Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 01 Agustus 2012

Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1-Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1-Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1-Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1-Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1


PENDAHULUAN
Gunung Lo-hu-san yang terletak ditengah propinsi
Kwitang, termasuk dalam wilayah kabupaten Ceng-sengkoan.
Bagian timur dari pegunungan itu memasuki
kabupaten Pok-lo-koan. Puncaknya menjulur surut. Keliling
luas pegunungan itu hampir 500 li, penuh dengan puncak2
yang aneh berhiaskan hutan belantara nan menghijau lebat.
Puncak2 yang telah diberi nama oleh rakyat, ada lebih dari
400 buah. Sedang disamping itu, tak terhitung jumlahnya
puncak2 yang belum pernah dijelajah dan belum diberi
nama. Kebanyakan puncak2 tersebut, merupakan gunung
karang dan padas yang curam melandai, sukar didaki.
Sekalipun barisan puncaknya sedemikian banyak, namun
karena banyak sekali puncak2 tersebut yang kepundannya
indah megah, maka gunung Lo-hu-san merupakan suatu
gunung yang paling terkenal dalam propinsi Kwitang.
Konon menurut cerita, pada jaman ahala Tang Cin, ada
seorang bernama Kat Hong, bertapa digunung Lo-hu-san,
dia mengarang sebuah kitab „Pao-bu-cu" memperoleh
penerangan dan menjadi dewa. Kitab tersebut hingga kini
masih beredar.
Kota Ceng-seng dikaki gunung Lo-hu-san itu, sejak pada
masa terakhir dari ahala Han, sudah ramai. Turut naluri
kepercayaan, karena kemegahan dan keangkerannya, Lohusan
merupakan sumber kelahiran dari para orang suci
dan orang gagah dan memang kenyataan dari daerah
gunung tersebut muncullah tokoh2 perwira pada setiap
jaman. Ini berlangsung dari jaman kejaman. Pada
hakekatnya, gunung tersebut merupakan tempat ziarah suci
dari kaum agama, sumber inspiratie (ilham) dari para
pujangga serta tunas2 gagah perwira.
Cerita yang akan kami hidangkan ini, dimulai ketika
tentara Ceng-tiau sudah memasuki wilayah Kwitang,
sedang induk pasukannya sudah tiba dipropinsi Hokkian.
Kepala angkatan perang Ceng, jenderal Li Seng Tong,
sudah siapkan tentaranya untuk menyerbu Kwitang.
Peristiwa itu menurut perhitungan tahun Ceng-tiau, ialah
kaisar Sun Ti naik takhta pada tahun ke 3 bulan 11. Sedang
kalau menurut tahun ahala Beng, termasuk tahun ke 2
bulan 11, Lam Beng Liong Bu atau kaisar Liong Bu dari
ahala Beng selatan.
---oo0dw0oo---
BAGIAN 1 TAMU TAK DIUNDANG
Hari itu merupakan suatu pagi yang cerah. Matahari nan
merah tengah pe-lahan2 memancarkan sinarnya dari ufuk
timur. Cakrawala bagian timur, tampak marong kemerah2an.
Bagaikan helai sutera kuning emas, ribuan
sinarnya menyusup diantara kabut pagi yang tebal. Sepintas
pandang tak ubah bagai ribuan ulat emas tengah be-renang2
menyenangkan diri.
Di-tengah2 Lo-hu-san terdapat sebuah puncak yang
disebut „Giok-li-nia" atau kepundan bidadari. Walaupun
bukan tergolong puncak yang tertinggi, namun „Giok-linia"
tersebut merupakan puncak yang sangat berbahaya
sekali keadaannya. Tebingnya yang curam serta kalderanya
yang mengombak laut, jika ditinjau dari kejauhan, mirip
dengan lapisan tirai hijau yang ditebarkan dari langit. Pada
puncak yang teratas terdapat sebuah biara, disebut biara
„Cin Wan Kuan". Biara itu terdiri dari sebuah ruangan
besar, sedang dikanan kirinya dibangun belasan ruang
kamar lagi.
Hari makin lama makin tinggi. Se-konyong2 dari pintu
sebelah ruang besar Cin Wan Kuan, muncul seorang
pemuda sekira berusia delapan atau sembilan belas tahun.
Langkah kakinya tegap tenang, alis lebat mata bundar
besar. sikap dan dandanannya polos sederhana. Dia
mencekal sebatang pedang panjang yang sana sini terdapat
"bintik2 tahi karatan. Menatap matahari pagi, dia kelihatan
beberapa kali mengambil napas. Setelah itu dia menuju
kebawah sebuah pohon siong (sejenis cemara). Disitu
dengan pejamkan mata dan mengorak paha (duduk bersila),
beberapa kali dia berlatih duduk-berbangkit. Setelah
napasnya teratur lebih tenang, dia tenang menatap
kebawah. Kabut pegunungan bertebaran membungkus
dirinya.
Tengah pemuda itu asyik berlatih gi-kang (ilmu
bernapas), tiba2 dari arah dalam biara itu, terdengar
serangkum kumandangnya tertawa kecil. Nadanya
melengking tinggi, di-padu dengan kicauan burung
menyambut sang pagi, rasanya lebih merdu.
Menyusul dengan itu, segera tampak sebuah bayangan
berkelebat. Sesosok tubuh langsing kecil, bagaikan terbang
lari menghampiti kearah anak muda tadi. Gerakannya
lincah dan enteng, sehingga sedikitpun tak mengeluarkan
auaraa apa2. Sekejap saja, ia sudah berada dimuka anak
muda tadi. Oi, oi, kiranya ia itu seorang dara remaja
berumur lima atau enambelas tahun. Rambutnya dikepang
menjadi dua konde, biji matanya besar terang, jadi surup
dengan bulu matan ya yang lebat panjang. Ditilik dari
indera alat penglihatnya saja, cukup sudah untuk memberi
kesan, bahwa ia, seorang dara yang cerdas tangkas.
Demi melihat anak muda itu tengah meramkan mats,
berlatih napas, sidara segera leletkan lidahnya, meng-iwi2
mengunjukkan muka „setan" kepada sianak muda, siapa
karena sedang memusatkan pikirannya sudah tentu tak
mengetahui suatu apa. Setelah berbuat itu, dara nakal itu
segera berputar kearah belakang puhun. Sekali pelan2 enjot
kakinya, tubuhnya tampak melambung keatas. Begitu
tangan mengulur, ia dapat menangkap sebuah cabang, terus
untuk pegangan memanjat. la pernahkan diri ditengah daun
yang lebat.
Tak antara berapa lama, sianak muda tampak loncat
berbangkit. Wajahnya ke-merah2an, kepalanya mandi
keringat. Dengan lengan baju, dihapusnya keringat itu.
Memungut pedang yang diletakkan disamping, dia segera
berIatih. Dalam latihan itu, gerakannya sangat pelahan
sekali. Dan anehnya, bolak balik latihan itu hanya terdiri
dari 4 bagian jurus. Yang pertama, kedua kakinya
dipentang kesamping, tangannya kiri ditaruh didada seperti
seorang paderi berdoa, sedang ujung pedang yang dicekal
dalam tangan kanan diacungkan kemuka. Mungkin itulah
jurus pembukaan. Yang kedua, pedang digoyangkan. Begitu
sinar mata pedang berkilau, secepat angin terus dikibaskan
keatas. Sementara itu, tangannya kiripun turun bergerak
mengimbangi gerak pedang tadi. Sewaktu bergerak itu, jari
tengah dan telunjuk, dirapatkan satu sama lain. Kaki
kananpun melangkah maju, tubuhnya ikut dipendekkan
kebawah. Pedang ber-putar2 turun naik, sementara
sepasang matanya tak henti2nya memandang kemuka.
Jurus yang ketiga ialah, secara tiba2 pedang ditarik, kakinya
mundur dua tindak, tapi tangannya dijulurkan kemuka.
Begitu sinar pedang berkelebat kearah diri, mendadak
sontak ditusukkan kemuka se-keras2nya.
Bermula gadis yang bersembunyi diatas pohon tadi,
memperhatikan betul2. Tapi serta anak muda itu bolak
balik hanya melakukan ke 4 jurus tersebut, hilanglah
kesabarannya. Dengan mendekap mulut, ia menguap. Tapi
serta mengawasi lagi, kiranya sianak muda itu masih terus
mengulang-balik latihan keempat jurus itu. Begitu sampai
pada jurus ke 4, ialah ketika dia menusuk keras2 kemuka,
sigadis lincah itu segera diam2 melorot turun dari pohon.
Dilihat naga2nya, ia hendak menggertak supaya anak muda
itu terkejut.
Tapi sewaktu masih melorot turun, tiba2 tampak olehnya
anak muda itu miringkan tubuh menggeser kakin ya. Begitu
ujung pedang menusuk kemuka, secepat kilat dia berputar
kebelakang, wut, wut, pedang dibolang balingkan dengan
santer sekali, menusuk keatas bawah kanan dan kiri empat
jurusan. Sehabis itu, lalu menarik gerakan pedangnya.
Melihat itu, bukan kepalang girangnya sigadis. Hendak
ia memanjat keatas lagi, tapi baru tubuhnya bergerak atau
disana sianak muda sudah kedengaran membentak:
„Siapakah yang bersembunyi disitu, berani mencuri lihat
orang berlatih pedang ?!"
Tahu kalau sudah kepergok, tak mau nona itu
bersembunyi, tapi dengan unjukkan muka „setan" (ngiwi2),
ia loncat turun.
“Ha, adik Yan-chiu, lagi2 kaulah yang mengadu biru,"
seru sianak muda itu dengan tertawa, „kalau tadi kusalah
lihat mengira kalau kau seorang luar, tentu pedangku akan
kesalahan menusukmu, dan pasti kau akan menangis
menggerung-gerung."
Mulut sinona menyeringai, tangannya membereskan
konde. Wajahnya yang merah dadu, makin bersemu, sedap
nian dipandang mata. „Oi, suko! Sekalipun kau lebih lama
belajar silat dari aku, belum tentu sekali tusuk dapat
melukai aku! Tak percaya, boleh kau coba!" sinona balas
mengejek.
Sianak muda betul2 lakukan tantangan itu. Begitu
pedang dikibaskan keatas, secepat kilat ditusukkan kemuka.
Nona bengal itu tertawa cekikikan. Tubuhnya yang langsing
lemah gemulai menggeliat, tangannya kanan maju pura2
hendak menabas, lalu menghindar kesamping seraya casciscus
mengejek: „Suko, enggan benar aku dengan jurusmu
'boan thoan kok hay' (menutup langit melintasi laut)!"
Sianak muda tegakkan pedangnya. „Kau kepingin jurus
'cing wi thian hay' (Cing Wi mengisi laut) atau 'ho pek kuan
hay' (Ho Pek memandang laut)?"
”Emoh semua!" seru sinona menggeleng kepala, „coba
unjukkan saja jurus 'hay siang tiau go' (diatas laut
memancing ikan besar)!"
Mendengagar itu, wajak sianak muda berobah. Sesaat
hijau, sesaat pucat, matanya menunduk kebawah. Melihat
itu sidara komat kamitkan bibirnya: „Hm, hm kalau tak
mau, sudahlah! Mengapa harus unjuk roman muka yang
memuakkan orang?"
”Sumoay, jangan2 kau tadi telah melihat seluruh
permainan pedangku bukan?" tegur sianak muda dengan
bengis. Sidara remaja mengangguk.
„Yan-chiu, kau nakal sih boleh, tapi mengapa berani
melanggar pantangan suhu? Ah, tidakkah suhu
mengajarkanmu jurus 'hay siang tiau go' itu?"
Sinona gelengkan kepala: „Suhu berat sebelah, ya berat
sebelah. Dia ajarkan kau, tidak padaku. Telah kukatakan,
keempat jurus itu sudah kufahami, seharusnya jurus yang
kelima. Tapi suhu tetap tak mau mengajarkan, katanya
yang empat Itu saja aku masih belum sempurna. Tadi
sewaktu nampak begitu pagi kau sudah keluar, kuduga
tentu bakal melihat suatu pertunjukkan bagus. Ya, tobat,
suhu benar2 telah mengajarkan kau jurus yang ke-lima itu!"
Demikian mulut sinona kedengaran mencecer bagai
rentetan petasan dipasang. Bebrapa kali sianak muda
hendak menyela, tapi tiada kesempatan. Dan sehabis
menghamburkan kata2nya itu, mata sinona tampak berabak
ke-merah2an, mirip seorang yang menderita penasaran.
Tapi sebaliknya wajah sianak muda itu malah tambah
keren, katanya: „Sumoay, pantangan suhu ialah: 'tak boleh
mencuri apabila saudara seperguruan tengah berlatih.
Dilarang keras diam2 menurunkan pelajaran pada saudara
seperguruan'. Apakah kau masih ingat?"
“Kan suhu tak tahu, takut apa sih?" sidara jebikan bibir.
“Sumoay, mengapa kau begitu bengal ? Karena sudah
diterima menjadi murid masakan suhu tak mau
mengajarimu? Coba pikir, belum 2 tahun kau datang
kemari, bukan saja lwekangmu mempunyai dasar yang
kokoh, pun ilmu tan-to (golok tunggal), ilmu liu-ce-cui
(banderingan) serta ilmu silat tangan kosong, telah kau
miliki dengan genah. Ya tidak?"
Sigadis merenung sejenak. Tanpa terasa dia tertawa
sendiri. Tapi pada lain saat, bibirnya kembali menyeringai,
serunya: „Tapi suhu tetap tak mau mengajarku jurus ke 5
itu!"
“Sumoay, kukira bukan suhu tak mau mengajarmu,
melainkan karena jurus ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
(pedang membalikkan laut ) itu, lain dari yang lain.
Sekalipun seluruhnya hanya terdiri dari 7 bagian, namun
bagian memerlukan latihan yang keras. Dari bagian yang ke
4 saja, sudah tampak benar bedanya dari jurus pembukaan.
Jadi apabila belum mempunyai dasar yang genah, rasanya
jurus ke 5 itu malah2 akan mencelakaimu! Ketahuilah,
bahwa setiap bagian itu, mempunyai 7 gerak perobahan,
jadi 7 bagian kali 7 jurus sama dengan empatpuluh
sembilan d yurus. Memang kalau dijalankan satu bagian
saja, tak kelihatan sari kebagusannya. Tapi apabila 7 bagian
itu dirangkai, wah hebat sekali, 7 serangan kosong dan 7
serangan isi, jadi seluruhnya 49 jurus dikalikan 2 macam
serangan kosong dan isi, ada 98 jurus! Kalau 4 jurus dasar
itu belum sempurna, walaupun diajari seluruh ilmu itu, tapi
nantinya tetap hanya terdiri dari 7 bagian saja, tiada gerak
perobahannya sama sekali."
Sinona mendengari uraian suhengnya itu (kakak
seperguruan) dengan asyiknya. Dan setelah habis, bertepuk
tanganlah ia seraya berseru girang: „Suko, begitu sakti ilmu
pedang to-hay-kiam itu, mengapa aku tak mengetahuinya'?
Kapankah suhu menceritakan padamu?"
“Baru kemaren siang saja, ketika tak ter-duga2 dia
menerima surat dari burung merpati pos, burul aku
dipanggilnya dan diuraikannya pelajaran tadi. Malah
diapun terus menurunkan pelajaran jurus ke 5 'hay slang
tiau go', jurus ke 6 'hay li long hoan' (puteri laut memasang
gelang) serta jurus ke 7 'hay lwe cap ciu' (dalam laut 10
benua), sekali gus diturunkan padaku. Beliau menerangkan,
telah menerima surat dari toa-a-ko (ketua) Thian Te Hwe
dari propinsi Kwiciu, mengabarkan kalau tentara Ceng
sudah tiba di propinsi Hokciu. Pasukan besar sudah
dipusatkan diperbatasan Hokkian. Sembarang saat akan
sudah menyerbu karesidenan Tiau-yang!"
Mendengar itu, tanpa terasa mulut sinona mengeluh. Ia
she Liau namanya Yan-chiu, kelahiran Tiau-yang
dipropinsi Kwitang. ia terus mendesak dengan bernapsu:
„Suko, ceritakan terus!"
„Pemimpin pasukan Ceng itu bernama Li Seng Tong,
salah seorang jenderal pemerintah Ceng-tiau.. Orang itu
pandai menggunakan tentara. Selanjutnya suhu menutur,
bahwa pangeran Ing-bing-ong Cu Yu-long telah diangkat
oleh sementara menteri2 berpengaruh, menjadi Kaisar dan
berkedudukan di Siau-ging. Tapi ada lain golongan yang
mengangkat lagi seorang kaisar lain. Sungguh
mengenaskan! Kantong2 nasi yang tak punya guna itu, jika
disuruh berbunuhan dengan saudara sebangsa aendiri atau
disuruh memeras dan menindas rakyat, wah jempol. Tapi
kalau disuruh lawan penjajah, paling pintar panjangkan
kaki angkat langkah seribu! Oleh karena itu suhu memesan,
kali ini beliau turun gunung, bukan untuk membantu kaisar
Beng se-mata2, tapi demi untuk melindungi kampung
halaman kita ini. Oleh karena dipropinsi Kwitang bakal
terjadi peristiwa2 dari segala kemungkinan, maka mungkin
juga akupun disuruhnya mengikut, dan itulah makanya
sekaligus dia menurunkan ketiga jurus pelajaran itu padaku.
Namun dia pesan wantir apabila setiap jurus belum
diyakinkan sempurna, hendaknya jangan berlatih jurus
berikutnya!"
Sinona yang sedari tadi mendengari dengan membisu
saja, tiba2 kini berseru: „Suko, karena tumpah darah kita
menghadapi bahaya, seharusnya suhu juga menyuruhku
turun gunung. Apakah dia siorang tua itu tak pernah
mengemukakan suci dan aku?"
„Entahlah, tak pernah kudengar!"
„Suko, kau seharusnya menurunkan juga ketiga jurus itu
padaku!"
„Demi pesan suhu, mana aku akan berani
melanggarnya!" sahut sianak muda dengan wajah berobah.
Tahu sang suko tak meluluskan, sengaja Yan-chiu
tertawa tawar: „Hem, suko, kalau suci yang menyuruh,
masa kau berani membantah!"
Sianak muda merah mukanya. Suci si Yan-chiu, juga
sucinya (taci seperguruan). Anak muda itu lebih muda satu
tahun dari sang suci itu yang ternyata adalah puteri dari
suhunya. Sejak meningkat akal balig (dewasa), diam2
pemuda itu mencintai ayundanya (suci) itu. Tapi sigadis itu,
jinak2 merpati sikapnya. Diburu lari, ditinggal mendekati.
Diwaktu ramah suka mengajak bicara dan bercanda, dikala
ngambul sehari suntuk tak mau diajak bercakap. Sampai
sekian jauh, sianak muda itu tertumbuk fahamnya, tak tahu
bagaimana harus menghadapinya. Perangai anak muda itu
polos jujur, getaran kalbunya itu tetap disimpannya erat2
dalam hatinya, tak berani dicurahkannya.
Liau Yan-chiu, seorang dara yang cerdas tangkas,
sekalipun usianya masih begitu muda, tapi dia mengerti
apal. Bahwa ji-sukonya mengandung perasaan „istimewa"
terhadap sang suci, siang2 ia, sudah mengetahui. Maka
sengaja saat itu ia, memper-olok2-kannya. Dan ternyata,
benar sianak muda itu merah padam. Sampai sekian saat,
baru kedengaran pemuda itu berseru: „Sebelum mendapat
ijin dari suhu, walaupun sucipun tak dapat kuajarkan!"
Baru saja sirap kumandang kata2nya itu, tiba"
terdengarlah suatu suara bernada tinggi laksana burung
kenari: „Tak mau mengajari ya sudah, siapa yang kesudian
............”
Dibawa oleh alunan kabut pagi, suara yang bagaikan
imbauan (nyanyian) pagi itu, sebaliknya telah membuat
kaget sianak muda dan Yan-chiu. Serentak keduanya
menoleh kebelakang. Disana tampak seorang nona sekira
umur 20-an, dalam pakaian warna biru laut, tubuhnya
langsing, berambut hitam jengat. Sepasang matanya, bening
laksana air kolam, dipagari oleh bulu mats, yang lebat
panjang, makin menyemarakkan sepasang alisnya yang
melengkung bak rembulan sisir. Warna bibirnya semerah
delima terbentang riang dibawah naungan hidungnya yang
mancung agung. Sekalipun dalam marah, tetap orang akan
limbung terpesona, mengapa dimayapada terdapat insan
yang menyerupai bidadari cantiknya.
Saat itu, kabut pagi sudah menipis. Taburan kabut
lamat2 mengerubungi tubuhnya, sehingga makin
mengesankan orang, kalau betul' ada seorang bidadari turun
didunia. Nona itu, bukan lain adalah suci yang telah
menambat hati sianak muda itu. Is, adalah puteri tunggal
dari Ceng Bo siangjin kepala biara Cin-wan-kuan, sebelum
dia menyucikan diri menjadi tosu (imam). Sesuai dengan
she sebelum Ceng Bo siangjin menjadi tojin, gadis itu she
Bek dan diberi nama tunggal „Lian" atau bunga terate.
Tio Jiang, demikian nama sipemuda itu, begitu melihat
sang suci muncul dengan tiba2, menduga kalau semua kat
a-nya tadi tentu didengar seluruhnya oleh sang suci. Sesaat
itu ia ter-longong2, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi
sebaliknya, Yan-chiu yang berada disebelahnya segera
bertepuk tangan ber-gelak2: „Bagus, bagus! Sang tikus
melihat kucing! Coba, kini kau mau mengajari tidak! Kalau
mau, beres dah. Tapi kalau tidak mau, hem, hem, berani
mengajari Lian suci, mengapa tidak padaku?" Nona kecil
itu menutup kata2nya dengan meng-iwi2 kan muka,
girangnya bukan kepalang.
Tapi sianak muda itu tak hiraukan olokan Yan-chiu,
dengan „a-u a-u" tak lampias dia menerangkan kepada Bek
Lian: „Suci ketika suhu hendak berangkat telah
mengatakan, jurus ke 5, 6, dan 7 itu, tak boleh diajarkan
pada lain saudara. Karena mentaati pesan suhu, kalau
kalian suka, baik belajar saja ilmu pedang lain yakni 'tokang-
kiam hwat'........ "
„Apa? 'To-kang-kiam hwat'? Mengapa tak pernah
kudengar macam ilmu pedang begituan?" Yan-chiu sigenit
centil itu sudah merebut percakapan.
“To hay kiam hwat" artinya: ilmu pedang membalik laut.
Sedang ,To kang kiam hwat" ialah : ilmu pedang membaiik
sungai.
„Suhu mengatakan, kedua ilmu pedang itu, kelak kalau
dimainkan oleh sepasang pria dan wanita, saktinya bukan
olah2," kata Tio Jiang tanpa mempedulikan Yan-chiu, dan
kalau orang sudah mempelajari 'to hay kiam hwat',
konsentrasi (pemusatan) pikirannya akan terpengaruh, tak
nanti dapat mengerti jelas kesaktian dari sari pelajaran 'to
kang kiam hwat' "
Sepasang mata bening dari Bek Lian ber-kicup2
mengawasi sang sute (adik seperguruan). Ketika anak itu
makin lama makin ter-bata2 sehingga mukanya pun turut
merah, buru2 ia menyelutuk: „Fui, jangan berdoa seperti
seorang alim ulama! Siapa yang minta, kau mengajari? Apa
yang kau maksudkan dengan 'diam2 menurunkan pelajaran'
itu ?"
Sesaat setelah mulutnya menghamburkan kemengkalan
hati, wajah Bek Lian tampak merah ke-malu2an.
Pembawaannya sebagai seorang gadis telah mengetuk
nuraninya, bahwa tak selayaknya ia berbuat sekasar itu.
Tapi justeru dalam kemarahannya itu, ia nampak makin
cantik menggiurkan. Dalam keadaan itu, hati Tio Jiang
makin dak-diduk tak keruan rasanya. Ter-sipu2 dia
menjelaskan: „Lian suci, aku.... bukan mengatakan ......
bukan mengatakan diam2 mengajari padamu, tapi
mengatakan.........”
Dara cerdas tangkas Liau Yan-chiu makin geli melihat
kelakuan sang suko, yang maunya menjelaskan, siapa tahu
makin menjelaskan makin runyam itu, cepat2 ia menyela:
„Haya, sudahlah! Kami berdua emangnya tak mau kau
ajari, cukup?"
Seperti terlepas dari tindihan batu berat, kini legahlah
rasa hati Tio Jiang. Tapi ketika dia menatap kearah Bek
Lian, tampak sucinya itu tengah memandang jauh kemuka,
seperti tetap menyesali dia. Karena sifatnya yang jujur dan
wajar itu, menyebabkan dia tak dapat segera bertindak
suatu apa. Menghampiri untuk menghaturkan maaf : Ah,
jangan2 malah membikin kurang senang sang suci. Namun
kalau tinggal diam saja, kemungkinan besar yang suci itu
akan mendapat kesan jelek terhadap dirinya, masa begitu
berat mulut untuk menyatakan penyesalan. Oleh learena
itu, kakinya yang sudah dilangkah kemuka itu buru2
ditariknya kembali.
Sebaliknya Bek Lian hanya bersenyum tawar saja.
Matanya jauh memandang kelautan kabut disebelah muka
sana yang menutupi puncak gunung. Bagian yang teratas
dari puncak itu, tampak menonjol keatas, bagaikan sebuah
puIau ditengah laut nan lepas.
Chiu-yan tetap mendongkol karena sukonya tak mau
mengajari lanjutan 3 jurus dari to-hay-kiam-hwat tadi.
