Karena Lwekang Soat-koh memang kalah kuat daripada
Peng-say, kemajuannya selalu tak dapat mengikuti
kecepatan anak muda itu. Hal ini bukan karena dia kurang
berbakat, soalnya semangat belajarnya kurang. dengan
sendirinya kemajuannya ter-sendat2.
Lebih runyam lagi Soat-koh berkeras tidak mau
mengajarkan jurus berikutnya sebelum ia sendiri menguasai
jurus yang sedang dilatihnya.
Di bawah kekuasaan orang. terpaksa Peng say menurut
dan sabar menunggu. malahan ia kuatir kalau2 si nona
ngambek dan tidak mau mengajar, maka sama sekali ia
tidak berani mendesak.
Pada waktu menunggu, Peng-say suka mengulangi
berlatih jurus2 yang telah dipelajarinya, maka setiap jurus
tambah apal bagi anak muda itu. Namun lama2 ia menjadi
gelisah juga, betapapun ia ingin lekas2 dapat menguasai
Siang-liu-kiam-hoat itu. Untuk ini terpaksa ia harus bantu
Soat-koh berlatih lebih giat. Seringkali dia memberitahukan
saripati pemikirannya pada setiap jurus itu kepada nona itu
dengan tujuan agar dapat maju sepesatnya dirinya.
Tapi lantaran selisih Lwekang kedua orang terlalu jauh.
Peng-say sendiri tahu rintangan ini dan tak berdaya.
Namun lambatnya kemajuan Soat-koh ternyata bukan
disebabkan selisih Lwekang mereka yang jauh. Hal ini
lambat lalu dapat dilihat oleh Peng-say, suatu hari
kebetulan dilihatnya Soat-koh berlatih dengan ke-malas2an,
mau-tak-mau pemuda itu menggerundel: "Dapatkah kau
lebih bersemangat, jika berlatih cara begini sampai kapan
baru akan selesai?"
"Kau terdorong oleh hasrat akan menuntut balas, dengan
sendirinya kau belajar dengan giat dan maju lebih cepat,"
kata Soat-koh. "Sebaliknya kubelajar tanpa maksud tujuan,
juga tiada dorongan orang, terpaksa kubelajar seenaknya."
"Memangnya cara bagaimana kau minta doronganku?
Bukankah setiap hari akupun bantu kau berlatih?"'
"Aku bukan anak kecil," kata Soat-koh dengan tertawa,
"tidak perlu didorong oleh kata muluk2. Soalnya aku
memang tidak bersemangat, biarpun kau bantu juga tiada
gunanya, bila kau ingin kumaju lebih cepat, kau mesti. . . ."
"O, mesti apa?" tanya Peng-say. "Ayolah katakan. bila
dapat kupenuhi pasti kulaksanakan."
Soat-koh menunduk dan memainkan ujung bajunya,
katanya dengan suara lirih: "Tidakkah kau tahu hati
perempuan terkadang dapat dibujuk? Bilamana setiap hari
hatiku senang tentu semangat belajarku akan bangkit."
"Aku tidak pandai bicara. juga bukan orang yang suka
membujuk rayu, rasanya aku tidak sanggup." kata Peng-say
sambil menggeleng.
Soat-koh berkata pula dengan suara yang lebih lirih,
begitu lirih sehingga hampir hanya dapat didengar olehnya
sendiri. Untung pendengaran Peng-say sangat tajam berkat
Ci-he-kang yang dikuasainya, dia dapat mendengar jelas si
nona sedang berkata: "Asalkan kau mau pindah ke dalam
gua dan tidur bersamaku, setelah kutahu benar kau
memang baik padaku, perbuatan lebih baik daripada kata2,
dengan begitu tentu aku akan bersemangat. . . ."
Mendadak Peng-say menarik muka seperti seorang guru
agama, katanya: "Pemuda dan pemudi mana boleh tidur
bersama satu tempat. Tidak.. .tidak boleh jadi!"
Ia kuatir si nona berucap hal2 lain yang lebih konjol lagi
dan sukar untuk menjawabnya, maka cepat2 menyingkir
dan mulai berlatih ilmu pedang.
Menghadapi gadis cantik, lelaki mana yang tidak
bergairah untuk menggaulinya? Pada dasarnya Soat-koh
juga nona baik2 dan cocok menjadi pasangan Peng-say,
sudah tentu anak muda inipun suka adanya. Tapi sumpah
telah mengikatnya, meski jelas2 diketahui seorang
perempuan seperti Soat-koh telah mendahului minta
padanya, terpaksa ia keraskan hati dan tidak mengubrisnya.
Sebenarnya ia hendak menjelaskan sumpahnya kepada
Soat-koh agar nona itu tidak menaruh harapan apa2
terhadapnya, tapi iapun kuatir Soat-koh akan kecewa dan
tidak mau lagi mengajarkan Pedang Kanan padanya.
Melihat gelagatnya, terpaksa Peng-say harus menunggu
dengan sabar, pikirnya: "Paling lambat waktu tiga atau
empat tahun tentu juga dapat kupahami ke-49 jurus Pedang
Kanan Siang-liu-kiam-hoat."
Perhitungan Peng-say itu berdasarkan satu jurus paling
lambat sebulan akan dapat dikuasainya, empat tahun berarti
48 jurus, jadi empat tahun lebih sebulan tentu ke-49 jurus
Siang-liu-kiam lengkap akan dapat dipahaminya.
Di luar dugaan. kenyataannya justeru jauh daripada
perhitungannya. selama setahun pertama Soat-koh hanya
menguasai tujuh jurus Pedang Kiri, bahkan jurus kedelapan
diperlukan latihan hingga dua bulan. Naga2nya kalau
melihat kemajuan selambat ini, bisa jadi Peng-say harus
menunggu delapan hingga sepuluh tahun.
Peng-say tidak sabar lagi. ia tidak dapat menunggu lagi,
ilmu pedang yang mestinya dapat dikuasainya dalam waktu
setahun paling lama tidak mau ditnuggunya dengan
membuang tempo percuma hingga delapan atau sepuluh
tahun.
Suatu hari berkatalah ia kepada Soat-koh: "Sisa ke-41
jurus Siang-liu-kiam Kanan itu maukah sekaligus kau
ajarkan padaku?"
Dengan tegas Soat-koh menolak, katanya: "Tidak bisa,
tidak boleh kemajuanmu melampaui diriku."
Peng-say meng-geleng2 katanya pula: "Coba terangkan,
mengapa aku harus mengawani kau di sini dengan membuang2
waktu percuma?"
"Siapa yang suruh kau mengawani aku di sini?" jawab
Soat-koh dengan kurang senang. "Bila kau anggap buang
waktu percuma, silakan kau pergi saja sekarang juga."
Melihat gelagat tidak menguntungkan, terpaksa Peng-say
berucap dengan nada memohon: "Maklumlah. Aku ingin
buru2 menuntut balas, dapatkah kau memberi kelonggaran,
biarkan kubelajar dulu selengkapnya. Apakah kau kuatir
aku akan membikin susah kau jika seluruh Siang-liu-kiam
sudah kupahami? Untuk ini janganlah kau kuatir, kelak bila
aku Sau Peng-say berbuat sesuatu yang tidak baik padamu,
biarlah aku terkutuk dan mati secara mengenaskan."
"Hm!," Soat-koh mendengus, "bukannya kukuatir
membikin susah olehmu, kutahu sekalipun sama2 berhasil
menguasai Siang-liu-kiam secara lengkap juga aku bukan
tandinganmu. Jika kau ingin berbuat susah padaku setiap
saat dapat kau lakukan, hanya saja mungkin kau tidak
berani."
Peng-say merasa ucapan si nona benrmakna ganda.
maka tidak berani menanggapinya, dengan tertawa ia
berkata: "Habis bilakah aku harus menunggu supaya dapat
menguasai Siang-liu-kiam selengkapnya?"
"Aku tidak tahu, hal inipun bergantung kepada bakatku,"
"Bakat nona kan sangat tinggi. meski kemajuanmu
sekarang sangat lambat, tapi bila pikiranmu sudah terbuka,
tidak sampai setahun sisa ke -41 jurus tentu dapat kau
pahami."
"Hah, jangan kau mengumpak diriku, biarpun kau sebut
diriku kelangit juga tiada gunanya. Pendek kata aku sudah
ambil keputusan. kita harus mendapatkan kemajuan
bersama, sebabnya.. .." sampai di sini ia sengaja jual mahal
dan tidak melanjutkan.
"Apa sebabnya?" tanya Peng-say.
"Coba jawab, setelah Siang-liu-kiam-hoat lengkap kau
kuasai, lalu apa tindakanmu?"
"Masa perlu tanya lagi? Dengan sendirinya kugunakan
membunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu."
"Lalu apakah kau tahu, setelah Siang-liu-kiam lengkap
kukuasai, lalu akan kuapakan?"
"Dapat kau gunakan untuk lebih banyak melakukan
perbuatan2 yang mulia!"
Soat-koh mengangguk: "Betul, kau memang tidak malu
sebagai kawanku. Selain itu, Siang-liu-kiam-hoat juga akan
kugunakan untuk menuntut balas kepada Ciamtay Cu-ih
dan Coh Cu-jiu berdua."
Peng-say menjadi heran, tanyanya: "Aneh, belum pernah
kudengar kau pun bermusuhan dengan mereka?"
"Masa kau lupa pada pesan tinggalan Leng-hiang-caycu
yang terukir di dinding gua itu?" tutur Soat- koh. "Dia
mengharapkan barang siapa yang menemukan kitab
pusakanya supaya membunuh ketiga orang ini.Meski tidak
dijelaskannya siapa2 ketiga orang yang dimaksud, tapi sejak
adanya penjelasanmu, dua diantara ketiga orang itu tidak
perlu diragukan lagi pastilah Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu
dan seorang lagi ialah mendiang ayahmu. Apakah ayahmu
bersalah atau tidak terhadap Leng-hiang-caycu, orang mati
tidak perlu lagi diusut. namun Ciamtay Cu-ih dan Coh Cujiu
belum mati, setelah Siang-liu-kiam berhasil kukuasai
sepenuhnya, tentunya aku wajib membunuh kedua orang
itu untuk membalaskan sakit hati pamanmu Leng-hiangcaycu."
"Untuk itu kenapa harus mempelajari Siang-liu-kiam
secara lengkap bersamaku?" '
"Supaya kau tahu bahwa bukan maksudku sengaja
mempersulit kau," jawab Soat-koh. "Coba kau pikir, jika
kau berhasil menguasainya lebih dulu secara lengkap terus
kau bunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu, lalu cara
bagaimana aku dapat membalaskan sakit hati pamanmu?"
"Setelah kubunuh mereka berdua kan berarti juga sudah
membalaskan sakit hati Toapek?"
"Tapi tujuanmu kan bukan khusus untuk ini, kukira
rmaksud baikmu ini tidak dapat diterima oleh pamanmu.
Sebaliknya aku memang melulu hendak membalaskan sakit
hati Leng-hiang-caycu, bilamana pamanmu itu mengetahui
di alam baka, tentu beliau lebih suka aku yang membunuh
Ciamtay dan Coh berdua daripada kau yang membunuh
mereka."
"Masa kau benar2 ingin membalaskan sakit hati
pamanku?" tanya Peng-say dengan tertawa.
"Kenapa tidak? Kau tidak percaya?" jawab Soat-koh
dengan marah, "Hm, tiba saatnya nanti boleh kita
berlomba, coba siapa yang lebih dulu berhasil membunuh
kedua musuh itu,"
"Kupercaya kau bukan orang kecil yang mau terima
kebaikan orang secara percuma, maka mulai sekarang
bolehlah kita berlomba."
"Perlombaan harus adil, itulah sebabnya aku tidak ingin
kau berhasil menguasai Siang-liu-kiam lebih dulu
daripadaku, nah, paham?"
"Paham sih sudah, cuma aku pun ingin memperingatkan
padamu, jika kau berniat membalaskan sakit hati Toapek,
tentunya tidak boleh membiarkan Ciamtay Cu-ih dan Coh
Cu-jiu mati tua."
Soat-koh mafhum akan sindiran anak muda itu,
jawabnya: "Bakatku rendah, apa dayaku jika dalam waktu
beberapa tahun yang singkat ini aku tidak dapat menguasai
Siang-liu-kam? Andaikan kedua musuh itu keburu mati
sebelum Siang-liu-kiam berhasil kukuasai, di alam baka
tentunya Leng-hiang- caycu juga dapat memaafkan diriku."
"Kalau memang betul kurang berbakat sih bukan soal
lagi, runyamnya kalau cuma menggunakan alasan
membalas dendam pamanku sebagai tameng. padahal yang
benar ialah tiada niat untuk belajar."
"Darimana kau tahu aku tidak berniat belajar?" bentak
Soat-koh dengan mendelik.
"Jika kau berniat belajar, seharusnya kau dorong dirimu
sendiri agar bersemangat? Tapi setiap kali latihan, jelas kau
tidak bersemangat dan selalu lesu cara begini, bila benar2
Ciamcay Cu-ih dan Coh Cu-jiu keburu mati, lalu cara
bagaimana tanggung jawabmu terhadap Pamanku?
Hendaklah maklum, usia Ciamtay dan Coh berdua sudah
cukup lanjut. hidup mereka tidak bisa terlalu lama lagi."
"Ya, apa boleh buat, hal ini kan tidak dapat
menyalahkan diriku," ujar Soat-koh sambil menghela napas.
Dengan mendongkol Peng-say berkata pula: "Kau
mengulur waktu belajar dan sengaja mem-buang2 waktu
berharga bagiku yang harus membalaskan sakit hati
Toapek. kalau bukan kau yang disalahkan, siapa lagi yang
mesti disalahkan?"
Kembali Soat-koh menghela napas, katanya: "Kukira
harus menyalahkan dirimu sendiri. Dapatkah kubelajar
dengan bersemangat semuanya bergantung padamu, kan
sudah kau ketahui."
Karena terpaksa dan tiada jalan lain, se-olah2 penuh
semangat pengorbanan Peng-say berkata: "Baiklah, mulai
malam nanti kupindah tidur di dalam gua."
Tapi sekarang Soat-koh berbalik tidak mau, jengeknya:
"Hm, muda-mudi mana boleh tinggal di dalam satu kamar."
Peng-say melengak, sampai sekian lama barulah dapat
menjawab: "Ya, benar, maaf."
Soat-koh tertawa, katanya: "Jarang nampak kau ter-sipu2
begini. Kakak Peng, meski bujang dan gadis tidak boleh
tinggal didalam satu kamar tapi kau kan dapat membuat
pasangan muda-mudi itu tinggal di dalam satu kamar secara
resmi?"
"Secara resmi bagaimana?" tanya Peng-say.
"Asalkan kita terikat menjadi suami-isteri kan jadinya
resmi?"
"Mak.... maksudmu kita.... kita mengadakan upacara
nikah?" tanya Peng-say.
"Untuk menjadi suami-isteri dengan sendirinya harus
menikah dengan upacara."
Namun bayangan sumpah "tidak boleh mengadakan
upacara nikah" yang pernah diucapkannya di depan Soat
Ciau-hoa masih menghantui pikiran Peng-say. terpaksa ia
menjawab secara samar2: "Urusan penting ini harus. . .
.harus dirundingkan lebih jauh ...."
"Berunding apalagi? Jangan2 di dalam hatimu
hakikatnya memang tidak suka padaku?"
"O. ti. . .tidak.. . .tidak!" jawab Peng-say cepat.
"Kita sudah cukup umur dan dapat memutuskan
urusannya sendiri, jika kau suka padaku, hari ini juga dapat
kita melangsungkan upacara nikah."
Cepat Peng-say menggeleng kepala, katanya: "Wah,
tidak, jangan! Harus dirundingkan lagi dengan lebih
cermat!"
Tiba2 Soat-koh mencucurkan air mata, katanya:
"Sebagai anak perempuan, tanpa malu telah kukeluarkan isi
hatiku, tapi kau malah. . . .malah menolak dengan alasan
ini dan itu. Sau Peng-say. baru sekarang kukenal kau, jelas
dalam hatimu hanya terdapat Cin Yak-leng yang sudah
mati itu mana pernah kau pikirkan diriku?"
Bicara sapai di sini, ia merasa sangat penasaran, ia
membuang muka terus berlari ke dalam gua ia menjatuhkan
diri di pembaringan dan menangis sedih.
Malam ini, diam2 Peng-say menyusup ke dalam gua.
Sampai di depan tempat tidur, dilihatnya Soat-koh sudah
tidur dengan pipi masih basah air mata. Ia menghela napas
pelahan, mendadak ia menutuk Hiat-to tidur si nona. Lalu
dari dalam baju Soat-koh dikeluarkannya dua jilid buku
tipis.
Ia membalik halaman salah satu jilid itu dan dikenal
sebagai kitab Pedang Kiri miliknya sendiri. buku ini ia
masukkan kembali ke dalam baju Soat koh, jilid yang lain
jelas adalah Pedang Kanan, tanpa melihat terus
dimasukkan bajunya sendiri.
Dengan suara pelahan ia bergumam: "Soat-koh. harap
maafkan diriku. Aku tidak dapat menikahi kau, hal ini
bukan karena aku tidak suka, tapi lantaran terikat oleh
sumpahku. Sekarang karena tiada jalan lain, terpaksa
kugunakan cara ini untuk mengambil kitabmu ini."
Setelah mendapatkan Kiam-boh Pedang Kanan malam
itu juga ia meninggalkan Kiamciu untuk menghindari
pengejaran Soat-koh.
Setiba di suatu kota kecil yang tak diketahui namanya,
fajar belum lagi menyingsing, namun ia merasa sangat
lelah, sedapatnya ia menci ri sebuah hotel kecil, ia ketuk
pintu dan minta mondok di situ.
Berada di dalam kamar, ia mengeluarkan Kiam-boh
Pedang Kanan itu, saking semangatnya hingga rasa
kantukpun hilang. Segera ia mulai membaca dibawah
lentera.
Ia merasa jurus pertama "Kiong-siang-kut-thau" ada
sedikit berbeda daripada ajaran Soat-koh. tapi tak
diperhatikan, ia mengira mungkin ajaran Soat koh yang
kurang tepat. Begitu seterusnya, hingga jurus kedelapan
rasanya masih tetap ada sedikit perbedaannya. Maka
heranlah Peng-say, apakah mungkin ajaran Soat-koh itu
keliru seluruhnya?
Ia menggeleng dan bergumam sendiri. "Tidak mungkin,
jika ajaran Soat-koh tidak benar, mana-bisa jurus ajarannya
dapat bekerja sama dengan sangat rapi dengan Pedang Kiri
yang kukuasai ini? Jangan2 apa yang tertulis di Kiam-hoh
inilah yang tidak benar?"
Untuk membuktikan kebenaran ajaran Soat-koh atau
tulisan dalam Kiam-boh yang salah, tanpa istirahat Pengsay
lantas coba2 memainkan ilmu pedang menurut
petunjuk kitab itu. Tapi dari ke-delapan jurus yang telah
dikuasainya itu ternyata tiada satupun dapat bekerja sama
dengan baik dengan Pedang Kirinya sendiri.
Keruan Peng-say terkesiap, pikirnya: "Jelas Kiam-boh ini
telah diubah di bagian2 yang penting, kitab ini palsu dan
tidak berguna sama sekali,"
Berpikir demikian, ia menjadi gugup, dilihatnya fajar
hampir menyingsing, cepat ia bebenah pula dan melompat
keluar jendela terus berlari kembali ke arah semula.
Sepanjang jalan ia sangat menyesal mengapa begitu
gegabah, masa Kiam-boh asli dan palsu saja tidak dapat
membedakannya?
Tapi ia lantas menghibur dirinya sendiri: "Kiam-boh ini
telah diubah dengan sangat teliti, dalam keadaan ter-gesa2
siapapun sukar membedakan tulen atau palsunya."
Diam2 iapun berdoa: "Semoga setiba di sana Soat-koh
belum lagi mendusin, dengan begitu dapatlah kukembalikan
kitab palsu ini tanpa diketahuinya. bisa juga kugeledah pula
bajunya, syukur dapat kutemukan kitab yang asli, kalau
tidak ketemu, biarlah tetap kutinggal bersama Soat-koh.
meski terlambat beberapa tahun akan lebih baik daripada
sama sekali tidak dapat mempelajarinya."
Tiba2 ia menggeleng kepala dan berpikir pula: "Tapi
bagaimana nanti bila Soat-koh sudah mendusin? Ah, secara
mendadak dapat pula kututuk Hiat-to tidurnya dan
kusimpan kembali kitabnya atau mencari kitab yang tulen,
bila tidak berhasil, kubuka Hiat-tonya dan mengaku cuma
bergurau saja dengan dia. Kalau kuminta maaf, tentu iapun
tidak sangsi lagi."
Tapi lantas terpikir lagi: "Tapi kalau Soat-koh sudah
mendusin dan mengetahui perbuatanku yang mencuri
kitabnya, lalu bagaimana?"
Akhirnya ia jadi nekat dan memutuskan: "Demi
membalas sakit hati orang tua. bila perlu kugunakan
kekerasan untuk menundukkan Soat-koh dan akan
kugeledah kitab pusakanya yang tulen." — Tapi lantas
terpikir lagi: "Dan bagaimana kalau tidak kutemukan kitab
yang tulen? Apakah dapat kupaksa dia merekam isi Kiambohnya?
Tidak, tidak boleh jadi, perbuatan se-wenang2 ini
betapa-pun tidak boleh kulakukan, harus kujelaskan
sumpah yang telah kuucapkan sehingga aku tidak dapat
menikahi dia, lalu akan kumohon dengan baik2 agar
merekam kembali isi kitabnya, mau atau tidak bergantung
kepadanya, yang pasti tidak boleh kugunakan kekerasan."
Setelah mengambil keputusan2 itu, sekuat tenaga ia
berlari terlebih cepat.Melihat gelagatnya, sebelum pagi tiba
rasanya dia dapat berada kembali di gua sana.
Ketika ia tiba di tanah datar tempat gua itu, napasnya
benar2 sudah megap2. Dalam pada itu sang surya sudah
mulai memancarkan cahayanya. ia pikir biasanya Soat-koh
bangun agak siang, bisa jadi saat inipun belum mendusin.
Segera ia mengatur napasnya yang masih ter-engah2 itu.
lalu mendekati gua dengan langkah pelahan.
Setiba didalam gua, segera ia memandang ketempat tidur
di dalam sana, diam2 ia berharap Soat-koh masih berbaring
di situ, tak terduga, selimut dan bantal ternyata sudah
terlipat dan ditaruh di tempatnya dengan rapi.
Melihat gelagatnya, jelas sudah lama Soat-koh bangun,
namun ia tetap berharap si nona belum mengetahui
tercurinya kitab. Tapi ketika pandangannya beralih ke meja
batu sana, seketika ia melenggong dan berdiri terpaku.
Sejak tadi ia sudah memperhitungkan segala
kemungkinan buruknya bilamana setelah mendusin Soatkoh
mengetahui kitabnya tercuri, tapi mengenai
kemungkinan perginya si nona setelah mengetahui kecurian
itu tidak berani dipikirnya, sebab kalau sampai nona itu
pergi dengan marah tentu sukar lagi untuk dibujuk kembali,
kalau tidak dapat membujuk kembali Soat-koh, lalu cara
bagaimana dia akan mempelajari Siang-liu-kiam-hoat
secara lengkap?
Dan sekarang di dalam gua tiada terdapat si nona,
agaknya kemungkinan yang paling buruk yang tidak berani
dibayangkannya itu kini benar2 telah terjadi. Diiihatnya ada
sepotong surat terletak di atas meja, hal ini membuat
tubuhnya terasa lemas.