Maka diapun tak mau mempedulikan sukonya lagi dan
terus berdiri disamping sang suci, Kedua gadis itu sesaat
menuding2 kearah pemandangan alam dihadapannya,
sesaat saling ber-cakap2 dan ter-tawa2 sendirian, sedikitpun
mereka tak menghiraukan Thio Jiang, sehingga anak muda
itu herdiri menjublek bagaikan terpaku tak tahu spa yang
harus dilakukan. Lewat beberapa saat, baru kedengaran dia
berseru: „Suci, aku.....”
Bek Lian cepat berpaling dan bertanya: „Kau? Kau
mengapa? Apa kau berani melanggar pesan dia siorang tua
itu?"
Saking polosnya, ditanya begitu segera Tio Jiang
menyahut: „Aku tak berani!"
„Hi, hi, hi!" saking gelinya Yan-chiu tak kuat menahan
ketawanya. Juga Bek Lian terpaksa geli. Suara ketawa
cekikikan dari kedua gadis yang berdiri dikanan kiri itu, tak
ubahnya seperti berketesnya air hujan didalam tempayan,
menyengsamkan yang mendengarkannya. Melihat sucinya
tertawa geli, Tio Jiang legah sekali. Ketika dia hendak maju
menghampiri untuk menghaturkan maaf, tiba2 Yan-chiu
berseru nyaring: „Hai, lihatlah, apa ini?"
Sewaktu Tio Jiang dan Bek Lian mengawasi, merekapun
tak mengetahui benda apakah itu. Sebuah benda bergerak
'naik turun muncul tenggelam’ diantara lapisan kabut.
Tujuh macam warna laksana bianglala, tampak tergores
jelas pada kedua sayapnya. Burungkah itu? Tapi burung tak
nanti dapat terbang selincah dan seindah begitu. Makin
lama, makhluk itu makin tinggi terbangnya. Ah, kiranya
sepasang kupu2 yang besar. Kedua sayapnya hampir
setengah meter panjangnya. Makin dekat, makin bagus
sekali kupu2 itu. Warna sayapnya itu, makin jelas pula
indahnya.
“Suci, suko, jenis kupu2 apa itu?" Yan-chiu berseru
dengan bertepuk tangan.
Tio Jiang kelahiran kota Ceng-seng-ko dikaki gunung
Lo-hu-san situ. Sekali lihat, tahulah dia bahwa itulah kupu2
keluaran istimewa dari Lo-hu-san, sahutnya: „Itulah kupu
sian-tiap dari Lo-hou-san! Keluaran istimewa dari gunung
ini. Yan sumoay, kalau" kau inginkan mereka "
Tiba2 mulutnya tak dapat melanjutkan kata2nya, karena
dilihatnya wajah Bek Lian mengunjuk kurang senang.
Maka ter-sipu2 dia berkata: „Lian suci, kalau kau suka,
akan kutangkapkan untukmu!"
Melihat sukonya berganti lagu, Yan-chiu jebirkan
bibirnya: „Baru hendak mengasih padaku, mendadak
sontak hendak diberikan pada suci!"
Mendengar itu Bek Lian cepat menyanggapi: „Aku sih
tak kepingin. Mau main2, bisa cari sendiri! Siapa, yang tak
tahu kalau itu kupu sian-tiap dari Lo-hou-san, atau yang
disebut siau-hong-hong!"
Sian-tiap artinya kupu dewata, sementara siau-honghong
ialah sicenderawasih kecil. Ingin merebut hati, malah
berbalik serba salah, maka pikir Tio Jiang, daripada ribut2
mulut menerangkan lebih baik tangkap dulu kupu2 itu baru
penjelasan menyusul. Kebetulan sekali saat itu sepasang
kupu sian-tiap tersebut tengah berlincahan terbang diatasn
ya, kira2 han ya beberapa depa tingginya. Sekali
mengempos semangat, kakinya diend yot, bagai peluru
roket tubuhn yapun segera meluncur keatas. Kedua
tangannya diulur untuk menangkap. Tapi ketika tampaknya
sudah akan mengenai, tiba2 kedua ekor kupu itu melayang
kesamping, sehingga tangan Tio Jiang menangkap angin.
Melihat itu Yan-chiu tak henti2nya berseru „sayang".
Namun Bek Lian tak mengacuhkan sama sekali, matanya
tetap memandang kemuka.
Gambar 1
„Tangkap kupu2 itu, lekas, Suko! Samber, cepat”: seru Yanchiu.
Kupu2 itu ternyata tak mau terbang jauh, masih
berputar2 diatas kepala Tio Jiang, siapa kini ulangi lagi
sergapannya dengan sungguh2. Tapi lagi2 luput, malah
kupu2 itu segera terbang pergi. Tio Jiang bertekad untuk
menangkapnya, segera dia mengejar. Bentuk dari puncak
Giok-lt-nia, bagaikan seorang wanita cantik, tegak
menjulang keangkasa. Pada puncak kalderanya, tiada
terdapat dataran yang luas. Ketiga muda mudi itu, berada
disebuah tanah lapang yang hanya 10 tombak luasnya.
Maka baru berlari beberapa langkah, Tio Jiang sudah
berada dilamping menurun gunung. Dillhatnya kupu2 itu
sudah terbang jauh rasanya tiada harapan untuk
mengejarnya. Tapi pada saat dia hentikan pengejarannya,
tiba2 kupu2 itu terbang balik kearahnya seraya mengitari.
„Suko, suko, lekas sambutlah!” seru Yan-chiu.
---oo0dw0oo---
Tio Jiang enjot keras2 tubuhnya dan benar juga dia
berhasil loncat diatas kupu2 itu. Wut, wut terdengar kedua
tangannya menepuk. Karena serunya samberan angin
tepukan itu, sepasang kupu2 tersebut melorot jauh
kebawah, menyusul dengan itu Thio Jiang turut melayang
turun. Tapi baru dia hendak tengadahkan sepasang
tangannya untuk menyambuti, tiba2 terdengar suara benda
men-desing2 diudara. Beberapa titik putih macam bintang,
meluncur keatas menghamburi kupu2 sian-tiap itu.
Kalau tetap menyambuti, terang tangan Tio Jiang pasti
terpanggang senjata rahasia berbentuk bintang2an itu.
Dalam terkejutnya, Tio Jiang masih bisa menarik
tangannya dengan sebatnya. Begitu desingan suara yang
lemah itu berlalu, ternyata sayap yang indah dari kupu2 itu
telah kena tertusup pecah dan bagaikan layang2 putus
kupu2 itupun me-layang2 jatuh.
Sekalipun sikapnya tampak acuh tak acuh, namun
sebenarnya secara diam2 Bek Lian terus menerus
mengawasi gerak gerik Tio Jiang tadi. Kepingin sekali ia
mengetahui, hendak diberikan kepada siapakah nanti kupu2
itu? Liau Yan-chiu adalah sumoaynya, sedemikian akrab
perhubungan mereka sehingga tak nanti disebabkan soal
kupu2 saja mereka sampai jadi bentrok. Tapi Bek Lian itu
seorang gadis aleman yang manja. Mendengar Tio Jiang
hendak kasihkan kupu2 itu pada Yan-chiu tadi, belum2 ia
sudah mengambek tak senang hatinya. Dan kenyataannya,
kupu2 sian-tiap itu memang bagus sekali. Kalau tak bisa
dipelihara hidup2 untuk perhiasan tembok kiranya cukup
menarik. Maka demi diketahui ada orang melepas senjata
rahasia hendak menghancurkan kupu2 itu, tanpa terasa ia,
menjerit kaget. Malah sitangkas Yan-chiu sudah terus
mendamprat: „Siapakah yang begitu kurang ajar melepas
senjata rahasia?”
Tio Jiang tak begitu gemar akan kupu2 itu, jadi diapun
tak begitu kecewa. Cuma saja heran dia, mengapa begitu
pagi sudah ada orang yang naik kegunung situ? Tebing
puncak Giok-li-nia begitu curam berbahaya, bagi orang tang
cukup sedang saja kepandaiannya, tak nanti mampu
mendaki keatas. Dan tegas dilihatnya, cara senjata rahasia
ini dilepas, indah dan rapih sekali. Ah, kalau yang datang
itu seorang musuh, tentu berat baginya karena justeru sang
suhu sedang bepergian.
Tengah dia ter-mangu2, kedengaran ada orang berseru:
Negara dalam bahaya besar, pasukan Ceng yang
berjumlah besar sudah tiba diperbatasan Kwitang, mengapa
masih enak2an ber-main2 menangkap kupu2? Menyusul
dengan seruan itu, dari tabir kabut loncatlah seseorang,
terus meIangkah ketengah tanah lapang. Gerakannya begitu
tangkas dan lincah sekali, hingga membuat kagum ketiga
murid Ceng Bo siangjin itu. Kini jelaslah siapa orang itu.
Dandanannya seperti seorang mahasiswa, alisnya bagus
matanya terang, mencekal sebuah kipas lempit yang tak
henti2nya dibuat kipas2. Dari wajahnya yang cakap itu,
terang dia itu masih muda, belum ada 30 tahun umurnya.
Walaupun ucapannya itu memang benar, tapi karena
caranya yang begitu tak tahu aturan ialah datang2 terus
mendamprat, tak senanglah hati Tio Jiang dibuatnya. Tapi
karena kepolosannya, Tio Jiang tak dapat balas
mendamprat melainkan mendengus „hem” saja. Karena
yang datang itu seorang anak muda yang ganteng sikapnya,
Yan-chiu turun marahnya dan hanya menyeringai saja.
Sebaliknya Bek Lian yang begitu menyayangi sekali akan
kupu2 sian-tiap tadi, tanpa menghiraukan siapa yang
datang, terus saja mengata2inya: „Kenapa kau begitu tak
tahu aturan? Datang2 terus menghancurkan sepasang siantiap
Lo-hou-san ini?”
Kalau itu kabut sudah sirna, ribuan larik cahaya
matahari pagi yang gemilang, memancar kearah gunung
situ. Dan ini merupakan suatu penerangan yang lebih
menyemarakkan kecantikan Bek Lian.
Mendengar dampratan itu, mahasiswa itu mendongak
keatas tertawa, dia bermaksud menganggap sepi saja kata2
itu. Tapi begitu dia angkat kepalanya dan nampak akan
kecantikan yang gilang gemilang dari Bek Lian, hilang
lenyaplah maksud mengejek yang hendak dibawakan dalam
tertawanya itu. Bagaikan sebuah patung, dia tegak membisu
ter-longong2. Tapi keadaan itu tak berlangsung lama,
karena pada lain saat dia sudah dapat menguasai
kegoncangan perasaannya. Wajahnya berobah seri, bibirnya
berhias tertawa dan mulutnya bertanya kepada Bek Lian:
„Ah, kiranya nona suka sekali akan kupu2 sian-tiap Lohou-
san itu? Tadi sewaktu kunaiki kemari kebetulan
ditengah jalan berpapasan dengan sepasang binatang itu
dan berhasil menangkapnya hidup. Inilah, kalau nona
menghendakinya, akan kuhaturkan padamu!”
Habis berkata, dia merogoh kedalam baju dan
mengeluarkan sehelai bungkusan saputangan. Begitu dibuka
ternyata disitu terdapat sepasang kupu2 Lo-hu-sian-tiap.
Tapi sayangnya tak sebesar kupu2 yang hendak ditangkap
Tio Jiang tadi. Dengan memain ketawa dibibir, orang itu
mempersembahkan kupu2 itu kepada sijelita: „Nona, turut
pandanganku, kau berlipat ganda cantiknya dari kupu Lohou-
sian-tiap ini. Kalau Lo-hou-sian-tiap mendapat julukan
siau-hong-hong, sepantasnya kau digelari say-hong-hong!”
Say-hong-hong artinya „seperti cendrawasih”. Bermula
Bek Lian mendongkol terhadap mahasiswa itu. Tapi demi
didengarnya dia ber-kata2 dengan nada yang empuk sedap
didengar, apalagi sikapnya sopan, seketika itu menurunlah
kemarahannya. Apalagi bukan saja orang itu telah
mempersembahkan benda yang dipenujunya, malah disertai
juga puja puji mengagungkan kecantikannya melebihi kupu
Lo-hou-sian-tiap. Selama ia berdiam digunung situ, tak
pernah ayahnya memuji kecantikannya, sedang
sumoaynya, Yang-chiu, juga tunggal kaum dengannya.
Satu2nya orang kaum hawa yang sebaya dengan usianya,
ialah Tio Jiang. Cuma saja anak itu tak bisa bicara. Hatinya
sih penuh dengan berbagai perasaan, namun mulutnya
seperti terkancing rapat susah untuk mengutarakan. Ya,
kalau tetap tutup niulut sih masih mending, tapi begitu
membuka mulut terus plegak-pleguk entah apa yang
dikatakan. Maka dalam usia berahinya itu, belum pernah
Bek Lian mendengar orang memuji kecantikannya. Dan
sudah menjadi psykhologi (kebatinan) seorang gadis, paling
senang mendengar dirinya dipuji cantik. Tanpa terasa Bek
Lian memandang kearah simahasiswa. Seketika itu se-olah2
berhentilah jantung simahasiswa berdenyut. Sampai sekian
lama, dia terlongong2. „Nona, ambillah!” katanya
kemudian.
Bek Lian ternyata mau juga menerima pemberian itu,
lalu memeriksa sayapnya yang indah itu. „Benarkah aku ini
secantik yang dikatakan orang itu, yakni lebih cantik dari
sian-tiap ini dan pantasnya digelari say-hong-hong? Ah,
sudah tentu memang begitu, rupanya orang itu........”,
berpikir sampai disini ia kembali memandang mahasiswa
tersebut, siapa, matanya tampak berkeredepan, seperti
hendak tertawa. Seketika itu wajah Bek Lian terasa panas,
dengan tundukkan kepala, ia merenung lagi: „Rupanya
orang ilu bukan macam orang yang suka bohong!”
Melihat sianak muda memberikan kupu2 sian-tiap pada
Bek Lian, sebaliknya dari mengiri, Yan-chiu malah lari
menghampiri sang Suci untuk turut melihat kupu2 itu.
Hanya Tio Jiang yang dalam kebatinannya mengejek
simahasiswa itu. Bukankah tadi datang2 dia terus
mendamprat „negara dalam bencana, tak seharusnya bersenang2
diri main2 dengan kupu2?” Tapi nyatanya dia
sendiripun malah menangkap sepasang! Sebagai seorang
yang jujur, dia paling benci dengan orang yang mulut dan
perbuatannya tak sepadan. Dan karena melihat sikapnya
yang begitu kurang ajar mengawasi pada sang suci,
bertanialah Tio Jiang dengan serentak: „Siapakah saudara
ini? Hendak ada keperluan apa datang kemari?” Dalam
pertanyaannya itu, bernada permusuhan.
Simahasiswa memutar kebelakang memandang beberapa
jenak kepada Tio Jiang. Dengan menyungging senyuman
dan merangkapkan sepasang tangannya kebelakang, dia
mendongak sembari bersenandung:
„Dibawah markas, musim semi datang membawakan
pemandangan alam yang indah, burung meliwis terbang tanpa
berkesan.
Diempat penjuru suara terompet sahut sahutan.
Dalam ribuan kubu pertahanan, kabut bertebar, matahari
terbenam, pintu kota tutup.
Dengan setuang arak mengenang rumah nan ribuan Ii
jauhnya, sang burung seriti bebas berterbangan tanpa memikir
pulang, embun berhamburan memenuhi tanah, tak mau nian
mata dibawa tidur, rambut memutih sang jenderal menahan air
mata.”
Dia sih orangnya ganteng cakap, gayanya sudah tentu
makin menarik. Tapi Tio Ciang ternyata tak mengerti apa
yang dimaksudkan dalam senanjungnya itu. Dia berasal
dari seorang anak gembala sapi digunung situ. Enam tahun
yang lalu. Ceng Bo siangjin yang kebetulan ada urusan
turun gunung, telah melihat dia sedang dicambuki oleh
majikannya, sehingga kepala dan mukanya bercucuran
darah. Dia tak tegah. Apalagi dilihatnya anak itu sikapnya
polos jujur, segera Ceng Bo siangjin menebusnya dengan
beberapa potong perak lalu membawanya pulang kegunung.
Diajarinya anak itu ilmu silat dan sedikit ilmu surat. Tetapi
rupanya Tio Jiang menumpahkan seluruh perhatiannya
akan ilmu silat saja, ilmu surat dia agak kesampingkan.
Maka demi mendengar senandung simahasiswa itu, dia
hanya kerutkan alis saja. Hendak dia menyahuti atau Bek
Lian telah mengeluarkan pujian: „Suatu pambek yang
tinggi!”
Gambar 2
„Cayhe she The bernama Go,” dengan lagak tengik pemuda itu
perkenalkan diri kepada Bek Lian.
Mendengar pujian itu, simahasiswa berputar kebelakang
menjurah pada sinona, sikapnya ber-lebih2an sekali,
serunya: „Aku yang rendah orang she The nama Go,
tinggal dilaut ber-sama2 keluarga Ciok, Ma dan Chi. Telah
lama mendengar Ceng Bo siangjin menuntut penghidupan
suci ditempat ini, ingin benar untuk menjumpai entah bisa
diterima tidak?”
---oo0dw0oo---
Makin simahasiswa mengunjuk gaya-pelajarnya, makin
Tio Jiang mengerutkan keningnya. Yan-chiu anggap orang
itu suka ber-main2, sebaliknya Bek Lian beranggapan lain.
La yang sejak kecil diasuh dengan pendidikan silat dan
sastera oleh sang ayah, telah mempunyai dasar yang dalam
tentang syair menyair, yang kesemuanya itu telah dapat
dinikmati sungguh2. Dari senandung simahasiswa tadi,
dapatlah ia mengetahui kalau orang tengah mencurahkan
isi kalbunya, maka cepat2 ia memberi pujian. Kini kembali
dengan gaya yang terpelajarnya, anak muda itu
mengucapkan kata2nya, buru2 Bek Lian menyahuti dengan
sungguh2, Ceng Bo siangjin adalah ayahku sendiri. Sayang
kemarin siang dia turun gunung sampai sekarang belum
pulang. Kongcu (sebutan untuk anak muda terhormat)
silahkan mampir dulu kebiara kami sana!”
Mendengar penyahutan Bek Lian itu, tertawalah Yanchiu:
„Suci, kalian berdua tengah main sandiwara apa itu?
Mengapa bernyanyi sembari berkata?”
Wajah Bek Lian bersemu merah. Sementara The Go
tertawa menanyai Yan-chiu: „Siapakah gerangan nama
nona yang indah ini?”
Ditanyai begitu, buru2 Yan-chiu robah sikapnya.
Dengan meniru lagak lagu sang suci tadi, iapun memanggut
kepada The Go, mengatur nada suaranya lalu menyahut:
„Ah, maafkan.... Yang ini adalah suciku, she Bek nama
Lian. Itu sukoku, she Tio nama Jiang. Sedang aku yang
rendah ini tang she Liau nama Yan-chiu. Aku tinggal disini
bersama suci dan suko belajar silat.”
Karena berlagak yang tak semestinya itu, tingkah sinona
centil telah membuat orang2 tertawa. Malah ia sendiripun
turut geli juga. Buru2 kepalanya disusupkan kedada sang
suci dan tertawa ter-kial2. Karena tak mengira akan dibuat
perlindungan, Bek Lian terkejut dan kendorkan genggaman
tangannya. Sekali kendor terbanglah sepasang kupu2 Lohou-
sian-tiap tadi. Saking terkejutnya Yan-chiu berseru
„haya”, sebaliknya The Go buru2 menghibur: „Biarlah, tak
perlu disayangkan. Siau-hong-hong lepas, masih ada, sayhong-
hng’’
Tio Jiang anggap si The Go itu licin orangnya. Tapi
karena nampak sang suci begitu gemar, diapun tak berani
berbuat apa2. Pada saat itu, adalah bulan 11, hawa pagi
dingin sekali rasanya. Karena dari setadian dia berdiri
menjublek saja, lama2 merasa kedinginan juga. Selama
mereka bertiga ber-cakap2 dengan gembira itu, dia tak
mempunyai kesempatan untuk turut bicara. Dengan
mengkal dia berputar tubuh, terus lari kembali kearah biara.
Sekalipun didengarnya juga Bek Lian dan Yan-chiu segera
mengikuti dari belakang namun tak mau dia hiraukan.
Masuk keda-lam kamarnya, dia memakai baju luar lagi,
menyembat pedang yang bertutulan karat, terus keluar pula.
Karena sesak dengan nafsu kemarahan, dia segera enjot
tubuhnya berlari2 turun kesebelah bawah. Tiba2 hidungnya
tersampok dengan suatu bebauan yang wangi, ya begitu
wangi sekali bau itu. Maju beberapa tindak lagi, bau itu
makin keras. Setelah menikung pada sebuah batu karang,
dilihatnya ada seorang tua kate kira2 satu meter tingginya,
tengah menghadapi sebuah kuali besi. Mulutnya menggigit
sebatang tongkat kayu. Hawa wangi tadi, keluar dari kuali
tersebut.
Melihat itu, Tio Jiang terkejut. Buru2 dia bersembunyi
kedalam semak2 pohon. Pikirnya, 6 tahun sudah dia tinggal
digunung situ, tapi belum pernah suhunya mengatakan
kalau disekitar situ ditinggali oleh lain orang. Tinggi siorang
tua kate itu kira2nya hanya sebatas perutnya Tio Jiang,
kepalanya gundul, umbun2nya menonjol keatas, persis
seperti bintang Lo-siu-cee yang sering terdapat dalam
lukisan. Tapi jenggotnya, begitu panjang menjulai sampai
ketanah. Jubah yang dikenakannya, nampaknya bersih
sekali. Sepasang tangannya diletakkan dibelakang
punggung, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk
menggigit batang tongkat itu yang dibuatnya untuk
mengaduk kuali besi.
Tak berapa lama kemudian, bau wangi itu makin keras.
Se-konyong2 orang tua itu menyingkir setindak kebelakang.
Dari tanah dia memungut sehelai kain warna kelabu untuk
dibuat selimut dirinya. Kain selimut itu ternyata lubang
disebelah atas dan ini untuk tempat supaya kepalanya dapat
menonjol keluar. Kalau dia berteliku kaki, mungkin orang
akan mengira kalau sebuah batu adanya.
Tak tahu Tio Jiang spa yang sedang dilakukan oleh
orang tua aneh itu. Karena tak ada keperluan lain2 Tio
Jiang pun kepingin tahu sekali. Tapi sampai sekian saat dia
menunggu, walaupun sepasang mata siorang tua kate itu
tampak melotot, namun orangnya sih bagaikan tidur,
sedikitpun tak bergerak. Kini tak sabar lagi Tio Jiang
menunggunya. Hendak dia tinggalkan tempat
persembunyiannya untuk mencari lain tempat guna berlatih
pedang, tiba2 terdengar suara men-desis2. Seketika wajah
siorang tua berobah gembira sekali. Mata dan alisnya naik
turun berkedipan. Sikapnyapun lucu. Tio Jiang mendengar
juga suara desisan yang aneh itu. Sebagai anak kelahiran
gunung, tahulah dia hanya bangsa ular atau binatang
berbisa saja yang mengeluarkan suara begitu. Sewaktu
mengawasi dengan cermat, darahnya menjadi tersirap.
Gambar 3
.... Suara mendesis itu makin nyata dan pada saat lain dari
sela2 batu sana merayap keluar seekor ular yang tak seberapa
besar.
Kiranya dihadapan siorangtua kate ada sebuah goa kecil
macam terowongan. Dalam 4 musim, gunung Lo-hou-san
itu tetap sedang saja iklimnya. Banyak turun hujan,
sehingga penuh dengan belukar2 yang lebat. Tapi anehnya
disekitar goa kecil itu, tiada tumbuh suatu tanaman atau
belukar apapun juga. Dan keadaan karang disitu, ada yang
menonjol ada yang melekuk. Maka bila didalam goa kecil
itu tiada terdapat suatu binatang yang luar biasa atau ular
yang berbisa, tak mungkin sedemikian keadaannya. Jadi
terang siorang tua itu adalah seorang tukang tangkap
binatang berbisa. Dia tengah membuat perangkap kuali
yang mengeluar hawa wangi untuk menangkap suatu
binatano. Tio Jiang ternyata sifatnya saja yang jujur polos,
dan se-kali2 bukan seorang yang tolol. Pengiraannya itu,
90% benar.
Tak antara lama kemudian, desisan itu makin keras dan
kini berobah nadanya seperti bercicitan. Dan pada lain saat.
Muncullah seekor kepala ular dimulut goa kecil itu. Ular itu
tak sebrapa besar, hanya sebesar ibu jari tangan saja. Tapi
lidahnya yang menjulur keluar itu, panjang dan merah
warnanya. Selain kepalanyapun merah dan matanya hitam,
tubuh ular itu hijau seluruhnya. Hanya warna hijau itu,
persis seperti batang bambu yang tersiram air hujan, hijau
bening sedap dipandang.
---oo0dw0oo---
Melihat sang korban keluar, orang tua itu makin
menjublek diam. Siular dongakkan kepalanya mengawasi
kesekeliling, dan sembari lidahnya bercicitan, dia makin
merayap keluar sehingga hampir separoh tubuhnya sudah
berada diluar goa. Melihat bentuk dan warnanya, tahulah
Tio Jiang kalau ular itu adalah yang disebut ular „tiok yap
ceng” (daun bambu hijau). Tapi pada umumnya, tiok-yapceng
hanya sedepa panjangnya. Ini saja cukup untuk
menyembur mati seorang yang berada pada jarak 7 tindak
jauhnya. Tapi tiok-yap-ceng ini, hampir ada 3 depa (lebih
kurang 2 meter) menonjol keluar, tapi masih belum
kelihatan ekornya. Ah. Iuar luar biasa dan belum pernah
dilihatnya.