Dengan lesu ia mendekati meja, surat itu di-ambilnya
dan dibaca, surat itu tertulis:
"Memang sudah kuduga pada suatu hari kau akan berbuat
demikian, sejak mulai berlatih disini akupun sudah ber-jaga2, tak
tersangka baru sekarang kau turun tangan. Sungguh kau ini
memang rada menarik, tapi lebih cepat atau lebih lambat berbuat,
akhirnya tetap sama saja. Kau, Sau Peng-say, akhirnya dapat kukenali
dengan benar, kau adalah seorang munafik. Munafik,
mungkin kau akan membantah sebutanku ini, mungkin kau akan
bilang terpaksa bertindak demikian demi menuntut balas tapi
apakah kau harus menggunakan cara mencuri secara licik begini?
Terus terang, selama setahun ini aku memang sengaja
mempersulit kau dalam hal belajar. Tapi hendaklah kau maklum
akan tindakanku ini, soalnya kukuatir setelah menguasai Siangliu-
kiam, yang kau pikirkan hanya membalas dendam dan takkan
ingat lagi pada diriku. Sebab itulah. sebelum kutahu persis isi
hatimu, tidak berani kuajarkan Pedang Kanan secara terbuka.
Sayang kau tolol, kau tidak paham pikiranku, kau hanya
menunggu dan menunggu lagi secara bodoh dan tidak mengerti
cara lain untuk mengikat diriku sehingga hilanglah
kesempatanmu untuk mempelajari Pedang Kanan dengan cepat.
Tapi kau pun tak daoat dikatakan tolol, sebab dalam hatimu
hakikatnya tiada terdapat diriku, cara bagaimana kau dapat
menaruh perhatian padaku? Untuk ini malahan harus kupuji
akan kejujuranmu yang tidak mau membujuk rayu dengan kata2
manis. Kalau kau tidak suka padaku, seharusnya kau bicara terus
terang agar aku tidak mengkhayalkan sesuatu yang muluk2,
tatkala mana rasanya akupun tidak bakalan menolak
mengajarkan Pedang Kanan padamu, betapapun ibu sudah
berjanji akan tukar-menukar denganmu, aku tidak boleh
mengingkari janji ibu hanya karena kau tidak suka padaku....."
Membaca sampai di sini, diam2 Peng-say mendengus:
"Hm, tukar-menukar?Hakikatnya tipuan belaka!"
Ooode--wiooO
Jilid 31
Rupanya waktu menulis surat Soat-koh juga dapat
meraba pikiran Peng-say bila membaca sampai di sini,
maka selanjutnya ia menulis:
"Memang, ada maksud ibuku akan menukar kan kitab palsu
ini padamu, padahal kitab yang tulen sudah lama dibakar oleh
ibu, kitab palsu ini sengaja ditulis untuk ber-jaga2 kalau2 ada
orang main rebut. Menurut pendapat ibu. bila tidak sanggup
melawan, kitab palsu ini akan dapat menyelamatkannya,
sedangkan kitab palsu inipun takkan berguna bagi si
perampasnya. Perlu diketahui, ibu sama sekali tidak setuju jika
kau membalaskan sakit hati Soh-hok-hancu yang telah membikin
sengsara hidup ibumu itu, sebab itulah beliau tidak ber-sungguh2
akan mengajarkan Pedang Kanan padamu. Tapi aku tidak setuju
dengan pendirian ibu itu, diam2 pernah kuputuskan akan
merekam sejilid kitab asli bagimu untuk memenuhi janji ibu
padamu. Akan tetapi tindak tandukmu sangat mengecewakan
aku, kau terlalu banyak memikirkan untung-ruginya sehingga
tidak berani menyatakan sikapmu dengan tegas, sungguh kau
pengecut. Kau sendiri yang me-nyia2kan kesempatan
mendapatkan kitab aslinya, kesempatan ini tidak mungkin datang
lagi. Hendaknya tidak perlu buang2 tenaga untuk mencari diriku,
betapapun alasannya tidak nanti aku mau lagi merekam sejilid
kitab aslinya untuk seorang pengecut dan munafik. Sudah tentu,
jika kau berkeras akan mencari diriku juga tidak ada yang dapat
merintangi kau, tapi ingin kukatakan padamu, segala ikhtiarmu
hanya akan sia2 belaka, sekalipun dengan wajahmu yang
menyeringai kudukku akan kau-ancam dengan pedangmu juga
tetap takkan menggoyahkan pendirianku ini!"
Peng-say menggeleng kepala sehabis membaca surat itu,
gumamnya: "Jangan kuatir, Soat-koh, aku Sau Peng-say
bukanlah manusia yang tidak tahu malu!"
Dengan perasaan berat ia memandang sejenak keadaan
di dalam gua, lalu ia mengundurkan diri dengan perasaan
hampa. Ia bertekad akan menggunakan kedelapan jurus
Siang-lui-kiam untuk menuntut balas kepada gembong2
Tang-wan dan Say-koan sekalipun harus mempertaruhkan
nyawanya.
Ingin menuntut balas, dengan sendirinya harus
membalas dulu sakit hati sang ayah. Apalagi Ngo-hoa-koan
terletak di Sinkiang, jaraknya lebih dekat dengan Kamciu,
hanya belasan hari saja mungkin dapat mencapai tempat
tujuan. Kalau pergi kelautan timur jelas akan lebih jauh.
Tapi yang dituju Peng-say sekarang justeru kearah timur.
Sungguh aneh, masa dia memilih tempat yang lebih jauh
untuk membalas sakit hati Piaumoaynya?
Ternyata bukan begitu, betapapun Peng-say takkan
mencari Ciamtay Cu-ih untuk mengadu jiwa. Hanya
dengan delapan jurus Siang-liu-kiam-hoat yang dikuasainya
tidak mampu membunuh Ciamtay Cu-ih. Jangan2 dia
sendiri akan mati terbunuh dilautan timur sana, lalu siapa
pula yang akan membalaskan sakit hatinya? Kalau mau
mengadu jiwa harus dimulai mengadu jiwa dengan Ngohoa-
koancu Coh Cu-jiu, jika beruntung tidak mati barulah
nanti berusaha menantut balas bagi Piaumoaynya.
Hal inipun tidak boleh dikatakan dia tidak
mementingkan sakit hati Piaumoaynyar sebab buktinya dia
menuju ke timur lebih dulu.
Kiranya keberangkatannya ke jurusan timur adalah
untuk minta bantuan kawan. Kalau ada yang membantu
tentu akan jauh lebih baik daripada dia pergi sendirian ke
Say-koan.
Lantas siapakah kawan yang hendak dimintai bantuan?
Kalau kawan itu tidak kuat, apa gunanya? Rupanya di Bulim
sekarang telah berdiri satu kekuatan baru yang selain
memusuhiMa-kau juga ber lawanan dengan Say-koan.
Selama setahun dia mencari Soat-koh tempo hari, Pengsay
mendengar kabar bahwa dunia persilatan yang tadinya
terbagi menjadi dua pihak yang bermusuhan antara Ma-kau
dan Ngo-tay-lian-beng atau Lima Besar, kini telah terpecah
sehingga terbagi menjadi tiga pihak dan kekuatan ketiga itu
dipimpin oleh Tionggoan-samyu, tiga serangkai tokoh
Tionggoan.
Seperti sudah diceritakan, Tionggoan-samyu terdiri dari
Bok Jong-siong, si kakek kecapi, ketua Thay-san-pay.
Thian-bun Totiang, ketua Yan san-pay dan Ting-sian
Suthay, si Nikoh penyair, ketua Siong-san-pay.
Tadinya ketiga perguruan terkenal itupun anggota "Lima
Besar", tapi kini persekutuan lima besar itu sudah pecah dan
bubar, kini di dunia Kongouw tiada sebutan Lima Besar
lagi. Sejak Lam-han terbasmi oleh Say-koan. Tionggoansamyu
lantas bermusuhan dengan Say-koan yang bermula
adalah sesama anggota persekutuan.
Di dunia persilatan sekarang, kecuali Ma-kau yang tidak
ada perubahan, kaum persilatan yang tergolong aliran
"Ceng" atau asli kini telah pecah menjadi dua, satu
golongan tetap di bawah pimpinan Say-koan, golongan lain
adalah perserikatan antara Tionggoan-samyu ini.
Apa yang terjadi ini sebenarnya adalah kemalangan bagi
golongan Ceng-pay di dunia persilatan, untung meski
golongan Ceng-pay pecah menjadi dua, baik golongon yang
dipimpin Say-koan yang terus memupuk kekuatan itu serta
golongan yang dipertahankan oleh Tionggoan-samyu itu,
keduanya tidak sampai ditumpas oleh Ma-kau yang
tergolong Sia-pay atau golongan yang dianggap jahat.
Hanya kekuatan dan pengaruh Ma-kau sekarang tambah
maju daripada semula.
Setelah kehilangan anggota sekutunya, yaitu Tionggoansamyu,
demi memperkuat dirinya, tanpa penyaringan lagi
Say-koan menerima anggata se-banyak2nya, dengan
sendirinya cara memupuk kekuatan demikian banyak
menimbulkan kerugian, karena diantara murid baru dengan
sendirinya terdapat anasir2 jahat yang menimbulkan
malapetaka bagi dunia persilatan tiada ubahnya seperti
perbuatan Ma-kau.
Coh Cu-jiu hanya seorang gembong yang mementingkan
dirinya sendiri, pada hakikatnya kekuatan Bu-lim di bawah
pimpinannya itu sukar dibedakan antara golongan hitam
dan putih, yang dipikirnya cuma merajai dunia Kangouw
melulu.
Sejak Tionggoan-samyu bertengkar dengan Say-koan,
lambat-laun dapatlah mereka mengetahui wajah asli Coh
Cu-jiu, mereka tahu bilamana kekuasaan orang ini berhasil
tumbuh, di bawah pengaruhnya dunia persilatan pasti tidak
pernah aman lagi. Daripada nanti dia tumbuh menjadi
besar dan menimbulkan petaka bagi umum, akan lebih baik
jika sekarang ditumpasnya, sekalipun untuk itu mereka
harus berserikat dengan Ma-kau.
Akan tetapiMa-kau juga bukan golongan baik, ditambah
lagi Tionggoan-samyu turun temurun bermusuhan dengan
Md-kau, belum pernah timbul pikiran mereka akan
berserikat dengan Ma-kau, biarpun kekuatan mereka masih
lemah, namun mereka tetap ingin menegakkan keluhuran
dunia persilatan.
Singkatnya, dunia persilatan sekarang terdiri dari tiga
kelompok besar yang saling gontok2an dan tidak kenal
kompromi.
Peng-say tidak tahu apa sebabnya Tionggoan-samyu
bermusuhan dengan Say-koan, waktu itu dia sibuk mencari
Soat-koh sehingga tidak sempat menyelidiki. Namun ia
merasa gembira setelah tahu di dunia persilatan sekarang
berdiri kekuatan ketiga itu. Ia pikir hal ini sedikitnya
membuktikan tindakan Say-koan membunuh segenap
anggota Lam-han yang menjadi sekutunya itu tidak
dibenarkan oleh Tionggoan-samyu, bukan mustahil dari situ
pula timbul bibit permusuhan mereka.
Kepergian Peng-say ini ingin menggabungkan diri
dengan Tionggoan-samyu, bagi pribadinya dengan
demikian akan mendapat bantuan untuk membalas sakit
hati orang tua, bagi bepentingan umum juga dia dapat ikut
menegakkan kebenaran dan keadilan Bu-lim, jadi sekali
jalan dua tujuan.
Setiba di kota Cu-joan di daerah Soatang mau-tak-mau ia
menjadi sangat terharu. Teringat olehnya dahulu ia
menyamar sebagai orang bungkuk, kebetulan kepergok oleh
anak murid ayahnya, tapi sekarang para Suheng itu tidak
tertinggal seorangpun.
Waktu ia lalu dijalan yang terletak kediaman keluarga
Wi, tanpa terasa ia masuk ke rumah minum yang terletak
tidak jauh di situ, sampai lama ia mernandangi meja yang
pernah diduduki rombongan Kiau Lo-kiat itu, sayup2 ia
seperti mendengar suara tertawa si kera Kang Ciau-lin yang
kocak itu.
Sampai lama ia melamun di situ, akhirnya ia menaruh
uang minum di atas meja dan meninggalkan kedai minum
itu. Dilihatnya gedung keluargaWi itu masih tetap megah.
Rupanya sejak Wi Kay-hou mati, semua harta bendanya
telah diambil-alih oleh Suhengnya, yaitu Bok Jong-siong, si
kakek kecapi.
Sebenarnya Wi Kay-hou masih mempunyai seorang
anak lelaki bernama Wi Kin, tapi bocah itu berjiwa
pengecut, pada saat bahaya dia mengorbankan sang ayah
demi mencari selamat sendiri. Karena itu setiap orang
Thay-san-pay tidak lagi mengakui dia sebagai anakWi Kayhou
dan tidak berhak menerima harta warisan sang ayah.
Untuk menghindarkan tuduhan orang luar, Bok Jongsiong
tidak mengangkangi sepeserpun harta tinggalan Wi
Kay-hou, semuanya menjadi milik Thay-san-pay, gedung
keluarga Wi yang megah inipun dijadikan sebagai tempat
tamu.
Tionggoan-samyu diketuai oleh Bok Jong-siong, sejak
Tionggoan-samyu bermusuhan dengan Say-koan, bila anak
murid Sam-yu berkumpul, selalu tempat Thay-san-pay lni
digunakan sebagai pangkalan.
Sebabnya Yan-san-pay disebut aliran Yan-san dan Siongsan-
pay disebut aliran Siong-san adalah karena tempat
kediaman ketua masing2 berada di Yan-san dan Siong-san,
kedua gunung yang cukup ternama.
Kini demi pemusatan tenaga, "Ciu-to" atau Tojin arak
Thian-bun Totiang serta "Si-ni" atau Nikoh penyair Tingsian
Suthay, tidak segan2 meninggalkan pangkalan masing2
dan hijrah ke Thay-san. Dari sini dapat diukur betapa
kukuh persatuan mereka, sebab itu juga, biarpun "Lima
Besar' sudah hilang dua dan tinggal Tionggoan-samyu yang
lemah, toh Mo-kau tidak berani meremehkannya dan
sembarangan mengganggu, begitu juga Say-koan tidak
berani menyatroninya.
Dengan pemusatan kekuatan ketiga aliran itu, dengan
sendirinya harta kekayaan ketiga aliran itupun terhimpun
disitu. Maka gedung keluarga Wi yang dijadikan tempat
tamu Thay-san-pay ini lantas berubah menjadi tempat resmi
penerimaan tamu bagi Tionggoan-samyu, selama ini sudah
banyak juga orang gagah yang telah menggabungkan diri,
Begitulah setelah jelas keadaannya, segera Peng-say
menuju ke Thay-san untuk menggabungkan diri. Thay-san
terletak tidak jauh dari kota Cu-joan, penjagaan sangat
keras, tanpa melampaui penyambutan Cu joan-hwe-koan,
yaitu gedung tamu bekas kediaman Wi Kay-hou itu, jangan
harap orang akan dapat naik ke atas gunung. Oleh sebab itu
Peng-say mendatangi juga gedung keluargaWi itu.
Tiga hari dia tinggal disitu, petugas mengatur pada hari
ini Peng-say boleh naik ke Thay-san, maka anak muda itu
diberitahu agar siap untuk berangkat, agar Peng-say tidak
menyesal, petugas itu memberitahu pula bahwa selain Pengsay
masih ada juga tamu lain yang menunggu lebih dari tiga
hari.
Rupanya untuk bertemu dengan Sam-yu telah diadakan
peraturan yang cukup ketat, begitu pula bagi peminat yang
ingin menggabungkan diri dengan persekutuan tiga
serangkai itu, selain harus diuji langsung oleh Sam-yu, habis
itu harus bersumpah setia dengan minum arak berdarah.
Meski Tionggoan-samyu bukan suatu organisasi, tapi
setiap orang yang masuk perserikatan dengan sendirinya
dianggap sebagai anak buah Samyu dan harus memakai
baju yang bersulam simbul Siong (cemara), Tiok (bambu)
dan Bwe (sakura). Bila melihat simbul itu, orang Kangouw
akan segera tahu orang ini adalah anggota perserikatan
Tionggoan-samyu.
Siong adalah tanda pengenal Bok Jong-siong, Tiok
mewakili Thian-bun Totiang dan Bwe mewakili Ting-sian
Suthay, biasanya ketiga macam pepohonan itu dapat
tumbuh semarak di musim dingin, maka perserikatan
mereka juga disebut Hwe-han-sam-yu atau tiga serangkai di
ujung tahun yang dingin. Meski perserikatan Tionggoansamyu
itu tidak diberi nama organisasi, tapi orang
Kangouw lantas menyebutnya sebagai Sam-yu-pang atau
klik tiga serangkai.
Tionggoan-samyu kuatir orang jahat menyusup kedalam
perserikatan dan mungkin akan merugikan nama baik
mereka, maka pada waktu menguji peminat yang ingin
menggabungkan diri digunakan cara2 yang ketat, pedoman
mereka adalah "lebih baik kurang daripada mendapatkan
aib". Biasanya Sam-yu sendiri yang langsung menguji,
sikapnya kereng, pertanyaannya jelas, sehari hanya
beberapa orang saja yang dapat diterima, sebab itulah
bilamana peminatnya membanjir, terpaksa harus menunggu
giliran.
Waktu Peng-say datang di kantor penyambutan tamu, ia
pikir dirinya bukan kenalan Sam-yu, dengan sendirinya
tidak dapat mengunjungi mereka sebagai sahabat, maka ia
minta bertemu dengan alasan hendak menggabungkan diri,
ia pikir dirinya adalah angkatan muda, tidaklah salah jika
mesti menuruti peraturan.
Petugas yang menerimanya menganggap dia sama
seperti peminat yang lain sehingga dia harus menunggu
menurut nomor gilirannya. Sudah tentu petugas tidak tahu
bahwa dia sesungguhnya adalah anak Sau Ceng-hong,
kalau tidak, tentu akan diantar ke atas gunung secara
khusus dan diladeni pula tersendiri.
Maklumlah, setelah Sau Ceng-hong mati, kini Peng-say
merupakan tokoh utama Lam-han, sedangkan setiap tokoh
utama suatu aliran selalu disambut dengan tingkatan yang
sama oleh Tiong goan-samyu, hal ini disebabkan antara
ketua atau pemimpin satu aliran dengan aliran lain selalu
dipandang sama derajat, maka asalkan benar tokoh utama
sesuatu aliran, dengan sendirinya akan disambut dengan
hormat oleh Tionggoan-samyu.
-00 de-wi 00-
Peng-say tidak tahu aturan ini, disangkanya Tionggoansamyu
sama angkatannya dengan mendiang ayahnya, maka
dirinya sendiri pun terhitung Wanpwe atau angkatan lebih
muda. Ia tidak tahu bahwa orang Kangouw membedakan
tingkatannya berdasarkan ketua sesuatu aliran atau
golongan yang masih hidup dan tidak bergantung pada
Umurnya.
Sekarang Sau Peng-lam tidak diketahui jejaknya, orang
Kangouw menganggap Lam-han sudah tamat, betapapun
petugas penyambut tamu Thay-san-pay itu tidak tahu
bahwa selain anak angkat Sau Peng-Lam sebenarnya Sau
Ceng-hong masih mempunyai anak darah dagingnya sendiri
sebagai Sau Peng-say ini. Apalagi Peng-say sendiri juga
tidak memberi keterangan, sebab itulah Peng-say
diharuskan antri juga untuk bertemu dengan Tionggoansamyu.
Thay-san adalah pegunungan ternama, salah satu
gunung terbesar dari lima gunung besar di Tiong-kok,
letaknya di barat kota Cu-joan. banyak puncak-puncak
terkenal diatas gunung itu, di antaranya ada sebuah Tiangjin-
hong atau puncak bapak mertua, disitulah Tionggoansamyu
berdiam.
Setiba diatas pnncak, Peng-say melihat sebuah bangunan
besar dan megah, diam2 ia membayangkan betapa sulitnya
mengangkut bahan2 bangunan ke puncak setinggi ini, tanpa
terasa ia menghela napas gegetun.
Ia ikut petugas penyambut tamu itu masuk keruangan
pendopo, disitu sudah menuggu berpuluh orang, ada yang
berjubah ringkas, semuanya menyandang pedang, gagah
dan kereng, semuanya berdiri di kanan dan kiri, pada ujung
tengah sana terdapat tiga kursi besar, disitulah berduduk
tiga orang tua.
Orang yang duduk di tengah tampak kurus kering, kedua
bahunya rada menjumbul mirip seorang penderita sakit
asma. Diam2 Peng-say membatin: "Orang ini adalah Khimlo
Bok Jong-siong yang merupakan tokoh nomor satu
diantara Tionggoan-samyu."
Duduk di sebelah kiri Bok Jong-siong adalah seorang
Tosu tua bemuka merah, orang inipun sudah dikenal Pengsay
dahulu di rumah Wi Kay-hou, ia tahu Tosu ini adalah
Thian-bun Totiang dari Yan-san-pay.
Di sebelah kanan Bok Jon-siong adalah seorang Nikoh
tegap tapi berwajah welas-asih, usianya kelihatan baru
setengah umur. Peng-say tidak kenal Nikoh ini, tapi ia
dapat menduga tentulah si Nikoh penyair Ting-sian Suthay.
Waktu itu di depan Tionggoan-samyu berdiri satu orang.
Si pengantar membisiki Peng-say dengan suara tertahan:
"Ber-turut2 sudah datang lebih dulu beberapa kawan yang
ingin masuk menjadi anggota dan diantar oleh kawanku,
kau harus tunggu sebentar sampai giliranmu nanti."
Peng-say mengangguk dan berdiri disamping, ia coba
memandang kearah ketiga takoh pimpinan itu.
Didengarnya Bok Jong-siong lagi berkata kepada orang
yang berdiri di depannya: "Sobat ini disilakan berduduk."
Orang itu bersenjata golok. di sampingnya tersedia
sebuah kursi kosong, tapi dia hanya memandang kursi itu
sekejap, lalu menggeleng, katanya dengan hormat: "Di
depan Sam-lo (tiga tertua). Wanpwe Ih Ka-oh tidak berani
berduduk."
"Ih Ka-oh? Apakah Ih-heng yang berjuluk Golok nomor
satu dari Tiongtiau?" tanya Bok Jong-siong dengan
tersenyum.
"Nama itu adalah pemberian kawan Kangouw,
sesungguhnyaWanpwe tidak sesuai menerima julukan itu.
Orang gagah di Tiongtiau sangat banyak, mana berani
kuterima gelar Golok nomor satu dari Tiongtiau?" demikian
jawab orang yang mengaku bernama Ih Ka-oh.
Betapapun gemilangnya Ih-heng menjagoi daerah
Tiongtiau, tapi sekarang kau datang kemari untuk
mengabdi kepada Sam-yu dan harus tunduk kepada
perintah kami, apakah hal ini tidak membuat penasaran
padamu?" kata Bok Jong-siong pula.
"Karena terpaksa, mau-tak-mau Wanpwe harus
menggabungkan diri dengan Sam-lo," kata Ih Ka-oh,
Pada umumnya orang yang ingin menyumbangkan
sedikit tenaganya, tidak pernah ada yang bilang "karena
terpaksa" seperti Ih Ka-oh ini, tentu saja semua orang
merasa heran.
Bok Jong-siong juga melengak, katanya: "Coba jelaskan
lebih lanjut."
"Justeru karena nama golok nomor satu itulah tahun
yang lalu Say-koan telah mengutus orang mengundang
Wanpwe masuk ke Ngo-hoa-koan dan disambut sebagai
tamu terhormat," demikian tutur Ih Ka-oh. "Waktu itu
kupikir adalah suatu kehormatan besar bagiku kalau diriku
juga menarik perhatian Ngo-hoa-koancu, maka kuterima
dengan baik undangan itu. Siapa tahu Ngo-hoa-koan
sekarang sudah bukan Ngo-hoa-koan yang dulu lagi.
Maksud tujuan Coh Cu-jiu mengundang diriku bukanlah
untuk bersahabat, tapi aku hanya akan digunakan sebagai
pembunuh!"
"Apakah Coh Cu-jiu menyuruh kau membunuh anak
murid Sam-yu kami?" tanya Bok Jong-siong.
"Dengan upah besar dia menghendaki kubunuh anak
murid Sam-lo, bahkan juga membunuh anak murid Makau.
Padahal aku Ih Ka-oh sudah terbiasa hidup bebas, jika
aku diharuskan terikat dan menurut perintah, betapapun
aku tidak sudi, apalagi perbuatan membunuh dengan upah
yang berlumuran darah. Jangankan membunuh murid Samlo,
biarpun disuruh bunuh murid Ma-kau yang tak berdosa
juga tak dapat kupenuhi. Maka aku lantas meninggalkan
Ngo-hoa-koan, Coh Cu-jiu mengirim orang mencegat diriku
agar kembali kesana. Ku tahu kalau sudah kembali kesana
dan tidak menurut perintahnya, bisa jadi jiwaku akan
melayang. Demi mencari selamat, terpaksa kudatang
kemari dan mohon Sam-lo sudi menerima diriku."
Bok Jong-siong mengangguk, katanya: "Terima kasih
atas penghargaan Ih-heng kepada kami, jika kami tidak
menerima dirimu, rasanya se-olah2 kami takut kepada Coh
Cu-jiu. Akan tetapi jika kau sudah berada disini, mau-takmau
kau mesti menerima perintah kami. Demi pemusatan
tenaga, setiap orang dilarang bertindak sendiri2, padahal
kau sudah biasa hidup bebas, apakah kau tahan?"
"Di dunia persilatan sekarang terbagi menjadi tiga
kekuatan dan harus kupilih satu di antaranya," jawab Ih Kaoh.
"Sebelum kemari Wanpwe sudah menyelidiki dengan
jelas setiap tindak-tanduk murid Sam-lo, kuyakin di bawah
pimpinan Sam-lo tentu tidaklah berlawanan dengan hati
nurani."
"Bagus! Ambilkan arak!" seru Bok Jong-siong.
Segera seorang murid mengiakan dan menuang
semangkuk arak serta disodorkan ke depan Bok Jong-siong.
Lebih dulu Bok Jong-siong mencocok ujung jari sendiri
sehingga darah menetes ke dalam mangkuk. Lalu murid itu
menyodorkan mangkuk arak itu ke depan Thian-bun
Totiang dan Ting-sian Suthay, kedua or ng juga mencocok
ujung jari dan meneteskan darah ke dalam arak.
Akhirnya murid itu menyodorkan mangkuk itu ke depan
Ih Ka-oh, tanpa ragu Ih Ka-oh juga mencocok ujung jari
dan meneteskan darah kedalam arak, lalu mangkuk itu
diterimanya.
Sekarang coba perhatikan, saudaraku, jika dengan jurus
Hong-tiam-thau (burung Hong manggut kepala) kutusuk
Liam-coan-hiatmu, lalu cara bagaimana kau sambut
seranganku ini?" tanya Bok Jong-siong tiba2.
"Dengan gerakan Soat-pau-nio-wi (lepas jubah berikan
tempat), golokku mematahkan tusukan pedangmu.
berbareng kugeser kesamping, tangan kiri menghantam Gihay-
hiat di pinggangmu," jawab Ih Ka-oh dengan mantap.
Begitulah Bok Jong-siong mulai menguji kemampuan
Kungfu Ih Ka-oh secara lisan, dengan sendirinya ilmu
pedang ketua Thay-san-pay itu sangat hebat, tapi Ih Ka-oh
juga dapat melayani dengan sama kuat.
Ketika sampai pada jurus ketujuh, Bok Jong-siong
melancarkan jurus serangan "Coh-yu-hong-goau" atau
kanan-kiri menemukan rejeki.
Terpaksa Ih Ka-oh termenung sejenak, kemudian
menjawab: "Sungguh hebat serangan ini, tangan kiriku
tidak sempat menolong diri sendiri, sebelah kanan dapat
dipertahankan, tapi sebelah kiri pasti terserang, rasanya aku
pasti kalah dan terluka."
"Jarang ada anak muda yang mampu menyambut
seranganku hingga belasan jurus, tampaknya Ih-heng
memang tidak malu sebagai golok nomor satu dari
Tiongtiau," kata Bok Jong-siong. "Silakan minum arak
berdarah itu, selanjutnya kita adalah orang sekeluarga."
Tanpa ragu Ih Ka-oh mengangkat mangkuk arak tadi
dan ditenggaknya hingga habis.
Lalu Bok Jong-siong menyuruh muridnya membawa Ih
Ka-oh kebelakang untuk tukar pakaian yang bertanda
Siong, Tiok dan Bwe.
Setelah Ih Ka-oh mengundurkan diri, lalu petugas
mengantar maju seorang pemuda berjubah sulam dan
berpedang.
"Silakan duduk," kata Bok Jong-siong terhadap pemuda
perlente itu.
Pemuda itu bernama Ho Bu-cit, terkenal dengan julukan
"Bu-eng-kongcu", si Kongcu tanpa bayangan. Ia tahu kursi
yang dimaksud itu hanya sekadar panjangan saja, untuk
menghormati Sam-yu, sudah tentu tidak ada yang berani
berduduk di situ. Maka seperti juga Ih Ka-oh tadi, dengan
tertawa ia memperkenalkan namanya dan menyatakan
tidak berani berduduk.Walaupun di mulut bicara demikian,
namun sikapnya tampak agak pongah se-akan2 tidak
memandang sebelah mata kepada Tionggoan-samyu.
"Anda berasal dari perguruan mana?" tanya Bok Jongsiang
pula.
Ho Bu-cit kurang senang, pikirnya: "Begitu kau dengar
nama Ih Ka-oh lantas tahu asal-usulnya, memangnya aku
Bu-eng-kongcu kalah terkenal daripada orang she Ih itu?"
Padahal Bu-ong-kongcu hanya terkenal di daerah
selatan, termashur juga baru2 saja, jaraknya dengan
Soatang juga terlalu jauh sehingga Bok Jong-siong memang
tidak tahu namanya, berbeda dengan Ih Ka-oh yang
memang sudah lama menonjol di dunia Kangaow daerah
Tionggoan.
Ho Bu-cit berkerut kening, jawabnya kemudian:
"Wanpwe tidak mempunyai perguruan, sejak kecil hanya
ikut belajar pada ayah sendiri sehingga mungkin tiada
sesuatu yang dapat kutonjolkan."
"Bolehkah kutahu nama ayahmu?" tanya Bok Jong-siong
pula.
"Ayahku bernama Gi-peng?" jawab Bu-cit.
"Aha, kiranya Lam-hong-taykun?" seru Bok Jong-siong.
"Kiranya kau ini putera Ho-heng. Baikkah ayahmu?"
"Selamanya ayahku tidak pernah sakit. beliau sehat2
saja," jawab Bu-cit.
"Tentu saja dia sehat2 saja, kalau tidak masakah
bernama Gi-peng (bebas sakit)?" ujar Bok Jong-siong
dengan tertawa.
"Wanpwe juga ingin menyumbangkan tenaga disini,
entah Sam-lo sudi memberikan minum arak darah atau
tidak?" kata Bu-cit pula.
"Apakah kedatanganmu ini sepengetahuan ayahmu?"
tanya Bok Jong-song. "Apapula cita2mu?"
"Ayah jauh di selatan sana dan tidak urus persoalan
Kangouw lagi, kedatangannya ini adalah kehendak
Wanpwe sendiri," jawab Bu-cit, "Saat ini dunia persilatan
terbagai menjadi tiga kekuatan, tapi kuyakin perpecahan ini
tidak akan lama, akhirnya dunia persilatan pasti akan
dipersatukan lagi. Untuk itulah Wanpwe bermaksud ikut
membantu kalian menaklukkan dunia."
"Kau anggap pihak kami ini lebih besar harapannya?"
tanya Jong-siong dengan tertawa, "Tapi Tionggoan-samyu
hanya bersatu untuk menghadapi serangan dari luar, bukan
maksud kami akan merajai dunia persilatan. Kelak bila
orang2 yang berambisi besar menaklukkan dunia itu sudah
lenyap, Sam-yu kamipun akan bubar dan hidup
mengasingkan diri seperti ayahmu."
Ho Bu-cit tampak kecewa, katanya: "Sesungguhnya aku
memang menaruh harapan besar kepada pihak kalian, maka
kudatang membantu, tak terduga, Sam-lo ternyata tidak ada
maksud menjagoi Bu-lim, terpaksa Cayhe mohon diri saja."
"Menurut pendapatku, lebih baik Kongcu pulang ke
selatan saja dan jangan mimpi akan merajai Bu-lim.
Hendaklah tahu, di atas orang pandai ma-sih ada yang lebih
pandai, dunia seluas ini, tidak mungkin dapat diperintah
oleh seorang saja. Kukira, Ho Bu-cit, lekas kau sadar dan
pulanglah!"
"Itu bukan urusanmu!" jawab Ho Bu-cit dengan ketus,
segera ia membalik tubuh dan bertindak pergi dengan
langkah lebar.
"Lihat pedang!" nendadak Bok Jong-siong membentak,
Dengan cepat Ho Bu-cit membalik tubuh dan hendak
melolos pedang. tak terduga hanya sarung pedang saja yang
masih tersandang di punggungnya, pedangnya sudah
terbang tanpa sayap. Dalam pada itu sinar pedang
gemerdep sedang menyambar tiba ia terkejut dan melompat
mundur sebisanya.
Setelah menusuk satu kali, Bok Jong-siong tidak
menyusulkan serangan lain, ia lemparkan pedangnya dan
membentak: "Tangkap pedangmu ini!"
Waktu Ho Bu-cit menangkap pedang yang dilemparkan
kepadanya itu, dilihatnya pedang itu adalah miliknya
sendiri dan entah cara bagaimana telah berada di tangan
Bok Jong-siong.
Habis melemparkan pedang Bok Jong-siong membalik
tubuh dan kembali ke kursinya.
Bu-cit menjadi gusar, ia menyendal pedangnya sehingga
mendengung, nyata tenaga dalamnya tidak lemah, ia
melompat maju sambil berteriak: "Kem...."
Belum lagi kata "kembali" terucapkan, mendadak ia
merasakan dadanya rada silir2 dingin, waktu ia menunduk,
kejutnya tak terkatakan lagi.
Rupanya cuma sekali tusuk tadi Bok Jong-siong telah
menggores tujuh lingkaran kecil di dada Ho Bu-cit. Sebelum
bergerak tidaklah ketahuan, begitu Bu-cit bergerak, seketika
kain kecil2 bundar sama rontok sehingga kelihatan daging
tubuhnya, dan barulah Bu-cit tahu apa yang terjadi.
Setelah duduk kembali di kursinya, Bok Jong-siong
mendengus: "Ho Bu-cit, terimalah nasihatku, lebih baik kau
pulang saja!"
"Maaf, tak dapat kuterima," jawab Bu-cit, namun
nadanya sudah jauh lebih lunak, malahan ia lantas memberi
penjelasan: "Tujuanku keluar ini adalah menjelajahi dunia,
maka dalam waktu singkat tidak mungkin kupulang ke
selatan."
"Semoga tujuanmu benar2 hanya pesiar menjelajah
dunia saja," kata Bok Jong-siong, "kalau tidak, hm, kukira
kau sendiri sudah tahu, Antar tamu!"
Segera petugas yang bersangkutan mengiakan dan
mendekati Ho Bu-cit.
Diam2 pemuda itu sangat penasaran, pikirnya didalam
hati: "Hm, memangnya hanya satu jurus. ilmu pedangmu
dapat menggertak diriku? Justeru aku akan menggabungkan
diri ke pihak lawanmu untuk memusuhi kalian!"
Sudah tentu jalan pikirannya itu tidak berani
diperlihatkan, betapapun kecepatan pedang Bok Jong-siong
tadi telah membuatnya keder.
Lalu orang ketiga yang diajukan adalah seorang pemuda
bermuka pucat, bajunya yang berwarna biru itu meski
masih baik, namun kelihatan sudah tua, warnanya sudah
luntur, tampaknya orang ini tidak begitu beruntung
berkecimpung di dunia Kangouw. Akan tetapi petugas
penyambut tamu tidak berani menilai orang dari
pakaiannya, maka tanpa pilih bulu iapun dibawa
menghadap Sam-lo.
Begitu maju pemuda itu lantas memberi sembah kepada
Sam-lo. Menurut pengakuannya ia bernama Ci Tay-yu,
anak murid Eng-jiu-bun, perguruan yang tersohor dengan
cakar elang, kedatangannya ingin mengabdi bagi
kepentingan Bu-lim umumnya untuk menghadapi Mo-kau
dan Say-koan yang di-anggapnya se-wenang2.
Namun Bok Jong-siong cukup pengalaman dan tajam
pandangannya, sekali pandang saja ia tahu orang she Ci ini
tidak berisi. Maka ketika mengujinya dengan mangkuk
penuh arak, dari jauh Bok Jong-siong meluncurkan
mangkuk itu kepada Ci Tay-yu, serunya: "Minumlah arak
ini, Ci-heng."
Melihat mangkuk arak itu menyambar tiba dengan
pelahan, Ci Tay-yu mengira tidak sulit untuk
menangkapnya, tapi iapun tidak berani gegabah, dengan
tenaga Eng-jiau-kang segera mangkuk itu ditangkapnya.
Tak tersangka, meski mangkuk itu tampaknya sudah
terpegang, tapi mendadak bisa meronta seperti binatang
kecil yang tertangkap, sekuatnya Ci Tay-yu berusaha
memegangnya, namun mangkuk itu masih berontak.
Akhirnya meski mangkuk itu tidak sampai terbanting jatuh,
namun isi mangkuk sudah berceceran dan tak dapat
diminum lagi.
"Ci-heng," kata Bok Jong-siong kemudian dengan kurang
senang, "berbicara hendaklah yang jujur. Jika benar kau
sudah memahami Eng-jiau-kang, mustahil tidak mampu
minum arak dalam mangkuk itu?"
"O, aku. , . , aku kurang hati2 sehingga....." Ci Tay-yu
masih mencari alasan.
Tapi Bok Jong-siong lantas membentak: "'Kau belum
mau bicara terus terang? Hakikatnya kau bukan murid Engjiau-
bun, betul tidak?"
Melihat tuan rumahnya marah, Ci Tay-yu menjadi
ketakutan, jawabnya: "Ya, aku. . . .aku hanya mencuri
belajar be.....berapa jurus......"
"Maaf," kata Bok Jong-siong, "Tionggoan-samyu kami
bukan kaum hartawan, anggaran belanja kami terbatas dan
tidak sanggup memberi makan kepada kaum penganggur,
silakan kau cari tempat lain saja."
Ingin mencari makan, akhirnya gagal, dengan malu Ci
Tay-yu lantas angkat kaki.
Selagi petugas tadi hendak mengantar kepergian orang
she Ci itu, mendadak Bok Jong-siong berteriak: "Kemari
kau!"
Dengan takut petugas itu memberi hormat dan bertanya:
"Ada pesan apa, Suhu?"
"Kau bukan orang baru, mengapa seorang cecunguk
yang cuma ingin cari makan begitu kau bawa kesini?" omel
Bok Jong-siong. "Meski Hwe-koan kita menerima siapa pun
juga dan tidak pandang bulu, tapi sedikit cermat saja tentu
akan kau lihat orang ini sama sekali tidak punya Kungfu
apa2, sebaliknya kau bawa dia kesini, buang2 waktu dan
tenaga percuma."
Petugas itu ketakutan sebab mengira sang guru akan
menjatuhkan hukuman padanya, cepat ia berlutut dan
menyembah ber-ulang2 dan minta ampun.
"Sudahlah, pergi sana, lain kali harus lebih awas," kata
Bok Jong-siong.
Sesudah kejadian ini, berikutnya adalah giliran Sau
Peng-say. Orang yang membawa Peng-say kemari itu
menjadi ragu2 terhadap kemampuan anak muda itu,
dengan suara pelahan ia bertanya: "Sau-heng,
jangan.....janganlah kau serupa orang she Ci tadi?! Jika.....
jika kau tidak yakin akan sanggup marilah kita turun
gunung saja agar nanti aku tidak kena damperat."
Namun Peng-say diam2 saja tanpa gubris.
"Cu-gi, mana kawan yang kau antar, silakan maju
kesini," seru Bok Jong-siong.
Cu-gi adalah nama pengantar Peng-say itu, dengan
gugup ia menjawab. "Suhu, kukira..... kukira kawan ini
tidak jadi....."
Belum lanjut ucapannya, tahu2 Peng-say sudah maju
ketengah. Karena Lwekangnya sangat tinggi dan sudah
bersatu dengan jiwa-raganya, maka lahiriah Peng-say
kelihatan seperti pemuda yang tidak memiliki kepandaian
apa2.
Dengan sendirinva Bok Jong-siong tidak pernah
membayangkan Lwekang pemuda didepannya bisa sehebat
ini, sebab dalam usia muda belia begini tidak mungkin
menguasai Lwekang yang berpadu dengan jiwa-raganya
sehingga tidak kelihatan dari luar. Ia pandang Peng-say
sejenak, ia mengira anak muda ini tentu juga tidak lebih
baik dari pada Ci Tay-yu tadi. Maka iapun tidak
menyilakan Peng-say berduduk, dengan dahi berkerut ia
lantas tanya: "Siapakah nama Anda terhormat ?"
"Wanpwe Sau Peng-say!" jawab Peng-say sembari
memberi hormat.
Meski nama Peng-say dan Sau Peng-lam hanya beda satu
huruf saja, namun Bok Jong-siang tidak pernah berpikir
bahwa di antara kedua orang ini ada hubungan apa2.
Maklumlah, ilmu silat Sau Peng-lam terhitung nomor
satu di antara anak murid Lima Besar, bahkan sudah dapat
menjajari para ketua Lima Besar. Sedangkan Sau Peng-say
di depannya sekarang tiada kelihatan memiliki sesuatu
kepandaian. bedanya seperti langit dan bumi jika
dibandingkan Sau Peng-lam, sebab itulah nama Peng-say
tidak menimbulkan perhatiannya.
Maka Bong Jong-siang lantas bertanya pula: "Sau-heng
berasal dari perguruan mana?"
"Wanpwe anak murid Soh-hok-han," jawab Peng-say.
Thian-hun Totiang menjadi gusar, katanya: "Eh, saudara
cilik, jika kau mengaku murid perguruan lain mungkin kami
akan percaya, tapi kau mengaku sebagai murid Soh-hokhan,
setan yang mau percaya padamu!"
Nyata, Thian-bun Totiang juga menyangsikan
kepandaian Sau Peng-say dan mengira iapun serupa Ci Tayyu
tadi yang cuma ingin cari makan belaka.
"Tapi Wanpwe benar2 anak murid Soh-hok-han," kata
Peng-say pula.
Ting-sian Suthay menjadi curiga, ia pikir anak muda ini
jelas bukan orang dungu. masa sengaja mengaku sebagai
anak murid Soh-hok-han yang sudah musnah itu? Jangan2
ucapannya ini memang beralasan. Maka dengan tertawa ia
bertanya: "Cara bagaimana kau memanggil Sau Peng-lam?"
"Dia adalah Gihengku (kakak angkatku)," jawab Pengsay.
"Dan apa sebutanmu kepada Soh-hok-hancu Sau Cenghong?"
tanya Ting-sian pula.
"Beliau adalah mendiang ayahku," kata Peng-say tegas.
"Ayah sedarah?" tanya Ting-sian.
"Betul, ayah sedarah," jawab Peng-say.
"Jika demikian, jadi Leng Tiong-cik ialah ibu
kandungmu?" tanya Ting-sian lebih lanjut.
Asal Peng-say mengangguk atau mengiakan, maka
kontan Sam-lo bisa mendepaknya keluar. Sebab setiap
orang Bu-lim mengetahui Leng Tiong-cik itu mandul, tidak
pernah melahirkan bagi Sau Ceng-hong. Dengan
pertanyaannya itu Ting-sian ingin membuktikan
kebohongan Peng-say.
Bok Jong-siong dan Thian-bun Totiang tahu maksud
tujuan kawannya itu, maka dengan mata terbelalak
merekapun menantikan jawaban Peng-say.
Namun mereka sama kecewa, Peng-say tidak
mengangguk, sebaliknya malah menggeleng dan berkata:
"Bukan, dia bukan ibuku."
"Tapi apakah kau tahu Leng Tiong-cik itu ialah isteri Sau
Ceng-hong?" tanya Ting-sian pula.
"Tahu," jawab Peng-say.
"Nah, kalau kau mengakui Sau Ceng-hong sebagai ayah,
kenapa tidak mengakui isterinya sebagai ibumu?" kata
Thian-bun Totiang.
"Ucapan Totiang memang tepat, sepantasnya akupun
harus mengakui dia sebagai ibu," ujar Peng-say, "Cuma dia
bukan ibu-kandungku, ibu-kandung Wanpwe sendiri
ialah...."
"Siapa?!" bentak Sam-lo berbareng.
”Ibu Wanpwe sudah meninggal pada waktu Wanpwe
berumur sepuluh, ibu she Soat, keturunan keluarga Soat di
Say-Pak."
"O, jadi pamanmu ialah Say-pak-beng-to Soat Ko-hong?"
Bok Jong-Siong menegas.
”Betul," jawab Peng-say.
Ketiga orang tua itu lantas saling tukar pikiran dengan
suara bisik2, sejenak kemudian, Bok Jong-siong berkata
pula: "Sekarang kami percaya kau memang benar putera
Sau Ceng-hong dari Lam-han. Ayolah, sediakan tempat
duduk bagi saudara cilik ini!"
Hanya sekejap saja dua lelaki kekar telah membawakan
sebuah kursi besar bersandaran seperti ketiga kursi besar
yang diduduki Sam-lo itu. Kursi ini jelas berbeda dengan
kursi yang terletak di depan Sam-lo tadi.
"Silakan duduk," kata Bok Jong-siong.
Peng-say ingin mengucapkan sesuatu, tapi Bok Jongsiong
lantas menggoyangkan tangan dan berkata: "Jangan
menolak, orang lain boleh sungkan, kau tidak perlu
sungkan2."
Peng-say jadi melengak oleh sikap tuan rumah yang
berubah 180 derajat itu.
Didengarnya Bok Jong-siong telah memberi penjelasan:
"Selama ini jabatan ketua Soh-hok-han diwariskan turun
temurun kepada anak, tidak beruntung ayahmu telah
meninggal, meski sebelumnya dia tidak mengumumkan
siapa yang akan menerima jabatan ketua yang
ditinggalkannya, namun meninggalnya ayahmu secara
mendadak, menurut aturan kedudukan Ciangbunjin adalah
hakmu. Jadi sekarang kau adalah ketua suatu perguruan,
silakan duduk agar kita tidak kehilangan tata adat sesama
orang Kangouw."
Peng-say menjadi agak ter-sipu2, ucapnya dengan ragu:
"Tapi . . . tapi di atas Wanpwe masih . . . masih ada kakak
Sau Peng-lam."
"Sau Peng-lam hanya anak angkat ayahmu, bila di dunia
ini tiada kau Sau Peng-say, sudah tentu jabatan ketua Sohhok-
han dapat diwariskan kepadanya," kata Bok Jongsiong.
"Sekarang setelah kami berunding, kami mengakui
kau adalah anak sedarah Sau Ceng-hong, dengan sendirinya
harus mengikuti peraturan perguruanmu dan sekaligus
mengakui kau sebagai ketua Lam-han. Jika kau menolak,
hal ini akan menandakan kepalsuanmu, bisa jadi akan
menimbulkan curiga kami bahwa kau sebenarnya bukan
anak Sau Ceng-hong."