Bermula ular itu pe-lahan2 merayap keluar. Akhirnya
karena tak tahan mernbaui hawa wangi itu, terus saja
melesat keluar, dengan pesatnya menghampiri kuali.
Dengan gunakan ekornya untuk menahan dibawah, kepala
ular itu menjulang keatas terus dimasukkan kedalam kuali.
Sekonyong2 mata Tio Jiang disilaukan dengan suatu
bayangan melesat, ah, kiranya itulah siorang tua yang telah
ayunkan sang tubuh menerkam siular. Gerakannya tadi itu,
Laksana burung terbang pesatnya. Tapi ternyata binatang
itupun cukup waspada. Tahu akan gelagat jelek, dia
berpaling kebelakang terus menyurut sampai beberapa
tindak.
Tahu ada ular bisa menyurut kebelakang, Tio Jiang
sudah heran. Tapi serta tampak bagaimana gerakan siorang
tua itu lebih cepat dari siular, tanpa terasa dia
mengikutinya. Sekali kepala ular memagut, mulutnya
mengeluarkan hawa merah. Dua larik gigi yang beracun,
menggigit siorang tua. Hai, apa2an itu? Bukannya siorang
tua berusaha untuk menghindar, tapi sebaliknya diapun
pentang mulutnya lebar2, maju memapaki. Sampai disini,
mau tak mau terpaksa Tio Jiang tak dapat menahan
keheranannya. „Hai”......dia berseru!
Mendengar seruan itu, baik ular maupun siorang tua,
sama2 tertegun. Tapi menggunakan kesempatan detik
ketegunan itulah, siular terus memberosot mundur. Laksana
anak panah terlepas dari busurnya, si tiok-yap-ceng itu
segera meluncur masuk kedalam goanya.
Melihat korbannya lolos, marahlah siorang tua.
Jeuggotnya yang putih meletak itu ber-goyang2, maju
beberapa Iangkah kemuka, selimut kain dilontarkan, begitu
angkat sebelah kaki didupaknya kuali besi itu „grombyang
............. Kuali itu mencelat kearah tempat persembunyian
Tio Jiang. Men-deru2 suaranya, pesat jalannya. Kini tak
dapat Tio Jiang tetap bersembunyi ditempatnya lagi.
Sekalipun tadi siorang tua tak gusar, dia sendiri karena
merasa telah membuat kapiran usaha orang, juga akan
keluar untuk menghaturkan maaf. Demi sikuali melayang
tiba, dia segera melesat keluar.
„Bum!”, demikian kuali besi itu jatuh membentur batu,
isinya menumpah semua. Melihat isinya itu, hati Tio Jiang
bercekat. Kiranya bau wangi yang keluar dari kuali besi itu,
berasal dari ramuan binatang2 kecil dan kutu2. Ada yang
sudah hancur terebus, ada lagi yang masih berkutetan
meregang jiwa. Ngeri juga Tio Jiang melihatnya.
„Buyung, mengapa kau berani merusakkan urusan Samthay-
ya ini?” bentak siorang tua itu demi melihat Tio Jiang
munculkan diri. Ternyata biarpun tubuhnya kate, tapi
suaranya keras menggeledek.
Sewaktu menampak isi kuali yang tumpah itu, Tio Jiang
sudah mundur beberapa tindak. Tapi demi mendengar
suara geledek siorang tua itu, buru2 dia berpaling, dengan
hormat sekali dia memberi hormat: „Sam-thay-ya, aku tak
tahu sama sekali kalau kau tengah menangkap ular, jadi aku
kuatir jangan2 kau akan digigit binatang itu!”
Siorang tua yang menyebut dirinya sebagai Sam-thay-ya
(tuan besar ketiga) itu mengawasi sampai sekian lama pada
Tio Jiang. Kembali dia tampak merenung. Mata, alis,
hidung, mulut ya sampaipun daun telinganya, tampak
bergerak2 lucu benar kelihatannya. Tapi kali ini karena
sudah merasa salah, tak berani Tio Jiang tertawa. Beberapa
saat kemudian, orang tua itu menggeleng berkata: „Aneh,
aku tak kenal padamu seorang buyung itu, mengapa kau
ketahui namaku Sam-thay-ya?!”
Diam- Tio Jiang mendapat kesan bahwa orang tua itu
ternyata seorang yang sudah linglung pikirannya. Bukantah
tadi dia sendiri yang memberitahukan namanya, mengapa
lupa? Kalau Tio Jiang itu seorang yang licin, tentu dia akan
segera mengatakan ini itu. Tapi bagi Tio Jiang, putih tetap
putih, hitam tetap hitam. Tak dapat dia „berhias bibir”
menipu orang. „Kau sendiri tadi yang mengatakan,
menuduh aku merusakkan urusan Sam-thay-ya!” katanya
menurut apa adanya.
Mendengar itu, siorang tua menarik tangannya yang
digendong dipunggung tadi, terus menampar mukanya
sendiri. “Benar! Kau tak kenal pada Sam-thay-ya, Samthay-
ya juga tak kenal padamu. Dengan begitu tak boleh
menyebut persahabatan. Merusak urusan penting dari Samthay-
ya, seharusnya bagaimana? Buyung, coba kau katakan
sendirilah!”
Benar2 tingkah laku orang tua itu aneh lucu, nada
suaranyapun menggeledek membikin terkejut orang, namun
Tio Jiang mendapat kesan bahwa dia bukan seorang jahat.
Dia sendiripun tak tahu bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu, katanya: „Sam-thay-ya, akupun tak tahu
harus bagaimana, kau saja yang bilang!”
Mendengar itu siorang tua delikkan matanya pada Tio
Jiang. Tangannya kembali digendong dibelakang punggung,
lalu mondar mandir kian kemari. Sebelah tangannya tak
henti2nya masih menampari muka. Mata, telinga, mulut
serta hidung, sebentar dikerutkan sebentar dijulurkan.
Setelah berselang bebrapa saat, dia merandek dan berseru
dengan marahnya: „Buyung, berani kau memper-olok2
Sam-thay-ya?”
Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: „Ah, masakan
aku berani ?”
Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu
karang, dan hancurlah batu itu. Saking terkejutnya,
TioJiang tersentak jantungnya.
Batu gunung adalah benda yang keras, tapi cukup sekali
menepuk saja sudah dapat menghancurkan, dapat
dibayangkan betapa sakti pukulan siorang tua aneh itu.
Kalau tubuhnya sampai kena ditabok, huh ngeri awak
membayangkannya, demikian Tio Jiang berpikir. Dapatkah
suhunya berbuat demikian, entahlah, karena seIama ini
belum pernah dia melihatnya. Dia sendiri sudah helajar
sampai 6 tahun, dan turut kata suhunya, kemajuannya pesat
sekali. Tapi kalau disuruh menepuk hancur batu semacam
itu, aduh mak, minta ampun! Kalau sang pikiran tengah
dihujani oleh berbagai pertanyaan, adalah orangnya sendiri
masih menjublek disitu, ter-longong2 mengawasi siorang
tua.
„Kau masih mengatakan tak berani meng-olok2 Samthay-
ya? Suruh kau punya Sam-thay-ya berpikir sendiri?
Apakah ini bukan hendak meng-olok2 namanya? Siapakah
yang tak kenal Sam-thay-ya-mu ini seorang yang tahu
makan tak tahu berpikir?”
Gambar 4
Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: „Ah, masakan aku
berani ?" Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu
karang, dan hancurlah batu itu. Saking terkejutnya, Tio Jiang
tersentak jantungnya.
Karena makin mendengar siorang tua berkata makin tak
karuan, hati Tio Jiang seperti di-kili2. Kalau mau ketawa
nanti dikatakan kurang pantas, namun tidak ketawa
sesungguhnya tak dapat dia menahan gelombang tawanya.
Tapi saking seringnya, tanpa dapat ditahan lagi mulut
menghambur „huh huh", tertawa ter-kial2. Pada
permulaan, masih dapat Tio Jiang ketawa mendekap mulut,
tapi karena tubuhnya lama kelamaan turut ber-guncang2
tahu2 „trang", pedang yang diselipkan pada pinggangnya
membentur batu karang.
Bermula orang tua aneh itupun hanya mengawasi saja
pada Tio Jiang, tapi demi mendengar suatu benda
berkelotekan, dia terus berjingkrak dan ber-kaok2 dengan
keras: „Buyung! Kau bisa silat, bukan?"
Tadi ber-kata2 saja, suaranya sudah seperti geledek.
Kalau kini dia ber-kaok2, sudah tentu suaranya seperti
halilintar memecah bumi kerasnya. Saking dahsyatn ya,
dari arah gunung sana mengeluarkan kumandang yang
gemuruh, sehingga Tio Jiang bising dibuatnya, tak tahu dia
apa yang dikatakan orang tua itu. „Sam-thay-ya, harap
berkata sedikit pelan saja."
Siorang tua-aneh tertawa, ujarnya: „Kubertanya, kau
bisa ilmu silat tidak? Dengan membekal pedang, berani kau
mengatakan tak bisa silat?"
„Ya, bisa sedikit2, tapi jelek," sahut Tio Jiang.
Siorang tua aneh miringkan kepalanya berpikir,
kemudian kedengaran berseru: „Kau telah mengagetkan
ceng-ong-sin (ular tadi). Ini berarti aku harus buang waktu
selama dua bulan lagi untuk mengumpulkan kutu2, harus
menanti sampai ada kabut tebal lagi, dan harus naik turun
gunung pula. Kurang dari 3 bulan sungguh tak bisa."
Sembari berkata itu, jari tangannya tak henti-nya
ditekuk2, rupanya untuk menghitung. Pancainderanya pun
turut ber-gerak2. Dan menghitung sampai disitu, dia
mendongak lagi sembari berkata: „Buyung, dengarlah. Samthay-
ya karena teriakanmu tadi, harus buang waktu 3 bulan
lagi untuk menangkap si Ceng-sin-ong itu. Nah, begini saja.
Kau bisa main pedang, maka kau kuhukum supaya
memberi pelajaran 3 jurus ilmu pedang padaku. Kalau kau
menolak, ho, akan kulempar tubuhmu kesebelah gunung
sana !"
Tio Jiang menjawab dengan sangsi: „Sam-thay-ya, bukan
aku tak mau. Hanya saja ilmu pedang perguruan sebelum
mendapat idin suhu, mana bisa diajarkan pada lain orang?"
Biji mata, siorang tua berkeliaran bolak-balik, tanyanya :
„Siapakah suhumu itu?"
„Ceng Bo siangjin dari biara Cin-wan-kuan."
Kembali siorang tua miringkan kepalanya berpikir,
kemudian kedengaran ber-sungguh2 sendirian: „Ceng Bo
siangjin? Sam-thay-ya juga ber-tahun2 keliaran didunia
persilatan, Kwitang sampai ke Kwisay, tidak sedikit tokoh2
ternama yang kujumpai. Tapi mengapa belum pernah
kudengar nama Ceng Bo siangjin itu?
Habis ber-sungguh2 dia segera berseru: „Apa itu Ceng
Bo siangjin, Cut Cui hejin? Ilmu pedang cakar ayam dan
anjing remuk, tak sudi Sam-thay-ya belajar. Coba kau
unjukkan sejurus dulu kulihatnya !"
Tio Jiang tahu bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat
perguruannya, penuh dengan gaya yang indah. Kalau
hanya dipertunjukkan saja, rasanya tak mengapa.
Disamping itu ingin sekali dia lekas2 lolos dari situ, karena
hendak menjenguk bagaimana keadaan sang suci dan
sumoay tadi. Sekali pedang dikiblatkan, lengannya
mengibas, memapas keatas. Sementara itu kedua jari tangan
kiri, telunjuk dan tengah, ikut2 mengimbangi dengan gerak
yang rapi sekali.
Menampak gerakan jurus itu, tahu2 tubuh siorang tua
aneh melesat kebelakang sampai 3 tindak jauhnya. „Boan
thian kok hay", serunya.
Tio Jiang tak kurang terkejutnya. Begitu gerak pedang
ditarik, segera dia bertanya: „Sam-thay-ya, mengapa kau
mengetahuinya ?"
Tapi siorang tua aneh itu tak mau menyahut dan
melainkan berteriak lagi: „Hay-te-kau!" (biawak dari dasar
laut). „Apa?" menegas Tio Jiang.
„Kiang Siang-yan!" seru siorang tua pula.
Tio Jiang makin tak mengerti, berserulah dia keras2 :
„Apa katamu?"
„Wut" tiba2 siorang tua itu melesat maju, „wut2, sekonyong2
dia loncat undur sampai 3 tindak. Anehnya,
walaupun berloncatan maju mundur itu kedua kakinya tak
kelihatan bergoyang. Hanya tumitnya saja yang kelihatan
mempunyai daya membal seperti karet. Tio Jiang tahu
bahwa itulah kesaktian ilmu Iwekang yang disalurkan
kearah tumit, terus langsung menyentuh tanah, sehingga
dapat wat-wut wat-wut maju mundur. Dengan kepandaian
itu teranglah bahwa siorang tua aneh tersebut seorang
cianpwe (angkatan tua) yang lihay. Tapi heran, mengapa
selinglung begitu? Seraya berloncatan maju mundur itu,
berserulah siorang tua aneh itu: „Hay-tee-kau, Kiang
Siangyan, sepasang pedang yang mengadu biru didunia
persilatan, menjungkirkan sungai membalikkan laut selama
30 tahun. Buyung, kau pernah apa dengan Hay-tee-kau ?"
„Apa itu Hay-tee-kau?" sahut Tio Jiang dengan
keheranan, „selama 6 tahun diatas gunung, kecuali suhu,
suci dan sumoay, hanya ada seorang tojin (iman) tua yang
tuli dan gagu."
Sikate aneh tak percaya, ujarnya: „Kau berani
membohong pada Sam-thay-ya buyung? Kalau tidak kenal
Haytee-kau, mengapa kau bisa ilmu pedang to-hay-kiamhwat?
Hayo, jawablah!"
„Ilmu pedang itu suhu yang mengajarkan," sahut Tio
Jiang apa adanya.
”Siapa suhumu?"
Tio Jiang anggap orang tua itu agak 'setengah', segera dia
menyahut keras2 : „Suhuku adalah Ceng Bo siangjin, ya
Ceng Bo siangjin!"
Benar2 orang tua kate itu tak mengerti, comelnya: „Apa
itu 'siang siang'? Kumaksudkan Hay-tee-kau!"
Karena kewalahan, Tio Jiang tak mau bicara lagi.
„Pulang kasih tahu pada Hay-tee-kau, Sam-thay-ya amat
merinduinya. Kasih tahu lagi padanya, bukan Sam-thay-ya
takut menjumpainya, melainkan.... hm .....”
Kembali siorang itu miringkan kepalanya merenung,
sehingga saking getolnya, mulutnya hampir menempel sang
hidung. „Tidak menjumpainya, apa alasannya, kau bilang
Sam-thay-ya ini tak bisa mengutarakan. Ya, Sam-thay-ya
cuma bisa makan tak bisa berpikir!" Habis menyomel
panjanglebar itu, terus „sret, sret, sret", lari turun kebawah.
Kesemuanya itu berlangsung sebelum Tio Jiang dapat
menyangkanya.
---oo0dw0oo---
Seperginya siorang tua kate yang aneh itu, Tio Jiang
terpaksa harus memutari dulu lamping gunung, baru dia
berbasil mendapatkan jalanan naik keatas puncak. Tapi
ketika dia melihat kemuka, tampak disebelah atas sana ada
beberapa sosok bayangan tengah lari dengan pesatnya.
Sejak pada usia 12 tahun dia tinggal digunung situ, entah
berapa ratus kali dia naik turun gunung itu. Dan itu
memang merupakan latihan yang berharga, karena kini
Ilmunya berjalan tambah sempurna sekali. Dikala dia
memikirkan bahwa diatas gunung sana hanya ada suci dan
sumoayn ya, dia terkesiap dan sesalkan dirinya mengapa
sekehendaknya sendiri saja tinggalkan mereka. Juga
simahasiawa tadi, pun belum diketahui asal usulnya, lawan
atau kawan.
Tapi ketika pikirannya terlintas renungan bagaimana Bek
Lian telah begitu manis sikapnya terhadap simahasiswa tadi
hatinya entah karena apa, menjadi tawar. Tapi pada lain
saat rasa kuatir telah menguasai pikirannya. Sekali enjot
kakinya, secepat kilat dia lari se-keras2nya keatas gunung.
Tak antara lama, beberapa sosok bayangan yang
mendahuluinya tadi, segera tersusul. Kiranya mereka ada 6
orang. Ada setengahnya yang bertubuh tinggi besar,
membawa senjata. Tio Jiang makin gellsah buru2 kepingin
sampai dirumah. Dilihatnya diantara keenam orang itu ada
seorang paderi yang gemuk, memakai jubah warna hijau,
dadanya memakai kalung 108 biji liam-cu (mutiara).
Alisnya menjungkat keatas, matanya bersorot bengis. Yang
tiga orang bermuka brewok dan berd yenggot lebat.
Wajahnya hampir sama satu dengan lain. Agaknya mereka
bertiga saudara. Sementara yang dua orang lagi, adalah
kaum wanita. Yang satu umurnya antara 30-an tahun,
lainnya agak mudaan sekira umur 20 tahunan. Perempuan
yang tua umurnya itu membekal sebuah senjata rode,
sebelah dalam dan luar roda itu berbentuk runcing. Dari
warnanya yang ke-biru2an, terang kalau senjata itu terbuat
daripada baja murni. Sedang yang mudaan itu tampak
bermuram durja, tangannya mencekal sebatang senjata
macam tusuk ikan. Panjang senjata itu lebih tinggi dari
orangnya.
Gambar 5
Ketika mendadak melihat ada beberapa sosok bayangan orang
melesat kearah biara, cepat Tio Jiang menyusulnya. Ternyata satu
diantaranya adalah seorang Hwesio gemuk berjubah hljau.........
Tengah keenam orang itu mendaki keatas, tiba2
dirasainya ada angin meniup dari arah belakang, dibawakan
oleh seseorang yang tengah mengejarnya. Dengan terkejut,
mereka cepat menoleh kebelakang. Dan keheranan mereka
bertambah besar, ketika diketahuinya bahwa orang yang
mendatangi itu ternyata seorang anak muda yang
dandanannya seperti tukang angon sapi. Salah seorang dari
siberewok segera berkata: „Ah, Lo-hou-san ini sungguh2
suatu tempat persembunyian dari harimau dan naga, maka
tak heran kalau Ceng Bo siangjin memilih tempat ini untuk
mengasingkan diri!"
Mendengar itu buru2 Tio Jiang memberi hormat dan
bertanya: „Para eng-hiong (orang gagah) ini hendak
mencari suhuku perlu ada urusan apa?" Dalam bertanya itu,
hati Tio Jiang tetap curiga. Belum pernah ada orang luar
yang berkunjung kesitu, mengapa begitu suhunya pergi,
tahu2 ada sekian banyak orang asing mencarinya? Dengan
tabahnya, Tio Jiang mengawasi keenam orang itu satu per
satu. Dari wajah mereka yang bengis dan sikapnya yang
kasar, terang mereka itu bukan orang baik. Sampai2
siwanita yang tuwaan itu, wajahnyapun tak mengasih.
Hanya siwanita muda tadi wajahnya tampak bermuram
durja, kasihan tampaknya.
„O, kiranya engkoh kecil ini murid Ceng Bo siangjin,"
sahut si-hweshio gemuk, „apakah suhumu dirumah? Tolong
sampaikan padanya bahwa 4 orang she The, Ciook, Ma dan
Chi dari Lam-hay datang berkunjung!"
Mendengar itu, teringatlah Tio Jiang akan keterangan
simahasiswa, tanyanya: „Masih ada seorang she The
dandanannya sebagai seorang mahasiswa, apakah juga
kawanmu ?"
„Hai, kiranya The toako sudah mendahului kemari!"
serentak ketiga orang yang bermuka brewok itu berseru.
Sebaliknya si-hweshio itu hanya tertawa tawar saja dan
dengan sinis berkata: „Langkah kaki yang cepat, kalau
menyelamatkan jiwa kiranyapun tak nanti terlambat!"
Ketiga orang brewok itu delikkan mata kepada
sihweshio, agaknya akan cari setori. Tapi wanita yang
membekal roda-baja tadi segera melerai: „Apa kalian
hendak bikin onar? Belum bertemu dengan tuan rumah,
mengapa ribut2 dihadapan seorang siaupwee (angkatan
muda), apa2an itu!"
Sihweeshio dan ketiga orang brewok itu rupanya jeri
terhadap siwanita, nyatanya mereka lantas bungkam.
Hanya sigadis yang maju selangkah bertanya kepada Tio
Jiang: „Tolong tanya, mahasiswa she The itu sudah berapa
lama tiba kemari?"
Melihat orang begitu perhatikan sekali pada si The Go,
Tio Jiang mengawasi sipenanya. Didapatinya bahwa gadis
itu walaupun agak hitam kulitnya, namun manis juga.
sesaat muka Tio Jiang ke-merah2an karena dia merasa tak
patut melihati seorang gadis sampai sedemikian rupa, lalu
sahutnya: „Baru tadi pagi datangnya, mungkin dua jam
yang lalu!"
Sigadis hitam mendenguskan hidungnya. Ketika Tio
Jiang mengawasi kearahnya lagi, ternyata gadis itu berlinang2
air matanya. Dua butir air mata mengucur dari
kelopaknya. Rupanya gadis itu berdaya se-kuat2nya untuk
menahan sedu sedannya, maka ia segera kacupkan bibirnya
se-kencang2nya. Sudah tentu Tio Jiang menjadi heran. Tapi
karena baru saja berkenalan, tak layaklah kiranya untuk
menanyai keadaan orang. Pada lain saat berkatalah dia
dengan lantang: „Kemaren tengah hari, suhu telah
menerima surat dari seekor merpati pos. Ber-gegas2 beliau
turun gunung, entah bila akan kembali pulang. Adakah
saudara2 sekalian ini hendak beristirahat dulu kedalam
biara atau "
„Ciok jiso, dari siapakah surat burung merpati itu?"
pernyataan Tio Jiang telah diputus oleh sihweeshio yang
bertanya kepada siwanita tuaan tadi, siapa dengan nada
yang dingin menyahut: „Toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee!"
„Kalau begitu, kita terlambat sedikit ini?!" tanya
aihweeahio pula.
„Kita be-ramai2 naik kegunung sini. Setiba di Kwitang
tiada tunggu berjumpa dengan toa-ah-ko dari Thian-teehwee,
dia tentu akan sudah mengetahuinia. Kalau dia bisa
melihat gelagat bahwa kita, berempat keluarga ini tak boleh
dibuat main2, dia tentu ber-gegas2 pulang!"
Dengan mengiangkan seruan „oh" hweeshio tersebut
segera memuji: „Kau benar, Ciok jisoh!" Setelah itu dia lalu
berpaling kepada Tio Jiang: „Siauko (engkoh kecil),
sekalipun nanti malam kemungkinan besar suhumu belum
pulang, tapi rasanya besok pagi dia tentu sudah kembali.
Tak apalah kita bermalam dibiara Cing-wan-kuan sana,
harap siauko jalan dululah!"
Dari nada bicara sihweeshio gemuk itu, teranglah kalau
dia (Tio Jiang) dianggap sebagai tuan rumah. Tapi mengapa
tadi mereka sebut2 nama Thian-tee-hwee? Apakah mereka
itu musuh2 sang suhu? Kalau benar demikian, jumlah
mereka begitu banyak, terang fihaknya takkan dapat
melawan. Ah, biarlah dia pura2 tak tahu saja, nanti apabila
sudah sampai digunung hendak dia rundingkan dengan suci
dan sumoaynya, daya untuk mengundurkan mereka.
Dengan ketetapan itu, Tio Jiang terus ayunkan langkah
mendaki keatas. Tak berapa lama kemudian, biara Cinwankuan
sudah tertampak. Keenam orang asing itu tetap
mengikuti dibelakangnya.
Tapi baru kakinya sampai dimuka pintu biara atau
telinganya segera mendengar suara cekikikan dan terbahak2
dari Bek Lian, Yan-chiu dan The Go yang tengah
berkelakar dengan teramat gembiranya. Kening Tio Jiang
mengerut, dengan berseru keras2 dia menereaki: „Suci! Ada
6 orang tamu hendak mengunjungi suhu."
Bek Lian menyahut seraya muncul keluar. Saat itu Tio
Jiang tampak bagaimana wajah sucinya itu ber-seri2 girang,
mulutnya menyungging senyum gembira, suatu hal yang
belum pernah dilihatnya sejak dia berada disitu.
„Tetamu?" menegas Bek Lian dengan lebih dahulu
bergelak tawa.
Belum Tio Jiang menyahut, atau The Go dan Yan-chiu
sudah menyusul keluar. Begitu melihat akan keenam orang
itu, The Go ter-bahak2 menegur: „Ciok jiso, mengapa
kalian baru sekarang tiba?"
Yang dipanggil Ciok jiso itu diam saja. Tapi gadis hitam
manis yang berada dibelakangnya segera melangkah maju
mendekati The Go dan hendak mengucap suatu apa
kepadanya. Namun The Go pura2 tak melihatnya dan terus
bertanya kepada ketiga orang brewok tadi: „Sam-kiat (3
orang gagah) dari keluarga Chi juga ikut datang. Marilah,
kuperkenalkan kalian!"
Kalau The Go begitu ramah terhadap ketiga orang
brewok itu, sebaliknya dia tak ambil perhatian terhadap
sihweeshio gemuk. Rupanya hweeshio gemuk itu pun
sudah menduga kalau orang she Tio tersebut akan berlaku
demikian padanya. Dengan memasukkan tangan kedalam
jubah, dia tertawa dingin.
“Suko, siapakah orang2 ini ? Kawan atau lawankah?"
tanya Yan-chiu kepada Tio Jiang, siapa menyahut dengan
Gejujurnya saja: „Entah, akupun tak tahu, sedang suhu tak
berada dirumah, sungguh repot nih !"
Meskipun tanya jawab itu dilakukan dengan suara
pelahan, namun tak urung dapat didengar juga oleh The
Go, siapa dengan senyum tawanya menerangkan kepada
Yan chiu: „Dik Yan-chiu, usah kuatir, orang2 ini adalah
sahabatku semua."
“Setan", demikian diam2 Tio Jiang memaki orang she
The. Masa dalam waktu sesingkat itu, sudah begitu akrab
dengan suci dan sumoaynya. Tapi walaupun hatinya
mendongkol, namun mulut Tio Jiang tidak dapat mengucap
apa2. Dan karena itu, diapun lalu tak mau mengomong
lagi. Oleh sebab Bek Lian dan Yan-chiu adalah gadis2, jadi
tak enak kiranya untuk mengawani bicara keenam orang
yang belum dikenalnya itu. Maka dengan sendirinya, The
Go wakilkan dirinya sebagai tuan rumah untuk
memperkenalkan rnereka.
Kini baru Tio Jiang tahu bahwa hweshio gemuk itu
bergelar Ti Gong hweshio. Asalnya orang she Ma. Ketiga
orang brewok itu dari keluarga she Chi, masing2 bernama
Chi Beng, Chi Kwi dan Chi Sim. Wanita setengah tua tadi
bernama Ciok Ji-so. Sedang sigadis hitam mania itu
bernama Ciok SiaU-lan. Samar2 Tid Jiang teringat akan
kata2 suhunya, bahwa di Lam-hay (laut selatan) ada
gerombolan bajak laut terdiri dari empat keluarga: The,
Ciok, Ma dan Chi. Mereka mengganas penumpang2 kapal.
Setiap orang, mempunyai ratusan anak buah. Mereka
masing2 mempunyai kepandaian istimewa sendiri2. Sang
suhu memesan, kelak kalau sudah turun gunung, lebih baik
jangan kesamplokan dengan mereka.
Karena keempat orang itu menganggap dirinya sebagai
raja dilautan, maka merekapun tak mau mengindahkan lagi
apa yang disebut sebagai „tata kesusilaan dunia persilatan".
Sekali terikat permusuhan dengan mereka, sudah tentu
banyak bahayanya, karena jumlah mereka banyak sekali.
Adakah ketujuh tetamunya itu termasuk The Go dan kedua
wanita itu benar2 gerombolan bajak laut ganas itu? Kalau
benar, mengapa mereka mencari suhunya? Demikian Tio
Jiang me-nimang2 dalam hatinya.
Tapi orang telah mengunjungi dengan sikap yang
hormat, sekalipun mereka mengandung maksud jahat, tapi
karena belum jelas diketahui, maka tak pantaslah kiranya
untuk bersikap memusuhi. Karena itu, Tio Jiang segera
persilahkan ketujuh tetamunya itu masuk kedalam. Tapi
setelah sama berdudukan, lagi2 Tio Jiang tak dapat
memulaikan pembicaraan. Oleh sebab memang sifatnya
yang pemaluan dan jujur, apalagi dihadapan sekian banyak
orang, Tio Jiang makin tak dapat ber-kata2.
Bek Lian juga hanya tundukkan kepalanya memainkan
ujung bajunya. Sedang orang she The itu tak henti2nya
mengawasi padanya. Sebaliknya sigadis hitam manis itupun
tak putus2nya memandang pada The Go. Dengan begitu
suasana dalam ruang biara situ, menjadi hening lelap. Tiba2
terdengar derap langkah orang mendatangi. Ah, kiranya
yang datang itu seorang bongkok. Wajah sibongkok itu
kotor, matanya merah dan suram. Melihat siapa yang
datang, Tio Jiang segera memberi isyarat dengan gerakan
tangan, maksudnya menyuruh sibongkok lekas
menghidangkan minuman teh pada tetamu2nya. Tapi
begitu sihweshio gemuk menampak sibongkok itu, alisnya
segera menjungkat, serentak dia terus berbangkit !
---oo0dw0oo---
BAGIAN 2 : CENG BO SIANGJIN
Melihat kelakuan yang aneh dari sihweshio gemuk itu,
semua orang menjadi heran. Mata sihweshio itu ber-api2
mengawasi tanpa berkesiap kepada sibongkok. Tapi
sibongkok itu acuh tak acuh, seperti tidak kejadian apa2,
membalas isyarat tangan, lalu pergi dengan pe-lahan2.
Setelah mengantarkan bayangan sibongkok sampai lenyap,
barulah sihweshio itu bertanya kepada Tio Jiang: „Maaf,
siauko, siapakah sibongkok tadi?"
„Dia adalah imam pelayan dari biara ini. Seorang yang
tuli dan gagu. Sejak aku datang kemari, dia sudah disini.
Tadi karena kupanggil dia membuatkan teh untuk tetamu,
baru dia masuk keruangan ini," sahut Tio Jiang.
Sihweshio kedengaran ber-sungut2 tak jelas suaranya.
Setelah sekian saat berdiam diri, The Go tertawa bertanya:
„Mengapa mendadak toasuhu tanyakan hal itu?"
Karena sihweshio tengah merenung, tanpa hiraukan
siapa yang bertanya itu, dia segera menyahut dengan
semaunya saja: „Jangan turut campur !"
Serentak The Go berbangkit. Sembari kibaskan lengan
bajunya, dia menegas dengan sinisnya: „Toasuhu, apa
katamu tadi?" Sepasang matanya yang ber-api2 me-mancar2
kearah Ti Gong hweshio. Rupanya Ti Gong terkesiap atas
kegarangan simahasiswa, mulutnya ber-gerak2 tapi tak
dapat mengucapkan sesuatu. Chi Sim, itu salah seorang dari
orang yang bermuka brewok, karena tak akur dengan
sihweshio, buru2 menambahi minyak: „The toako, tadi
diapun mengatakan bahwa kau cepat kaki, cepat pula
menyelamatkan jiwa!"
“Ha, ha!" The Go dongakkan kepala lalu menegas
dengan keras: „Apa?" Begitu nyaring dan tangkas bentakan
itu sehingga membuat semua orang tersentak kaget. Yanchiu
membelalakkan matanya, heran atas tingkah laku
tetamu2nya itu. Dihadapan sekian banyak orang, sudah
tentu Ti Gong tak mau mundur, sahutnya dengan tak
kurang garang: „Ya, lalu bagaimana.?" Diapun segera
berbangkit. Dari sikapnya berdiri, terang dia seperti tengah
menghadapi. musuh besar. Kedua kakinya tegak dengan
kokohnya, tangannyapun tak bergerak, hanya jubahnya
yang kelihatan berguncangan. Melihat dia berdiri, The Go
segera menghampiri. Ini membuat Ti Gong menjadi tegang.
Bek Lian diam2 kuatirkan The Go. Dalam percakapan
tadi, walaupun semuda itu usianya, ternyata The Go bukan
saja cakap wajahnya, pun juga cakap dalam segala
pengetahuan. Hanya dalam ilmu silat orang itu agak
merendah. Dari sikapnya terang kalau orang muda itu
hendak cari setori dengan sihweshio yang telah
memperolokann ya itu. Dibanding dengan dia, hweshio itu
seorang yang bertubuh gemuk besar, jadi kalau berkelahi
terang bukan tandingannya. Memikir sampai disini Bek
Lian jengah sendiri. Mengapa ia begitu menaruh perhatian
atas diri The Go? Namun tak tahu dia mencari jawaban dari
pertanyaan dalam hatinya itu. Yang menguasai pikirannya
pada saat itu ialah, hendak dia nantikan dulu
perkembangannya, kalau ternyata nanti The Go mengalami
kerugian, ia akan turun tangan membantunya.
Bahwa sekalipun sedang sibuk menyambut sekian
banyak tamu, namun perhatian Tio Jiang tak pernah lepas
kepada Bek Lian, sucinya itu. Demi tampak bagaimana
pandangan mata dari sang suci itu tertumpah dengan penuh
arti kepada The Go, diam2 Tio Jiang mendongkol. Dia
harap hweshio itu dapat memberi hajaran yang setimpal
pada si The Go itu.
Lain2 anggauta dari rombongan tetamu, tampak The Go
tengah pe-lahan2 menghampiri Ti Gong, pun tak berdaya
untuk mencegahnya. Ciok Jiso melengos, pura2 seperti tak
melihat. Ketiga persaudaraan Chi, tegang wajahnya. Hanya
Ciok Siau-lan yang mengawasi dengan sorot mata yang
mengandung seribu arti kepada The Go. Begitu maju 3
tindak kemuka, orang she The itu segera berhenti, lalu
tenang2 berkata: „Aku yang rendah ini kepingin melihat,
adalah toasuhu ini bisa cepat tidak menyelamatkan jiwa?"
Kata2 itu ditutup dengan mengibaskan lengan kanannya.
Berbareng dengan deru samberan angin lengan baju itti.
tinjunya melayang kemuka. Cepat dan seru hantaman itu
datangnya, sehingga diluar dugaan orang2. Juga pukulan
itu luar biasa dahsyatnya. Tapi ternyata Ti Gong sudah siap
sedia. Begitu The Go melancarkan pukulannya, sebat sekali
dia menghindarkan mundur. „krak...." karena sihweshio
sudah menyingkir kedekat pintu, maka kursi yang
didudukinya tadi menjadi sasaran pukulan The Go, hingga
sungsal sumbal. Dengan sabar The Go menarik tangannya
lalu tersenyum berkata: „Oho, kiranya toasuhu juga tangkas
sekali menyelamatkan jiwa!" Dan sehabis berkata itu,
dengan gaya tindakan seorang pelajar, dia kembali
ketempat duduknya semula. Sewaktu lalu dihadapan Bek
Lian, dia unjuk senyuman.
Makin kagum dan mengindahkanlah Bek Lian kepada
orang muda itu, yang ternyata mempunyai kepandaian
yang sedemikian hebatnya. Dengan menyungging sarinya
madu, dia balas bersenyum. Melihat itu Tio Jiang makin
mendedek hatinya. Tanpa dapat dikendalikan.lagi dia
segera ikut menimbrung berseru: „The .... The..... toako,
kalau hendak berkelahi, mengapa tak berkelahi diluar saja?
Tuan rumah dari biara ini sedang tidak dirumah, mengapa
kau berani merusakkan alat2 perabot disini?"
Mengetahui sang sute merah padam mukanya, tahulah
Bek Lian bahwa sute itu tak senang kalau ia, terlalu rapat
pada The Go. Ia, lebih tua setahun dari Tio Jiang. Pada
umumnya, anak perempuan lebih dahulu masak pikirannya
dari anak lelaki. Rasa kasih Tio Jiang yang ditujukan
kepadanya itu, bukan ia tak mengetahuinya. Tapi karena ia
merasa 3 hal yang terutama," „rupa, kepandaian ilmu silat
dan ilmu surat", mana ia dapat menyambut kasih seorang
macam Tio Jiang itu? Dalam perkenalan yang singkat
dengan The Go yang orangnya cakap, pandai ilmu surat
dan tinggi ilmunya silat, diam2 bersemilah bibit asmara
dalam hatinya. Maka atas ucapan sang sute tadi, buru2 ia
membentak: „Sute, terhadap tetamu mengapa kau berlaku
begitu?"
Sebaliknya The Go segera berpaling kearah Tio Jiang,
serunya: „Sedari tadi, engkoh ini selalu mencekal
pedangnya saja. Telah lama kudengar.ilmu pedang Ceng Bo
siangjin itu sangat menjagoi, sukakah kiranya memberi
sedikit pelajaran padaku?"
Tak sangka Tio Jiang kalau orang she The itu sedemikian
sombongnya. Memang sejak tadi dia tak menyukai gerakgerik
orang itu. Sebagai seorang jujur yang tak bisa
mendendam, serentak berbangkitlah Tio Jiang: „Kalau The
toako ingin aku mempertundukkan permainan yang jelek,
akupun tak berani membantahnya." Dengan berkata itu, dia
terus melangkah keluar.
The Go ganda bersenyum. Dari atas mejanya dia
memungut kipasnya, terus dibukanya. Sepasang matanya
sebaliknya dari melihat Tio Jiang, mengawasi terus kepada
Bek Lian. Maksudnya dia hendak melihat bagaimana
perobahan Bek Lian. Sijelita ini memangnya tak
mempunyai rasa apa2 terhadap Tio Jiang. Tapi sebagai
kakak seperguruan, diapun tak ingin melihat sutenya
dicelakai lain orang. Tadi demi diketahuinya bagaimana
sekali pukul The Go telah dapat menghancurkan kursi
sihweshio, ia yakin kalau Tio Jiang tentu bukan
tandingannya. „Sute, jangan berlaku kurang adat!" katanya
kemudian.
Sekalipun masih penasaran, namun karena Bek Lian
yang melarang, Tio Jiang terpaksa menurut. Memang
terhadap sang suci itu, Tio Jiang tak pernah berani
membantahnya. Selagi dia hendak kembali ketempat
duduknya, sibongkok dengan membawa senampan teh
masuk keruangan situ.
Setelah menyingkir dari hantaman The Go tadi,
sihweeshio gemuk mengambil tempat duduk pada sebuah
kursi dipinggir pintu. Begitu nampak dibongkok, kembali
dia menjadi beringas dan menatapnya dengan tajam2. Tapi
tetap sibongkok itu tak menghiraukannya. Dia ambil
cawan2 teh itu untuk dihidangkan pada tetamu. Ketika
berada disebelah Tio Jiang, tiba2 anak itu mendapatkan
bahwa kawannya bongkok itu mengicup-ngicapkan mata
kepadanya, sikapnya agak aneh.
Selama 6 tahun berada digunung situ, belum pernah Tio
Jiang mendapatkan sibongkok berlaku begitu aneh. Dalam
kagetnya, hampir2 cawan yang tengah dipegangi Tio Jiang
itu terlepas dari tangannya. Sebaliknya dengan tenangnya,
sibongkok berlalu untuk mengantarkan teh pada Ti Gong.
Setelah menaruhkan cawan dimeja sihweeshio, sibongkok
terus hendak berlalu dengan membawa menampannya.
Tapi tiba2 Ti Gong menggerung keras. Sekali kakin ya
diangkat dia tendang penampan itu hingga terbang keatas,
seraya membentak: „Thocu (bongkok)! Kiranya kau
bersembunyi disini. Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba",
berjerih payah mencari tak berhasil, ternyata tanpa
disengaja bisa ketemu!"
Kejadian itu menjadikan paniknya suasana. Tiada
seorangpun yang tahu apa sebabnya sihweeshio berlaku
begitu. Semua orang segera berbangkit dari tempat
duduknya. Begitu penampan ditangan kena ditendang
keatas, sibongkokpun nampak ter-huyung2 kebelakang
sampai beberapa tindak. Wajahnya mengunjuk kecemasan.
Malah pada saat itu, Ti Gong segera akan menyusuli
dengan sebuah hantaman dan sibongkok yang nampaknya
tak bisa ilmu silat, diam saja tak mau menyingkir.
Tio Jiang tak dapat bersabar lagi. Begitu tinggalkan
tempat duduk, tanpa berkata ba atau bu, dia segera serang
Ti Gong dengan jurus „ceng wi thian hay", salah satu dari
jurus ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Kepala sihweeshio
tampak ber-goyang2 dan kalung tasbih yang terkulai
dilehernya itu tiba2 ber-goyang2, merupakan sebuah
lingkaran bundar. Dan ini ternyata dapat menangkis
serangan pedang Tio Jiang.
Gambar 6
Tanpa bicara lagi segera Tio Jiang segera serang Ti Gong
Hwesio gemuk itu. Diluar dugaan kalung tasbih Ti Gong Hwesio
menjungkat dan tepat membentur ujung pedang Tio Jiang.
Tio Jiang terkesiap. Masa tanpa menggerakkan tangan,
orang telah dapat menangkis serangannya dengan hanya
cukup meng-goyang2kan kepalanya saja. Tapi dia benci
akan kelakuan sihweshio yang hendak menganiaya
kawannya tadi. Tanpa banyak cingcong, dia segera susuli
lagi dengan jurus „hay siang tiau go". Jurus ini walaupun
baru saja dipelajarinya, tapi karena merupakan salah satu
jurus dari to-hay-kiam-hwat, sudah tentu gayanya lain dari
yang lain. Begitu ujung pedangnya bergerak, diam2 Tio
Jiang menghapalkan kunci rahasia dari ilmu pedang itu:
„dalam 49 gerakan, memikat lawan kedalam kait". Ini
diambilkan dari dasar nama gerakan itu yang disebut 'hay
siang tiau go' diatas laut mengail ikan besar. Dan
memangnya jurus itu terdiri dari 49 gerakan.
Karena dengan gerakan leher saja tadi telah dapat
menghalau serangan orang, maka Ti Gong tak memandang
mata pada sianak muda yang dianggapnya hanya begitu
saja ilmu kepandaiannya. Tapi segera kesombongannya itu
berobah menjadi suatu keluhan hebat, ketika menghadapi
serangan yang kedua dari Tio Jiang. Bukan saja gayanya
jauh berlainan dari serangan pertama tadi, pun tahu2
dihadapannya seperti terkurung dengan ratusan sinar
pedang yang me-magut2 seru, sehingga menyebabkan
matanya ber-kunang2 dan kewalahan untuk menghindar.
Dengan ter-birit2 dia lekas2 menyingkir kesamping.
Tapi sedikitpun sihweeshio itu tak menyangka bahwa
sesuai dengan namanya „hay siang tiau go", ilmu pedang
itu betul2 seperti memikat orang supaya kena digait. Ke 49
sinar pedang itu, ternyata serangan kosong. Begitu Ti Gong
menyingkir dan hendak dongakkan kepalanya untuk
gerakkan kalung tasbihnya, pedang Tio Jiang telah
mengikutinya kesamping, „sret" terus menusuk kemuka.
Kala itu kaki Ti Gong belum dapat berdiri jejak ditanah,
maka mana dia bisa menghadapi serangan kilat itu? Namun
hweeshio itu cukup lihay juga, begitu sang tumit dienjot, dia
melambung keatas.
Sewaktu serangannya menemui sasaran kosong, karena
ilmunya pelajaran masih belum sempurna, buru2 Tio Jiang
tarik balik pedangnya. Sebaliknya karena tak mengetahui
kelemahan lawan, sewaktu diatas udara dengan gerak „lee
hi bak thing" ikan leehi berd yumpalitan, Ti Gong lont yat
kebelakang sampai beberapa langkah. Karena tempat
duduknya itu dekat pintu, maka dengan loncatan itu tubuh
Ti Gongpun sudah berada diluar ruangan. Sesaat itu tak
berani Ti Gong masuk kedalam.
Tio Jiang tak ambil peduli akan sihweeshio, terus dia
mengangkat bangun sibongkok. Sejak dia belajar silat
digunung tersebut, walaupun suhunya amat
menyayanginya, tapi diwaktu memberikan pelajaran dia
bersikap bengis. Maka dalam kebatinan Tio Jiang, hanya
tergores rasa hormat dan jeri pada suhunya itu. Sebaliknya
dengan sibongkok yang tuli dan gagu itu, Tio Jiang
bersahabat karib sekali. Sibongkok itupun bisa beberapa
macam permainan, misalnya memanjat puhun tangkap
burung, membuat perangkap untuk menjebak binatang buas
dan sebagainya. Karena belum dapat melepaskan sifatnya
kanak2, sudah tentu Tio Jiang amat menyukai permainan
itu. Sekalipun sibongkok itu tak dapat berbicara, tapi
dengan gerak isyarat tangan, dapat juga dia diajak sambung
bicara. Begitulah selama 6 tahun, keduanya menjadi
sahabat yang akrab sekali. Sudah tentu tadi Tio Jiang tak
ijinkan orang menganiaya sahabatnya itu. Dalam dua
gebrak saja ternyata dia dapat mengundurkan Ti Gong.
Kecuali terhadap The Go, Bek Lian tak menyukai
tetamu2nya itu. Terutama terhadap sigadis hitam yang
bernama Ciok Siau-lan itu, siapa terus menerus mengawasi
sembarang tingkah laku The Go saja. Hal mana telah
membuat Bek Lian heran dan sirik. Tadi sewaktu
sihweeshio hendak memukul sibongkok, iapun gusar sekali.
Kalau menuruti perangainya, tentu siang2 ia sudah turun
tangan. Tapi entah karena apa, hari itu ia harus berlaku
istimewa susilanya dihadapan simahasiswa itu. Tak mau ia
sampai dicacat dalam pandangan anak muda itu. Maka tadi
demi sang sutee turun tangan, iapun tak mau mencegahnya.
Mungkin diantara ketiga saudara seperguruan itu, adalah
Yan-chiu yang paling merasa erat hubungannya dengan
sibongkok. Tadi iapun sudah serentak berbangkit, tapi
sudah kedahuluan sukonya. Begitu Tio Jiang sudah dapat
menghalau sihweeshio, berserulah nona centil itu: „Suko,
jangan ijinkan hweeshio biadab itu masuk. Masa mertamu
begitu kurang ajar, apa2an itu!" Dara itu ternyata tangkas
orangnya, tajam mulutnya. Dia pandai menyindir orang.
Bagian yang terakhir dari dampratannya itu, sebenarnya
ditujukan pada rombongan tetamu lainnya. Dan setelah
puas mendamprat, ia tertawa sendiri.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Setelah mengangkat bangun sibongkok, Tio Jiang masih
mengawasi sihweeshio itu dengan gusarnya. Ti Gong
ternyata sedang berpikir keras. Baik masuk atau tetap diluar
saja. Kalau tetap diluar, rasanya dia akan kehilangan muka.
Namun kalau masuk, tentu akan terjadi onar dan ini berarti
akan membikin kapiran urusan besar kedatangannya disitu.
Selagi dia mondar mandir dalam kesangsian itu, tiba2 dari
arah belakang terdengar orang berkata: „Aha, hweeshio
yang telah menjadi pembesar tentara, benar2 cepat kaki.
Mengapa tak mau masuk saja?"
Dengan terkejut Ti Gong berpaling kebelakang dan
dapatkan disana kelihatan ada 3 sosok bayangan tengah
mendatangi. Hendak dia tegur mereka itu, atau salah
seorang dari mereka goyangkan lengan bajunya. Sebuah
samberan angin yang kuat menyampok datang. Astaga,
kakinya serasa digempur dan ter-huyung2lah Ti Gong
beberapa tindak hingga kini dia terdorong masuk lagi
kedalam ruangan. Mengira kalau hweeshio itu hendak
membalas, Tio Jiang lepaskan sibongkok terus menyerang
dengan pedangnya. Tapi segera diapun mengetahui bahwa
diluar pintu sana tampak ada 3 sosok bayangan ber-gegas2
masuk. Salah seorang dari mereka ternyata adalah suhunya
sendiri, Ceng Bo siangjin.
Melihat kedatangan siangjin, Bek Lian dan Yan-chu
tersipu2 berbangkit. Ceng Bo siangjin mengangguk sedikit.
Dengan wajah keren, dia tegak berdiri sembari merangkap
kedua tangannya. Kiranya siangjin itu seorang tosu (imam
setengah tua), mengenakan jubah dan topi keagamaan.
Wajahnya terang berseri, sikapnya agung berwibawa,
sehingga orang terpaksa tak berani berlaku sembarangan
dihadapannya. Dibelakang siangjin itu terdapat dua orang
yang masing2 berpakaian aneh. Mereka mengenakan kain
kepala pahlawan, yakni yang sebelah warnanya hitam yang
sebelah warnanya putih. Bajunya hitam, celananya putih,
begitu juga sepatunya pun hitam putih. Yang tepat berada
dibelakang Ceng Bo siangjin, usianya hampir sebaya
dengan tosu itu. Sedang kawannya yang dibelakang sendiri,
agak mudaan, tapi wajahnya sangat keren, tidak seperti
kawannya yang lebih tua tadi siapa berwajah riang
peramah.
Rombongan tetamu yang berada dalam ruangan itu,
walaupun belum pernah mengenal Ceng Bo siangjin,
namun dari sikapnya tahulah mereka kalau tosu itulah tuan
rumahnya. Merekapun segera berbangkit. Malah The Go
sembari menutup kipasnya terus hendak membuka mulut,
tapi orang berpakaian aneh yang agak tuaan umurnya tadi,
tiba2 tampil kemuka mengawasi sampai beberapa jenak
pada The Go. Kata2 yang sudah siap hendak diucapkan
The Go tadi, terpaksa dibatalkan. Semua hadirin pun tak
mengerti sikap orang aneh tadi, siapa pada lain saat
kedengaran berseru: ,,Bagus, Cian-bin Long-kun (anak
muda seribu wajah) yang telah menjadi cong-peng-kuan
(pembesar militer) juga berada disini!"
Sehabis berkata begitu, orang itu mengalihkan
pandangannya kearah Ciok Jiso, ujarnya: „Bagus juga,
Ciok Jiso, sam-kiat (3 orang gagah) keluarga Chi yang
menjadi pembesar2 militer, juga berkumpul disini!"