Karena alasan ini, mau-tak-mau Peng-say harus
menerimanya dan berduduklah dia di kursi besar yang
disediakan bagi setiap ketua perguruan itu.
Hanya tanya jawab beberapa kalimat saja, semula tidak
percaya Peng-say adalah anak murid Soh-hok-han, tapi
mendadak lantas mengakui dia sebagai pejabat ketua Lamhan,
perubahan tiba2 ini selain membuat Peng-say rada
heran, bahkan semua orang yang menyaksikan juga merasa
bingung.
Setelah Peng-say mengaku sebagai anak Sau Ceng-hong,
kalau semula Sam-lo mencurigai dia sebagai murid Lamhan,
kenapa tidak meragukan pula pengakuan Peng-say itu?
Sungguh teka-teki yang sukar dipecahkan oleh semua
orang.
Hanya Sam-lo saja yang paham duduknya perkara,
mereka percaya Sau Peng-say memang betul2 adalah anak
Sau Ceng-hong.
Rupanya kuncinya terletak pada pengakuan Peng-say
bahwa ibunya berasal dari keluarga Soat di Say-pak, hal
inilah yang meyakinkan Sam-lo dan tidak sangsi lagi.
Di dunia Kangouw sekarang memang cuma beberapa
orang sahabat lama Sau Ceng-hong saja yang tahu bahwa
selain isterinya, Leng Tiong-cik, sesungguhnya Sau Cenghong
masih mempunyai seorang kekasih gelap lagi.
Kawan2 lama Sau Ceng-hong, terutama yang karib seperti
Tionggoan-samyu, tentu saja tahu jelas siapa kekasih Sau
Ceng-hong itu serta asal-usulnya.
Begitulah, maka Tionggoan-samyu secara resmi telah
mengakui Sau Peng-say sebagai pejabat ketua Lam-han
sekarang.
Akan tetapi baru saja Peng-say menduduki kursinya,
kesulitan segera timbul.
Didengarnya Bok Jong-siong bertanya padanya: "Sau
Peng-say, selaku Ciangbunjin Soh-hok-han, seharusnya kau
bertanggung jawab atas peristiwa yang menyangkut
perguruanmu. Sekarang ingin kutanya apakah
perguruanmu memang diam2 bersekongkol dengan Makau."
Dengan kehormatan seorang Ciangbunjin, Peng-say
menjawab dengan tegas; "Ingin kutanya juga, siapakah
yang bilang perguruan kami bersekongkol dengan Ma-kau?"
"Ting Tiong dan Liok Pek dari Say-koan," kata Bok
Jong-siong.
”Ingin kutanya pula, apakah Sam-lo dapat mempercayai
kepribadian mendiang ayahku?" tanya Peng-say pula.
Bahwa Sau Ceng-hong mencari kekasih lagi karena ingin
mendapatkan keturunan, hal ini dapat dimengerti oleh
siapapun juga, apalagi menurut adat kuno, Leng Tiong-cik
telah melanggar hukum adat. yaitu tidak dapat melahirkan,
untuk ini Sau Ceng-hong tidak menceraikan dia, pada
umumnya sikap Sau Ceng-hong itu malah dipuji sebagai
seorang ksatria sejati.
Karena itulah Bok Jong-siong lantas menjawab: "Kami
percaya penuh terhadap pribadi ayahmu."
”Bagaimana kalau dibandingkan kepribadian Ting dan
Liok dari Say-koan itu?" tanya Peng-say pula.
Bok Jong-siong tahu maksud pertanyaan anak muda itu,
dengan tertawa ia menjawab, "Dengan sendirinya jauh
lebih unggul."
"Jika begitu, kan seharusnya Sam-lo jangan percaya
kepada ocehan Ting dan Liok berdua dan merendahkan
kepribadian mendiang ayahku."
"Ucapan yang tepat, sesungguhnya kami memang tidak
percaya ayahmu bisa bersekongkol dengan Ma-kau," ujar
Bok Jong-siong dengan tertawa. Ia menghela napas, lalu
melanjutkan: „Cuma, setelah ayahmu meninggal, saksi
hidup tidak ada lagi, orang lantas percaya kepada desasdesus
yang disebarkan Ting dan Liok berdua. Apalagi
waktu itu demi persatuan antara persekutuan Lima Besar,
mau-tak mau kita percayai apa yang dikatakan mereka."
"Sudah membunuh orang, masih memfitnah lagi," kata
Peng-say dengan gemas. "Wahai Ting Tiong dan Liok Pek,
keji amat cara kalian itu?"
"Coh Cu-jiu juga berjiwa sempit, sedikit urusan saja tentu
dijadikan alasan untuk bikin geger." kata Bok Jong-siang.
"Sekarang kami sudah tahu Coh Cu-jiu dendam kepada
ayahmu karena dahulu ayahmu telah berusaha mengalangi
dia terpilih sebagai Bengcu persekutuan kita. Mengenai
pembunuhannya secara keji terhadap segenap anggota
keluarga perguruanmu, permusuhan berdarah ini. setiap
sahabat ayahmu kelak pasti akan membantumu untuk
membikin perhitungan dengan mereka."
"Kedatangan Wanpwe ini justeru ingin memohon
bantuan Sam-lo terhadap sakit hati mendiang ayahku itu,"
kata Peng-say.
"Jangan kuatir." jawab Bok Jong-siong sambil
mengangguk, "biar pun kau tidak datang memohon, tidak
nanti kami Sam-yu menyudahi persoalan ini,"
"Apakah karena urusan ayahku itulah Sam-lo
memutuskan hubungan dengan Coh Cu-jiu?" tanya Pengsay.
"Bukan," jawab Bok Jong-siong.
"Habis sebab apa Sam-lo bermusuhan dengan Coh Cujiu?"
"Untuk ini hendaklah kau harus bertanggung jawab "
kata si kakek kecapi itu.
"Aku? Aku bertanggung jawab?" Peng-say menegas
dengan terkejut.
"Ya," tutur Bok Jong-siong. "Kau tahu musuh kita
nomor satu ialah Mo-kau, tujuan persekutuan Lima Besar
juga untuk menghadapi Ma-kau. Dua tahun yang lalu kami
mendengar segenap anggota perguruaanmu terbunuh,
tatkala mana kami sudah tahu Coh Cu-jiu yang sengaja
mencari alasan untuk menumpas Lam-han, tapi mengingat
persatuan kita harus menghadapi Ma-kau, maka kami tidak
bertindak apa2. Akan tetapi sikap kami yang lebih
mementingkan persatuan ini berbalik malah dianggap
lemah oleh Coh Cu-jiu, diam2 ia hendak membikin celaka
Tionggoan Sam-yu kami.'"
"Memangnya apa alasannya?" tanya Peng-say.
"Hendaklah kau beritahukan dulu kepada kami dimana
beradanya Sau Peng-lam sekarang?" tanya Bok Jong-siong.
”Apakah sengketa antara Sam-lo dengan Coh Cu-jiu ada
sangkut-pautnya dengan Gihengku?" tanya Peng-say.
"Betul, maka Sam-yu kami minta pertanggungan
jawabmu untuk menyerahkan Sau Peng-lam."
"Sesudah itu, lalu apa yang akan Sam-lo lakukan
terhadap Gihengku?"
"Akan kutanya dia, mengapa dia lupa budi mengingkar
janji?!" kata Bok Jong-siong.
"Lupa budi dan ingkar janji?" Peng-say menegas dengan
bingung. "Gihengku adalah seorang lelaki sejati, masa dia
pernah lupa budi dan ingkar janji?"
"Apakah kau tahu peristiwa terbunuhnya Hui Pin. Sute
Coh Cu-jiu yang terkenal sebagai jago pukulan Tay-jiu-in
itu?" tanya Bok Jong-siong.
"Tahu, cuma entah siapa yang membunuhnya?"
"Akulah yang membunuhnya," kata Jong-siong.
"Sebab apakah Bok-lo membunuh Hui Pin?"
"Sebab kalau tidak kubunuh dia tentu ada lima orang
lain yang akan terbunuh," tutur Bok Jong-siong. "Di antara
kelima orang termasuk pula Sau Peng-lam. Tak tersangka
Gihengmu ternyata tidak dapat jaga rahasia, walau pun
akupun bersalah karena waktu itu tidak kujelaskan betapa
berbahayanya urusan, tapi Gihengmu adalah seorang jago
yang telah ternama, mustahil tidak dapat membedakan
bahava atau tidaknya sesuatu perkara?"
"Sebab itulah maka Bok-lo menuduh Gihengku lupa budi
dan ingkar janji?" tanya Peng-say.
"Betul, kalau dia tidak membocorkan rahasia peristiwa
itu sehingga diketahui Coh Cu-jiu, tentu urusan tidak
berubah menjadi seperti sekarang ini," kata Bok Jong-siong.
"Betapa sempitnya jiwa Coh Cu-jiu, lantaran kematian Hui
Pin itu, secara besar2an dia telah mengerahkan segenap
kekuatan Say-koan untuk menyatroni kami, untunglah
kawan2 dari Yan-san dan Siong-san pay keburu datang
menolong, kalau tidak tentu saat ini Thay-san-pay sudah
runtuh habis2an."
"Tionggoan-samyu sudah bersatu padu, senasib
setanggungan, demi membela seorang Sutenya yang
durhaka itu dia tidak segan2 merusak persatuan kita, dia
pandang rendah Bok-lo berarti meremehkan Sam-yu pula,
yang untung adalah Ma-kau." demikian sambung Thianbun
Totiang. "Apabila kami tidak bertahan mati2an.
Tionggoan-samyu tentu sudah hancur sejak lama. Namun
Say-koan juga tidak mendapatkan keuntungan apa2, Coh
Cu-jiu tidak mau menjadi Bengcu tapi lebih jika merusak
persatuan, meski selama setahun ini Say-koan banyak
menambah anggota-baru, namun anak muridnya juga tidak
sedikit yang menjadi korban keganasan pihakMa-kau."
Ting-sian Suthay menggeleng, katanya; "Coh Cu-jiu
membela urusan kecil sehingga kehilangan yang besar,
mendingan cuma kehilangan kawan sekutu. yang celaka
ialah anak buahnya makin lama makin gado2 tak keruan
sehingga banyak merugikan nama Say-koan sendiri."
”Orang ini terlalu ambisius." kata Thian-bun. "Demi
menjagoi Bu-lim, dia tidak memikirkan namanya lagi yang
tercemar. Tapi kita menjadi kenal juga wajah aslinya."
"Tapi harus diceritakan juga, bila Sau Peng-lam tidak
membocorkan rahasia terbunuhnya Hui Pin, tentunya
urusan takkan berantakan seperti sekarang," kata Bok Jongsiong.
"Betapapun Coh Cu-jiu adalah tokoh perguruan
ternama, Ngo-hoa-koan sudah termashur selama ratusan
tahun, hal ini diketahui oleh siapapun juga, kalau tidak
terpaksa, kukira tidak nanti Coh Cu-jiu memperlihatkan
ambisinya yang gede itu."
Peng-say menjadi kurang senang, tanyanya:
"Memangnya Gihengku yang mengakibatkan Coh Cu-jiu
meninggalkan jalan yang baik dan menuju ke jalan sesat?"
"Kau penasaran bagi Gihengmu, bukan?" ujar Ting-sian
dengan tersenyum. "Setiap urusan tentu ada sebab dan
akibatnya. Dalam hal ini, memang berawal oleh karena
Gihengmu membocorkan rahasia kematian Hui Pin, maka
urusan menjadi runyam begini. Tapi mungkin juga sudah
takdir, andaikan tiada persoalan Sau Peng-lam sehingga
Say-koan putus hubungan dengan Sam-yu kami, kukira
akhirnya Coh Cu-jiu juga akan memusuhi kami."
”Tapi kuyakin Gihengku tidak nanti membocorkan
rahasia kematianHui Pin," kata Peng-say.
"Berdasarkan apa kau berkata demikian?" tanya Thianbun.
"Kalau Giheng mau berbuat begitu, tidak nanti Gi-lim
membunuh diri di Soh-hok-han," tutur Peng-say,
"Hah, Gi-lim mati di Soh-hok-han?" seru Ting-sian kaget.
"Sebab apa dia bunuh diri?"
"Supaya tidak ada orang dapat memaksa dia memberi
keterangan tentang siapa yang membunuh Hui Pin," tutur
Peng-say.
"Sesungguhnya bagaimana kejadiannya, coba ceritakan
sejelasnya," pinta Bok Jong-siong.
Peng-say lantas menceritakan apa yang terjadi Soh-hokhan
dahulu, dimana Ting Tiong dan Liok Pek dengan anak
buah Say-koan hendak menawan Sau Peng-lam dan
memaksanya supaya dia memberi keterangan siapa yang
membunuh Hui Pin, Akhirnya ia berkata: "Namun Giheng
tidak mau mengaku, sedangkan Gi-lim telah jatuh ditangan
orang Say-koan, Nikoh cilik itu terharu melihat sikap tegas
Gihengku, ia kuatir dirinya tidak tahan disiksa Ting Tiong
dan Liok Pek dan akhirnya mungkin akan mengaku terus
terang apa yang terjadi, maka dia terus membunuh diri
untuk menghindari siksaan musuh. Kemudian rombongan
Ting Tiong meninggalkan Soh-hok-han. tapi malamnya
segenap anggota perguruan telah mengalami
penyembelihan habis2an, meski Giheng tidak mati, namun
terlalu berat terkena racun bius sehingga otaknya menjadi
kurang waras dan melupakan segala kejadian di masa lalu,
dengan sendirinya tidak mungkin lagi membocorkan
rahasia yang diketahuinya."
"Aneh," kata Thian-bun Totiang. "Mengapa Coh Cu-jiu
sengaja bilang Sau Peng-lam yang memberitahukan hal
terbunuhnyaHui Pin itu."
Bok Jong-siong berpikir sejenak, samar2 ia dapat meraba
duduknya perkara, katanya kemudian sambil manggut2:
"Tahulah aku, agaknya Coh Cu-jiu mendengar desas-desus
Hui Pin mati di tanganku, tapi dia tak dapat membuktikan,
maka Ting Tiong dan Liok Pek diperintahkan mengusutnya
ke Lam-han, meski Sau Peng-lam tidak membocorkan apa
yang terjadi, tapi mereka tahu Sau Peng-lam mengetahui
kejadian yang sebenarnya dan sengaja tidak mau mengaku.
Kemudian Coh Cu-jiu membawa anak buahnya ke Thaysan
dan mencari diriku, dia sengaja bilang Sau Peng-lam
yang memberitahukannya tentang kematian Hui Pin itu,
tanpa menyelidiki lagi kukira benar2 Peng-lam yang
membocorkan rahasia itu, aku menjadi gusar dan dendam,
maka tanpa banyak susah lagi Coh Cu-jiu pun yakin berita
yang didengarnya itu memang betul, maka Thay-san kami
telah diobrak-abrik oleh orang Say-koan."
"Gi-lim sudah mati, Sau Peng-lam kurang waras,
darimana pula Coh Cu-jiu mendapatkan berita tentang kau
yang membunuh Hui Pin?" tanya Thian-bun.
"Siapa lagi kalau bukan pihak Mo-kau," kata Bok Jongsiong.
"Mo-kau? Darimana pula Mo-kau tahu?" Thian-bun
merasa bingung.
"Kan sudah kukatakan, waktu kubunuh Hui Pin,
seluruhnya ada lima orang yang ikut menyaksikan. Wi-sute
dan gembong Mo-kau Kik Yang kemudian mati, sisa tiga
orang lagi, Gi-lim dan Peng-lam jelas tidak membocorkan
kejadian itu, lalu siapa lagi kalau bukan cucu perempuan
Kik Yang, Kik Fi-yan yang membocorkannya? Kik Fi-yan
masih kecil dan tidak mungkin diperalat orang, sepulangnya
di markas Mo-kau, tentunya dia melaporkan tentang
kematian kakeknya kepada sang Kaucu, mau-tak-mau tentu
ia ceritakan pula terbunuhnya Hui Pin itu. Nah,
kesempatan baik ini apa dapat di-sia2kan oleh Tonghong
Put-pay, dengan sendirinya ia terus menyebar-luaskan
berita tentng terbunuhnya Hui Pin olehku."
"Ya, jadi selama ini kita telah salah menuduh Sau Penglam,"
kata Ting-sian.
”Untuk itu hendaklah Sau-heng suka memaafkan,"
segera Bok Jong-siong berbangkit dan memberi hormat
kepada Peng-say.
Cepat Peng-say berdiri dan membalas hormat.
Selagi kedua orang itu berjengkang-jenking saling
memberi hormat, tiba2 seorang murid Thay-san-pay berlari
masuk dan berteriak: "Musuh menyerbu tiba!"
Serentak anak murid Thay-san-pay sama melolos senjata
sehingga terdengar suara gemeratang-ramai dengan sinar
pedang berkilauan.
Tiba2 terdengar suara seorang perempuan berkata
dengan tertawa: "Wah, ramai sekali disini!"
Waktu semua orang memandang ke sana. tertampaklah
di depan pintu berdiri seorang gadis jelita berambut
panjang, usianya baru 20 tubuhnya yang bernas terbungkus
di dalam baju sutera hitam yang tipis, jelas kelihatan tidak
membawa senjata apapun.
Dengan lemah gemulai gadis itu melangkah ketengah
ruangan, lalu mengikik tawa sambil mendekap mulutnya
dengan lengan bajunya yang longgar, katanya: "Hihi,
apakah anak murid Sam-yu biasanya menyambut
kedatangan tamu dengan senjata terhunus?"
Melihat lawan hanya seorang gadis lemah, para murid
yang sudah telanjur melolos pedang itu sama menyadari
ketegangannya sendiri, maka be-ramai2 mereka menyimpan
kembali senjata masing2.
Segera Bok Jong-siong berkata: "Sam-yu tidak menerima
tamu yang sembarangan menerobos tanpa permisi, silakan
nona pulang!"
"Tidak menerima tamu yang terobosan, apakah juga
tidak menerima musuh yang berterobosan?" jawab gadis
rambut panjang dengan tertawa.
"Nona datang sendirian, apakah kau tidak terlalu
meremehkan orang?" jengek Bok Jong-siong.
"Tidak, aku membawa serta seorang teman," kata nona
itu.
"Jika begitu, silakan menghadap sekalian," kata Jongsiong.
"Ah, dia hanya seorang hamba saja, tidak berani berdiri
sejajar dengan para ksatria yang hadir di sini," ujar si nona.
Dia bicara dengan selalu tersenyum simpul, sedikitpun tiada
tanda2 hendak mencari perkara.
Bok Jong-siong menjadi tidak enak sendiri, terpaksa ia
tanya dengan ramah: "Lalu apa maksud kedatangan nona?"
Mata si nona yang jeli itu mengerling sekejap
sekelilingnya, lalu menjawab dengan tertawa:
"Kedatanganku hanya ingin mempertunjukkan sedikit
kepandaian seni yang tidak berarti kepada tuan2 disini."
Lalu ia bertepuk tangan pelahan, seorang genduk cilik
berdandan sebagai pelayan lantas melangkah masuk dengan
cepat, tangan genduk cilik mengusung sebuah kecapi tujuh
senar lalu berdiri di samping nona tadi.
Sesudah menerima kecapi itu, nona rambut panjang itu
berkata: "Aku baru saja belajar metik sebuah lagu baru dan
ingin kupertunjukan kepada tuan2, apabila Anda sudi,
silakan mendengarkan."
"Apakah nona sengaja hendak pamer dan mencari gara2
ke sini?" tegur Bok Jong-siong dengan menarik muka
"Yang baik takkan datang, yang datang tentu bermaksud
tidak baik, kedatanganku mana berani kukatakan hendak
pamer, mencari gara2 sih memang betul," jawab nona itu
dengan tertawa.
"Siapa yang mendalangi kau kesini?" tanya pula Bok
Jong-siong.
"Tidak ada yang suruh atau mendalangi, aku sendiri
yang suka kemari," jawab nona itu. "Cuma sebelumnya
ayahku sudah tahu, tadinya beliau mencegah niatku, tapi
karena tekadku sudah bulat, terpaksa beliau meluluskan."
"Siapa nama ayahmu yang terhormat?" tanya si kakek
kecapi Bok Jong-siong.
Seperti anak kecil yang merasa penasaran, nona itu
menjengkitkan mulut dan berkata: "Ai, mengapa Bok-lo
tidak tanya namaku, tapi cuma tanya nama ayahku?
Memangnya namaku tiada harganya untuk ditanya?"
"Baiklah, mohon tanya siapakah nama harum nona?"
kata Bok Jong-siong dengan tertawa.
Nona rambut panjang itu tertawa senang sehingga
kelihatan barisan giginya yang rajin dan putih bak biji
ketimun. Jawabnya: "Aku she Tonghong dan bernama Kuile."
"Tonghong Kui-le?" Bok Jong-siong mengulang nama itu
sambil berkerut kening. "Kau kenal Tonghong Put-pay
tidak?"
"Ah, tanpa kukatakan juga dapat kau terka dengan
tepat," ujar si nona rambut panjang alias Tonghong Kui-le.
"Tonghong Put-pay ialah ayahku."
Keterangan ini membuat semua orang saling pandang
dengan kejut dan heran, beberapa orang diantaranya lantas
saling bisik2: "Berani amat budak ini datang sendirian ke
sini!"
Tajam juga telinga Tonghong Kui-le, sorot matanya yang
tajam menatap orang yang bersuara itu ia bertanya:
"Memangnya kenapa aku tidak berani datang kesini?"
Orang yang ditatap itu adalah anak murid Thay-san-pay
yang usianya sebaya dengan Tonghong Kui-le, anak muda
ini ternyata lebih pemalu daripada anak perempuan,
seketika mukanya menjadi merah dan tak dapat menjawab.
Tongliong Kui-le lantas menjawab pertanyaannya
sendiri: "Ya, antara Ma-kau dan Tionggoan-samyu boleh
dikatakan seperti api dan air, kalau bertemu. bila bukan
membunuh tentu akan terbunuh Mungkin aku memang
tidak tahu diri dan berani datang kesini sendirian, nyaliku
memang agak besar, tapi....." dia tersenyum, lalu
menyambung, "akupun tahu tuan2 adalah ksatria ternama
yang berbuat luhur, tentunya kalian takkan menganiaya
seorang anak perempuan yang tidak dapat melawan.
berdasarkan pikiran inilah aku lantas berani datang ke sini."
Mendadak Thian-bun Totiang mendengus: "Hm.
perempuan lain mungkin akan kami lepaskan, tapi kau
adalah anak Ma-kau-kaucu, kau boleh datang dan tidak
boleh pergi!"
"Eh, Totiang yang bermuka Kwan Kong (seorang
panglima perang terkenal jaman Sam Kok yang bermuka
merah) ini apakah Thian-bun Totiang adanya?" tanya
Tonghong Kui-le dengan tertawa.
Kembali Thian-bun hanya mendengus saja.
Tonghong Kui-le berkata pula: "Waktu aku hendak
berangkat, ayahku memang merasa kuatir, kata beliau:
'Anak Le, kepergianmu ke Thay-san tanpa bersenjata, meski
pihak lawan kebanyakan adalah tokoh2 pendekar ternama
dan berbudi luhur dan takkan bertindak kasar padamu, tapi
mendingan bila kau ketemu orang lain, jika kepergok
Thian-bun Totiang, biarpun kau tidak melawan juga dia
takkan melepaskan kau.' — Sudah tentu aku tak percaya,
kataku: 'Ayah, Thian-bun Totiang memandang kejahatan
sebagai musuh, orangnya jujur dan adil, jangan kau
menakut-takuti aku agar aku tidak berani pergi.' — Ayah
berkata pula dengan menyesal: 'Anak Le, mungkin kau
tidak tahu bahwa guru Thian-bun Totiang tewas
ditanganku, bencinya padaku tentu merasuk tulang, tapi
iapun tidak mampu berbuat apa2 terhadapku. Selama
berpuluh tahun ini dia tidak dapat menuntut balas padaku.