Gambar 7
„Bagus, bagus, kiranya Cian-bin Long-kun yang sudah
menjabat Cong-peng-kuan juga berada disini:
" Tiba2 kawan Ceng Bo Siangjin yang agak tuaan Itu menegur
The Go.
Kecuali Tio Jiang, Bek Lian dan Yan-chiu yang tak tau
apa artinya semua2nya itu, rombongan tetamu cukup
menginsyafi ucapan siorang yang berpakaian aneh itu.
Seketika itu The Go lalu membentang kipasnya, sembari dikipas2kan
dia tertawa berkata: „Ah, kiranya yang datang ini
adalah Ki lotoa. Benar, aku yang rendah ini memang telah
menjadi pembesar militer kerajaan. Apabila Ki lotoa
berkenan menerima panggilan kerajaan, kurasa akan
mendapat kedudukan lebih dari congpeng!"
Orang yang disebut Ki lotoa itu, tertawa dingin. Sedang
Ceng Bo siangjin dengan perasaan heran, berkata dengan
lelahnya: „Tuan2 ini adalah pembesar2 kerajaan. Pinto
(bahasa yang digunakan oleh seorang imam bila
membahasakan dirinya) adalah rahayat gunung. Entah
tuan2 datang kemari ini hendak mempunyai keperluan apa
saja, harap lekas mengatakan!"
Ucapan Ceng Bo siangjin itu mengandung suatu paksaan
kepada sang tetamu, ini cukup diketahui oleh semua orang.
Bek Lian yang tak mengetahui asal usul romhongan tetamu
itu, merasa heran atas sikap sang ayah. Karena biasanya
orang tua itu senantiasa membawa sikap yang sabar
peramah, masa kali ini begitu keras tak sabaran.
Diluar dugaan, The Go dengan tenangnya menyuruh
kawan2nya duduk pula. „Harap saudara2 duduk dulu, kita
bicara dengan tenang." Dan setelah semuanya duduk
kembali, dengan tertawa The Go menjurah kepada Ceng Bo
siangjin, katanya: „Aku yang rendah Cian-bin long-kun The
Go, dan ini adalah Ciok Jiso yang dijuluki orang sebagai
'Kim kong song lun', sedang yang ini......", dalam berkata
itu tangannya menunjuk kearah ketiga persaudaraan Chi.
Tapi orang berpakaian aneh yang mudaan yang selama tadi
masih tutup mulut saja, kini tiba2 menyela dengan bengis:
„Tak usah diperkenalkan, itu sam-kiat dari keluarga Chi, itu
Ti Gong hweeshio bekas orang she Ma. The, Ciok, Ma,
Chi, adalah golongan2 rendah dalam dunia persilatan. Kini
menjadi pembesar kerajaan, hem, apa2an itu!"
Ketiga persaudaraan Chi dan Ciok Jiso merah
mendengarnya. Kim-kong-lun atau senjata roda baja
ditangan wanita itu, sudah terus hendak diayunkan, tapi
dengan tetap menyungging senyum The Go memberi
isyarat tangan kepada kedua kawannya itu. Anehnya
walaupun orang she The itu masih muda usianya, namun
mempunyai wibawa juga. Semua kawan2nya tak berani
membangkang.
The Go masih ter-senyum2, sembari ber-kipas2 berkata
kepada orang tadi: „Hari ini sungguh beruntung sekali
dapat dapat berjumpa dengan Ki lotoa dan Kiau loji dari
Thian-te-hwe! Dari lagu ucapan Kiau loji tadi, apakah
bukannya sudah berhamba puda Siau Ging?"
Siau Ging adalah kota kerajaan dari baginda Ing-bing-
Ong dari ahala Beng didaerah selatan yang sekarang ini.
Orang yang disebut Kiau loji itu kedengaran mengelah
napas, katanya: „Ah, sungguh tak tahu mati! Induk pasukan
Ceng sudah tiba diperbatasan Hokkian, sembarang saat
akan sudah masuk ke Tiau-yang. Sebaliknya, kita orang2
Han, dalam wilayah yang sesempit ini, masih main
mendirikan dua orang kaisar dan main gasak2an sendiri.
Bukankah ini berarti tak tahu mati namanya? Ki toako,
patriot macam kau dan aku ini, apakah tidak merasa sedih
berkumpul dengan orang2 macam begini !”
„Ha, ha..." demikian orang yang lebih tua yakni yang
dipanggil Ki toako (ketua Ki) itu tertawa, „Kiau jite, benar
katamu ini! Baru saja masuk tadi, hidungku telah mencium
bau yang busuk, namun tak kukira kalau berasal dari
orang2 ini.”
Riang gembira kedua orang itu bertanya jawab dan
memaki sembari tertawa-tawa, se-olah2 menganggap sepi
akan sekalian tetamu itu. The Go tetap masih tersenyum,
Ceng Bo siangjin memandang keatas, seperti tak
menghiraukan apa2. Sebaliknya ketiga saudara Chi tadi tak
kuat lagi menahan-nahan napasnya. Serempak mereka
berseru dengan gusarnya: „Awas, kalau berani ngoceh tak
keruan lagi !"
Kiau loji atau yang sebenarnya bernama Kiau To,
secepat kilat menoleh. Entah bagaimana dia bergerak tadi,
tapi tahu2 orangnya sudah melesat kehadapan ketiga
saudara Chi. Dalam penglihatan ketiga saudara Chi, pada
saat itu dihadapannya berkelebat sesosok bayangan warna
putih hitam. Hendak mereka berbangkit mencabut
senjatanya, tapi tiba2 kedengaran suara „plak, plak, plak",
dan Kiau To tampak duduk kembali ketempat duduknya
semula. Aha, kiranya ketiga saudara Chi itu mukanya
masing2 telah mendapat persen sebuah tamparan.
“Kiau jite, mengapa kau tak sayang tanganmu kotor?
Mengapa tak lekas2 keluar cuci sana?" seru Ki lotoa.
Kejadian itu telah membuat Tio Jiang dan kawan2
terperanjat. Pertama atas ketangkasan Kiau To dan kedua
karena nyata2 kedua orang berpakaian aneh itu tak
memandang sama sekali pada rombongan The Go. Tapi
mengapa suhunya tinggal diam saja? Apakah memang
benar rombongan tetamu itu orang2 yang rendah?
Demikian Tio Jiang, Bek Lian dan Yan-chiu saling
mengawasi satu sama lain. Bek Lian alihkan pandangannya
kearah The Go. Dilihatnya anak muda itu masih tetap
tenang2 saja, hal mana telah menimbulkan rasa kagum atas
peribadi orang. Tapi mana Bek Lian tahu sebabnya The Go
digelari „Cian bin long kun" atau siorang muda seribu
muka? Yang diketahui oleh gadis jelita itu, hanialah kedua
orang yang datang bersama ayahnya itu, telah berlaku
kurang hormat kepada The Go dan kawan2, dan untuk itu
symphatinya tercurah pada siorang muda. Segera ia
menghampiri kedekat sang ayah lalu katanya dengan bisik":
„Tia, mereka adalah tamu2 yang datang dari tempat jauh,
bukankah tidak seyogyanya disuruh minum dahulu baru
nanti diajak bicara?
Ceng Bo siangjin menghela napas, ujarnya: „Lian-ji,
Jiang-ji dan Siau-chiu, apakah kalian tahu maksud
kedatangan mereka kemari ini?"
Ketiga anak muda itu menggeleng.
„Induk pasukan Ceng sudah mendesak ditapal batas,
kalian tentu sudah mengetahuinya. Segolongan menteri
yang berkuasa, karena untuk kepentingan kedudukan
mereka, telah mengangkat seorang kaisar di Siau Ging.
Tapi ada lain golongan yang iri, dan mengangkat pula
seorang kaisar berkedudukan di Kwiciu. Dewasa ini
wilayah kita hanya tinggal Kwitang, Kuiciu dan berapa
propinsi lagi, namun kedua kaisar itu saling gasak rebutan
takhta sendiri. Kedatangan mereka kemari ini ialah hendak
meminta aku turun gunung bantu memukul kaisar di Siau
Ging. Ha, ha, mereka adalah orang2 yang rakus akan
pangkat, kalau akupun berbuat demikian, apakah gelar yang
kalian hendak berikan padaku?"
Kata2 itu diucapkan dengan penuh keperwiraan. Ketiga
anak muridnya itu sama bungkam. Malah Yan-chiu yang
tangkas itu segera lari kehadapan Kiau To, terus unjuk
jempolnya: „Kiau loji, bagus juga kau telah menghajar
mereka tadi!"
Muda usianya, tapi kalau bicara sicentil itu suka meniru
lagak orang tua. Tak mau dia ambil pusing Kiau To itu
tergolong angkatan apa, tapi demi didengar The Go tadi
menyebutnya Kiau loji, iapun lalu tiru2 saja. Dan begitu
garang nada suaranya itu sehingga membuat Kiau To terkial2
menahan gelaknya. „Bek-heng, anak didikmu ini
sungguh hebat!" serunya kepada Ceng Bo siangjin.
Sudah tentu Ceng Bo siangjin ter-sipu2, bentaknya :
„Siao-Chiu, jangan kurang ajar, harus panggil Susiok!"
Kiau To mengawasi dara nakal itu dengan seksama, lalu
ujarnya: „Bek-heng, usah sungkan. Sikap nona kecil itu
cukup garang, tentu memiliki dasar ilmu silat yang kokoh.
Adakah ilmu pedang kesayangan Bek-heng itu sudah
diajarkan padanya?"
Ceng Bo siangjin menghela napas, tak menyahut. Adalah
siorang yang disebut Ki lotoa yang umurnya agak tuaan,
rupanya mengerti tentu ada persoalannya, buru2 dia
menyela : “Loji, bukankah maksudmu hendak menguji
kepandaian orang, karena hendak memberi bingkisan lagi?"
Yan-chiu yang cerdas tangkas itu, segera merasa ada
sesuatu dalam ucapan orang she Ki itu. Jelas tadi
diketahuinya bagaimana sebat orang she Kiau itu memberi
tamparan pada ketiga orang brewok she Chi itu. Ter-sipu2
Yan-chiu berjongkok ketanah untuk memberi hormat
sampai 3 kali. Begitu berbangkit ia terus mengatur kata2:
„Kiau susiok, ajarkan aku ilmu gerakan menampar ketiga
kantong-nasi tadi !"
Melihat kelakuan dara jenaka itu, kembali Kiau To
tertawa gelak2. Demikianlah dengan asyik dan gembira
rombongan tuan rumah itu ber-cakap2 sendiri, sehingga
rombongan The Go seperti tak dihiraukan lagi. Muka ketiga
saudara Chi tadi biru telur, Ciok Jiso tertawa urung, sedang
Ti Gong dengan uring2an tampak hendak turun tangan,
tapi lagi2 dicegah oleh The Go. Dalam pada Yan-chiu
bertukar pembicaraan begitu asyik gembira dengan Kiau
To, sikap The Go itu tenang2 saja. Dengan ber-kipas2, dia
se-akan2 tak menghiraukan kesemuanya itu. Hanya
sebentar2 ekor matanya dikerlingkan kearah Bek Lian. Tapi
kini setelah mendengar keterangan ayahnya tadi, Bek
Lianpun mendongkol. Dalam keadaan negara sudah
separoh bagian terjajah itu, masa orang masih bersitegang
leher saling jegal2-an sendiri.
Benar Bek Lian mempunyai pendirian yang begitu mulia,
namun kesannya terhadap The Go tetap tak berobah.
Dalam pandangannya, The Go itu seorang muda yang
cakap, pandai berkelakar dan sangat menarik. Sampaipun
gelaran anak muda itu „Cian bin long kun", juga merdu
kedengarannya. Ah, memang begitu kalau orang suka,
segala apa kelihatannya bagus semua. Maka tatkala The Go
menatap kearahnya, sebagai tersedot besi-semberani, Bek
Lianpun balas memandangnya. Ketika pandangan matanya
tertumbuk dengan sinar mata sianak muda, hati sinona
serasa mendebur keras.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Catatan: - Ketika pemerintah Beng telah didesak oleh
tentara Ceng hingga mengungsi kedaerah Kwitang, ternyata
disitu dalam kalangan kerajaan Beng timbul pertentancan
sendiri. Pada tahun ketiga dari pemerintahan Ceng kaisar
Sun Ti, pangeran Ing-bing-ong Cu Yu-Iong telah angkat
dirinya menjadi kaisar Beng dengan gelar Liong Bu dan
berkedudukan di Siau Ging. Tapi pada bulan 11 tahun itu
Tong-ong-tee Cu Gi-yap pun diangkat oleh menteri2nya
menjadi kaisar Siau Bu berkedudukan di Kwiciu.
Dipanggilnya empat bajak laut kesohor yakni The Go, Ciok
Jiso, Ti Gong dan ketiga saudara Chi, untuk menjabat
sebagai cong-peng (jenderal perang) guna menggempur Siau
Ging. Demikian menurut catatan dalam kitab „Ikhtisar
sejarah ahala Beng didaerah selatan."
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Ketika The Go mengetahui bahwa Kiau To telah
mengabulkan permintaan Yan-chiu untuk mengajarkan
ilmu silat, dengan batuk2 The Go melangkah kemuka,
sembari membentang kipasnya untuk dibuat kipas2
beberapa kali. Kini tahulah sekalian orang, bahwa kipas
orang muda itu ternyata diberi lukisan, yakni 3 larik
gelombang laut. Corak lukisan itu kuat tandas, warnanya
ke-hitam2an.
Sehabis ber-kipas2 sementara saat, kipasnya itu kembali
dilipat. Tingkah lakunya itu, kecuali Bek Lian, tiada
seorangpun yang menghiraukan. Namun baginya, Bek Lian
seorang sudah cukup daripada sekian banyak manusia.
„Kalau begitu, siauseng pun hendak belajar ilmu silat pada
Kiau locianpwe!" serunya kepada Kiau To.
Kumandang getaran suara The Go itu ternyata sekali
kedengarannya. Biara Cin Wan Kuan yang begitu kasar
bangunannya itu, se-olah2 tergetar oleh kumandang
suaranya itu. Ada beberapa tempat, dimana temboknya
kurang kokoh, telah berhamburan kapurnya. Ini
menandakan, sekalipun masih berusia begitu muda, tapi
ilmu lweekang dari The Go itu telah mencapai tingkat yang
tinggi.
„Kau ingin belajar apa pada Kiau loji?" tanya Kiau To
dengan serentak.
„Ingin belajar memukul, untuk membalas serangan
orang!" sahut The Go dengan tertawa.
Orang2 sama terkejut, terang kalau pernyataan The Go
itu berarti suatu tantangan. Malah Bek Lian yang selalu
perhatikan diri anak muda itu, diam2 telah kucurkan
keringat dingin. Tapi disana, dengan tertawa dingin Kiau
To menyahut: „Siapakah orang persilatan yang tak
mengetahui bahwa walaupun namanya saja kau ini adalah
cucu murid dari Ang Hwat cinjin di Ko-to-san, tapi
sebenarnya karena ibu dan anak sama2 belajar pada sesama
guru, jadi tergolong anak murid cinjin tersebut. Mau belajar
apa lagi sih?”
Sejak tadi The Go selalu unjuk senyuman saja, tapi demi
dikatakan Ibu dan anak sama2 belajar pada seorang guru,"
berobahlah warna wajahnya dengan seketika. Sewaktu
kata2 Kiau To itu selesai, tampak wajah The Go
sedemikian rupa bengianya. „Mau belajar ilmu memukul
orang secara membokong, agar bisa mendapat kemenangan
yang mudah!" ujarnya dengan nada sedingin es. Dan
ucapan itu telah ditutup dengan merangkap kearah Kiau
To.
Kiau To geser kakinya sembari mendakkan tubuh,
karena dia kira kalau The Go hendak menyerangnya. Tapi
tak tahunya begitu samberan angin menyampok, ternyata
The Go melejit disampingnya. Maka dengan ter-sipu2 dia
julurkan kedua tangan untuk mencengkeram anak muda
itu. Tapi astaga, „plak, plak", berbareng dengan
cengkeramannya terdengar suara tamparan sampai dua kali.
Buru2 Kiau To berpaling kebelakang dan, ai, kurang ajar
betul! Orang she Ki, toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee, yang
tak tahu apa2, ternyata kedua belah pipinya telah benjol
merah, dua buah giginya rontok mulutnya berdarah!
Gerakan si The Go itu laksana kilat cepatnya, lebih hebat
dan pesat dari Kiau To. Kalau tadi walaupun keras
suaranya, namun ketiga saudara Chi itu hanya ber-kunang2
matanya. Tapi kini orang she Ki itu telah mendapat
tamparan yang digerakkan dengan lweekang, hingga
giginya sampai ada yang rontok. Orang diruang situ terkejut
dan keheranan. Terkejut, mengapa The Go bukan memukul
Kiau To melainkan menampar orang she Ki. Heran, karena
hasil dari pembokongan itu hebat dan tepat sekali.
Bukankah orang she Ki toa-ah-ko (ketua) dari sebuah
perkumpulan yang berpengaruh macam Thian-tee-hwee?
Mustahil kalau tak memiliki kepandaian yang hebat bisa
diangkat menjadi toa-ah-ko dari perkumpulan semacam itu,
yang anggautanya saja pasti terdiri dari orang- gagah yang
berkepandaian tinggi. Heran bukan?
Diantara orang2 yang tak mengerti kejadian itu, hanya
Kiau To dan Ceng Bo siangjin yang mengetahui sebab2nya.
Malah yang tersebut belakangan itu segera menghela napas.
Diam2 dia kagum atas kecelian si The Go yang sepintas
pandang segera dapat mengetahui bahwa ketua dari Thiantee-
hwee itu telah punah ilmu kepandaian alias menjadi
seorang tanpaguna lagi!.
Begitu habis membokong, The Go sudah dengan segera
balik ketempat duduknya lagi. Kejadian itu hanya
berlangsung dalam beberapa kejab saja. Kecuali
perdengarkan suara mengaduh „ah" dan disusul dengan
muntahan dua buah gigi, orang she Ki itu segera tenang
kembali, se-olah2 tak kejadian suatu apa. Katanya dengan
tertawa: „Cian-bin long-kun, hebat nian gerakanmu tadi!
Aku Ki Cee-tiong, rela mengaku kalah. Dua buah gigi ini
untuk sementara biar terlepas dulu, apabila sampai
temponya pasti akan kembali padamu!"
„Tiga tamparan dibayar dengan dua, sudah selayaknya
lebih keras sedikit. Gigimu sendiri yang tumbuhnya tak
kuat, kalau hendak mengembalikan, kapan saja pun boleh!"
sahut The Go dengan garangnya. Namun dibalik
kegarangannya itu, tak urung hatinya diliputi dengan rasa
kegelisahan. Dia cukup kenal siapakah toa-ahko dari Thiantee-
hwee itu. Setiap orang persilatan pasti mengenal siapa
Ki Cee-tiong yang dijuluki „Thong thian pa" (Penjelajah
langit) itu. Baik ilmunya gwakang (luar) maupun lweekang,
telah mencapai kesempurnaan. Lebih2 sepasang tun-kongkian
(semacam tongkat pesegi terbuat dari bahan baja
murni), lihaynya bukan olah2. Kalau tiada memiliki
kepandaian yang sehebat itu, masakan dia dapat diangkat
menjadi ketua Thian-tee-hwee? Tapi mata The Go yang
celi, segera mengetahui, bahwa sewaktu masuk kedalam
ruangan tadi langkah kaki dari orang she Ki tersebut enteng
mengambang bagai orang yang tak mengerti ilmu silat saja.
Bagi seorang akhli, itu saja sudah cukup memberitahukan,
kalau orang telah punah kepandaiannya. Untuk
membuktikannya, dia telah menyelonong menamparnya,
dan ternyata dugaannya itu tak meleset.
Karena tak dapat menghalangi gerakan The Go itu, Kiau
To menyala kemarahannya, bentaknya: „Bagus, aku Kiau
lojin, juga akan meminta pengajaran barang sejurus!"
Mulut mengucap, tangan menjulur dan tubuhnya sudah
segera melesat kebelakang The Go, wut, wut wut, kelima
jarinya bagaikan deru angin menyambar siku lengan The
Go. Tapi orang she The ini, begitu melihat orang melesat
kebelakangnya, pun segera ikut berputar. Untuk ancaman
cengkeram itu, tak mau dia menyingkir, melainkan
membalikkan kipasnya, gunakan tangkai kipas untuk
menutuk lengan belakang lawan. Yang diarah adalah „yang
ti", „yang ko" dan „yang kee", 3 buah jalan darah.
Dengan tertawa dingin, Kiau To turunkan lengannya,
diteruskan untuk mencengkeram perut orang. The Go
cukup insyaf akan kelihayan cengkeram itu. Sekali kena
dicengkeram, isi perutnya pasti akan merocot keluar.
Cengkeram itu disebut „toh beng cap jit jiau" atau 17 cakar
perampas jiwa. Salah satu kepandaian istimewa dari orang
she Kiau itu.
Sewaktu tegas melihat bahwa setiap kali menyerang
tentu terdiri dari 3 buah cengkeraman, The Go tak mau
berlaku terburu-buru. Dengan tenang dinantikannya kelima
jari orang menyentuh pakaiannya, baru miringkan
kipasnya. Sebat luar biasa, kipas itu di-kebut2-kan 3 kali,
dan 3 kebutan itu ternyata untuk menutuk jalan darah
„siang yang", „tiong tiong" dan „kwat tiong". Ketiga jalan
darah itu masing2 dibawah kuku dari jari telunjuk, tengah
dan manis.
Gerak serangan Kiau To tadi, bukan saja amat cepat,
pun isi kosongnya sukar diduga. Bahwasanya The Go dapat
tepat menduga jatuhnya serangan orang dengan suatu
tutukan yang tepat, telah memaksa Kiau To buru2 menarik
kembali cengkeramannya. Begitulah dalam sekejab saja,
kedua orang itu telah bertempur sampai 6 jurus, dan selama
itu masih belum ketahuan menang kalahnya. Tapi dalam
penilaian seorang akhli, sudah dapat menaksir siapa yang
lebih unggul: Kiau To menyerang dulu, tapi dapat dipaksa
mundur oleh The Go.
Ceng Bo siangjin yang selama itu mengawasi disamping,
diam2 mengalem The Go yang dalam usia semuda itu telah
dapat memiliki kepandaian yang sedemikian tingginya.
Walaupun didengarnya cerita2 tentang keganasan orang she
The itu, namun selama itu belum pernah dia menyaksikan
sendiri. Pada saat itu dia masih mempunyai urusan penting,
kiranya lebih baik menghindari bentrokan2 yang tiada
gunanya, maka berserulah dia: „Kiau-heng silahkan
mundur. The-heng, jika tiada urusan lain, harap tinggalkan
tempat ini!"
Ramah tamah nadanya, namun dalam ucapan itu
tergenggam suatu perbawa yang memaksa orang
mengindahkan. Ketiga saudara Chi dan Ti Gong hweeshio
sudah terus hendak ayunkan langkah pergi, sebaliknya Ciok
Jiso perdengarkan suara ketawa dingin acuh tak acuh.
Sedang The Go bibirnya ber-gerak2 seperti hendak
mengucap apa2, tapi tiba2 terdengar gemeroncangnya
senjata dan Ciok Siaulan, itu nona yang sejak masuk
kedalam biara tadi tak bicara apa2, kini dengan hi-jat (garu
ikan), tampil kehadapan The Go. Dari gerakannya, terang
nona itu tak lemah kepandaiann ya. Tapi demi sudah
berhadapan dengan The Go, mukanya menjadi merah dan
dengan tundukkan kepala ke-malu2an ia berkata dengan
suara sember: „Engko Go, turutlah kata2 totiang itu, mari
kita tinggalkan tempat ini!"
Kalau semua orang tak menghiraukan hal itu, adalah
Bek Lian yang menjadi sibuk sendiri. Sejak diketahui sikap
sinona tersebut yang begitu memperhatikan sekali akan The
Go, hati Bek Lian sudah kurang senang. Kini demi
didengar mulut sinona memanggil „engko" pada The Go,
Bek Lian tak dapat mengendalikan perasaannya lagi.
Memang dalam biara Cin Wan Kuan itu, selain sang ayah,
se-olah2 dialah yang menjadi ratunya. Segala perentahnya
tak boleh dibantah. Perangainya keliwat angkuh karena
dimanjakan. „Hai, kau mau apa?" bentaknya kepada Siaulan
sigadis hitam manis itu.
Ciok Siau-lan berpaling. Demi tampak Bek Lian itu
bagaikan seorang puteri kahyangan cantiknya dan dari
sikapnya kentara menaruh perhatian pada engkoh Go-nya
itu, merahlah mata sinona. Ciok Siau-lan itu hanya berkulit
agak hitam saja, karena sebenarnya iapun cantik juga.
Dalam sikapnya yang begitu minta, dikasihani, ia tambah
kelihatan menarik. Katanya dengan ter-iba2: „Taci, kau
sungguh cantik sekali! Engkoh Go adalah kepunyaanku,
jangan kau tega merebutnya! Kalau kau hendak merebut,
karena kalah cantik, aku pasti kalah!”
Sedikitpun Bek Lian tak mengira, kalau dihadapan
sekian banyak orang, gadis hitam Itu berani mengatainya
secara begitu. Memang ia sendiri sudah merasa tak pada
tempatnya menanyai orang begitu tadi. Maka dari malu, ia
berobah menjadi gusar. „Budak hina, apa katamu itu?"
dampratnya, terus ulurkan tangan merebut senjata sinona.