Sekarang kepergianmu ini tentu sangat kebetulan baginya,
seperti anak domba yang disodorkan ke mulut harimau,
tentu kau takkan dilepaskan, dia pasti akan membunuhmu
untuk melampiaskan dendamnya."
Merah padam wajah Thian-bun Totiang, bentaknya
dengan gusar; "Betul, aku tidak dapat membunuh
Tonghong Put-pay, terpaksa kubunuh anak
perempuannya!"
Namun Tonghong Kui-le tidak gentar sedikit-pun,
ucapnya dengan tertawa: "Dengan ucapannya tadi ayah
mengira aku dapat di-takuti, tak tersangka aku telah
menjawab; 'Ayah, engkau yang telah membunuh guru
orang, syukur jika kepergian anak ini dapat dilepaskan oleh
Thian-bun Totiang, kalau tidak, ya nasib. Pendek kata anak
sudah bertekad akan berkunjung ke Thay-san."
Karena nada si nona tidak menyetujui sikap ayahnya
yang telah membunuh guru orang, rasa gusar Thian-bun
rada berkurang, tapi ia lantas mendengus; "Hm, anak
perempuan sudah bosan hidup barangkali."
"Betul juga, sejak kutahu ayah banyak membunuh orang,
aku memang rada2 bosan hidup." kata Tonghong Kui-le.
"Maka dengan menyerempet bahaya kudatang kesini untuk
melerai permusuhan ayah dengan Sam-lo agar kedua pihak
tidak lagi saling bunuh membunuh dan menimbulkan
korban yang tak berdosa."
"Cara bagaimana akan melerai permusuhan ini?" tanya
Bok Jong-siong.
"Caranya sangat sederhana," jawab Tonghong Kui-le
dengan tertawa. "Asalkan Sam-lo mengalah kepada ayahku,
kan urusan menjadi beres.”
"Hm, mengapa nona tidak minta ayahmu yang mengalah
kepada kami?" jengek Bok Jong-siong.
"Sudah tentu telah kumintakan, kalau tidak untuk apa
kudatang kesini untuk mempertunjukkan kepandaian apa
segala?" kata si nona. "Malahan ayahku sudah berjanji
segenap kekuatan Ma-kau akan dipindahkan keluar dari
Tionggoan dan mundur ke Kwan-gwa."
Selama ini Mo-kau malang melintang di Kwan-lay,
(didalam perbatasan tembok besar) dan Kwan-gwa (di luar
perbatasan), sudah lama dunia persilatan Tionggoan
mengalami gangguannya. Kalau terjadi Kwan-gwa, karena
tempatnya terlalu jauh, Tionggoan-samyu tidak dapat ikut
campur, tapi kalau terjadi sesuatu di Kwan-lay, betapapun
Sam yu tidak bisa tinggal diam sehingga permusuhan kedua
pihak makin mendalam, soal bunuh membunuh juga sudah
sering terjadi,
Sekarang kalau pihak Mo-kau mau mundur keluar
perbatasan, sudah tentu hal ini sangat menguntungkan
dunia persilatan daerah Tionggoan, suasana dapatlah aman
tenteram dan Sam-yu juga tidak perlu banyak ikut campur
urusan lagi. Bila Ma-kau hijrah keluar Kwan-gwa, disana
yang akan dihadapinya hanya Say-koan saja, keduanya
sama2 kejamnya dan keras, bila terjadi gontok2an diantara
mereka dan akhirnya sama2 hancur, itulah sangat kebetulan
bagi dunia persilatan umumnya.
Karena itulah Bok Jong-siong sangat menarik perhatian
terhadap uraian Tonghong Kui-le tadi, segera ia bertanya:
"Dengan syarat apa ayahmu menyanggupi akan
mengundurkan kekuatanMo-kau dari daerah Tionggoan?"
"Syaratnya? Kan sudah kukatakan kedatanganku ini
hendak memberi pertunjukkan, apabila Sam-lo sanggup
mendengarkan satu lagu kecapiku. segera kupulang untuk
memberitahukan kepada ayah, lalu apa yang sudah
dijanjikan segera dapat dilaksanakan."
"O, kiranya kedatangan nona ini hendak menguji
kekuatan Sam-yu kami?" Bok Jong-siong mengangguk.
"Tidak menjadi soal bagi kami untuk mendengarkan
kecapimu, tapi apakah kau dapat menjamin ayahmu akan
menepati janji?"
"Urusan orang tua mana orang yang menjadi anak berani
memberi jaminan?" jawab Tonghong Kui-le. "Namun janji
ayah memang sudah jelas dan pasti, bilamana kalian sudah
mendengar bunyi kecapiku dan kuatir ayahku ingkar janji,
nanti boleh kalian tawan diriku untuk dijadikan sandera.
Hendaklah kalian maklum, ayah hanya mempunyai anak
perempuan diriku ini satu2nya, aku dipandangnya lebih
berharga daripada jiwa beliau, dengan sandera diriku pasti
dapat memaksa beliau menepati janji."
"Baik, akan kami dengarkan lagu kecapimu. kata Bok
Jong-siong. "Tapi ingat, lebih baik kita bicara buruk di
muka, nanti kami takkan segan2 bertindak padamu, demi
mengusir Ma-kau keluar dari Tionggoan terpaksa akan
kami tawan kau sebagai sandera. Pula kami takkan peduli
apakah tindakan kami ini akan dapat memaksa ayahmu
atau tidak. kalau kami bunuh kau sedikitnya akan dapat
menghibur arwah para ksatria yang telah menjadi korban
keganasan Ma-kau kalian."
"Boleh saja, terserah apa kehendak kalian nanti," ujar
Tonghong Kui-le. "Akan tetapi bagaimana tindakan kalian
apabila kalian tidak sanggup mendengarkan bunyi
kecapiku?"
Sudah tentu Bok Jong-siong tidak percaya akan terjadi
sesuatu yang luar biasa pada bunyi kecapi si nona, maka
dengan tegas ia menjawab: "Bila begitu, seterusnya Sam-yu
dan anak muridnya tak-kan mengganggu-gugat apa vang
dilakukan pihakMa-kau."
Tonghong Kui-le menggeleng pelahan, katanya: "Tidak
perlu begitu. Pernah kudengar ayahku berkata: Asalkan
Tionggoan-sam-yu mati semua, yang lain2 tidak ada artinya
lagi, hanya di bawah pimpinan Tionggoan-samyu barulah
mereka berani mengadakan perlawanan terhadap agama
kita."
"O, maksudmu, jika kami tidak sanggup mendengarkan
bunyi kecapimu, kami harus membunuh diri, begitu?" tanya
Bok Jong-siong.
Melihat cara bicara Tonghong Kui-le begitu yakin dan
pasti, walaupun sukar dipercaya bahwa dengan usia semuda
ini nona ini mampu mengerahkan Lwekangnya kedalam
suara kecapinya untuk membunuh orang. Namun buktinya
dia hanya membawa seorang pelayan dan mampu
menerjang keatas gunung, jelas kepandaiannya memang
tidak boleh dipandang enteng, bukan mustahil di tengah
suara kecapinya ada sesuatu kekuatan gaib, hal ini yang
harus dijaga.
Untuk menjaga agar anak muridnya serta Sau Peng-say
yang tampaknya tidak memiliki kekuatan Lwekang itu tidak
menjadi korban, segera ia memberi perintah: "Kecuali aku
dan Thian-bun Toheng serta Ting-sian Suthay, yang lain2
semuanya mundur keluar."
"Tidak, siapapun tidak boleh pergi," kata Tonghung Kuile
mendadak.
Bok Jong-siong berkerut kening, katanya dengan kurang
senang: "Bila kami Sam-yu tidak sanggup mendengarkan
bunyi kecapi nona, anak murid kami yang berada disini
tentu juga sukar lolos dari kematian. Kalau nona tidak
menyetujui ayahmu saling membunuh dengan kaum
persilatan kami dengan sendirinya nona juga takkan senang
membunuh orang, mengapa anak murid kami harus kau
suruh tetap tinggal disini?"
Tonghong Kui-le tertawa, jawabnya: "Mereka harus
tetap tinggal disini untuk menyaksikan-cara bagaimana
ketika guru mereka mati agar nanti tidak mencurigai aku
menggunakan akal licik. Namun Bok-lo janganlah kuatir.
suara kecapiku ini kubunyikan tertuju kepada sasaran
tertentu, kecuali Sam-lo pasti takkan kulukai orang lain."
Sam-lo memang tidak percaya di dunia ada suara kecapi
dapat membunuh orang, sekarang si nona bahkan membual
bahwa suara kecapinya dapat dikendalikan sesuka hatinya
terhadap musuh yang dituju, hal ini lebih2 sukar dipercaya.
Maka sambil menengadah dan tertawa Bok Jong-siong
lantas berkata: "Bagus, jika nona mempunyai kesaktian
begitu, agaknya kamilah yang terlalu banyak berkuatir.
Ayolah sediakan meja dan bakar dupa, marilah kita siap
mendengarkan."
"Tidak perlu repot," ujar Tonghong Kui-le, Dengan
lengan bajunya yang lebar segera ia mengebat lantai
beberapa kali, lalu berduduk dengan gayanya yang manis,
kecapi tujuh senar yang dibawanya lantas ditaruh
didepannya, terjulur tangannya yang putih mulus dengan
jari jemarinya yang lentik dan mulailah dia menyetel senar
kecapinya sesuai nada yang diperlukan.
"Lagu ini bernama Siau-go-yan-he, harap para hadirin
mendengarkan!" katnnya kemudian dan mulailah memetik
kecapinya, seketika terdengar suara kecapi yang merdu
berkumandang menyusup ke telinga setiap orang.
Tionggoan-samyu tidak berani gegabah. mereka mengira
si nona akan meleburkan kekuatan Lwekangnya kedalam
suara kecapi untuk menyerang mereka, maka diam2
merekapun mengerahkan tenaga dalam untuk ber-jaga2.
Mereka pikir betapa pun tinggi kekuatan si nona juga sukar
melawan mereka bertiga, jika perlawanan demikian terus
berlangsung, andaikan nona itu mengeluarkan segenap
kemahirannya juga takkan berbahaya bagi mereka.
Dengar dan dengar lagi, tanpa terasa timbul perasaan
sedih Bok Jong-siong, pikirnya: "Kepandaian memetik
kecapi budak ini sudah mencapai tingkatan tertinggi,
selama hidup aku pun belajar main kecapi, tapi belum
pernah sanggup membawakan lagu sedemikian
mengharukan? Percuma aku mendapat julukan si kakek
kecapi!"
Lambat-laun ia menjadi lupa mengerahkan tenaga
perlawanan, pikirannya ikut terhanyut oleh alunan suara
kecapi yang menggetar sukma itu.
Kalau Bok Jong-siong sampai terpengaruh oleh suara
kecapi Tonghong Kui-le, jangan ditanya lagi anak murid
Sam-yu, barang tentu Thian-bun Totiang dan Ting-sian
Suthay juga tidak terkecuali. Mereka sama lupa
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, malahan
mereka merasa kurang jelas mengikuti Irama kecapi, kalau
bisa tumbuh lagi sepasang suling tentu dapat lebih meresapi
bunyi kecapi yang mengharukan itu. Seketika semua orang
jadi melupakan bahaya apa yang sedang dihadapinya.
Lagu "Siau-go-yan-he" sendiri sebenarnya tidak dapat
membunuh orang, kelihayannya terletak pada suaranya,
biarpun telinga kau tutup juga tetap akan terpengaruh oleh
iramanya yang merdu, betapapun kekuatan tenaga dalam
seseorang, apabila sudah terpengaruh, maka longgarlah
kewaspadaan dan tentu saja dalam keadaan demikian tentu
saja tak bisa berkutik dan akan disembelih orang sesukanya.
Diantara semua hadirin itu kecuali Tonghoug Kui-le
sendiri, hanya ada dua orang lagi yang tidak terpengaruh
oleh irama kecapi itu, yang satu adalah genduk cilik yang
ikut datang bersama Tonghong Kui-le. Sebenarnya dia
bukan babu atau pelayan biasa melainkan adik perempuan
Tonghong Kui-le sendiri, namanya Tonghong Kui-jin. Dia
sengaja berdandan sebagai genduk agar tidak menarik
perhatian musuh. Sebabnya dia tidak terpengaruh oleh
suara kecapi adalah karena dia sendiri juga pernah belajar
lagu Siau-go-yan-he itu, hanya saja tidak semahir sang
kakak.
Seorang lagi yang tidak terpengaruh irama kecapi ialah
Sau Peng-say.
Dia masih duduk tenang2 dikursinya, malahan dia
sangat getol mengikuti irama kecapi itu, tanpa terasa jari
jemarinya ikut ber-gerak2 mengetuk lutut sendiri sungguh ia
ingin mengeluarkan serulingnya dan membawakan lagu itu
bersama Tonghong Kui-le.
Sejenak kemudian, tiba2 Tonghong Kui-le berseru:
"Moaymoay (adik), sudah waktunya boleh turun tangan!"
Usia Tonghoug Kui-jin baru 15-16, kulit badannya hitam
manis, meski tidak semulus kakaknya, tapi juga tergolong
cantik.
Sambil mendengus ia mengeluarkan sebilah belati,
selangkah demi selangkah ia mendekati Tiong-goan Samyu.
Sudah tentu ketiga orang itu tidak menyadari bahaya
yang sedang mengancam, mereka masih kesemsem oleh
irama kecapi dan tidak bergerak sedikitpun.
”Bila mati kubunuh janganlah Sam-lo menyesal salah
kalian sendiri karena berani bermusuhan dengan ayahku!"
gumam Tonghong Kui-jin dengan pelahan, belati
berkelebat, segera ia hendak menikam ulu hati Bok Jongsiong.
Namun Sau Peng-say sudah ber-siap2, mendadak ia
melompat maju. secepat kilat ia pegang pergelangan
Tonghong Kui-jin, katanya sambil menggeleng: "Eh, mana
boleh kau berbuat demikian?"
"He, kau.....kau...." Tonghong Kui-jin menjerit dengan
mata terbelalak. Nyata kejutnya tak terkatakan, seperti
melihat hantu saja.
"Aku? Aku sangat baik," kata Peng-say dengan tertawa.
"Eh. duduk, silakan duduk, jangan mengganggu gairah
permainan kecapi Tacimu!"
Habis berkata Peng-say tarik Tonghong Kui-jin dan
menyuruhnya berduduk. Sia2 saja Tonghong Kui-jin
memiliki ilmu silat yang tinggi, karena pergelangan
tangannya terpegang, sama sekali ia tak dapat bergerak. ia
hanya menjerit: "Lepaskan. lepaskan aku!...."
Sekuatnya ia meronta, tapi tenaga yang dikerahkan itu
segera sirna terbendung oleh tenaga dalam lawan yang
menyalur masuk tangannya. Tahulah dia Lwekang lawan
sangat tinggi dan sukar dilawan. Jika banyak tingkah lagi,
bila tergetar oleh tenaga dalam lawan yang kuat itu, bisa
jadi dirinya sendiri yang akan runyam.
Terpaksa ia berdiri dan tidak meronta lagi, jeritannya
berubah menjadi memohon: "Harap..... harap lepaskan
aku....."
"Jangan bicara dulu, kalau pikiran Tacimu terkacau,
mungkin irama kecapi akan sumbang dan Sam-lo akan
segera mendusin, jika demikian jadinya tentu celakalah
kalian," kata Peng-say dengan tertawa.
Dalam pada itu Tonghong Kui-le juga melihat adik
perempuannya tertangkap oleh Peng-say sebabnva dia tidak
berani memberi pertolongan justeru sesuai apa yang
dikatakan Peng-say itu. Ia tahu Lwekang Tionggoan-samyu
tidaklah lemah. kalau irama kecapi mengendur sedikit tentu
mereka akan sadar kembali. Dan kalau Sam-lo turun tangan
sekaligus, tentu mereka kakak beradik tak dapat lolos lagi.
Karena itulah Tonghong Kui-le tetap main kecapi tanpa
berhenti, tapi pandangannya tertuju kearah Sau Peng-say. ia
heran orang macam apakah pemuda tak dikenal ini.
ternyata tidak terpengaruh oleh suara kecapinya yang lihay
itu.
Tapi hanya sejenak ia mengamati anak muda itu, diam2
ia terkejut: "Pantas dia lebih kuat dari pada Sam-lo, kiranya
Lwekangnya sudah terlebur hingga bersatu dengan jiwaraganya
dan tidak kelihatan."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 32
Kalau dipikir lagi, ia merasa hal tersebut sebenarnya
tidak mungkin terjadi, usia pemuda ini selisih tidak banyak
dengan dirinya, mana mungkin menguasai Lwekang
setinggi itu, bahkan tingkatan yang belum juga dicapai
ayahnya sendiri.
Namun bukti terpampang didepan mata, Tong-hong Putpay
yang terkenal sebagai tokoh nomor satu di dunia juga
tidak tahan oleh pengaruh irama kecapi anak
perempuannya sendiri, tapi anak muda ini justeru sanggup
bertahan. Jawabannya hanya satu, yaitu Lwekangnya
sudah mencapai tingkatan yang sukar untuk dijajaki.
Diam2 Tonghong Kui-le menjadi nekat, pikirnya:
"Dahulu kupaksakan memetik lagu ini hingga bagian
keempat. akibatnya aku sakit parah dan hampir saja mati.
Sekarang, demi mengatasi lawan tangguh ini, terpaksa
kupetik bagian keempat ini tanpa memikirkan akibatnya,"
Dia nengira daya pengaruh bagian keempat tentu jauh
lebih kuat daripada ketiga bagian depan, asalkan bagian
keempat ini dapat mempengaruhi pemuda itu dan
membebaskan adik perempuannya. tentu pemuda itu dan
Sam-lo dapat pula dibunuhnya.
Demi mencapai maksudnya, tanpa menghiraukan
bahaya yang bakal dirasakannya sendiri, begitu bagian
ketiga selesai, segera ia sambung pula bagian keempat.
Bagian keempat dari lagu Siau-go-yan-he ini baru satu kali
saja pernah dimainkannya sejak dia belajar.
Ketika bagian keempat itu berlangsung setengah jalan,
tertampaklah dahi Tonghong Kui-le berkerut, wajahnya
sedih, napas megap2, jelas tidak kepalang siksaan yang
dialaminya.
Peng-say menjadi heran, pikirnya: "Tampaknya lagu
yang dipetiknya ini bukan saja judulnya sama dengan lagu
serulingku, bahkan juga tak dapat diselesaikan secara paksa.
Jangan2 antara lagu kecapinya ini dan lagu serulingku
adalah satu lagu yang harus dibawakan bersama, jika
dibawakan sendiri2 dengan kecapi atau seruling saja akan
menimbulkan bahaya bagi si pemainnya sendiri?"
Sejak tadi ia memang heran mengapa dirinya tidak
terpengaruh oleh irama kecapi si nona, se-olah2 setiap nada
yang dipetik Tonghong Kui-le itu sudah apal baginya, tapi
jelas juga tidak sama dengan apa yang dipelajarinya. Kini
melihat penderitaan si nona ketika memainkan bagian
keempat itu, maka timbul pikirannya tadi untuk
memainkan lagu itu bersama si nona, ingin dicobanya
apakah permainan bersama itu dapat menghilangkan
penderitaan bagi si pemainnya atau tidak.
Segera ia menutuk Hiat-to Tonghong Kui-jin dan
dibaringkan kelantai, dikeluarkannya seruling kemala
tinggalan Cin Yak-leng dahulu, setelah mengingat kembali
lagu yang pernah dipelajarinya itu, pada suatu nada tertentu
segera seruling itu ditiupnya.
Begitu irama seruling bergabung dengan irama kecapi,
seketika dalam hati Peng-say merasa "plong", seperti ikan
mendapat air, seperti burung berkicau di hutan, gembira
dan nikmat.
Diam2 Peng-say berpikir; "Ternyata betul dugaanku,
pantas dia memetik kecapinya sekian lama dan tidak dapat
mempengaruhi diriku seperti halnya orang lain, sebaliknya
aku malah seperti dirayu sehingga aku pun getol akan
mernainkan lagu ini bersama dia."
Dalam pada itu napas Tonghong Kui-le juga sudah
mulai teratur lagi, rasa sedih pada wajahnya sudah lenyap,
jari jemarinya me-nari2 diatas senar kecapinya, ia pun
mengikuti irama seruling dengan kesemsem, rasa gembira
dan nikmatnya tidak berbeda dari pada Peng-say. Makin
lama bahkan seperti lupa daratan, ber-ulang2 nona itu
mulai main mata terhadap anak muda itu.
Perasaan orang lain yang hanyut oleh irama kecapi itu
ternyata tidak berubah, hanya saja dari duka nestapa tadi
kini telah berubah menjadi riang gembira, air muka yang
sedih sama hilang, kini semuanya memejamkan mata
dengan tersenyum, se-olah2 sedang mengenangkan kejadian
yang menyenangkan yang pernah dialaminya,
Setelah lagu itu selesai dimainkan, sepasang muda-mudi
yang baru kenal ini saling pandang seperti sahabat lama
yang sudah lama berpisah, Baik Tonghong Kui-le maupun
Peng-say berdiri dengan tersenyum simpul. keduanya
sama2 bergirang se-olah2 baru mendapatkan sahabat karib,
keduanya saling pandang tanna berkedip.
Tonghong Kui-jin merasa heran, pikirnya "Aneh, bilakah
mereka berkenalan? Jangan2 orang ini adalah kekasih Cici?
Pantas Cici tidak gugup ketika melihat aku ditawan
olehnya, sebaliknya dia juga cuma mencegah aku
membunuh Sam-lo dan tidak bertindak kasar padaku."
Dalam pada itu, Tionggoan-samyu dan anak muridnya
yang bertenaga dalam kuat sudah mulai sadar dan
membuka mata.
Tonghong Kui-jin menjadi kuatir melihat Sam-lo sudah
sadar kembali. Kakaknya sudah selesai memetik kecapi dan
Sam-lo tidak kurang apapun, sebentar lagi mereka kakak
beradik tentu akan ditangkap untuk memaksa ayahnya
memenui janji yang telah dikemukakan kakaknya. Padahal
kedatangan mereka ini hanya bertekad harus menang,
tujuannya membunuh Tionggoan-samyu, sama sekali
mereka lidak pernah membayangkan akan kalah dan untuk
itu harus memenuhi janji apa segala.
Sekarang kekalahan sudah jelas di pihak mereka, terang
mereka tak dapat memenuhi janji, jalan paling selamat
adalah kabur saja selekasnya. Maka Tonghong Kui-jin
lantas berteriak: "Cici, lekas minta kekasihmu melindungi
kita lari!'
Melihat belati Tonghong Kui-jin tadi tergeletak didepan
mereka, meski Bok Jong-siong tidak tahu sebab apa Hiat-to
nona itu tertutuk, tapi pahamlah dia sekarang akan tipu
muslihat kakak beradik itu. segera ia menjengek: "Lari?
Hm. sudah kalah lantas mau lari begitu saja?"
"Kami tidak kalah!" teriak Tonghong Kui-jin. "Kekasih
Ciciku yang menyelamatkan kalian, kalau dia tidak campur
tangan, tentu sejak tadi kalian bertiga sudah mati di ujung
belatiku'"
"Oo?" dengan ragu Bok Jong-siong mengikuti sorot mata
Tonghong Kui-jin kearah Peng-say, tanyanya: "Jadi dia
yang mencegah perbuatanmu?"
Mulut Tonghong Kui-jin menjengkit, dengan angkuh ia
berkata: "Memangnya! Kalau tidak ada dia, betapa lihay
Sam-yu kalian juga akan kalah habis2an."