Tapi dengan hanya goyangkan sedikit senjatanya itu,
tangan Bek Lian sudah menangkap angin. Gelang besi yang
dipasang pada ketiga ujung garu penusuk ikan itu, menjadi
berkerontangan, namun Ciok Sian-lan tak mau balas
menyerang. Malah dengan tertawa sedih ia berkata. „Taci,
kalau kau tak merebut engkoh Go-ku kau sungguh taciku
yang berbudi." Rawan dan lembut kata2nya itu diucapkan,
sehingga meluluhkan perasaan orang.
Bek Lian kesima seperti terpaku ditanah. Tetap
menyerang, salah berhentipun malu. Sebenarnya perasaan
itu hanyalah suara hatinya sendiri, karena selain The Go,
semua orang ternyata tak menghiraukan hal itu. Kini
tahulah orang she The tersebut, bahwa sijelita yang berhati
tinggi itu, ternyata menaruh hati padanya.
Begitu penuh rasa hati Bek Lian yang mengira bahwa
sekalian orang diruangan situ se-akan2 mencemohkan
kelakuannya. Saking malu dan gusarnya terdengarlah suara
„hu, hu" dan pecahlah tangisnya. Sekali memutar tubuh, ia
terus lari keluar menuju kekamarnya. Tio Jiang yang sangat
open terhadap sucinya itu, sambil delikkan matanya kepada
The Go terus ber-gegas2 mengikuti Bek Lian.
Setelah sijelita pergi, legahlah hati Ciok Siau-lan, lalu
mengajak lagi kepada The Go: „Engkoh Go, mari kita lekas
turun gunung. Hidup ditengah laut, kan lebih berbahagia!
Peduli apa sih dengan tentara Ceng atau Beng?!"
Sebaliknya demi mengetahui sinona itu mengganggu
kesenangannya, The Go tumpahkan kemarahannya
padanya. ,,Budak hina, jangan ngaco belo!"
Didamprat begitu, ternyata Siau-lan tak marah, malah
dengan mengucur beberapa butir air mata, ia tampak
meratap: „Engkoh Go, makilah sesukamu, aku takkan
marah. Sekalipun kau pukul, akupun tetap tak marah.
Pukullah!"
Untuk membuktikan kata2nya itu, sinona angsurkan
senjatanya, siapa oleh The Go ternyata juga disambutinya.
Senjata hi-jat itu berbentuk seperti garu berujung tiga yang
tajam. Setiap ujung, dipasangi sebuah gelangan besar.
Begitu gerak, tentu mengeluarkan bunyi berkerontangan.
Begitu menyambuti dengan wajah bengis, The Go undur
selangkah terus menusuk ulu hati sinona. Sebaliknya
sinona, malah meramkan kedua matanya, dengan wajah
ikhlas, ia nantikan sang ajal. Baginya binasa ditangan orang
yang dicintainya, adalah suatu kebahagian besar.
Tapi secepat kilat, begitu ujung hi-jat menusuk,
sekonyong2 Ciok Jiso menyampok dengan kim-konglunnya.
Karena memang tak gunakan kekuatan, begitu
disampok, The Go segera undur lagi.
„Cian-bin long-kun, jangan keliwat menghina keluarga
Ciok!" bentak wanita itu. Sembari tertawa dingin, The Go
lemparkan hi-jat, dan menyahut: „Kan adikmu sendiri yang
memintanya, mengapa kau sesalkan orang!"
Terang kalau Ciok jisoh, atau kakak iparnya telah
membantunya, namun Ciok Siau-lan malah
membantahnya: „Ensoh, sudahlah. Biarkan dia menghina,
aku rela saja!"
Ciok jisoh menghela napas. „Adikku, dikolong langit ini
banyak nian orang yang melebihi dia, mengapa kau mantep
padanya saja?"
„Ya, memang hatiku tertampak padanya seorang," sahut
Sian-lan dengan rawan. Mendengar itu, The Go tertawa
dingin.
Kini tahulah sekalian orang disitu, bahwa Ciok Siau-lan
telah ter-gila2 pada The Go, tapi sebaliknya anak muda itu
tak menghiraukannya. Bagi seorang macam Ceng Bo
siangjin yang telah merasakan pahit getirnya gelombang
asmara sehingga rela menjadi seorang sahit, kedengaran
menghela napas. Sebaliknya tidak demikian dengan Kiau
To dan Ki Cee-tiong. Kedua orang ini bermula meyakinkan
ilmu gwakang (tenaga luar) kemudian baru lweekang.
Untuk memelihara peyakinan gwakang itu, orang harus
tetap membujang, menjauhkan diri dari paras cantik. Kata2
„asmara" tak terdapat dalam kamus hatinya. Begitu melihat
kelakuan The Go terhadap sinona Siau-lan, karena sudah
menjadi seorang tanpa guna Ki Cee-tiong sih hanya
menggeram saja dalam hati, tapi Kiau To mana mau sudah.
Dengan suara keras dia segera berseru: „Orang she The,
pergilah sana bereskan urusan gelapmu dengan wanita itu.
Jangan unjuk kemesuman di Giok-li-nia sini!"
Sedari dikatakan „ibu dan anak belajar sama seorang
guru" tadi, The Go benci sekali kepada Kiau To. Maka
dengan delikkan matanya dia segera menyahut: „Adakah
Giokli-nia ini milikmu orang she Kiau? Memang harini aku
The Go hendak bikin ramai disini, habis kau mau apa?"
Ucapan dan sikap Cian-bin long-kun itu memang keliwat
kurang ajar sekali, sehingga sampai2 seorang sabar macam
Ceng Bo siangjin membeliakkan mata, kearahnya serta
diam2 memaki „biadab". Tapi Ceng Bo orangnya keliwat
menjaga nama, sekalipun hati mendongkol namun
mulutnya tak mau mendamprat. Sebaliknya Kiau To
dengan tertawa dingin segera menyahut: „Siapa bilang
Giok-li-nia ini tiada bertuan, hanya saja pemiliknya itu tak
sudi kotorkan tangan untuk menghajar adat padamu. Maka
biarlah Kiau jiya ini yang akan mewakili tuan rumah untuk
memberi hajaran padamu!"
Cepat The Go pentang kipasnya. „Kiau loji, lama nian
kudengar bahwa sebatang tiang-pian dan sepasang
kepalanmu itu tiada lawannya didunia persilatan. Maka
hari ini aku hendak mohon pengajaran ilmumu ke 36 jurus
'liok kin pian hwat' serta 'toh beng cap jit jiao' itu!"
„Liok kin plan hwat" ilmu pian (cambuk 6 indera itu,
adalah kepandaian istimewa yang diwarisi dari guru Kiau
To, Tay Siang Siansu. Yang dimaksud dengan „liok kin"
yakni berdasarkan keenam indera yang termaktub dalam
kitab keagamaannya, yakni „mata, telinga, hidung, tubuh,
mulut dan perasaan." Kesemuanya itu diciptakan dalam
sebuah ilmu pian yang disebut „liok kin pian hwat". Setiap
baglan terdiri dari 6 jurus, jadi sama sekali berjumlah 36
jurus. Terutama ke 6 jurus yang terakhir yang disesuaikan
dengan bunyi kitab itu: „Perasaan, adalah akar (sumber)
dari keinginan."
Karena keinginan itu tiada batasnya, maka ke 6 jurus
itupun penuh dengan gerak-perobahan yang sukar diduga.
Lemah gemulai tampaknya namun hebat keliwat2, tangkas
cepat tiada terkira. Kiranya sukar untuk melukiskan dengan
kata2, cukup kalau dikatakan „datangnya tanpa bayangan,
perginyapun tanpa bekas."
Berkat ilmupiannya itu, dapatlah Tay Siang Siansu
malang melintang selama lebih dari 20 tahun didunia
persilatan dengan tanpa tandingan. Tapi kemudian, karena
salah paham kena diadu domba oleh siaojin (orang yang
bermartabat rendah), dia telah bentrok dengan sepasang
suami isteri yang terkenal gagah dan perwira budinya, dan
berakhir Siansu itu telah kena dijatuhkan oleh pasangan
suami isteri yang memiliki dua macam ilmu pedang
sejodoh, saling mengisi dan saling bantu membantu. Buru2
Tay Siang Siansu pulang kebiara Liok-yong-si di Kwiciu,
kemudian kepada murid tunggalnya, Kiau To, ia
meninggalkan pesan: „Luasnya dunia, dalamnya ilmu silat,
sungguh tiada dapat diukur. Kali ini aku hendak berkelana
lagi. Kalau dalam 10 tahun nanti tak kembali, anggaplah
aku sudah meninggal 10 tahun. Kalau 20 tahun, anggap 20
tahun yang meninggal." Setelah meninggalkan kata2 itu,
berangkatlah Tay Siang Siansu pergi berkelana.
Pada ketika itu, Kiau To baru berumur 20-an. Dia baru
saja mendapat pelajaran ilmu pian. Dia asalnya memang
seorang kacung biara Liok-yong-si situ. Ketika Tay Siang
Siansu mengetahui anak itu mempunyai tulang yang bagus,
Tay Siang berkeras menyuruh anak itu menjadi orang biasa
lagi, karena masih belum temponya untuk menjadi orang
pertapaan, tapi disamping itu dia menurunkan pelajaran
ilmu silat pada anak itu. Orang yang meyakinkan ilmu pian
„liok kin pian hwat", harus menjaga betul2 ke 6 inderanya
itu supaya jangan sampai ternoda oleh nafsu2 selera.
Memang pada hakekatnya, itulah intisari daripada
pelajaran Buddha.
Dalam kebatinan, Kiau To penasaran dirinya dianggap
belum berjodoh masuk ke lapangan agama itu. Begitu
suhunya pergi, diapun tak lama kemudian juga tinggalkan
biara Liok-yong-si untuk berkelana didunia persilatan,
kemudian masuk dalam Thian-tee-hwee. Dengan
kepandaiannya silat yang tinggi, tak berapa tahun
kemudian, dia segera menduduki kursi kedua dalam
pimpinan Thian-tee-hwee tersebut.
Ber-tahun2 dalam pertempuran, paling banyak dia hanya
gunakan sampai jurus ke 28 saja dari „liok kin pian hwat",
dan lawan pasti akan sudah keok. Tapi orang yang dapat
bertahan sampai jurus ke 28 itupun sudah tergolong jago
yang sukar dicari. Maka selama itu, ke 6 jurus penghabisan
itu belum pernah digunakannya.
Bahwa kini The Go telah menantang „liok kin pian
hwat"nya itu, diapun tak berani memandang ringan pada
lawan itu. Karena dari beberapa gerakannya tadi, cukup
diketahuinya bahwa orang she The itu telah dapat mewarisi
kepandaian dari suhunya, Ang Hwat cinjin, yang sangat
terkenal sebagai akhli tutuk jempolan. Kalau tidak
demikian, masa anak itu sedemikian temberangnya?
„Kalau Cian-bin long-kun menghendaki begitu, akupun
mengiringkan saja. Bagaimana kalau kita ambil tempat
dilapangan luar sana?" sahutnya.
Tanpa mengucap apa2 The Go ber-kipas2 seraya
melangkah keluar. Dengan memungut senjata hi-jat, Ciok
Siaulanpun mengikutinya. Tapi baru The Go melangkah
beberapa tindak, dari luar pintu se-konyong2 menobros
masuk seseorang, yang begitu menampak The Go terus
menusuk dengan pedangnya. Sebat sekali The Go
mengegos kesamping dan karena tak keburu menarik
serangannya ujung pedang orang itu Iangsung menusuk
kepada Ciok Siau-lan. Nona yang berada dibelakang The
Go itupun dengan gugup segera hadangkan hi-jatnya untuk
menangkis. Kini tahulah sekalian orang, bahwa sipenyerang
itu bukan lain adalah Tio Jiang.
„Siau-ko, dia cukup keras, biarkan aku yang
membereskan!" seru Kiau To, namun Tio Jiang tak mau
menghiraukan. Begitu pedang dibalikkan, dengan jurus „Ho
peh kuan hay", ujung pedangnya diguratkan keatas
menyerang The Go. Tapi kini The Go sudah siaga. Dengan
tenang, dia ulurkan kipas. Begitu ujung pedang tiba, kipas
dipalangkan dan laksana besi sembrani telah menempel
lekat2 dibatang pedang. Sekali tangannya kanan mengibas,
mulutnyapun membentak: „Enyahlah!"
Gambar 8
Baru saja The Go melangkah keluar, tahu2 ia dipapak sekali
tusukan oleh Tio Jiang, cepat ia mengegos hingga serangan itu
menuju Ciok Siau-lan yang berada dibelakangnya.
Tio Jiang merasa seperti dari ujung pedangnya mengalir
suatu tenaga kuat yang menggempur siku tangannya. Begitu
keras tenaga gempuran itu, hingga terasa tangannya
kesemutan dan „kerontang", lepaslah pedang itu jatuh
ketanah. The Go bergelak tawa, tapi tak mau balas
menyerang. Namun sekalipun tahu bukan tandingannya,
Tio Jiang tak mau mengalah. Dia pungut lagi pedang terus
menyerang kembali dengan jurus „hay li long huan". Jurus
ini, baru saja kemaren siang dia pelajari, sehingga baru saja
2 kali berlatih. Sampai dimana kebagusan ilmu pedang itu,
entahlah. Yang diketahuinya hanialah kunci aba2 jalannya,
terdiri dari 8 kata: „4 datar 8 tenang, mulut, hidung, mata,
telinga." Begitulah tangan kanan mencekal tangkai pedang
dengan agak kendor, selekas diangkat naik terus dikibaskan
keatas, tengah dan bawah. Kemudian selagi sinar pedang
berkelebatan, tiba2 ujungnya ditusukkan kearah kepala dan
muka The Go.
Bermula The Go anggap kepandaian Tio Jiang itu,
hanya biasa saja. Buktinya, tadi dengan hanya gunakan
sedikit lweekang, dia telah berhasil membikin terpental
pedang anak itu. Nah karena anak itu tetap membandel,
biar dia unjuk sedikit kepandaian untuk menghajarnya.
Tapi sedikitpun dia tak menduga, kalau ilmu pedang „to
hay kiam hwat" dari Ceng Bo siangjin itu, hebatnya bukan
kepalang. Sampai jurus ke 4 „Ho Peh kuan hay" tadi, sudah
mulai nampak keindahannya. Jurus „hay li long huan" itu
adalah jurus yang ke 6, istimewa diperuntukkan menyerang
kepala dan muka orang.
Sewaktu, Tio Jiang membolang balingkan pedangnya
dalam 3 kiblat tadi, masih The Go tak mengacuhkan. Tapi
se-konyong2 ujung pedang dalam gaya yang luar biasa
dapat menusuk kemuka, telah membuat The Go serasa
terbang semangatnya. Gaya serangan macam itu, betul2
belum pernah dilihatnya selama ini. Dengan sibuknya,
segera dia gunakan jurus „tiat pan kiau" (jembatan besi
gantung) badannya membalik kebelakang terus melengkung
kebawah. Dengan tiara itu, barulah dia dapat terhiiidar dari
tusukan pedang. Tapi ketika mata pedang berkelebat lewat
disamping mukan ya, muka teraaa seperti disambar deru
angin yang dingin. Diam2 dia mengeluh „celaka", dia
perkokoh kuda2 kakinya. Kakinya tetap tegak terpaku, tapi
tubuhnya tiba2 menggeliat kesamping. Itulah ilmu „i heng
huan wi" (memindah bayangan, mengganti kedudukan),
suatu ilmu mengentengi tubuh tingkat tinggi.
Sayang Tio Jiang bukan Ceng Bo siangjin. Ilmunya
pedang itu baru saja kemaren dipelajari, jadi masih belum
sempurna. Coba pada saat itu, dia terus susuli lagi dengan
jurus yang ke 7„hay Iwee sip ciu", kalau tidak binasa sekurang2nya
The Go pasti akan terluka berat. Malah hal
yang harus disayangkan itu tak cukup begitu saja, karena
setelah mendapat pengalaman pahit itu, The Go telah dapat
menarik pelajaran berharga dari ilmupedang „to hay kiam
hwat" tersebut. Dikelak kemudian hari walaupun ilmu
pedang Tio Jiang telah sempurna, namun tak mudah lagilah
kiranya untuk mengalahkan The Go. Dan memang hal itu
telah terjadi dikemudian harinya, hanya saja lebih baik kita
jangan melantur kekejadian yang belum datang.
Sewaktu The Go dengan cara-geliatannya yang luar
biasa itu dapat menggelincir keluar pintu, dengan bernapsu
sekali Tio Jiang terus akan mengejarnya, tapi Ceng Bo
siangjin yang tahu akan kekuatan mereka tadi, buru2
mencegahnya: „Jiang-ji, Kiau susiok hendak bertanding
dengan dia, mengapa kau turut2an menimbrung?"
Tio Jiang menurut tapi mulutnya menyomel: „Bangsat
itu telah membuat marah suci, sehingga suci menangis tak
mau sudahnya!"
Orang2 bermula mengira kalau anak itu tentu
mempunyai dendam besar sehingga hendak mengadu jiwa
dengan The Go, siapa kira hanya lantaran soal Bek Lian
menangis saja. Sudah tentu orang2 sama geli melihatnya.
Tapi bagi Tio Jiang hal itu merupakan soal penting. Bek
Lian tertawa, dia juga merasa berbahagia. Bek Lian
menangis, diapun turut bersedih. Ya, segala apa yang
dirasakan oleh sijelita itu, se-olah2 seperti dirasakannya
juga. Tadi dia coba hiburi sang suci, tapi sebaliknya dari
menerima kasih Bek Lian malah menumpahkan
kemendongkolan hatinya pada Tio Jiang. Anak itu sudah
kenyang menerima gegeran (dampratan) sang suci, jadi
dianggapnya biasa saja. Tapi apa yang paling menyakitkan
hatinya ialah rasa sedih yang dikandung oleh Bek Lian itu.
Mengapa sang suci sampai sedemikian berdukanya? Ah, tak
lain tak bukan, The Go lah biang keladinya. Maka tanpa
banyak cingcong lagi, tadi dia telah serang si Cian-bin longkun
itu. Walaupun akhirnya ditegur oleh Ceng Bo siangjin,
namun hati Tio Jiang tetap puss, karena dengan
perbuatannya tadi dia merasa seperti telah Tio Jiang tetap
puas, karena dengan perbuatannya tadi dia merasa seperti
telah menunaikan panggilan hatinya untuk membela Bek
Lian.
„Jiang-ji jangan sembarangan mengomong!" lagi2 sang
suhu membentaknya. Dan Tio Jiangpun tak berani bercuit
lagi.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Setelah sekalian orang sama keluar untuk menyaksikan
pertempuran, Ceng Bo siangjin segera mengajak Ki Ceetiong:
„Ki-heng, mari kita masuk kedalam saja untuk
merundingkan masalah yang peting."
Dengan ucapan itu, Ceng Bo telah mengira, betapa
lihaynya The Go namun rasanya Kiau To cukup dapat
mengatasi. Dan kalau orang she The itu sudah
dipecundangi, kiranya yang lain2pun takkan berani
mengadu biru. Adanya Ceng Bo ber-gegas2 balik kegunung
lagi, kiranya memang mempunyai suatu urusan yang
penting. Oleh karena Ceng Bo mengatakan „masalah
penting," maka Ki Cee-tiong segera mengikutnya.
Sudah sejak menyaksikan ramai2 tadi, Yan-chiu ketarik
sekali hatinya. Hanya lantaran suhunya berada disitu, jadi
tak beranilah ia ini itu. Tapi begitu sang suhu sudah berlalu,
segera ia loncat mencekal tangan Tio Jiang: „Suko. hayo
kita lihat Kiau susiok menghajar sikurang ajar itu!"
Dengan tersenyum tawar, Tio Jiang menurut. Tapi baru
saja dia melangkah keluar pintu, disana dilihatnya Kiau To
sudah saling berhadapan dengan The Go. Jarak keduanya
hanya terpisah 2 meter saja. Ber-gegas2 Tio Jiang menuju
kedekat tanah lapang itu. Dengan tempelkan badannya
pada suatu batu karang yang menonjol, dia tegak berdiri
mengawasi jalannya pertandingan. Tahu orang tak begitu
mempedulikan, Yan-chiu mendongkol. Iapun menyingkir
agak jauh dari sukonya itu.
Tak berapa lama kemudian, Kiau To dan The Go
masing2 bertukar salam, setelah itu mereka lalu sama
mundur sampai satu tombak jauhnya. Dengan mata saling
mengawasi, mereka segera bergerak ber-putar2. Sekalipun
Tio Jiang bukan tergolong jago kelas satu, namun 6 tahun
diasuh oleh seorang akhli kenamaan macam Ceng Bo
siangjin, diapun cukup mengetahui arti gerakan kedua
orang itu. Betul nampaknya saja mereka main ayal2an,
yang satu ber-kipas2 yang lain menggendong tangan,
namun sebenarnya mereka itu sedang ber-siap2 untuk suatu
pertempuran dahsyat.
Gerak kaki The Go merupakan sebuah lingkaran kecil.
Sewaktu ber-gerak2 itu sikapnya tenang sekali. Pula
gerakannya itu agak aneh, sehingga tiada seorangpun yang
mengetahui gerakan-kaki ilmu silat apakah itu. Sebaliknya
kaki Kiau To ber-putar2 dalam formasi lingkar besar, malah
mengitari daerah The Go sana. Langkah kakinya sangat
anteng, kokoh bagai gunung Thay-san. Nyata ilmu silat
keduanya itu berlainan, namun dua2nya adalah akhli
semua. Kini perhatian semua orang ditumpahkan kesitu.
Sejenak kemudian, tiba2 Kiau To tertawa keras. Ilmunya
lweekang adalah pelajaran dari kaum agama. Dalam
beberapa kitaran saja, dia telah dapat mengalurkan tenaga
dalamnya keseluruh tubuh. Tertawanya tadi, pertanda dari
sudah mengalirkan tenaga itu dan begitu keras suara ketawa
itu hingga orang yang belum tinggi ilmu silatnya, pasti akan
terpelanting kaget. „Cian-bin long-kun, silahkan menyerang
dulu!" serunya kemudian,
Gambar 9
Dengan sengit Kiau To tempur The Go yang telah membokong
kawannya.
Tapi The Go tak menyahut. IImunya lweekang adalah
ad yaran dari Ang Hwat cind yin gunung Ko-to-san, yang
berpokok pada ketenangan. Menghadapi musuh lihay,
harus makin tenang dan se-kali2 tak mau menyerang lebih
dahulu. Memang hal itu sudah diketahui Kiau To, siapa
telah sengaja bertanya untuk menggodanya. Tapi diluar
dugaan The Go telah menyahut: “Baik!" seraya
menghampiri maju, sembari melipat kipas terus gunakan
tangkainya untuk menutuk kedua pundak lawan.
Cepat dan berbahaya adalah serangan The Go itu,
sehingga Kiau To tak menyangka barang serambutpun juga.
Cepat2 dia pendakkan tubuh, begitu membalik siku
lengannya, kelima jari yang laksana kulit besi itu, segera
mencengkeram siku tangan orang. Atas ancaman itu, The
Go mundur kebelakang seraya tertawa, karena serangannya
tadi itu ternyata hanya gertakan kosong saja.
„Jangan lari!" bentak Kiau To dengan marah ketika tahu
dirinya dipermainkan begitu. Berbareng dengan memburu
maju, kini dia gunakan dua tangannya untuk
mencengkeram. Begitu hampir mengenai, kedua tangannya
itu dipentang. Yang kiri untuk mencengkeram pinggang
orang, sedang yang kanan untuk mencengkeram kearah
dada. Dengan bersuit nyaring, tiba2 The Go melambung
keatas, melayang keatas kepala lawan. Dan ketika berada
diatas kepala, dia segera tutukkan kipasnya kearah jalan
darah ,,peh hap hiat" di-umbun2 kepala.
Menampak lawan telah gunakan jurus yang berbahaya,
Kiau To segera putar tubuhnya untuk mencengkeram paha
belakang lawan, tapi si The Go dengan lincahnya sudah
melorot turun ketanah lagi. Kini dengan tangkai kipas, dia
merangsang seru sekali, menghujani lawan dengan tutukan2
yang berbahaya. Mau tak mau terpaksa Kiau To harus
mengakui kalau lawan itu betul2 seorang berisi. Dalam
pada itu berpikirlah dia, kalau kali ini sampai tak dapat
mengatasi lawan, mungkin dikemudian hari sukar untuknya
mendapat kedudukan layak didunia persilatan, akibatnya,
Thiantee-hweepun akan merosot namanya. Dengan
ketetapan itu, dia segera berlaku hati2 sekali gunakan ilmu
cengkeram „toh beng cap jit jiao".
Begitulah dalam beberapa kejab saja, kedua rival itu telah
bertempur lebih dari 30 jurus. Makin lama, makin seru.
Sesaat saling merapat, sesaat saling berpencar, gerakannya
kian pesat. Orang2 yang menyaksikan, sama berpudar
penglihatannya. Selama itu sudah beberapa kali Ciok Siaulan
hendak tampil membantu, tapi selalu dicegah oleh Ciok
jisoh. Pada saat itu Tio Jiang menampak Bek Lian muncul
dan berdiri ditempat agak berjauhan, sedang Yanchiu
malah sudah lari memapaki sang suci. Seperti terkena
stroom, Tio Jiang segera hendak menghamperi sang suci
juga, tapi baru hendak mengangkat kaki, tiba2 merasa ada
suatu tenaga yang luar biasa kuatnya telah mencekik
tengkuknya (leher belakang). Dalam kagetnya, dia terus
hendak berpaling kebelakang, tapi oleh begitu kuat cekikan
itu sehingga tak dapatlah dia gerakkan lehernya. Malah
sesaat itu kedengaran sipencekik itu berseru: „Buyung,
jangan lari. Kalau kau pergi, Sam-thay-ya pasti takkan bisa
melihat pertunjukan bagus. Mereka berdua telah bertempur
dengan seru, ya tidak?"
Dari nada suaranya, tahulah Tio Jiang kalau orang itu
adalah siorang tua kate yang dijumpainya digunung tempo
hari. „Sam-thay-ya!" serunya dengan kaget. Tapi baru
mulutnya bertereak, atau lehernya dirasakan seperti dicekik
keras sehingga sampai hampir tak dapat bernapas rasanya.
„Buyung, kalau berani bertereak lagi, awas! Jangan sampai
orang2 itu tahu aku berada disini!" siorang tua aneh itu
mendampratnya. Dengan terengah2 Tio Jiang mengiakan:
„Sam-thay-ya, tapi kendorkan sedikit cengkerammu itu ah!"
„Bagus, buyung, kau berani mempermainkan Samthayya?!"
kembali orang tua aneh itu mendamprat. Tio
Jiang meringis, namun tak berdaya untuk lepaskan diri.
„Masa aku berani mempermainkan kau?" dia memperotes
dengan berjengit. Sam-thay-ya ketawa ter-besit2, rupanya
saking gembiranya, ujarnya: „Kalau Sam-thay-ya
kendorkan tangan, kau tentu akan ngacir pergi bukan?"
Pikir Tio Jiang, orang tua itu memang benar2 seorang
aneh yang linglung, sahutnya: „Aku tak pergi dan
membayangimu, kau mau tidak melepas aku?"
Kini agaknya siorang tua linglung itu puas, lalu
kendorkan cengkeramannya. Beberapa kali Tio Jiang usap2
batang lehernya, dan coba gerak2kan kepalanya supaya
kendor, setelah itu lalu menghela napas. Ketika dia
mengawasi lagi kegelanggang pertempuran, kiranya kini
cara bertempur dari Kiau To dan The Go itu sudah berobah
sifatnya. Kalau tadi keduanya adu kegesitan, kini ternyata
lambat2 saja gerakannya, sehingga Tio Jiang dapat
melihatnya dengan jelas.
Tapi Itu bukan berarti keduanya sudah kepayahan,
malah pada kebalikannya kini telah menginjak dalam phase
(tingkatan) yang berbahaya. Tak lagi The Go jual obral
tertawanya, tapi dengan delikkan sepasang matanya dia
menatap tajam2 kearah Kiau To, siapa sebaliknyapun
berlaku demikian juga. Keduanya sama ber-putar2 kian
kemari, kemudian pada lain saat, dengan menggerung keras
terus saling menerjang. Anehnya, hanya sebentar saja saling
terjang itu berlangsung, karena pada lain saat mereka sudah
saling pencar dan kembali ber-putar2 lagi. Bagi orang yang
belum tinggi ilmunya silat, tentu tak tahu apa artinya itu.
Ini berlaku juga pada Tio Jiang. Tapi Sam-thay-ya yang
bersembunyi dibelakangn ya selalu kedengaran mericis
sendirian. Sesaat mengatakan „ah, sudah 6 jurus, kipas
anak itu meleset, kalau tidak tentu dapat menutuk jalan
darah thian-tee-hiat lawan"! Tapi pada lain saat kedengaran
dia berbisik „ah, 3 jurus yang hebat, cengkeram orang itu
luput, sayang, sayang!"
Bermula Tio Jiang mengira kalau orang tua linglung itu
ngaco belo tak keruan. Tapi begitu dia memperhatikan
dengan seksama, ialah ketika kedua orang itu saling terjang
lagi, ternyata memang benar seperti yang diocehkan oleh
silinglung tadi, kedua orang Itu telah saling lancarkan
serangan dengan gerak yang luar biasa cepatnya.
Mengetahui itu, diam2 Tio Jiang kagum atas kelihayan
siorang tua aneh. Demikianlah kedua orang itu telah
bertempur hampir 200 jurus, tapt tetap belum ketahuan
menang kalahn ya.
Cian-bin long-kun The Go berpuluh kali melancarkan
tutukannya, tapi tak dapat menemui sasarannya, aebaliknya
ilmu „toh beng cap jit jiao" yang bergaya 3 kali serangan
kosong satu kali serangan iai dari Kiau Topun tak banyak
gunanya. Masing2 saling mengagumi kepandaian lawan.
Tapi se-konyong2 The Go merobah gayanya. Kakinya
dimiringkan, sebentar kekanan sebentar kekiri, aehingga
sukar lawan untuk menerjangnya. Sedang kipasnya tiba2
dikibaskan, sehingga kain lipatannya terlepas jatuh. Kiranya
rangka kipas itu terdiri dari 14 batang lidi baja. Begitu
dipentang untuk dibuat menyerang, dapat menusuk jalan
darah lawan sampai 14 buah banyaknya. „cret, cret!"
pakaian Kiau To telah dapat dilubanginya beberapa buah.
Sudah tentu buru2 Kiau To lancarkan pukulannya, terus
loncat mundur, serunya: „Orang she The, Kiau jiyapun
hendak gunakan senjata!"
„Silahkan!" sahut The Go.
Begitu tangannya merogoh pinggang, Kiau To telah
menarik keluar sebatang pian sebesar lengan anak bayi,
panjangnya hampir dua meteran. Pian itu lemas sekali,
'warnanya kuning ke-merah2an, terbuat dari anyaman urat2
kerbau. Dengan mencekal pecut, Kiau To makin bertambah
garang. Sekali mengibas, dia menghajar lawan. Namun dari
menyingkir, sebaliknya The Go tetap berdiam diri, malah
maju menerjang sekali. Benar ujung pian itu melayang
kepunggung The Go, tapi 14 batang lidi baja dari rangka
kipas itu maju menusuk. Sudah tentu karena tak mau
tertusuk, Kiau To menggeliat kebelakang dan karena
tubuhnya mundur kebelakang, tangannyapun turut
tersentak kebelakang, jadi piannya pun makin keras
jalannya. Namun bagaikan seekor belut, The Go miringkan
tubuhnya kesamping sampai hampir seperti jatuh ketanah
dan berhasil menghindar dari hajaran pian yang sebaliknya
kini terus langsung menghajar tuannya sendiri. Cepat2 Kiau
To memutar tubuh agar piannya melibat lawan lagi. Tapi
The Go tak kurang sebatnya dorongkan kipasnya kemuka
sehingga terserak 7 batang dikiri dan 7 batang dikanan,
dengan dijepit oleh kedua jari ditusukkan kearah jalan
darah hong-si dan hok-tho, sekali gus dua. Dan dalam pada
itu, dia loncat keatas untuk menghindari hajaran pian, lalu
maju menerjang.
Dua buah serangan itu, aneh dan cepat sekali. Hajaran
pian tadi, telah dilancarkan se-kuat2n ya oleh Kiau To yang
ingin lekas2 merebut kemenangan. Dirangsang begitu aneh
sehingga hampir sad ya jalan darah hong-si-hiatn ya kena
ditutuk, telah membuatnya terperanjat dan ter-sipu2 buang
dirinya ketanah untuk bergelundungan. Dengan berbuat
begitu, barulah dia dapat menghindar dari serangan musuh.
Kalau akhli silat bertempur, jurus2nya memang aneh
luar biasa. Cara Kiau To menolong diri itu memang
istimewa, tapi lebih istimewa lagi adalah serangan yang
berikutnya dari The Go. Dengan miring2 seperti orang
mabuk yang sukar diduga arah langkahnya, tiba2 dia
merangsang dengan cepatnya. Lagi2 Kiau To terpaksa
menyingkir mundur. Saking bingung akan gaya serangan
orang, dan sibuk menyingkir kesana sini, terpaksa Kiau To
tak dapat gunakan pisaunya.
Melihat Kiau susioknya terdesak, Tio Jiang ber-ulang2
membanting kaki. Tlba2 orang tua linglung yang
bersembunyi dibelakangnya tadi berkata: „Gerakan anak itu
disebut 'hong cu may ciu', ilmu istimewa Ang Hwat cinjin
dari gunung Ko-to-san!"
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
BAGIAN 3 : HILANG TAK BERBEKAS
Mendengar itu, hati Tio Jiang tertarik. „Loocianpwee.....
eh, salah, Sam-thay-ya, bagaimana kau tahu kalau itu jurus
ilmu silat 'hong cu may ciu' (orang gila menjual arak)?"
tanyanya.
Orang tua kate yang aneh itu tertawa tawar, sahutnya :
„Buyung, kau berani tak memandang mata pada Sam-thayya"
Karena sudah ber-kali2 mendengar ucapan yang
melantur dari siorang tua aneh itu, kini Tio Jiang tak kaget
lagi. „Kalau Sam-thay-ya tahu, coba katakan kali ini orang
itu akan menutuk bagian mana?"
Pada saat itu Kiau To tengah abitkan piannya kearah
The Go, siapa tampak miringkan tubuhnya kesebelah
kanan. Melihat itu berserulah Sam-thay-ya: „Setelah
memutar tubuh, dia (The Go) tentu akan menutuk jalan
darah yang-kwan-hiat dipunggung orang itu (Kian To)."
Tio Jiang agak sangsi, karena The Go kala itu bereda
disebelah kanan Kiau To, bagaimana dapat menutuk
punggungnya? Tapi berbareng dengan ucapan siorang tua
aneh itu, tampak tubuh The Go menggeliat condong
kemuka, lalu se-konyong2 berputar mengangkat tubuhnya
lagi. Dengan rebah bangun cara begitu itu, kini The Go
berada disamping lawan, dan apabila dengan sekali rebahbangun
lagi, dia tentu akan tepat berada dibelakang lawan
serta dapat menutuk punggung.
„Hai," Tio Jiang mengeluarkan seruan tertahan sambiI
mengawasi Kiau To. Rupanya orang she Kiau belum insyaf
kalau lawan bisa menutuk punggung, maka begitu
mendengar ada samberan angin dari belakang, dengan
sibuk dia terus maju dua langkah kemuka untuk
menghindar. Ini bukan berarti karena tahu akan ditutuk
lawan, melainkan hanya sekedar penjagaan saja atas
serangan lawan yang sangat membingungkan itu. Oleh
karena inisiatip berada ditangan musuh, diapun tak dapat
menguasai permainannya pian lagi.
Buru2 Tio Jiang berpaling. Dilihatnya orang tua aneh itu
tengah kerat-kerutkan alisnya sehingga hidungnyapun turut
naik turun. „Buyung, percaya tidak omonganku?" tegur
orang tua tersebut.
Pepatah mengatakan „didalam keadaan mendesak, orang
bisa mengeluarkan pikiran yang cerdas". Tio Jiang bukan
seorang yang sama sekali tak berbakat. Soalnya dia itu tak
pandai omong. Maka sesaat itu terkilaslah suatu pikiran
bagus padanya. „Sam-thay-ya, kalau ber-turut2 10 kali kau
bisa menebak jitu, aku benar2 tunduk padamu!"
„Baik," sahut siorang tua sambil mengatupkan kelopak
matanya.
Ketika Tio Jiang alihkan pandangannya kegelanggang,
dilihatnya Kiau To baru saja dengan susah payah lolos dari
dua buah serangan The Go. Ikat kepalanya yang berwarna
hitam putih itupun sudah terpapas jatuh oleh rangka kipas
The Go. Kini pemimpin no. 2 dari Thian-Tee-Hui itu makin
keripuhan, sebaliknya si The Go makin tangkas. Gerak
serangannya memang seperti gaya seorang gila, menjorok
ketimur tapi ternyata memukul kebarat, berkelebat kearah
selatan namun kearah utara yang dihantamnya. Tio Jiang
tak dapat mengendalikan diri lagi, serunya: „Kiau susiok,
jangan kuatir. Ilmu menutuk orang itu dinamakan 'hong cu
may ciu', semuanya aku tahu!"
Mendengar itu, The Go terperanjat sekali. Masakan anak
gembala itu tahu akan ilmu perguruannya „hong cu may
ciu" yang istimewa itu? Karena pikirannya terpecah,
gerakannyapun agak lambat. Kiau To pun bukan seorang
jago sembarangan, begitu gerak lawan lamban maka
piannya hidup gayanya lagi. „Wut......” dia lancarkan
serangan balasan. The Go seperti orang gelagapan, burudia
tenangkan pikirannya, lalu rubuhkan diri kebelakang.
Begitu pian sudah lewat, serentak dia berdiri tegak lagi.
„Sam-thay-ya, dia mau menutuk apa?" buru2 Tio Jiang
bertanya, tapi hai, mengapa orang tua aneh itu tak
menyahut? Tio Jiang menoleh kebelakang dan dapatkan
siorang tua aneh itu unjuk kemarahan. „Sam-thay-ya,
mengapa kau diam saja?" tanyanya dengan heran.
„Kau ini seorang bujang yang licin. Suhu dari anak
muda itu adalah sahabatku. Kau hendak memberi kisikan
pada orang itu, supaya anak itu kalah?"
Sudah terlanjur diketahui, Tio Jiang tak mau kepalang
tanggung, ujarnya: „Sam-thay-ya, kalau sememangnya tak
tahu, bilang saja tak tahu dah!"
Kontan saja siorang tua linglung itu menyahut dengan
murkanya: „Kau berani memandang remeh pada Sam-thayya?
Hm, kali ini dia hendak menutuk jalan darah sitiokgong
dipinggir mata!"
Tanpa pedulikan lagi, lekas2 Tio Jiang berpaling
kemuka. Tepat pada saat itu, The Go tutukkan kipasnya,
dan benar juga yang diarah ialah jalan darah si-tiok-gong
yang terletak dipinggir mata. Benar Kiau To dapat
menghindar, tapi karena tak mengerti akan gerak serangan
lawan, dia tak berani gegabah balas menyerang, dengan
begitu dia tetap dipihak yang diserang.
Setelah mengirim tutukannya tadi, The Go tampak
huyung2kan tubuhnya kesamping, sedang Kiau To sambil
tegak berdiri, bolang balingkan piannya siap untuk
menyambut. „Wi-tiong-hiat!" tiba2 mulut siorang tua aneh
berseru pelan2, tanpa ditanya lagi. Jalan darah wi-tiong-hiat
itu terletak pada buku-persambungan betis dengan paha,
jadi tampaknya mustahil dapat diarah.” Tapi karena sudah
bulat kepercayaannya, dengan tak banyak cingcong lagi,
buru2 Tio Jiang berseru: „Kiau susiok, kali ini dia hendak
menutuk 'wi-tiong-hiat'mu!"
Baru seruan itu keluar, tiba2 The Go melengak, namun
karena tangan sudah bergerak maju sukarlah untuk ditarik
kembali. Se-konyong2 dia melambung keatas meloncati
samberan pian. Dengan tangan dan kaki berserabutan
macam orang kelelap disungai, dia meluncur turun
dibelakang Kiau To. Begitu hampir ketanah, tiba2
tangannya kiri dicengkalkan kebumi, sedang tangan kanan
menutukkan rangka kipas kearah jalan darah wi-tiong-hiat
dibetis orang!
Karena mendapat peringatan dari Tio Jiang, kini Kiau
To sudah bersiaga. Tahu musuh melayang turun
kebelakangn ya, dia tinggal diam saja. Tapi begitu musuh
sudah menyentuh bumi serta belum sempat untuk
melancarkan serangannya, Kiau To barengi memutar
tubuhnya dengan sebuah hajaran pian yang seru. Sudah
tentu The Go tak mau biarkan iganya dilibat cambuk
musuh, maka buru2 dia batalkan rencana penyerangannya
tadi, diganti dengan jejakkan kedua kakinya ketanah untuk
berdiri tegak. Dalam kesibukannya itu, dia sempat juga
melirik kearah Tio Jiang, namun anak itu tak mau
hiraukan. Dengan balingkan tangannya kebelakang dia
kutik2 tubuh siorang tua linglung lagi. „Jin-tiong-hiat" bisik
suara dari belakang, dan kembali Tio Jiang berseru keras
lagi: „Kiau susiok, orang itu hendak menutuk jin-tiong-hiatmu!"
Memang setelah berdiri tegak, tiba2 The Go berjongkok
dan ber-putar2 kemuka Kisu To lalu secepat kilat angkat
tubuhnya keatas. Menurut rencana Kiau To tiara
menghalau serangan orang itu ialah putar pian untuk
melindungi tubuh bagian muka. Tapi karena sudah
mendapat peringatan Tio Jiang, maka sengaja dia biarkan
saja lawan menyerang. Sebaliknya dari memutar pian, dia
kibaskan pian itu keatas melampaui kepala lawan,
kemudian dengan se-konyong2 disentaknya pian itu
menurun kebelakang musuh untuk menghantam bagian
tengkuknya (leher sebelah belakang). Jadi kalau The Go
tetap hendak menutuk jintiong-hiat lawan, tengkuknyapun
tentu terhantam pian. Maka buru2 dia menghindari hajaran
pian dan dalam penghindarannya itu gerakannyapun tak
menurut gaya „hong cu may ciu" lagi.
Tapi menggunakan kelemahan lawan itu, Kiau To segera
hajarkan piannya lagi. Wet, wet, wet, ber-turut2 The Go
undur sampai 3 langkah, baru dia dapat dengan susah
payah menghindar. Jurus2 selanjutnya, Kiau To menang
angin. Tiang-pian atau ruyung panjang macam cambuk menari2
dengan lincah dan seru, samberan anginnya
kedengaran men-deru2. Beberapa kali The Go berganti
gaya, baru akhirnya dapat dia balas menyerang. Tapi setiap
kali dia hendak lancarkan serangannya jurus „orang gila
menjual arak" itu, setiap kali itu pula tentu dipecahkan oleh
tereakan Tio Jiang. Dalam beberapa jurus saja, topi-pelajar
yang menutupi kepalanya kena dihajar jatuh oleh pian Kiau
To. Bahkan kini keadaan The Go tak keruan macamnya.
Rambutnya terurai kacau, mukanya bercucuran keringat
dan kotor dan gaya gerakannyapun sudah limbung. Asal
dua kali lagi Tio Jiang memberi kisikan kepada Klan To,
maka si The Go itu pasti akan rubuh.
Dalam saat2 yang genting itu, tiba2 „trang" terdengar
bunyi senjata berkeroncangan, dibarengi dengan melesatnya
sesosok tubuh kedalam gelanggang, serta seruan
melengking: „Cis, tak malu, dua mengerubut satu!"
Kiranya itulah sigadis nelayan Ciok Siau-lan. Begitu
melesat maju, dia tusukkan hi-jat (garu ikan) kedada Kiau
To. Namun pemimpin kedua dari Thian-te-hwe hanya
berkelit saja tak mau balas menyerang, karena dia curahkan
perhatiannya mendengari seruan Tio Jiang untuk
menghadapi serangan The Go. Sampai pada saat itu,
siorang tua aneh tadi sudah memberi 8 kali petunjuk yang
kesemuanya jitu sekali. Jadi masih kurang 2 kali lagi. Tapi
dengan tampilnya sigadis nelayan itu, walaupun menang
angin, kiranya masih sukar juga bagi Kiau To untuk
mengalahkan The Go. Dalam pada itu sempat pula Kiau
To menyapukan matanya kesekeliling tempat itu.
Dilihatnya sigenit Yan-chiu berdiri disebelah sucinya (Bek
Lian), memandang dengan penuh keheranan kepadanya
(Kiau To) mengapa dapat memecahkan gaya ilmu silat The
Go yang luar biasa anehnya itu. Buru2 dia (Kiau To)
memberi isyarat tangan kepada gadis lincah itu, siapapun
ternyata dapat menangkap maksud orang serta terus berkaok2:
„Mengapa kau tak tiru2 memberi tahu saja? Apakah
karena ilmu tutukanmu terpecahkan, kau marah karena
malu? Kalau mau berkelahi, akulah tandingmu." habis
berkata begitu, tangannya melepaskan senjatanya
bandringan yang terikat dipinggang, begitu melangkah
maju, kira2 masih satu tombak jauhnya, ia sudah lontarkan
bandringan rantai itu seraya enjot tubuhnya kemuka.
Tadi karena kuatir orang yang dikasihinya (The Go)
sampai celaka, Ciok Siau-lan buru2 maju membantu. Tapi
seperti dikatakan orang „kalau hati gelisah, orangnyapun
kacau". Siau-lan mainkan ilmu permainannya garu
„Lamhay cak sat" (laut selatan mendampar ikan tawes)
secara rancu sekali. Maka dalam 10-an jurus, ia tak dapat
melukai Kiau To. Malah pada saat itu, keburu Yan-chiu
sudah menyerang dari belakang, maka buru2 ia putar tubuh
dan menangkis dengan hi-jatnya (penusuk ikan).
„Oho, kiranya hanya begini saja!" seru Yan-chiu sambil
leletkan lidah demi senjatanya saling beradu. Tapi apakah
benar kepandaian sigadis hitam dari laut selatan itu hanya
sebegitu saja? Bukan, itulah siasat cerdik dari sigenit Yanchiu
untuk membikin panas hati lawan. Karena pada
hakekatnya, gerakan memutar tubuh sembari menusuk dari
Siau-lan tadi, terselip jurus dari ilmu tombak Yo-kee-jiang
yang termasyhur. Yo-kee-jiang atau ilmu tombak keluarga
Yo (Nyoo), adalah buah ciptaan Yo Ci-giap, seorang
panglima yang terkenal pada jaman Pak Song (kerajaan
Song utara). Salah satu jurusnya yang paling lihay ialah
yang disebut „hwee ma jiang" atau memutar kuda dengan
menusuk.
Ilmu permainan jat (tusuk garu) dari keluarga Ciok Siaulan,
penuh dengan gaya perobahan. Hampir gaya yang
indah dari pelbagai permainan senjata panjang, diambil dan
dipersatukan dalam satu permainan jat itu. Sewaktu berada
ditengah laut, asal kelihatan ada ikan mengambang, sekali
tusuk tentu kena. Saking gapahnya Siau-lan mainkan jat itu,
ia telah digelari sebagai Lam-hay hi-li (sigadis nelayan dari
laut kidul). Sebenarnya tadi, dengan susah payah baru Yanchiu
dapat menghindar dari tusukan Siau-lan, namun
dasarnya genit, mulut Yan-chiupun tetap mengeluarkan
ejekannya tadi. Tapi Siau-lan tak mau ambil mumet,
melainkan menyerang lagi.
Karena merasa tak ada lagi angin menyambar
dibelakangnya, tahulah Kiau To kalau sigadis hitam tadi
sudah dilibat oleh Yan-chiu. Tapi pada saat itu justeru The
Go sudah menyerangnya, rangka kipasnya dipecah menjadi
3 bagian berbareng maju menutuk.
„Kiau susiok, awas kong-sun-hiat!" kembali Tio Jiang
berseru. Kini Kiau To dapat memperhitungkan, meskipun
gaya si The Go itu seperti orang ter-huyung2, tapi karena
jalan darah kong-sun-hiat itu terletak pada 3 dim dibelakang
ibu jari kaki, maka dia duga lawan tentu akan menjorok
maju. Maka dia segera gunakan jurus „cu ham to cuan"
hajarkan piannya.
Benar juga, The Go se-konyong2 jatuhkan tubuhnya
kemuka untuk menutuk jempol kaki orang, tapi ujung
tiangpianpun sudah menurun datang. Saking kagetnya,
buru2 The Go loncat bangun, sehingga buyarlah kuda2
kakinya. Sekali Kiau To angkat kakinya kiri, dia mendupak
se-kuat2nya kebetis The Go. Betapapun anak muda itu coba
loncat mundur dengan cepatnya, namun samberan angin
dupakan yang keras itu telah membuatnya ter-huyung2
sampai 7 atau 8 langkah kebelakang, baru dia dapat berdiri
anteng lagi. Tapi baru sang kaki anteng, laksana bayangan,
Kiau To sudah melesat datang terus menghajarkan pian
kemukanya. Dalam gugupnya, The Go hendak menangkis
dengan lengan kanan, tapi serangan lawan itu adalah jurus
dari permainan pian liok-kin-pian-hwat yang penuh dengan
variasi gaya. Tiba2 tangkai pian menurun, hendak melibat
siku tangan kanan lawan. Hendak The Go menarik mundur
siku tangannya itu, tapi ujung pian telah melibat kipasnya.
Melihat tiang-pian berhasil melibat kipas, Kiau To
membentak: „Lepas!", dengan kerahkan seluruh tenaganya
dia sentakkan pian kebelakang untuk membetot kipas.
Tangan The Go segera terasa kesemutan, buru2 diapun
kerahkan lweekangnya untuk menarik balik kipasnya. Jadi
kini kedua seteru itu saling tarik adu lweekang. Hanya
beberapa kejab saja adu tarik itu berlangsung, karena tiba2
terdengar bunyi yang keras „krakkk" dan putuslah rangka
kipas yang terbuat daripada baja murni itu. Bagian
tangkainya masih terpegang The Go, tapi bagian atasnya
kecantol diujung tiang-pian. Sekali Kiau To kibaskan
piannya, maka diudara segera tampak beberapa puluh
bintik sinar kemilau dari kutungan batang rangka tertimpa
cahaya matahari, dan cet, cet cet, berpuluh kutungan lidi
baja itu menyusup masuk ke sebuah puhun siong semua.
Penilaian meskipun orang menganggap The Go telah
kalah karena senjatanya patah, namun sebenarnya
kepandaiannya setingkat lebih atas dari Kiau To.
Kutungnya kipas itu, bukan karena lweekang The Go
kurang tinggi, tapi oleh karena rangka kipas itu merupakan
lidi2 yang terbuat dari baja, jadi begitu saling ditarik,
tentulah putus.