"Suara kecapi kakakmu hakikatnya tidak dapat
membunuh kami," kata Bok Jong-siong.
"Ya, tapi kami kan tidak menyatakan suara kecapi akan
langsung membunuh orang," kata Tonghong Kui-jin. "Coba
kalau tadi kekasih Taciku tidak ikut campur tangan, apakah
kalian dapat lolos dari ujung belatiku?"
Sam-yu sama memandang kearah Sau Peng-say,
tertampak anak muda itu dan Tonghong Kui-le masih
saling pandang dengan mesra tanpa menghiraukan orang
lain, jelas keduanya adalah sepasang kekasih yang cinta
mencintai. Jadi mereka bertiga memang betul telah
diselamatkan oleh kekasih musuh, meski tidak kalah, apa
pun yang dapat mereka katakan?
Tonghong Kui-jin berkata pula: "Jika kalian bertiga
terbunuh, meski tidak langsung mati di tangan Taciku, tapi
asal mulanya adalah karena kalian terpengaruh oleh suara
kecapi Taci dan secara tidak langsung kalian terbunuh.
Apabila kalian mampu, kalian harus menggunakan
kekuatan batin sendiri untuk mendengarkan lagu Siau-goyan-
he tadi, tapi kenyataannya kalian tidak sanggup
melawannya, jadi kalau menurut aturan, jelas kalian yang
kalah dan bukan kami."
Diam2 Thian-bun Totiang merasa mulut nona cilik ini
sangat tajam, sudah kalah berbalik menuduh pihak lawan
yang harus menyerah. Betapapun hal ini lidak boleh diakui,
kalau tidak, tentu nona itu akan mendesak mereka agar
membunuh diri.
Teringat kepada hal tersebut, cepat Thian-bun berkata:
"Kami tidak suka banyak omong dengan kalian, kita hanya
bicara menurut perjanjian, kami sudah mempertaruhkan
jiwa dengan kakakmu, apakah kami harus mati di bawah
suara kecapi Tacimu atau terbunuh oleh tipu muslihat, bila
betul mati. tentunya kami tidak dapat omong apa2 lagi.
Tapi sekarang kami masih hidup segar bugar dan hal ini
berarti kalian yang kalah. Dan kalau kalian kalah, kalian
harus menjadi tawanan kami, baru akan kami bebaskan
kalian apabila ayahmu sudah memenuhi janji dengan
menarik seluruh kekuatan Ma-kau keluar dari daerah
Tionggoan."
Maksud Tonghong Kui-jin sebenarnya hendak putar
lidah untuk membikin Sam-lo tidak dapat bicara lagi,
dengan demikian mereka kakak beradik dapat
meninggalkan Thay-san dengan selamat.
Tak terduga Thian-bun Totiang tidak pedulikan
ocehannya dan tetap tidak mau mengaku kalah. Diam2
Tonghong Kui-jin menjadi kuatir kalau2 Tojin yang
pemberang ini sampai naik darah dan main kasar, maka
jangan harap lagi mereka akan pergi dengan aman.
Cepat ia menggunakan siasat lunak, katanya: "Baiklah,
apa yang terjadi barusan tak dapat dikatakan Sam-lo yang
kalah, tapi kami pun tidak kalah, bagaimana kalau kita
anggap seri? Sam-lo adalah tokoh2 berbudi luhur dan orang
tua welas asih, tentunya kalian tidak akan sembarangan
menangkap anak perempuan yang datang tanpa membawa
senjata seperti kami ini? Apalagi yang menolong kalian
adalah kekasih Taciku sendiri, bagaimana kalau kalian
memberi kelonggaran kepada kami mengingat
pertolongannya tadi?"
Meski keras watak Thian-bun Totiang, tapi dia memang
orang yang suka pada yang lunak dan tidak mau pada yang
keras. Setelah si nona bicara secara halus, hatinya menjadi
lemas dan tidak bersuara lagi.
Segera Bok Jong-siong menukas: "Baiklah, mengingat
saudara Sau. bolehlah kalian pergi saja!"
Dengan tertawa girang Tonghong Kui-jin lantas berseru:
"Ayolah, Cici, untuk apa bertengger disitu? Lekas bukakan
Hiat-to adikmu ini!"
Tak terduga, mendadak Peng-say berkata; "Bok-lo.
selamanya aku tidak kenal kedua nona ini."
"Hah, apa betul?" serentak Sam-lo menegas.
"Betul," sambung Tonghong Kui-le tiba2. "Memang
betul selama ini kami tidak kenal Sau-kongcu ini. Apabila
tidak keberatan, bolehkah kutahu nama Sau-kongcu yang
terhormat?"
"Baru tadi kudatang kemari dan ingin mengabdi kepada
Sam-lo, jadi aku adalah musuh dengan Mo-kau kalian,
kukira tidak perlu saling memperkenalkan nama," jawab
Peng-say ketus.
Rupanya ia lihat Sam-lo hendak membebaskan musuh
penting karena dirinya, maka perlu ia menegaskan
pendiriannya agar Sam-lo tidak salah paham padanya
sehingga mempengaruhi persatuan mereka menghadapi
Say-koan kelak.
Tonghong Kui-le melengak oleh jawaban Peng say itu,
tapi ia lantas tersenyum dan berkata: "Jadi kau
menghendaki Sam-lo menawan kami kakak beradik?"
"Cayhe tiada permusuhan dan dendam apa-pun dengan
nona berdua, dengan menjelaskan pendirianku bukanlah
maksudku agar kalian ditangkap oleh Sam-lo, soal kalian
akan ditawan atau tidak yang penting Sam-lo harus
mengesampingkan diriku dalam persoalan ini."
Segera Bok Jong-siong berkata: "Jika demikian kedua
nona Tonghong tidak boleh pergi dengan begitu saja."
Dengan mendelik Tonghong Kui-jin lantas berteriak:
"Habis akan kalian apakah kami berdua? Memangnya
kalian mengira pihak yang menang dan kami akan ditawan
untuk dijadikan sandera dan memaksa ayahku
mengundurkan segenap kekuatan Mo-kau dari Tionggoan?"
"Sesuai kehendak nona tadi, biarlah kita mengakui apa
yang terjadi tadi sebagai seri, tidak ada yang kalah dan tidak
ada yang menang, kami pun takkan memaksa ayahmu
melaksanakan janji Taci-mu tadi. Cuma kalian datang
dengan muslihat keji, betapapun kalian tak boleh pergi
seenaknya, kalian harus diberi tanda jasa sedikit agar
segenap orang Kangouw tahu Thay-san bukan tempat yang
boleh sembarangan disatroni."
Baru habis ucapan Bok Jong-siong, mendadak diluar
bergema gelak tertawa orang yang memekak telinga,
serunya: "Jong siong, untuk apa membikin susah dua orang
anak dara?" — Belum lenyap suaranya, sesosok bayangan
hitam secepat anak panah terus melayang tiba.
"Tonghong Put-pay!" bentak Bok Jong-siong.
Mendengar pendatang adalah Ma-kau-kaucu Tonghong
Put-pay, cepat Peng-say melompat ke depan Tonghong Kuijin,
kedua tangan bersilang didepan dada dan siap
menghadapi segala kemungkinan.
Cepat amat datangnya bayangan hitam tadi, belum lagi
Peng-say melihat jelas wajah pihak lawan, tahu2 suatu arus
angin dahsyat menyambar dari depan.
"Bagus!" teriak Peng-say. Berbareng kedua tangannya
juga disodokkan ke depan.
Terdengar suara "blang" yang keras, Peng-say tetap
berdiri tegak di tempatnya, sebaliknya bayangan hitam itu
bersuara heran. Menyusul tangan kirinya terus
menghantam seorang Tosu Yan-san-pay yang sedang
berdiri di sebelah Peng-say.
Melihat Tosu itu tidak ber-jaga2, cepat Peng-say
menolongnya, segera ia menggeser kesana terus
mencengkeram sehingga serangan lawan dipatahkan.
"Haha! Tertipulah kau!" seru bayangan hitam tadi sambil
bergelak tertawa. secepat kilat ia tarik kembali serangannya,
lalu berjongkok dan mengangkat Tonghong Kui-jin sembari
berteriak: "Ayo, pergi, anak Le!"
Sam-lo serentak menghantam, tak terduga bayangan
hitam dapat melayang pergi secepat terbang, hanya ujung
jubahnya saja tampak berkibar, hantaman mereka tidak
mencapai sasarannya.
Thian-bun Totiang penasaran, segera ia hendak
mengejar, tapi Bok Jong-siong lantas mencegahnya.
"Sudahlah, biarkan mereka pergi!"
Tadi semua orang hanya melihat bayangan hitam
melayang masuk secepat terbang, mengenai caranya
mengadu pukulan dengan Sau Peng-say dan menolong
puterinya, gerakannya terlalu cepat sehingga tak terlihat
jelas, habis itu dengan begitu saja bayangan hitam itu
melayang pergi pula dengan memondong dan
menggandeng dua nona, hanya sekejap itu kedua puterinya
telah dibawanya lari.
Beberapa anak murid Tay-san-pay segera akan mengejar
juga, tapi Bok Jong-siong segera membentak: "Semuanya
kembali, tidak perlu mengejar!" — Ia tahu tiada seorangpun
mampu melawan Tonghong Put-pay, jika mengejar, paling2
hanya mengantarkan nyawa.
Didengarnya di kejauhan bergema suara tertawa orang
yang memekak telinga katanya: "Kedua anak perempuan
ini tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, secara
sembrono mereka menerjang ke atas gunung dengan
maksud hendak mengembangkan namanya, maaf jika
tindakan mereka telah mengganggu kalian!" — Pada waktu
mulai bicara terasa orangnya baru di depan rumah, tapi
pada akhir katanya rasanya orang sudah berada beratus
tombak jauhnya.
"Sungguh tak terduga, selain Kungfunya nomor satu di
dunia, iblis inipun memiliki Ginkang yang hebat!" kata
Thian-bun Totiang sambil menyengir.
'Konon Ginkang Ban-li-tok-heng Thio Yan-cuan itupan
ajaran Mo-kau-kaucu," kata Ting-sian.
"Apa betul?" Thian-bun terkejut.
"Akupun tidak begitu jelas, tanya saja kepada Bok-lo,"
kata Ting-sian.
"Waktu Mo-kau mula2 muncul di Kangouw, karena
pengalamanku masih cetek, aku telah salah bergaul juga
dengan Tonghong Put-pay," tutur Bok Jong-siong. "Ai,
karena kesalahan yang tidak sengaja itu, jadilah
penyesalanku selama hidup ini."
Sesudah berhenti sebentar, ia berkata pula: "Memang
betul, Ginkang si bangsat cabul Thio Yan-coan itu memang
betul ajaran Tonghong Put-pay."
Thian-bun Totiang menggeleng kepala, katanya dengan
gegetun: "Pantas ketika kedua anak perempuannya
menerjang ke atas sini, sepanjang jalan tiada berita yang
kita terima, tampaknya betapa ketat penjagaan kita tetap
sukar menahan serbuan anak murid Tonghong Put-pay."
"Jangan Totiang terlalu percaya kepada bualan
Tonghong Put-pay," kata Bok Jong-siong. "Hm, kedua
budak itu sembarangan menerjang ke atas gunung sini.
kalau tidak dibawa sendiri olehnya mana mampu kedua
budak itu sampai disini? Aku cukup kenal pribadi
Tonghong Put-pay, lahirnya saja dia berlagak sebagai
seorang ksatria sejati, padahal hatinya kejam luar biasa,
tiada kejahatan yang tidak diperbuatnya. Kalau tidak, mana
bisa nama Mo-kau menjadi sebusuk ini di bawah
pimpinannya? Dia melihat Sam-yu kita bersatu-padu
dengan kuat, ia tahu bila sembarangan menyerbu kesini
pasti akan mengalami kegagalan total, sebab itulah sebegitu
jauh dia tidak berani sembarangan bertindak. Sam-yu kita
adalah seperti duri di dalam dagingnya, sebelum tertumpas
dia tidak dapat tidur nyenyak, kalau menyerbu secara
terang2an tidak berani, maka dia lantas mengutus kedua
budaknya itu untuk melaksanakan tipu muslihat kejinya.
Ingin mengembangkan nama, itulah alasan yang dia
berikan kepada anaknya, bila rencananya berlangsung
dengan baik dan Sam-yu kita terbunuh, maka senanglah
dia. Bila gagal, dengan alasan ingin menolong anaknya
yang tidak menuruti nasihatnya dia lantas unjuk diri disini."
"Ya, untung hari ini Sau-sicu berada di sini, kalau tidak
Sam-yu kita pasti celaka," ujar Thian-bun sambil memberi
hormat kepada Sau Peng-say.
"Ah, Wanpwe hanya hadir secara kebetulan saja,
menjadi kewajibanku juga untuk membantu sekuatnya,"
kata Peng-say sambil membalas hormat.
Melihat Tonghong Put-pay telah mengadu pukulan
dengan anak muda itu dan tidak dapat membuatnya
tergetar sedikitnya, tahulah Ting-sian Suthay bahwa
Lwekang Peng-say sukar dijajaki, dengan tertawa iapun
berkata: "Nyata kita telah salah pandang semua. Sau-sicu
terbukti tidak terpengaruh oleh suara kecapi jangan2
Lwekangmu sudah mencapai tingkatan penyatuan jiwa-raga
seperti ayahmu?"
"Lwekangku sebenarnya sangat rendah," tutur Peng-say,
"tapi mendiang ayahku diam2 telah menyalurkan segenap
tenaga dalamnya kepadaku, aku sendiri tidak tahu apakah
sudah mencapai tingkatan seperti apa yang dikatakan
Suthay, yang terang, lantaran kehilangan Lwekangnya,
maka ayah sampai dicelakai oleh Ting Tiong dan Liok
Pek."
"Omitohud!" Ting-sian bersabda. "Pantas Sau-tayhiap
tertimpa musibah, kalau tidak begitu, siapa yang mampu
membunuhnya?"
"Sakit hati ayah harus kubalas," kata Peng-say dengan
perasaan berduka, "untuk itu, mohon Sam-lo sudi memberi
bantuan dan Wanpwe pasti akan sangat berterima kasih "
"Kejahatan yang diperbuat Say-koan tidak kurang dari
pada Ma-kau, musuh utama Sam-yu sekarang ialah Saykoan,
sekali pun tiada permintaanmu, Sam-yu juga takkan
tinggal diam terhadap biang-keladinya."
Tiba2 Bok Jong-siong bertanya: "Tadi waktu kami
bertiga hanyut oleh suara kecapi, lalu ada suara seruling
mengiringi bunyi kecapi, apakah Sau-lote yang meniup
serulingnya?"
Waktu mereka sadar, Peng-say sudah menyimpan
kembali serulingnya sehingga tidak diketahuinya siapa yang
meniup seruling, hanya samar2 mereka tahu ada suara
seruling yang mengiringi kecapi yang dipetik Tonghong
Kui-le.
Maka Peng-say mengangguk: "Betul, Wanpwe yang
meniup seruling."
"Entah lagu yang dibawakan Sau-lote tadi dapat belajar
dari siapa?" tanya Bok Jong-siong pula.
"Berdasarkan satu buku not pelajaran seruling yang
bernama Siau-go-yan-he dan dapat kupelajari sendiri," tutur
Peng-say.
"Pemberian siapa pula buku not seruling itu?"
"Dari Gihengku Peng-lam," kata Peng-say.
"Oo," Bok Jong-siong seperti menyadari sesuatu, "pantas
rasanya sudah pernah kudengar, kiranya sebelum
meninggal Wi-sute telah menghadiahkan buku nada
Serulingnya kepada Gihengmu lalu dari Gihengmu
diberikan pula kepadamu. Akan tetapi kemana perginya
buku nada kecapi milik Kik Yang?" .
"Nada kecapi apa?" tanya Peng-say heran.
"Waktu mudaku pernah salah bergaul dengan orang
jahat, tak tersangka Wi-sute telah mengulangi perbuatanku
itu dan bersahabat dengan gembong Mo-kau Kik Yang.
Cuma Wi-sute tidak bergaul secara ngawur seperti diriku.
mereka bersahabat berdasarkan perpaduan suara seruling
dan kecapi, nilai persahabatan mereka suci bersih dan tak
dapat dibayangkan oleh orang awam. Sayang, antara aku
dan Wi-sute ada selisih paham, aku tak dapat memahami
dia sehingga waktu Coh Cu-jiu menyuruh ketiga Sutenya
mencelakai Wi-sute, sekalipun sebelumnya aku sudah
dengar, tapi aku tidak segera tampil untuk mencegahnya.
Sesudah itu, menjelang ajalnya, kudengar Wi-sute dan Kik
Yang bersama membawakan lagu 'Siau-go-yan-he' diluar
kota Cu-joan, dari suara musik mereka itulah kutahu
persahabatan mereka sangat akrab dan bersih. Cuma
sayang, keadaan sudah terlambat, biarpun pada saat
berbahaya dapat kubunuh Hui Pin toh tetap tak dapat
menyelamatkan jiwa mereka. Dengan kematian mereka
kupikir lagu Siau-go-yan-he yang sukar dicari itu
selanjutnya pasti akan lenyap dari muka bumi ini, siapa
tahu dua tahun kemudian dapat kudengar pula disini."
Dia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Waktu nona
Tonghong menyebut nama lagunya tadi, tergetar juga
hatiku. Kupikir mungkin cuma judulnya saja yang sama,
tapi bukan lagu Siau-go-yan-he ciptaan Kik Yang dan Wisute.
Akan tetapi setelah kau mengiringinya dengan suara
serulingmu, nadanya lantas berubah dan mirip waktu lagu
itu dibawakan oleh Wi-sute dan Kik Yang. Cuma waktu itu
mereka dalam keadaan terluka parah, badan lemah dan
tenaga kurang, tentunya tidak seperti permainan kalian tadi
yang dapat menghanyutkan para pendengarnya dan
melupakan segala apa disekitarnya. Sekarang kutahu dari
buku nada seruling pemberian Wi-sute itulah kau dapat
belajar lagu Siau-go-yan-he ini, tentunya pada Kik Yang
juga ada buku nada kecapi yang sama, jangan2 sebelum
mati Kik Yang telah memberikan buku nada itu kepada
cucu perempuannya, yaitu Kik Fi-yan, nona cilik itu
membawa pulang buku nada itu kepada Ma-kau dan
sekarang nona Tonghong itu berhasil pula mempelajarinya
seperti halnya kau."
"Tidak," tutur Peng-say, "Wi-susiok memberikan buku
nada seruling kepada Peng-lam Giheng, Kik Yang juga
memberikan buku nada kecapi kepadanya."
"Oo? Darimana kau tahu?" tanya Jong-siong.
"Giheng sendiri pernah berkata kepadaku bahwa
padanya masih ada satu buku nada kecapi dengan judul
'Siau-go-yan-he', maksudnya aku disuruh mengajar
Siausumoaynya, yaitu Leng Hiang. kemudian berhubung
sesuatu hal Leng Hiang Sumoay tidak jadi belajar,
seterusnya buku nada itu pun tidak pernah diperlihatkan
padaku. Setelah diingatkan Bok-lo barulah kuingat kepada
kejadian dahulu itu,"
Bok Jong-siong merasa bingung, katanya: "Kalau begitu,
mengapa buku nada tersebut bisa beredar sampai ditangan
puteri Tonghong Put-pay sehingga dia berhasil
mempelajarinya? Jangan2....." tapi mengingat persoalan ini
sangat penting, segera ia tutup mulut dan tidak berani
sembarangan meramal.
Menurut perkiraanku, bisa jadi buku nada itu beredar
ketangan orang Ma-kau melalui tangan Ban-li-tok-heng
Thio Yan coan," tutur Peng-say.
"Aneh, kenapa berhubungan lagi dengan bangsat cabul
itu?" tanya Bok Jong-siong.
Peng-say merasa malu bila teringat kepada kejadian
dahulu, ia menceritakan sekadarnya apa yang pernah
dialaminya, lalu berkata: "Ilmu pedang Wan-pwe terlalu
rendah dan jauh bukan tandingan ilmu golok kilat Thio
Yan-coan itu sehingga kusaksikan dia menawan pergi
Gihengku tanpa dapat bertindak apa2....."
"Ilmu golok Pi-hong-cap-sah-to Thio Yan-coan itu
memang juga ilmu golok kebanggaan Tonghong Put-Pay
dan jarang ada yang sanggup menandinginya," ujar Jongsiong.
"Bicara sejujurnya. Suteku Te-coat Tojin juga tewas di
tangan bangsat she Thio itu dengan golok kilatnya," sela
Thian-bun Totiang.
Peng-say tahu maksud mereka adalah untuk
menghiburnya, ia mengangguk dan berkata pula: "Kupikir
setelah Gihengku jatuh dalam cengkeraman murid Mo-kau
seperti Thio Yan-coan itu, dengan sendirinya buku nada
kecapi yang dibawanya juga telah digeledah oleh Thio Yan
coan dan kemudian dipersembahkannya kepada gurunya."
Bok Jong-siong menggeleng, katanya: "Tidak, tidak
mungkin. Kejahatan bangsat she Thio itu sudah kelewat
takaran dan terlalu berani, hal ini tidak disukai Tonghong
Put-pay, maka sudah lama dipecat dari perguruannya,
sudah lama dia mencari dunianya sendiri dan tidak
mungkin dia pulang ke Ma-kau untuk mempersembahkan
sejilid nada kecapi. Setahuku, dia telah di-uber2 oleh Tingyat
Suthay, saking kepepetnya dia telah kabur ke daerah
selatan, bila dia berani kembali lagi ke Ma-kau, tentu dia
tidak perlu ngacir jauh keselatan melainkan pulang dan
minta perlindungan kepada Tonghong Put-pay."
"Demi mencari murid kesayangannya si Gi-lim. sampai
sekarang Sumoayku masih sibuk mencari jejak bangsat she
Thio itu bila dia lari pulang dan minta perlindungan kepada
Mo-kau, betapapun tabahnya Sumoay tentu juga tidak
berani mencari perkara kesana." kata Ting-sian Suthay.
"Sekarang kita sudah merasakan lihaynya lagu Siau-goyan-
he, kitab nada kecapi itu tiada ubahnya kitab pusaka
ilmu silat dan tak ternilai harganya, bukan mustahil bangsat
Thio Yan-coan itu akan menggunakan kitab berharga ini
sebagai persembahannya kepada Tonghong Put-pay agar
dia dapat diterima kembali kedalam Ma-kau°" kata Thianbun
Totiang.
"Kutahu Thio Yan coan itu jahat lagi tamak," kata Bok
Jong-siong. "Bilamana dia tahu kitab nada kecapi yang
berada pada Sau Peng-lam itu tak ternilai harganya, tentu
akan dikangkangi dia sendiri, tidak nanti dibawanya pulang
ke Ma-kau dan dipersembahkan kepada gurunya."
"Jika begitu, cara bagaimanakah kitab nada kecapi Sau
Peng-lam itu bisa jatuh ke tangan orang Ma-kau?" tanya
Thian-bun.
Bok Jong-siong termenung sejenak, katanya kemudian:
"Waktu kita dengar berita terbunuhnya segenap anggota
Lam-han, bagaimana perasaan To-heng ketika itu?"
"Tatkala mana betapapun aku tidak percaya Ting Tiong
dan Liok Pek mampu membunuh Sau Ceng-hong, tapi
sekarang baru kutahu lebih dulu dia sudah kehilangan
Lwekangnya," kata Thian-bun Totiang.
"Sau-lote," tanya Bok Jong-siong kepada Peng -say,
"kabarnya sebelum anggota perguruanmu terbunuh, lebih
dulu mereka telah dikerjai orang, apa betul?"
"Ya, Ting Tiong dan Liok Pek benar2 kotor dan rendah,
mereka telah menggunakan obat bius," tutur Peng-say
dengan gemas.
Bok Jong-siong manggut2, lalu ia bertanya kepada
Thian-bun Totiang: "Menurut pendapat To-heng, apakah
mungkin Leng-lihiap dapat dicelakai Ting Tiong dan Liok
Pek segampang itu?"
"Jangankan cuma Sutenya, biarpun dengan Gin kang
Coh Cu-jiu sendiri juga jangan harap akan dapat mendekati
kamar tidur Sau Ceng-hong untuk meniupkan obat bius
diluar tahu Sau Ceng-hong." kata Thian-bun. "Mengenai
Leng Tiong-cik, ilmu silatnya tidak dibawah kita, terang
Ting Tiong berdua juga sukar mencelakainya."
"Aku pun berpikir begitu," ujar Bok Jong-siong. "Bagiku
di dunia ini hanya ada Ginkang seorang yang mampu
berbuat sesuatu didepan kamar tidur Leng-hiap dan
berlangsung diluar tahunya."
"Tonghong Put-pay!" seru Thian-bun Totiang.
"Bagaimana pendapat Suthay?" tanya Jong-siong
terhadap Ting-sian.
"Kalau Tonghong Put-pay tidak takut perbuatan kejinya
itu akan menimbulkan kemarahan dunia persilatan
umumnya, tentu tindakannya itu mempunyai alasan yang
kuat, cuma tidak diketahui apa tujuannya dia menempuh
bahaya dengan menyatroni Lam-han?" kata Ting-sian
Suthay. Di balik ucapannya itu jelas dia telah mengakui
hanya Tonghong Put-pay saja yang mampu berbuat apa2
diluar kamar tidur Leng Tiong-cik tanpa kuatir dipergoki
pendekar perempuan yang lihay itu.
"Persekutuan Lima Besar kita memang harus diakui
kurang beruntung karena dipimpin oleh ketua yang kurang
bertanggung-jawab, tapi apapun juga persekutuan kita tetap
membuat kepala pusing Tonghong Put-pay," ucap Bok
Jong-siong. "Bilamana dia ingin memperluas pengaruh Makau,
sedikitnya dia harus menghancurkan dulu persekutuan
Lima Besar kita. Lihat saja caranya dia memperalat jiwa
Coh Cu-jiu yang sempit itu dengan menyebarkan berita
tentang terbunuhnya Hui Pin olehku, jelaslah Tonghong
Put-pay sengaja hendak memecah belah dan mengadu
domba diantara Lima Besar kita untuk kemudian satu
persatu dihancurkan. Betapapun harus kita akui, Sau-heng
terhitung paling kuat diantara kelima aliran kita, cuma
sayang caranya menerima murid hanya mengutamakan
kwalitas dan tidak kwantitas, karena itulah sejauh itu
kekuatan Lam-han terhitung paling lemah diantara
persekutuan kita. Kalau Tonghong Put-pay ingin
menggempur Lima Besar tentu akan dipilihnya bagian yang
paling lemah, jadi Soh-hok-han pasti akan dijadikan sasaran
pertama."
"Ya, mungkin itulah alasan pokok Tonghong Put-pay
menumpas Lam-han lebih dulu, tapi tak dapat dikatakan
Sau-tayhiap terlalu sedikit muridnya dan lemah
kekuatannya, maka lebih dulu menjadi sasaran pihak Makau,"
kata Ting-sian. "Maklumlah, Lam-han mempunyai
hubungan yang erat dengan Bu-tong-pay. anak murid Butong-
pay berjumlah ribuan dan siap untuk diperbantukan
kepada Sau-tayhiap, sesungguhnya kekuatan kami sendiri
tak dapat menandingi Lam-han, jika betul Tonghong Putpay
hendak menghancurkan Lima Besar satu persatu, maka
sasarannya yang pertama seharusnya Siong-san-pay kami."
"Bicara tentang kekuatan masing2, sesungguhnya Yansan
kami pun lebih lemah daripada Siong-san," kata Thianbun
Totiang. "Tapi Tonghong Put-pay tidak berani
menyerang Yan-san, sebab ia tahu, bila Yan-san hancur,
sisa empat aliran lain tentu akan bersatu lebih erat untuk
menghadapi Ma-kau. Tonghong Put-pay tidak gentar
terhadap salah satu aliran kita, yang ditakuti adalah kita
bersatu-padu menghadapi dia, Tonghong Put-pay tidak
terlalu ambisius seperti Co Cu-jiu, yang diutamakan adalah
perkembangan Ma-kau, agaknya dia tidak mau
sembarangan mengorbankan jiwa sebagian besar anak
buahnya dengan menyerang Lam-han dan sisa keempat
aliran lainnya."
"Betul," Bok Jong-siong mengangguk tanda setuju.
"Disinilah letak perbedaan Tonghong Put-pay dengan Coh
Cu-jiu. Tonghong Put-pay tegas2 menyatakan bahwa
pedomannya adalah orang tidak menyatroni dia, maka dia
pun tidak mengganggu orang. Cuma ajaran agamanya yang
disebarnya itu berlawanan dengan dasar hidup dunia
persilatan kita, maka mau-tak-mau kita harus mencegah
perluasan pengaruh Ma-kau. Jika dia sendiri yang
menumpas Lam-han, bukan mustahil persoalannya di
timbulkan oleh kitab nada kecapi itulah,"
"Apakah maksud Bok-lo. demi mendapatkan kitab nada
kecapi yang berada pada Giheng-ku itu, maka Tonghong
Put-pay tidak segan2 bertindak keji dan kotor?" sela Pengsay.
"Ehm, besar kemungkinan memang begitu," kata Bok
Jong-siong.
"Tapi cara bagaimana menjelaskan bekas pukulan Tayjiu-
in yang terdapat pada para anggota Lam-han yang
terbunuh itu?" tanya Peng-say.
"Tonghong Put-pay sangat pintar. hampir setiap Kungfu
andalan berbagai aliran dan perguruan lain juga
dipelajarinya, lebih2 Lima Besar kita yang jelas2 memusuhi
dia, tentu saja dia lebih2 giat berusaha menjajaki ilmu silat
andalan kita. Tay-jiu-in adalah Kungfu andalan Say-koan
yang sukar dilatih, tapi mungkin dia berhasil mencuri
belajar sedikit. Setelah kawan2 Lam-han kalian dikerjai
dengan obat bius, dalam keadaan tak sadar tentu mudah
terpukul olehnya, maka tidak sulitlah baginya untuk
meninggalkan bekas pukulan Tay-jiu-in di tubuh setiap
korbannya."
"Dan Ting Tiong dan Liok Pek mengapa mau menerima
tuduhan orang yang sesungguhnya bukan diperbuat oleh
mereka?" tanya Peng-say.
"Ting Tiong dan Liok Pek itu serupa Suheng mereka,
sama sombong dan tinggi hati, anggapan mereka hanya
Say-koan saja yang paling hebat, aliran lain bukan
tandingan mereka. Bisa jadi Peng-lam oleh Tonghong Putpay
sengaja dibiarkan hidup, tapi lebih dulu merusak
syarafnya sehingga pikirannya menjadi tidak waras, dalam
keadaan linglung Peng-lam lantas menyiarkan peristiwa
terbunuhnya segenap anggota Lam-han adalah perbuatan
Ting Tiong dan Liok Pek. dengan begini perhatian orang
dapat dialihkan sehingga orang tidak mencurigai dia dan
terhindarlah dia dari kerubutan umum. Rupanya kedua
keparat Ting Tiong dan Liok Pek itupun mau saja
menanggUng tuduhan orang, mereka mengira dengan
demikian nama mereka akan tambah terkenal sehingga
Ngo-hoa-koan juga bertambah wibawa dan termashur."
"Apakah Bok-lo tahu antara Coh Cu-jiu ada sengketa
apa2 dengan mendiang ayahku?" tanya Peng-say,
"Memangnya kenapa?" tanya Bok Jong-siong.
Peng-say tidak ingin bercerita tentang pertemuan Ki-liansan
dahulu, maka ia hanya menjawab: "Menurut Kiausuheng,
dahulu ayah tidak setuju Coh Cu-jiu dipilih sebagai
Bengcu persekutuan Lima Besar, entah betul tidak hal ini?"
"Ayahmu memang lebih tahu daripada orang lain," kata
Jong-siong dengan gegetun. "Kalau dipikir sekarang baru
diketahui sebab musababnya dia anti terpilihnya Coh Cn-jiu
dahulu, kiranya dia sudah dapat mengetahui Coh Cu-jiu
berjiwa kotor dan bukan Bengcu yang tepat. Sayang dahulu
Sam-yu kami tidak mau menerima nasihatnya, akhirnya
kami tetap mendukung Coh Cu-jiu dan terpaksa ayahmu
menyetujuinya."
"Bok-lo sendiri tahu kesempitan jiwa Coh Cu-jiu.
persoalan kecil saja pasti dituntutnya, apakah tidak
mungkin dia dendam kepada ayah, lalu menyuruh Ting
Tiong dan Liok Pek membikin celaka segenap anggota
Lam-han kami?"
Bok Jong-siong terdiam sejenak, katanya kemudian:
"Tapi kecurigaan terhadap Tonghong Put-pay jauh lebih
besar daripada Coh Cu-jiu, buktinya anak perempuannya
mahir memetik lagu Siau-go-yan-he, inilah soal yang sukar
dipecahkan."
"Tapi buku nada kecapi berada pada Gihengku Penglam,
darimana Ma-kau-kaucu bisa tahu?" tanya Peng-say.
"Tentu saja Kik Fi-yan yang melaporkan padanya," kata
Jong-siong. "Pendek kata, setiap kejadian sebelum
kakeknya mati tentu akan dilaporkannya kepada Tonghong
Put-pay."
"Lalu darimana pula Tonghong Put-pay mengetahui
bahwa lagu itu mempunyai daya pikat terhadap musuh?"
tanya Peng-say pula.
"Inilah kuncinya yang utama," kata Jong-siong. "Jika
sebelumnya Tonghong Put-pay memang sudah tahu lagu
kecapi itu ada daya pikat terhadap musuh, maka
terbunuhnya anggota perguruan Lam-han kemungkinan
adalah perbuatannya, kalau sebaliknya memang tiada
alasan untuk menuduhnya."
"Betul," tukas Ting-sian Suthay, "memang disinilah letak
kunci utama tindakan Tonghong Put-pay. Bila sebelumnya
dia tidak tahu apa manfaat kitab nada itu, rasanya tidak
perlu menyerempet bahaya dengan mencelakai Sautayhiap."
"Kik Yang adalah gembong Ma-kau, demi kejayaan
agamanya sudah tentu ia ingin menciptaksn sesuatu senjata
yang ampuh untuk mengalahkan musuh, maka menurut
pendapatku, Tonghong Put-pay adalah biangkeladi
daripada terbunuhnya segenap anggota Lam-han," kata
Thian-bun Totiang. "Sebab itulah, selaku Kaucu tentunya
iapun tahu usaha Kik Yang akan menciptakan lagu
mautnya itu, bisa jadi dia sendiripun memberi dukungan
akan daya cipta Kik Yang itu."
"Kalau cuma untuk mengatasi musuh, Ma-kau mereka
tidak kurang tokoh2 tangguh," kata Bok Jong-siong. "Cita2
Kik Yang sendiri mungkin tidak terbatas cuma untuk
mengatasi musuh saja, dengan lagu maut Siau-go-yan-he itu
dia ingin mempengaruhi daya tempur tokoh Bu-lim yang
memusuhi mereka, bahkan dengan lagu itu ia ingin
memikat khalayak ramai agar menyembahnya sebagai
malaikat dewata. Dengan kekuatan anggota Ma-kau yang
fanatik tentu pengaruh mereka akan lebih disebar luaskan.
SayangWi-sute telah diperalat tanpa sadar untuk ber-sama2
menciptakan lagu itu, bilamana ia tahu dialam baka tentu
juga akan menyesal."
Peng-say ternyata tidak sependapat, katanya sambil
menggeleng: "Jika betul begitu, kenapa Kik Yang tidak
menyerahkan kedua kitab nada itu kepada sang Kaucu, tepi
diberikan kepada Gihengku malah? Memang bisa terjadi
Wi-susiok keburu mengetahui muslihatnya, maka buku
nada seruling sebegitu jauh belum diserahkan kepada Kik
Yang, tapi paling tidak kitab nada kecapi milik Kik Yang
sendirikan seharusnya diberikan kepada cucu
perempuannya agar dapat dibawa pulang ke Ma-kau?"
Karena uraian Peng-say cukup masuk diakal dan
beralasan, terpaksa Sam-yu tidak dapat bicara lagi.
"Maka menurut pendapatku," demikian ucap Peng-say
lebih lanjut, "sebabnya Tonghong Kui-le mahir memetik
lagu Siau-go-yan-he, besar kemungkinan sejak kecil dia ikut
belajar nada Kik Yang, dengan sendirinya lagu ciptaan Kik
Yang itu....”
Mendadak ia berhenti, sebab ia merasa uraiannya ini
kurang tepat. Setelah menciptakan lagu "Siau-go-yan-he"
itu, tentu Kik Yang juga tahu berbahayanya bilamana lagu
tersebut dibawakan sendirian, mana mungkin diajarkannya
kepada Tonghong Kui-le dan membikin susah nona itu.
Didengarnya Thian-bun Totiang telah membenarkan
uraiannya tadi: "Batul, betul, besar kemungkinan budak itu
belajar memetik kecapi langsung dengan Kik Yang dan
bukan belajar melalui kitab nada. tentunya kitab nada
kecapi itu masih berada pada Sau Peng-lam."
Dengan ucapannya ini, ia sendiri telah menyangkal
kepastian tentang Tonghong Put-pay adalah biangkeladai
pembunuhan segenap anggota Lam-han tadi.
Bok Jong-siong lantas berkata pula: "Tapi kalau
Tonghong Kui-le tidak belajar melalui kitab nada, tentunya
dia sudah mahir memetik lagu itu sejak dua tahun yang
lalu, tidak mungkin baru sekarang dia menyatroni kita. hal
inipun sangat mencurigakan."
Bicara sampai di sini, Peng-say jadi kehilangan
pegangan. Padahal urusan ini menyangkut sakit hati
pembunuhan ayahnya, betapapun harus diselidikinya sejelas2nya
dan pasti dapat diketahui siapa sebenarnya si
pembunuhnya.
Mendadak ia berbangkit dan memberi hormat kepada
Sam-yu, katanya: "Maaf. Wanpwe mohon diri sekarang
juga. "
"He, Sau-lote hendak kemana?" tanya Bok Jong-siong.
"Ma-kau," jawap anak muda itu.
"Ma-kau?" Thian-bun terkejut, mendadak ia pun berdiri
dan menegas: "Mau apa ke sana?"
"Untuk menyelidiki duduknya perkara yang sebenarnya,"
jawab Peng-say.
Bok Jong-siong manggut2, katanya: "Ya, hanya ke Makau
saja segala persoalannya dapat diselidiki dengan jelas.
Cuma kukira apa pun juga tidak nanti Tonghong Put-pay
mau membeberkan rahasianya kepadamu, kepergianmu
seorang diri ini perlu dipikirkan dengan masak2."
"Demi menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya
musibah yang menimpa perguruanku, terpaksa Wanpwe
menyerempet bahaya tanpa menghiraukan urusan lain,"
jawab Peng-say.
Si kakek kecapi menggeleng kepala, katanya pula:
"Tonghong Put-pay ini sangat jahat dan licin, tidaklah
mudah bagimu untuk memancing pengakuan dari
mulutnya. Akan lebih baik jika kau tunggu lagi setahun dua
tahun. bila kekuatan Sam-yu kami sudah terpupuk lebih
kuat, biarlah kami pergi bersamamu agar kau tidak
menghadapi bahaya seorang diri. Tapi sekarang kekuatan
Sam-yu belum cukup kuat untuk menghadapi Ma-kau,
kuharap Sau-lote dapat bersabar samentara waktu."
"Ya, betul juga," berbareng Thian-bun dan Ting-sian
mendukung usul kawannya.
"Terima kasih atas maksud baik Sam-lo," kata Peng-say.
"Tapi Wanpwe sudah memutuskan akan pergi sekarang
juga, bukannya aku kepala batu, soalnya ingin cepat2
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Soal bahaya,
biarlah Wanpwe sedapatnya menghindari kontak langsung
dengan Ma-kau."
"Apakah kau takkan langsung mencari Tonghong Putpay?"
tanya Bok Jong-siong,
"Kungfu iblis ini memang maha sakti, kalau tidak perlu,
demi keselamatanku sendiri tentunya kuhindari bertemu
dengan dia."
"Tapi kalau tidak langsung kau temui dia, cara
bagaimana akan kau dapatkan keterangan yang
sebenarnya?" ujar Bok Jong-sion. "Hendaknya diketahui
bahwa tindak-tanduk Tonghong Put-pay biasanya sangat
hati2, jika benar dia sendiri yang membunuh segenap
anggota perguruanmu, mungkin tiada orang kedua lagi
yang tahu kejadian ini."
"Maksud Bok-lo, dia sendiri yang langsung membunuh
ayahku dan lain2?" tanya Peng-say
"Kalau bukan dia sendiri, tiada orang kedua lagi di Makau
yang memiliki Ginkang begitu tinggi dan mampu
menyusup ke Lam-han tanpa diketahui oleh Leng Tiong cik
dan para Suhengmu. Jika dia turun tangan sendiri. hal ini
menandakan dia sangat memandang panting urusan ini,
untuk menghindarkan rahasia tindakan diketahui orang,
sangat mungkin hanya dia sendiri yang turun tangan."
"Ya, memang dia sendiri saja yang mampu membunuh
segenap anggota perguruanku." kata Peng-say setelah
termenung sejenak. "Tapi Wanpwe tidak percaya bahwa
peristiwa ini ditutupnya rapat2 hingga anak perempuannya
juga tidak diberitahu,"
"Apa katamu? Jadi kau takkan mencari Tonghong Putpay
melainkan akan mencari anak perempuannya?" seru
Thian-bun Totiang
"Ya, kupikir selain langsung mencari Tonghong Put-pay,
jalan lain hanya cari anak perempuannya saja kalau aku
ingin tahu duduknya perkara yang sebenarnya," kata Pengsay.
Bok Jong-siong mengangguk: "Betul juga, dari anak
perempuannya itu kukira juga dapat dikorek keterangan
yang diharapkan. Cuma untuk menanyai Tonghong Kui-le,
bahayanya juga tidak lebih sedikit daripada langsung
mencari Tonghong Put-pay."
"Ah, masa begitu," ujar Thian-bun, "Kungfu anak
perempuan itu mana dapat dibandingkan dengan ayahnya?
Kuyakin budak itu pasti bukan tandingan Sau-sicu."
"Sesungguhnya, dengan kemampuan Sau-lote sekarang
memang tidak perlu gentar lagi terhadap Tonghong Putpay,"
kata Bok Jong-siong. "Paling2 Sau-lote bukan
tandingannya, tapi untuk menyelamatkan diri jauh daripada
cukup. Tapi untuk menghadapi seluruh kekuatan Ma-kau,
hendaklah sedapatnya Sau-lote menghindari kontak
langsung dengan Ma-kau, hendaklah merahasiakan jejak
dan jangan sampai kepergok Tonghong Put-pay dan kedua
anak perempuannya."
"Wah, kalau begitu, lalu kepada siapa Sau-sicu akan
mencari keterangan?" Thian-bun.
"Menurut pendapatku, sebaiknya......"
Belum lanjut ucapan Bok Jong-siong. dengan tertawa
Peng-say menukas: "Jangan kuatir Bok-lo, ku kira tidaklah
berbahaya jika kutemui Tonghong Kui-le."
"Apakah dia tidak bakal membongkar asal usulmu bila
melihat kau?" tanya Bok Jong-siong.
"Wanpwe percaya dia takkan membikin susah padaku,"
jawab Peng-say pasti.
"Oo?" Bok Jong-siong menjadi ragu2, ia pikir jangan2
anak muda ini ada hubungan istimewa dengan nona
Tonghong itu.Maka iapun tidak banyak omong lagi.
Padahal antara Peng-say dan Tonghong Kui-le tidak ada
sesuatu hubungan istimewa apapun. Bahkan merekapun
baru bertemu satu kali saja. Cuma Peng-say mempunyai
firasat dan percaya bilamana bertemu lagi tentu Tonghong
Kui-le takkan memandangnya sebagai musuh, sama halnya
ketika Tonghong Put-pay muncul menolong kedua
puterinya itu, yang dipikir Peng-say hanya merintangi
pertolongannya kepada Tonghong Kui-jin dan tidak
mencegah Tonghong Kui-le akan ditolong ayahnya, malah
dalam lubuk hatinya ia justeru berharap Tonghong Kui-le
lekas2 dibawa pergi. Maka Peng-say lantas berkata pula:
"Terhadap seluk-beluk Mo-kau, sama sekali Wanpwe tidak
tahu, sebelum berangkat, kuharap Sam-lo sudi memberi
petunjuk seperlunya."
Bok Jong-siong lantas menguraikan susunan organisasi
Ma-kau. dibawah pimpinan sang Kaucu terdapat Su-taytianglo
atau empat tertua, di bawahnya lagi terdapat Ngoheng-
tong, lima seksi yang dibagi menurut lima unsur, yaitu
air, api. emas, kayu dan bumi. Kungfu para Tongcu atau
kepala Ngo heng-tong itu tidak seberapa hebat yang lihay
adalah barisannya yang mahir mengepung musuh dan sukar
untuk lolos.
Di antara Su-tay-tianglo itu termasuk pula Kik Yang,
sekarang Kik Yang sudah mati sehingga tiga orang tertua
saja, ilmu silat mereka rata2 tergolong kelas satu, meski
tidak selihay kaucu sendiri, yaitu Tonghong Put-pay, tapi
semuanya memiliki ilmu gaib sehingga Peng-say diminta
menaruh perhatian terhadap mereka.
Lalu Bok Jong-siong menjelaskan ilmu andalan ketiga
Tianglo itu disertai kemahiran perang dari pasukan Ma-kau
di bawah pimpinan Ngo hong-tong.
Sudah tentu pengetahuan susunan organisasi Ma-kau itu
sangat berfaedah bagi Sau Peng-say, tapi sekarang bukan
maksudnya hendak perang dengan Ma-kau, yang perlu
segera diketahuinya adalah hal2 yang paling utama, maka
dengan ragu2 ia bertanya; "Entah di.....di manakah letak
markas Ma-kau itu?"
"Hah, masa tempat Ma-kau saja tidak tahu?" seru Thianbun
heran.
Peng-say merasa kikuk, jawabnya: "Pengetahuan
Wanpwe memang sangat cetek, meski sudah beberapa
tahun berkelana di dunia Kauouw, tapi.....tapi jarang ikut
campur urusan besar sehingga pengetahuanku sangat
terbatas......"
"Kau pun tak dapat disalahkan," ujar Bok Jong-siong
dengan tertawa. "Ma-kau memang sebuah organisasi
rahasia, jangankan kau tidak banyak ikut campur urusan
Kangouw, sekalipun orang Kangouw kawakan juga cuma
tahu anggota Ma-kau tersebar di-mana2 namun jarang yang
tahu seluk-belukMa-kau yang sebenarnya. Berbeda dengan
golongan kita, lantaran kita bermusuhan langsung dengan
Ma-kau, dengan sendirinya keadaan musuh harus ketahui
se-jelas2nya."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung: "Ma-kau berasal
dari negeri asing, dari wilayah barat merembes ke
Tionggoan, sebelumnya markas mereka berada di daerah
Sinkiang, jadi sebenarnya sekampung halaman dengan
Ngo-hoa-koan. Tapi itu gunung tidak mungkin ada dua raja
hutan, sebab itulah anggota Ma-kau dan orang Say-koan
sampai sekarang tetap bermusuhan, keduanya saling gencet
dan ingin menghancurkan lawan. Kira2 baru 23 tahun
markas Ma-kau pindah kedaerah Tionggoan dan bercokol
di Cong-lam-san yang terletak di selatan kota Si-an. Pesat
juga ajaran mereka, rupanya Tonghong Put-pay tidak tahan
hidup kesepian di pegunungan dan ingin juga menikmati
kehidupan di dunia ramai, maka dia telah pimpin anak
buahnya masuk ke kota Si-an. Meski secara resmi pihak
yang berwajib melarang berdirinya Ma-kau (agama Ma atau
paham Mani berasal dari Persia), namun kota Si-an dan
hampir seluruh wilayah Siamsay telah menjadi pangkalan
Ma-kau yang kuat. Jika sekarang kau pergi ke tempat Makau
sana, kau harus melalui propinsi Holam dan Hopek, di
sana masih termasuk wilayah pengaruh Tionggoan-samyu
kita, maka dapat kau jelajahi dengan aman, diam2 anak
murid kita tentu akan memberi bantuan padamu. Tapi
setelah masuk ke wilayah Soasay. maka kau perlu hati2 dan
waspada sebab kebanyakan orang Kangouw di daerah ini
diam2 ada hubungan dengan Ma-kau.
-Maju lagi adalah wilayah Siamsay,di sana boleh dikatakan
termasuk dunianya Ma-kau, kau mesti tambah hati2 dan
jangan sekali2 menimbulkan curiga orang. Sebaiknya
jangan membawa senjata, berdandanlah sebagai rakyat
jelata, ditambah lagi Lwekangmu sudah sempurna,
tentunya tidak mudah dikenali sebagai orang persilatan.
Jika sepanjang jalan aman dan sampai di Si-an, tentu tidak
sulit bagimu untuk menemukan jejak musuh, sebab setiap
orang yang agak lain daripada rakyat biasa di kota itu
pastilah anggota Ma-kau. Mengenai markas besar Ma-kau
memang sukar disebut, kelinci saja membuat lubang sarang
se-banyak2nya, apalagi Ma-kau yang licik itu. Untuk
mencarinya diperlukan kecerdasanmu sendiri, pokoknya
kau harus waspada dan gesit."
Peng-say mengucapkan terima kasih atas keterangan itu
lalu ia mohon diri dan berangkat.
Dari Soatang ia masuk ke propinsi Hopak, beberapa hari
kemudian ia sudah sampai di Holam, sepanjang jalan orang
persilatan yang ditemuinya hampir seluruhnya memakai
baju bertanda pengenal Tionggoan-samyu, yaitu pakai
gambar cemara, bambu dan sakura.
Setelah masuk wilayah Soasay, Peng-say tidak berani
melarikan kudanya terlalu cepat, ia pun ganti baju sebagai
seorang pelajar, tapi sayang membuang kedua pedangnya
yang sudah biasa digunakan, apa lagi tanpa membawa
senjata, bila ketemu musuh cara bagaimana akan membela
diri?
Maka kedua pedang itu dibungkusnya bersama dengan
uang perak dan pakaian sehingga berwujud satu bungkusan
panjang, lalu ditaruh di belakang pelana kuda. Ia pikir
seumpama orang mengetahui dia membawa senjata,
melihat dandanannya sebagai seorang Suseng (kaum
pelajar) yang membawa pedang, mungkin orangpun takkan
curiga.
Kalau berdandan sebagai Suseng, maka meski berlagak
lemah-lembut dan sopan santun. maka pelahan Peng-say
menjalankan kudanya, hanya terkadang saja kudanya
dilarikan, itupun terbatas kecepatannya. Berbeda dengan
orang Kangouw yang kasar, bila melarikan kudanya tentu
berpacu dan menimbulkan debu tebal.
Jinghoa adalah sebuah kota kecil di perbatasan Holam
dan Soasay, baru sampai disini Peng-say lantas merasakan
gelagat tidak enak. Ia merasakan sebuah kereta kuda selalu
mengintil di belakangnya. jika kereta itu tidak sengaja
menguntitnya, tidak seharusnya jaraknya selalu bertahan
sekian jauhnya. Apalagi umumnya penumpang kereta itu
ingin cepat2 sampai ditempat tujuan, mengapa kereta tidak
dilarikan secepatnya?
Ketika Peng-say berhenti bersantap di Jinghoa. ia lihat
kereta kuda itu lalu kesana dengan pelahan dan tidak ikut
berhenti. Diam2 ia mentertawakan dirinya sendiri yang
terlalu perasa.
Habis makan ia melanjutkan perjalanan pula. Tidak
lama, dilihatnya kereta kuda tadi berhenti dibawah pohon
rindang di tepi jalan sana. "Hah, bukankah aku yang sedang
ditunggu?" demikian ia membatin.
Tapi iapun tidak berani memastikannya, bukankah kuda
penarik kereta itu telah dilepas dan sedang makan rumput
disamping sana? Apalagi orang berhenti mengaso dibawah
pohon kan juga kejadian biasa?
Waktu lalu disamping kereta itu, Peng-say sengaja turun
dari kudanya, ia mengusap keringat sambil berguman
sendiri: "Wah, alangkah panasnya!" Seperti tidak sengaja, ia
melirik ke dalam melalui jendela yang terbuka, sekilas
dilihatnya bayangan seorang Nikoh didalam. Kusir kereta
itu adalah seorang tua kurus, ia menanggapi gerundelan
Peng-say tadi: "ya, hawa bulan enam ini panasnya memang
luar biasa."
Peng-say hanya tertawa saja, segera ia menaiki kudanya
dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak curiga lagi,
walaupun tidak lama kemudian kereta tadi kembali
menyusulnya.
Petangnya sampailah dia di kota Yang-sia, bila maju lagi
akan sampai di pegunungan Tiong-tiau, didepan kelihatan
jelas lereng gunung ber-deret2.
Karena jalan pegunungan lebih sulit dilalui, hampir
kebanyakan tamu sama berhenti di Yang-sia, begitu pula
Peng-say, ia lantas mencari hotel untuk bermalam.
Esoknya pagi2 sekali Peng-say sudah bangun,
kebanyakan tamu masih tidur lelap, ia kuatir mengejutkan
Nikoh yang bermalam di kamar depan sana, maka diam2 ia
membayar rekening hotel dan menyuruh pelayan
membukakan pintu terus berangkat.
Kabut pagi masih tebal, meski musim panas hawa terasa
sejuk juga, Peng-say melarikan kudanya lebih cepat, tak
lama kemudian mulailah menanjak jalan pegunungan,
akhirnya dapatlah ia melintasi pegunungan itu, sementara
hari sudah terang benderang.
Setiba di jalan datar, segera Peng-say melarikan kudanya
lagi, ia pikir setelah sejauh ini, orang yang dikirim Sam-lo
itu pasti sudah ketinggalan.
Rupanya kemarin setelah mengetahui penumpang kereta
itu adalah seorang Nikoh, maka ia mengira pasti anak
murid Siong-san-pay yang sengaja dikirim Sam-lo untuk
melindunginya.
Siangnya sampailah dia di Bun-hi, suatu kota agak besar.
Sejak pagi Peng-say belum sarapan, perutnya sudah
keruyukan. Maka begitu melihat rumah makan segera ia
turun dari kudanya dan menyuruh jongos memberi makan
kepada kudanya, ia sendiri lantas naik ke atas loteng
restoran itu.
Tapi begitu sampai di atas, Peng-say jadi terkejut: "Aneh,
mengapa dia bisa berada disini lebih dulu?"
Kiranya Nikoh penumpang kereta itu dilihatnya sudah
berduduk didekat jendela, meski Nikoh itu duduk
menghadap kesana, tapi dari bayangan punggungnya segera
dikenalnya sebagai Nikoh kemarin itu.
Kalau Peng-say melenggong memandangi Nikoh itu, tak
diperhatikannya bahwa disamping sana ada dua lelaki juga
telah melihat kedatangannya, cuma kedua orang itu cepat2
menunduk kepala dan memakai sesuatu pada muka
masing2, jelas mereka takut dikenali Peng-say.
Kalau Peng-say tidak melihat perbuatan kedua orang itu.
namun si Nikoh tejah dapat melihat semuanya itu.
Agaknya kedua orang itu tetap kuatir dikenali Peng-say,
mereka meningalkan sepotong uang perak di atas meja, lalu
ber-gegas2 berbangkit dan meninggalkan restoran itu.
Ketika mereka lewat disamping Peng-say, sekilas anak
muda itu dapat melihat kedua orang ini bermuka bopeng.
Tempat yang ditinggalkan kedua orang itu berjajar
dengan tempat duduk si Nikoh, agar dapat melihat wajah
orang lebih jelas, Peng-say lantas menuju ke tempat duduk
itu.
Segera pelayan mendekatinya untuk membersihkan meja
sambil tanya santapan apa yang dikehendaki tamunya.
Peng-say minta seadanya disediakan dua macam sayur
dan satu porsi kuah. Diam2 ia melirik si Nikoh, tapi sayang,
muka orang tertutup kain cadar, kain tipis penutnp muka
untuk menahan debu, yang kelihatan cuma matanya saja
sehingga sukar dikenali.
Di meja Nikoh itu tertaruh semangkuk mi dan dan dua
mangkuk sayur dan tahu, isi mangkuk sudah tinggal
separoh, agaknya sejak tadi orang sudah makan kenyang.
Peng-say melongok keluar jendela, ternyata setiap orang
yang berlalu lalang di bawah dapat terlihat jelas dari atas.
Tergerak hatinya, pikirnya: "Habis makan dia tidak terus
berangkat, jangan2 dia sengaja menunggu aku untuk
kemudian menguntit lagi?"
Mestinya Peng-say bermaksud menyapa si Nikoh untuk
menjelaskan bahwa dirinya tidak memerlukan
perlindungan, namun Nikoh itu sama sekali tidak
memandang kearahnya, hakikatnya seperti tidak tahu
bahwa di sebelahnya berduduk seorang Sau Peng-say.
Dengan sendirinya Peng-say tidak berani sembarangan
menyapa, bila orang tidak menggubrisnya, kan runyam?
Apalagi belum pasti juga apakah Nikoh ini orangnya Samlo.
Menurut perkiraan Peng say, sebabnya si Nikoh dapat
mendahuluinya sampai disini, tentu waktu dia
meninggalkan hotel tadi sempat diketahui olehnya, Tapi
cara bagaimana pula orang mendahuluinya kesini?
Kecepatan kereta kuda jelas tidak dapat menyusulnya,
apalagi di bawah sana juga tidak terdapat kereta, lalu
apakah orang menggunakan Gin-kang untuk menyusulnya?
Jika demikian halnya, maka kehebatan Ginkang si Nikoh
sungguh sangat mengejutkan.
"Bisa jadi dia Sumoaynya Ting-sian Suthay, kalau tidak
mana bisa mempunyai Ginkang setinggi ini?" demikian
pikir Peng-say.
Jago yang dikirim Sam-lo untuk melindunginya sudah
tentu tokoh seangkatan dengan ketiga orang tua itu, maka
Peng-say yakin si Nikoh pasti Sumoay atau adik
seperguruan Ting-sian Suthay. Iapun heran Ting-sian yang
sudah tua itu masih mempunyai Sumoay semuda ini?
Dari dahi orang yang kelihatan diluar kain cadar itu,
Peng-say memperkirakan umurnya baru likuran saja.
Pada saat itulah pelayan datang membawakan santapan
pesanan Peng-say. Nikoh itu seperti sengaja menghindari
pandangan Peng-say, pada saat pandangan Peng-say teraling2
oleh si pelanan, cepat si Nikoh lantas meninggalkan
restoran.
Waktu Peng-say tahu apa yang terjadi, terpaksa ia
hatinya melongo saja menyaksikan kepergian Nikoh itu.
Habis makan, Peng-say meninggalkan restoran itu, lebih
dulu ia pandang kanan kiri jalan benar juga, dilihatnya
sebuah kereta menunggu disana. Bukan kereta yang
kemarin. mungkin baru disewa.
Peng-say terus melarikan kudanya dengan pelahan,
benarlah kereta itu lantas menyusul kearahnya. Ia ragu
apakah mesti membentaknya agar Nikoh itu pergi saja?
Tapi segera ia merasa tidak pantas berbuat demikian
jangankan orang mungkin adalah Sumoay Ting-sian
Suthay, seumpama murid Ting-sian juga tidak boleh
membentaknya pergi secara kasar.
Tapi kalau Nikoh itu tidak disuruh pergi rasanya tidak
enak kalau selalu dikintil orang. ber-ulang2 Peng-say
menoleh. satu kali dilihatnya kebelakang kereta si Nikoh
terdapat pula dua orang penguntit penunggang kuda, meski
mereka menguntit dari jauh dan main sembunyi2, namun
dapatlah Peng-say mengenali mereka adalah kedua orang
bermuka bopeng yang meninggalkan restoran lebih dulu
tadi.
"Tidak mungkin akulah yang dikuntit." Demikian
pikirnya. Tapi segera teringat olehnya "Ah, sepuluh orang
bopeng sembilan diantaranya pasti gasang, jangan2 mereka
ini adalah tukang mengganggu perempuan dan sekarang
mereka sedang mengincar Nikoh muda ini?"
Sekarang ia berbalik kuatir bagi keselamatan Nikoh itu.
Setiba di satu kota berikutnya, ia berhenti didepan sebuah
hotel, ia turun dari kudanya dan menunggu, kereta tadi juga
berhenti di depan hotel, dengan maksud baik ia mendekati
pinggir kereta dan membisik ke dalam: "Suhu di dalam
kereta ini, malam nanti hendaklah waspada, ada dua orang
yang mencurigakan menguntit jejakmu."
Terdengar Nikoh di dalam kereta hanya mendengus saja
dan tidak menggubrisnya.
Karena tidak mendapat tanggapan orang, Peng-say
merasa risi, ia pikir orang kan jagoan, masa perlu kuikut
kuatir? Salah sendiri cari penyakit.
Di hotel itu. tengah malam tiba2 didengarnya suara
genteng bergerak, ia tahu datanglah gituan. Cepat ia
melompat bangun dan pasang kuping untuk mendengarkan
apa yang terjadi di kamar sebelah.
Kiranya kamar Nikoh itu kebetulan bersebelahan dengan
dia, Peng-say merasa kuatir, maka sejauh itu belum tidur.
Syukurlah dugaannya tidak meleset, yang di-tunggu2 itu
benar2 datang.
Dia hanya berkuatir bagi orang lain, sama sekali ia tidak
memikirkan dirinya sendiri terancam bahaya atau tidak, ia
hanya memperhatikan keadaan kamar sebelah dan lupa
memperhatikan kamarnya sendiri.
Ketika mendadak didengarnya diluar jendela kamar
sendiri berbunyi "blak-bluk", waktu ia menengadah,
terkejutlah dia. Kiranya kertas jendelanya itu telah
dilubangi orang dengan air ludah, jelas ada orang
bermaksud menjulurkan alat peniup obat bius.
Cepat ia membuka jendela dan melompat keluar, Apa
yang dilihatnya membuat dia merasa malu sendiri. Segera
ia menjinjing kedua maling yang menggeletak tak berkutik
didepan jendela itu ke dalam kamar, setelah diperiksa, siapa
lagi kalau bukan kedua orang bopeng itu.
"Plak-plok", kontan Peng-say menempeleng kedua orang
itu sembari membentak dengan suara tertahan: "Bangsat!
Siapa yang suruh kalian meniup dupa bius ke sini?"
Pada saat itulah tiba2 dari luar jendela setitik sinar
menyambar masuk, cepat Peng-say menangkapnya, Waktu
diperiksa, kiranya sepulung kertas, dibukanya kertas kecil
itu, diatasnya tertulis: "Bangsat itu memakai keduk kulit
manusia, selanjutnya kau sendiri harus hati2."
Peng-say menyengir sendiri sambil garuk2 kepalanya
yang tidak gatal, terpaksa ia berseru ke kamar sebelah:
"Terima kasih!"
Segera ia menarik kedok salah seorang bopeng itu,
jeritnya tertahan: "He, kau, Ci Ci-hiong!" Waktu kedok
seorang lagi juga ditarik. dengan gusar lantas ia menjengek:
"Aha, selamat bertemu. Ji-tayhiap! Sudah hampir tiga tahun
kita tidak bertemu setelah berpisah di Kun-giok-ih dahulu!"
Kiranya seorang lagi ialah Ji Ci-eng, murid tertua
Ciamtay Cu-ih,
Dahulu Ji Ci-eng dan Ci Ci-hiong ikut Ciamtay Cu-ih
menggeledah rumah pelacuran Kun-giok-ih ketika mereka
hendak mencari Gi-lim. Di rumah pelacuran itulah mereka
menemukan Sau Peng-lam sedang mengeloni perempuan.
Hampir saja Ciamtay Cu-ih membinasakan Peng-lam
apabila waktu itu Peng-say tidak keburu berteriak diluar dan
memakinya.
Waktu Ciamtay Cu-ih berhasil menyusul Peng-say, Ji Cieng
disuruhnya membunuh Peng-say, tatkala mana ilmu
silat Peng-say sangat rendah, baru saja pedang terhunus
golok Ci-eng sudah mengancam lebih dulu di depan
dadanya dan hampir saja membuat jiwanya melayang.
Kemudian setelah Peng-say membuka samarannya
sebagai si bungkuk cilik sehingga kelihatan wajah aslinya,
tentu saja wajah Peng-say itu selalu di-ingat2 oleh Ci-eng
dan Ci-hiong. Kebetulan siang tadi mereka melihat anak
muda itu muncul di restoran Bun-hi, cepat Ci-eng berdua
memakai kedoknya dan meninggalkan restoran, diam2
mereka menguntit perjalanan Peng-say dan bermaksud
menawannya dengan obat bius. Tak terduga, usaha mereka
gagal. sebaliknya mereka sendiri ditutuk roboh oleh si
Nikoh.
Begitulah, dengan memejamkan mata Ji Ci-eng
menjawab: "Sayang di Kun-giok-ih dahulu gagal kubunuh
kau, sekarang aku yang jatuh di tanganmu, nasibku sendiri
yang buruk, mau bunuh lekas bunuh, mau sembelih boleh
sembelih. tidak perlu banyak omong."
"Jika kubunuh kau begini saja tentu kau penasaran," kata
Peng-say. "Kepandaianku dahulu jauh di bawahmu
sehingga sekali gebrak saja lantas kalah. Sekarang boleh kita
bertanding lagi secara terbuka. coba saja siapa yang lebih
unggul agar kau tidak mati penasaran."
"Hm, kutahu sekarang kau sangat hebat, sampai-sampai
guruku pun rada2 jeri padamu," jengek Ci-eng. "Tapi, kalau
kau memang lihay, kenapa tidak coba bertanding dengan
guruku?"
"Hah, Ciamray Cu-ih berada dimana? Lekas katakan!"
teriak Peng-say dengan gusar sambil mengertak gigi.
"Beliau berada tidak jauh dari sini dan sedang menunggu
kedatangan kami dengan mengundang dirimu," jawab Cieng.
"Mengundang diriku dengan cara yang kotor seperti
tadi?" ejek Peng-say dengan menyeringai.
"Baiklah, anggap saja kepandaianmu terlalu lihay, dan
anggaplah kami takut kepadamu dan tidak berani
mengundang secara terang2an, terpaksa menggunakan cara
begitu. Nah. puas?" jawab Ci-eng dengan ketus.
"Padahal, hm, tidak perlu kalian 'mengundang' segala,"
jengek Peng-say. "Bangsat tua Ciamtay Cu-ih telah
memperkosa dan membunuh Piaumoayku, betapa
dendamku kalau bisa ingin kuganyang dagingnya mentah2.
Kebetulan dia berada disini sekarang, akan kulabrak dia
mati2an."
"Ayolah berangkat, hanya bicara saja apa gunanya?!"
kata Ci-eng.
Segera Peng-say menyandang kedua bilah pedangnya, ia
jinjing tubuh Ci-eng dan Ci-hiong dengan satu tangan satu
orang, dengan petunjuk Ci-eng berlarilah dia keluar kota.
Setiba di suatu perkampungan, dilihatnya di ruangan
tengah sebuah gedung megah lampu menyala terang
benderang, langsung ia masuk ke sana.
Mendengar suara langkah orang, terdengar suara
Ciamtay Cu-ih bertanya dari dalam: "Apakah Ci-eng yang
pulang?"
"Suhu!" teriak Ci-eng.
"Bangsat cilik itu berhasil kau tangkap atau tidak?" tanya
Ciamtay Cu-ih pula.
"Sudah tertangkap, tapi kedua bangsat muridmu inilah,"
tukas Peng-say.
"Hahaha!" Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa. "Masuklah,
silakan masuk!Memang sudah kuduga kedua muridku yang
tak becus itu takkan mampu meng-apa2kan dirimu. Eh,
sehat2 sajakah ayahmu si Sau Ceng-hong?"
Padahal Sau Ceng-hong sudah terbunuh, mustahil dia
tidak tahu. Jelas ucapannya itu hanya untuk menyindir saja.
Peng-say tidak menjadi gusar, sebaliknya malah heran:
"Aneh, darimana bangsat tua ini mengetahui siapa
ayahku?"
Tentang rahasia asal-usul Peng-say memang sudah
dibeberkan di Thay-san ketika dia berhadapan dengan
Tionggoan-sam-lo, tapi tidak mungkin tersiar kedunia
Kangouw secepat ini, apalagi Sam-lo tahu dia akan
mendatangi Ma-kau untuk menuntut balas, tentu rahasia
pribadinya itu akan di jaga rapat, anak muridnya pasti
dilarang menyiarkannya.
Selain itu, yang tahu asal-usul Peng-say hanya Soat Koh
saja, apakah mungkin nona itu telah ditawan oleh Ciamtay
Cu-ih?
Teringat pada kemungkinan terakhir ini, Peng-say
menjadi rada kuatir.
"Eh, kenapa tidak lekas masuk kemari?" terdengar
Ciamtay Cu ih berseru pula. "Disini sudah tersedia arak dan
ada juga perempuan cantik, sudah kusiapkan perjamuan
untuk merayakan kedatanganmu ini."
Dia sengaja mengucapkan istilah "perempuan cantik"
dengan lebih keras, hal ini membuat Peng-say tambah
curiga, jangan2 yang dimaksud ialah Soat Koh?
"Ayolah, masuk sini," seru Ciamtay Cu-ih pula. "Kalau
takut, boleh lekas pulang saja sana!"
Dengan gregetan mendadak Peng-say membanting Cieng
dan Ci-hiong ke tanah, bentaknya: "Bangsat tua, akan
kutagih nyawa adik Leng padamu!"
Berbareng itu ia terus melompat masuk kedalam.
Dilihatnya sebuah meja perjamuan sudah disiapkan ditengah2,
Ciamtay Cu-ih berduduk sendirian di ujung sana,
di sebelahnya ada sebuah kursi besar yang kosong dan tiada
tempat duduk ketiga lagi, kursi kosong itu se-akan2
memang sengaja disediakan untuk kedatangan Peng-say.
"Silakan duduk, silakan!" kata Ciamtay Cu-i dengan
tertawa sambil menunjuk kursi kosong itu.
Sudah tentu Peng-say tiada minat makan-minum dengan
dia, segera ia melolos kedua pedangnya dan membentak:
"Bangsat tua, tahukah kau adik Leng telah membunuh diri
karena telah kau nodai?!"
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-semi-abg-perawan-pedang-kiri.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Semi ABG Perawan : Pedang Kiri Pedang Kanan 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-semi-abg-perawan-pedang-kiri.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 2 komentar... read them below or add one }

Bpunk mengatakan...

wah... baru nemu nih cerita dewasa digabung ama cerita silat segala... hahahaha.... judulnya dijamin bikin banyak pengunjung mesum singgah... hahahaha... #ane juga termasuk pengunjung mesuum dunks...:(

hendri prastio mengatakan...

artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...

Posting Komentar