Melihat kipasnya patah, merahlah selebar muka si The
Go, siapa lalu mundur beberapa langkah dan dengan
tertawa mesam dia berkata: „Kiau loji, aku mengaku
kalah!" Kiau To seorang yang berwatak jujur. Tahu kalau
kemenangannya itu tak begitu gemilang, dia segera
rangkapkan kedua tangan memberi hormat seraya berseru:
„Maafkanlah........" Tapi baru ucapan itu keluar, disana
terdengar Yan-chiu berteriak: „Aku tak mau berkelahi lagi
dengan kau!"
Ternyata hanya dalam tujuh delapan jurus saja, Siau-lan
telah dapat mendesak Yan-chiu sampai kewalahan tak bisa
balas menyerang. Tapi sembari bertempur itu, mata Siaulan
senantiasa diarahkan pada The Go. Demi melihat
pemuda kesayangannya itu kalah, iapun agak lambat
gerakannya. Dan karena memperoleh kesempatan ini, Yanchiu
dapat loncat undur beberapa tindak. Tapi dasar nona
genit, ia tetap tak mau akui kekalahannya melainkan
keluarkan jengekannya lagi, se-olah2 dia tak mau kotorkan
tangannya berkelahi dengan nona lawannya itu. Dan
karena memangnya Siau-lan tak mau terlibat dalam
pertempuran dengan Yan-chiu, begitu lawan lari, iapun
buru2 menghampiri The Go seraya bertanya dengan
cemasnya: „Engkoh Go, bagaimana?"
Dihadapan sekian banyak orang, dirinya telah kena
dipecundangi itu, perasaan The Go sukar dilukiskan.
Dupakan Kiau To tadi, terasa sakit sekali. Belum sempat
dia empos semangatnya untuk menghilangkan rasa sakit
itu, dia sudah dipaksa untuk adu Iweekang lagi. Ini
menyebabkan rasa sakit itu makin menghebat. Kalau
bukannya dia itu tergolong orang yang berhati keras, apa
lagi dihadapan sekian banyak orang dan teristimewa
dihadapan Bek Lian, tentu siang2 dia sudah tak kuat lagi
berdiri jejak. Tapi disebabkan terlalu memaksa diri itu,
keningnya tampak bercucuran keringat.
GAMBAR 10
Dengan perasaan cemas, Siau-lan keluarkan saputangan untuk
mengusap muka The Go yang dicintainya itu.
Melihat itu, hati Siau-lan seperti di-remas2. Buru2 ia
keluarkan saputangan putih, niatnya hendak menyeka
kening sang kekasih itu. Tapi The Go menghindar
kesamping seraya mendamprat: „Menjemukan sekali,
budak yang tak tahu malu!"
Namun gadis nelayan yang hitam manis kulitnya itu
sudah dimabuk asmara. Walaupun dimaki, ia tetap
mengikuti lagi untuk menyeka kening orang. Kalau sinona
begitu ter-gila2, sebaliknya The Go makin jemu. Tadi
sewaktu melihat Bek Lian lari masuk dengan menangis
karena ucapan Siau-lan, The Go gusar sekali. Maka setelah
menghindar dari rangsangan Siau-lan, dia (The Go segera
melirik kearah Bek Lian. Demi diketahuinya juwita itupun
mengawasi dirinya, terhiburlah hati The Go sehingga untuk
sesaat itu dia ter-longong2. Tapi justeru selagi dia terlongong2
seperti kehiIangan semangat itu, tahu2
saputangan Siau-lan sudah menyeka dikeningnya. Seketika
itu meluaplah kemarahan The Go, serentak dia ulurkan
tangannya kanan, dengan kelima jari yang bagaikan kait
besi kerasnya itu, dia cengkeram bahu sinona. Sudah tentu
karena tak mengira orang yang dikasihinya itu berbuat
begitu, menjeritlah Siau-lan karena kesakitan. Malah saking
hebatnya cengkeram itu, muka sinona berobah ke-hijau2an
dan bibirnya menjadi pucat lesi. Namun sembari meronta,
masih sinona ikhlas menderita, serunya: „Engkoh Go,
tumpahkan kemarahanmu itu padaku, aku tak sesalkan
kau!"
Empat keluarga The, Ciok, Ma dan Chi dari Laut
Selatan itu, sebenarnya akrab sekali hubungannya, lebih
dari itu, malah hubungan mereka itu dipererat juga dengan
perkawinan. Misalnya Ciok jisoh itu adalah berasal dari
keluarga Ma. Bermula karena Ciok Siau-lan jatuh hati
padanya. walaupun gadis itu tak secantik bidadari, namun
karena dilautan ia tergolong jelita kelas pilihan, maka The
Gopun bersikap mengimbangi kasih sinona itu. Tapi sejak
dia berjumpa dengan bidadari Lo-hou-san Bek Lian,
lupalah sudah dia akan Siau-lan. Untuk mengunjukkan
pada sijuwita bahwa dia tiada sedikitpun mempunyai
perasaan apa2 terhadap sigadis nelayan, The Go lupa akan
rasa kasihan lagi. Apalagi sememangnya dia itu seorang
yang berwatak kejam ganas, seketika itu timbullah
rencananya yang jahat. Dengan menyeringai, dia segera
mendamprat : „Budak hina yang tak punya malu?"
Demi mengetahui tindakan The Go itu, cemaslah Ciok
jisoh. Ia cukup kenal keganasan orang she The itu, yang
berani melakukan segala macam perbuatan jahat. „Orang
she The. kau berani menghina adikku?" serunya cemas
sembari lari menghampiri, namun sudah terlambat. Karena
pada saat itu, tampak The Go mengangkat kakinya kanan.
Dengan lututnya dia bentur dada sinona, sembari lepaskan
cengkeramnya tadi. „Aduh...." hanya sekali mulut Siau-lan
merintih tubuhnya sudah segera rubuh terlentang
kebelakang..........
Syukur tepat pada saat itu, Ciok jisoh sudah tiba disitu,
sehingga terus dapat menyanggah tubuh adik iparnya.
Melihat tindakan yang kejam itu, bukan saja Ciok jisoh,
pun Kiau To, Tio Jiang dan Yan-chiu yang berwatak jujur
perwira itu, marah sekali. Masa seorang lelaki berbuat
semacam begitu terhadap seorang gadis yang
menyayanginya. Yan-chiu yang paling tak kuat menahan
peraasannya itu, segera memaki: „Kau benar2 seorang yang
tak kenal budi! Mengapa kau berbuat sekejam itu?"
Sebenarnya The Go masih belum hilang kemarahannya
terhadap Siau-lan, tapi demi mendengar dampratan Yanchiu
itu, buru2 dia berganti wajah. Dengan tertawa manis
dia menyahut: „Nona Yan, kalau andainya ia itu seorang
lelaki dan aku ini perempuan, dia pantas ditampar tidak?"
Yan-chiu terdesak kepojok oleh pertanyaan itu. Kalau
mengiakan, terang dia setuju perbuatan anak muda tadi.
Namun tidak setuju, berarti dia itu seorang gadis yang
rendah nilainya. Sesaat dara yang belum faham akan seluk
beluk pergaulan muda mudi itu, menjadi jengah dan terlongong2
sampai sekian detik.
„Budak perempuan yang tak kenal malu macam begitu,
perlu apa diberi hidup?" The Go main unjuk
„keperwiraannya" seraya kerlingkan ekor mata kearah Bek
Lian.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Sebagai seorang gadis, Bek Lian merasa kurang penuju
atas perbuatan sianak muda itu terhadap sesama kaumnya.
Tapi entah bagaimana, demi mengetahui si The Go benci
pada perempuan lain, diam2 ia merasa girang. Dan ketika
anakmuda itu mengawasi dirinya, ia menjadi jengah sendiri
terhadap orang banyak, maka buru2 dongakkan kepala
memandang awan dilangit.
Yan-chiu yang biasanya bermulut tajam itu, kali ini
terpukul k.o. oleh kelicinan The Go, namun ia tetap
penasaran, serunya: „Ya biar bagaimana juga, tak pantas
kau melukai orang, nah sudah tak mau berbantah lagi
dengan kau.”
Sedang Tio Jiang yang tak pandai ber-kata2 itu hanya
menuding kepada The Go seraya berseru dengan gelagapan
: „kau...... kau.....”
„Aku bagaimana?" cepat The Go menukasnya sambil
menahan kesakitan.
„Kau seharusnya tahu bahwa ia menaruh hati padamu?"
sahut Tio Jiang.
The Go ber-gelak2, ujarnya: „Engkoh kecil, hatimu
murni amat. Namun setiap curahan kalbu itu harus
berbalas. Misalnya kau sendiri saja, menaruh hati pada
seorang nona, dan ia tak membalas cintamu, andainya kau
masih menguber2 saja, apakah kau harus memaksanya?"
The Go sengaja mengucap dengan nada keras, agar orang2
dapat mendengarnya.
Wajah Tio Jiang merah padam. Sepintas teringatlah
perihal dirinya sendiri. Dia telah abdikan panggilan hatinya
terhadap sang suci, namun suci itu tak ambil perhatian
kepadanya. Dalam hal itu, dia tak dapat sesalkan sikap
sucinya itu. Berpikir sampai disitu, dia melangkah maju
hendak mengatakan sesuatu. Hai, kalau tadi begitu bergerak
siorang tua aneh tentu lekas2 mencengkeramnya, tapi kini
tidak lagi. Kemana dia? Buru2 dia berpaling dan dapatkan
orang tua aneh itu sudah tiada disitu. Tapi karena saat itu
dia sedang mempunyai urusan, maka dia tak mau
menyibukinya lagi.
Sebaliknya karena telah dapat membuat Yan-chiu dan
Tio Jiang bungkam, The Go merasa girang, dengan
dongakkan kepalanya dia tertawa riang. Tiba2 dirasanya
ada sebuah sinar berkelebat disusul dengan samberan angin
keras menyampok datang. Buru2 dia tundukkan kepalanya,
lalu dengan tahankan rasa sakit dia melangkah setindak
kesamping. Kiranya itulah Ciok jisoh menyerang dengan
kim-kong-lun (senjata roda baja). Kalau tadi dia tak lekas2
menghindar tentu celaka sudah.
„Ciok jisoh, kau juga akan main2 dengan aku?" tanyanya
dengan menyeringai.
Tadi sewaktu Kiau To kirim dupakannya, dengan
sebatnya The Go mundur kebelakang, maka orang2 sama
mengira kalau dia dapat menghindari serangan itu. Dan
meskipun sudah terluka, masih dia unjuk senyuman sambil
ber-kata2 agar tak kentara sakit. Ternyata Ciok jisohpun
dapat dikelabuhinya. Sedikitpun jago perempuan itu tak
mengetahui bahwa lutut The Go telah terluka, ya sekalipun
tak sampai patah tulangnya, tapi cukup membuat
gerakannnya tak leluasa. Maka demi The Go mengeluarkan
hardikannya, karena merasa kalah tinggi kepandaiannya,
iapun bersangsi. The Gopun tak mau mempedulikannya.
Dipungutnya ikat kepalanya yang jatuh ditanah, setelah
membereskan rambutnya yang kacau, lalu dipakainya lagi.
Kemudian katanya kepada Kiau To dan Tio Jiang berdua:
„Kepandaian jiwi berdua, aku amat kagum. Terutama
kepada engkoh kecil ini yang telah dapat mengenal ilmu
tutukan darah dari perguruanku yang sangat dirahasiakan
itu. Kalau benar2 seorang lelaki, nanti pada hari Peh-cun
tahun muka, supaya datang kebio Ang-kun-kiong digunung
Ko-to-san!"
Saat itu Tio Jiang tengah kelelap dalam pikirannya
mengenai perhubungannya dengan sang suci, jadi dia tak
mendengarkan apa yang dikatakan The Go itu. Sebaliknya
Kiau To yang merasa kalau kemenangannya tadi itu tak
layak, hendak menghibur agar lawan itu jangan kehilangan
muka. Tapi demi menyaksikan kekejaman orang itu
terhadap seorang gadis kawannya, dia berbalik gusar sekali.
Maka demi siganas itu mengeluarkan tantangannya, kontan
saja dia menyahut: „Kau mau agul2kan nama Anghunkiong
untuk menggertak orang? Hm, ucapan seorang
lelaki........"
„Laksana kuda mencongklang pesat!" buru2 The Go
menyambung kata2 Kiau to itu, „nah, siaoseng hendak
minta diri!" Dan dengan kata2nya itu The Go sudah
melesat dua tombak jauhnya, justeru tepat disisi Bek Lian.
Melihat anak muda itu hendak berlalu, hati Bek Lian seperti
terasa kehilangan sesuatu, maka tanpa dapat ditahan lagi,
meluncurlah kata2 dari mulutnya: „Kau..... kau terus pergi
begini saja?"
„Tahun muka, kalau dapat kau turut saja berkunjung ke
Ko-to-san, kita pasti akan berjumpa pula," sahut The Go
dengan berbisik.
Bek Lian sendiripun tak tahu, mengapa dalam
perkenalan sesingkat waktu itu saja, dia sudah mempunyai
perasaan begitu terhadap sianak muda itu. Pehcun (Pesta
air) masih setengah tahun lagi, baginya waktu itu keliwat
lama sekali. „Kecuali Pehcun itu, apakah tiada lain
kesempatan lagi?" tanyanya.
Mendengar itu, The Go girang bukan buatan, sahutnya
berbisik: „Kalau kau dapat turun gunung, carilah aku ke
Kwiciu!"
Bek Lian mengangguk dan setelah melesat lagi beberapa
kali. The Gopun lenyap kebawah gunung. Ketiga saudara
Chi buru2 mengikut jejaknya. Hweeshio gemuk Ti Gong
taysu setelah merandek sejenak lalu menghampiri Ciok
jisoh, siapa tengah berjongkok memeriksa luka adik
iparnya. Demi melihat sihweeshio datang, Ciok jisoh segera
membentaknya: „Kepala gundul, sejak naik kemari kaulah
yang mulai cari perkara, sana enyahlah!"
Dengan tertawa menyengir, hweeshio gemuk itu pamitan
lalu ayunkan langkahnya turun gunung. Dan karena
berhenti sebentar itu, dia sudah ketinggalan jauh dengan
The Go dan ketiga saudara Chi. Sukur jalanan disitu tak
keliwat ber-belit2, jadi diapun tak sampai kesasar. Malah
kuatir kalau Ciok jisoh yang sedang gusar itu menyuaulnya,
dia percepat langkahnya. Kira2 satu li jauhnya, tiba2 dia
teringat akan sesuatu, lalu menoleh memandang kepuncak
tadi. Sampai sekian saat dia merandek dan merenung. Pada
lain saat ketika dia hendak lanjutkan perjalanannya lagi, sekonyong2
dari sebelah samping terdengar orang berkata
dengan nada yang dingin sekali: „Kepala gundul, kau
kenapa? Mengenang Liok-ya? Inilah liokya-mu berada
disini!"
Mendengar nada yang dikenalnya sejak 10 tahun yang
lalu. bagaikan diburu setan Ti Gong segera loncat kemuka.
Kebetulan tempat yang diloncatinya itu adalah sebuah
semak belukar duri. Biarpun ilmunya mengentengi tubuh
cukup baik, begitu turun kesemak terus secepatnya loncat
keatas lagi, namun tak urung jubahnya bagian bawah
tertusup pecah oleh duri2 disitu, sehingga tak keruan
macamnya.
GAMBAR 11
Selagi Ti Gong Hwesio ngacir kebawah gunung, tiba2 ia
dipapak si Bongkok, Thaysan-sin-tho, seorang musuh buyutan
pada 10 tahun yang lalu.
„Ha. ha, mengapa takut, kepala gundul?" kedengaran
suara tadi tertawa mengejek, „liok-ya masih belum selesai
dahar, belum sempat untuk memberesimu. Kalau kenal
aelatan, lekas jongkok memberi hormat. Apabila liok-ya
attdah selesai menyantap kaki anjing ini, baru nanti
memberi putusan!"
Ti Gong terkejut bercampur marah, cepat dia berpaling
kebelakang. Tak jauh dari situ, tampak seorang yang
berwajah mesum tengah menggerogoti sepotong paha
anjing. Ha, itulah sibongkok dari biara Cin Wan Kwan.
Melihat dugaannya tak meleset, lebih dahulu Ti Gong
gunakan tangannya kiri melindungi dada, lalu tangannya
kanan menuding pada sibongkok, dia balas mendamprat:
„Bagus, Thaysan Sin-tho! Mengapa kau sembunyikan diri
menjadi paderi gagu berganti nama Hwat Ji tojin? Ceng Bo
siangjin tentu kena kau kelabui!"
Sembari masih menggerogoti kaki anjing, si Bongkok
berbangkit dan menyahut dengan pelahan: „Benar, orang
she Bek itu telah kukelabui!"
Tegas dilihat oleh Ti Gong, bahwa ketika si Bongkok itu
berbangkit, meskipun masih tetap seorang bongkok, tapi
jauh bedanya dengan bentuknya ketika berada dibiara Cin
Wan Kwan tadi. Kini sepasang matanya memancarkan
sorot ber-api2. Ya, itulah orang she Ih nama Liok bergelar
Thaysan sin-tho (si Bongkok sakti dari gunung Thaysan)
yang telah dijumpainya 10 tahun berselang dipesisir utara
sungai Tiangkang. Itu waktu dia tengah melakukan
keganasan membunuh wanita hamil, mengeluarkan
kandungannya untuk dibuat ramuan obat. Perbuatannya itu
kepergok Thaysan Sin-tho dan dalam pertempuran itu dia
kena dijatuhkan oleh sibongkok tersebut.
Dengan kekalahan itu, Ti Gong lalu mencari guru yang
pandai, mencukur rambutnya masuk menjadi hweeshio dan
meyakinkan ilmu silat lagi dengan jerih payah. Setelah
merasa kepandaiannya cukup, dia cari lagi musuhnya itu
guna melakukan pembalasan. Tapi dari selatan menjelajah
keutara, orang2 persilatan golongan atas yang dijumpainya
sama mengatakan bahwa Ih Liok itu sudah sejak 10 tahun
ini menghilang tak berbekas, entah mati atau hidup. Ti
Gong terpaksa hentikan pengejarannya.
Sewaktu melihatnya dibiara Cin Wan Kwan tadi, Ti
Gong sudah curiga. Tapi demi mendengar keterangan Tio
Jiang bahwa sibongkok itu adalah seorang tuli dan gagu,
apalagi setelah dicobanya ternyata benar dia itu tak bisa
ilmu silat maka Ti Gongpun lepaskan kecurigaannya itu.
Ah, mimpipun tidak dia kalau kini sibongkok yang ternyata
benar2 Thaysan Sin-tho itu, sudah menunggunya dibawah
gunung situ. Merasa dirinya itu sudah banyak berbuat
kejahatan dan keganasan, diam- bercekat hati Ti Gong.
Tapi demi merasa bahwa jerih payahnya meyakinkan ilmu
silat telah membuat dirinya jauh berlainan dari 10 tahun
yang lalu, timbullah nyalinya lagi. „Hm, orang she Ih, Ceng
Bo siangjin boleh kau selomoti, tapi aku tidak!"
Ih Liok memberakot lagi segumpal daging paha
anjingnya, sembari berkeruyukan mengunyah, dia
menyahut dengan suara sember: „Tak dapat mengelabui
kau, Liok-yapun tak jeri. Coba kulihat, apakah mulutmu itu
masih bisa dipakai berbicara lagi?"
„Celaka!" diam2 Ti Gong mengeluh dalam hati menduga
kalau ucapan sibongkok ttu tentu ada apa2-nya. Cepat2
dengan gerak „i-heng huan-poh" dia raba tasbih 108
mutiaranya itu untuk mendahului menyerang musuh. Tapi
sudah terlambat. Sesosok bayangan bundar hitam,
merangsang datang. Gerakannya lebih cepat dari suara.
Baru tangan meraba mutiara, atau serangkum angin keras
telah menyampok putus kawat peronce mutiara itu.
Insyaflah Ti Gong, bahwa jerih payah peyakinannya selama
10 tahun ini masih tak dapat menandingi kesaktian Thaysan
Sin-tho. Rupanya dalam waktu itu, Thaysan Sin-thopun
membuat kemajuan yang pesat sekali. Tahu gelagat jelek,
buru2 dia hendak kabur, tapi sudah tak keburu lagi. Sesaat
itu dirasanya seluruh persendian tulangnya kesemutan dan
tubuhnya lemah lunglai. Kiranya dia telah kena
dicengkeram oleh Thaysan Sin-tho. Sewaktu berpaling
kebelakang, dilihatnya wajah sibongkok itu amat
menakutkan sekali walaupun mulutnya masih enak2an
menggeragoti santapannya itu. Saking ketakutan, buru2 Ti
Gong meratap: „Liok-ya, ampunilah.......", tapi belum
sempat dia mengucapkan „jiwaku", atau dadanya serasa
sesak, mulut terasa manis dan matanya ber-kunang2 gelap.
Sekali Thaysan Sin-tho menepuk kearah dadanya, tubuh Ti
Gong segera ngelumpruk, kepalanya terkulai dan putuslah
nyawanya.
Begitu tangan Thaysan Sin-tho melepas, sekali dorong
tubuh Ti Gong yang gemuk itu segera ber-guling2 kebawah
gunung. Setelah itu, tampak Ih Liok menepuk2 tangan,
sembari menyembat santapannya kaki anjing tadi, dia
segera memanggul tong air. Dalam bentuknya sebagai
imam Bongkok yang tuli gagu dari Cin Wan Kwan, dia
mendaki keatas gunung lagi.
Mayat Ti Gong yang digelundungkan kebawah oleh
Thaysan Sin-tho dengan cepatnya telah dapat menyusul
perjalanan ketiga saudara Chi. Mendengar dibelakangnya
ada suara benda ber-gelundung ketiga orang itu sama
menoleh kebelakang dan mengenalnya itu sebagai potongan
tubuh Ti Gong. Tapi mengapa bergelundungan, tidak
berjalan biasa saja? Karena tak tahu kalau Ti Gong sudah
menjadi mayat, mereka sama tertawa geli. Seru Chi Sim:
„Toa-hweeahio, mengapa bergelundungan begitu? Apa
kuatir kalau ketinggalan 'sepur'?" Sedang lain saudaranya
juga menambahi: „Bukan, rupanya toa-hweeaio hendak
meniru Hoa-hweesio Lou Ti-sim dari kawanan Liang-san.
Bukankah setelah mencuri arak digunung Siau-pa-ong, lalu
menggelundung turun gunung?"
Sewaktu ketiga saudara itu berolok2 dengan riangnya,
tubuh Ti Gongpun sudah tiba dihadapan mereka.
„Celaka!" tiba2 Chi Sim menjerit kaget. Ternyata kedua
saudaranyapun telah mengetahui perihal Ti Gong itu.
Buru2 mereka mengangkatnya untuk diperiksa. Amboi,
ternyata dada Ti Gong telah hancur jeroannya, maka
sewaktu diangkat itu mereka dapatkan bahwa mayat
hweeshio yang gemuk itu sangat ringan sekali, se-olah2 tak
bertulang lagi. Saking takutnya ketiga saudara Chi berseru
memanggil The Go yang jauh berada dimuka: „The toako,
ada peristiwa hebat!"
The Go mendengar juga teriakan itu, tapi mengira kalau
yang dimaksudkan dengan „peristiwa" itu adalah Kiau To
dan Ceng Bo siangjin melakukan pengejaran, dia agak
terkejut. Terang dia tak nanti sanggup melawan kedua
tokoh itu, apalagi ketiga saudara Chi Itu orang2 yang tak
berguna, maka dari merandek dia malah percepat
langkahnya.
Ketiga saudara Chi itu adalah orang2 kasar. Betul
biasanya mereka tak takut dengan Ti Gong, tapi karena
perhubungan diantara keempat keluarga The, Ciok, Ma dan
Chi itu sangat akrab sekali, maka mereka anggap Ti Gong
itu juga termasuk orang sendiri. Melihat kematian yang
mengenaskan dari sihweeshio, perasaan merekapun tak
enak. Diulanginya lagi seruannya memanggil The Go,
namun yang tersebut belakang itu berlaga tak mendengar,
malah kini lari se-kencang2nya. Melihat itu mereka
mengeluh, kenapa tadi tak lekas2 berjalan sehingga
kesamplokan dengan mayat Ti Gong. Ah, lebih baik
gelundungkan lagi saja mayat itu, dan mereka
mengikutinya dari belakang.
Tepat pada saat tubuh Ti Gong menggelundung dikaki
gunung, The Gopun sampai ditempat situ. Melihat ada
sesosok tubuh bergelundungan, buru2 dia loncat
menghindar, sehingga tubuh itu menggelundung beberapa
meter lagi baru berhenti. Kini baru The Go kaget, berbareng
pada saat itu ketiga saudara Chi tadipun tiba, terus
menuturkan apa yang dialaminya tadi. Wajah The Go
hanya mengunjuk senyuman getir, tapi diam2 dia makin
mendendam pada orang2 Cin Wan Kwan. Hanya terhadap
sijuwita Bek Lian, dia tak dapat melupakannya. Sesaat
terbayanglah kecantikan puteri gunung Lo-hou-san yang
sangat mempesonakan itu. Pikirnya: „Sungguh tak nyana
kalau dipuncak yang sunyi itu, terdapat seorang bidadari.
Aku, The Go, seorang bun-bu coan-cay (serba guna),
mempunyai hari depan yang gemilang, apapun tentu dapat
kucapai. Walaupun aku terikat permusuhan dengan
kaumnya, namun hati seorang gadis itu lemah, masakan dia
bakal terluput dari tanganku?" Puas melamun, dia segera
dupak mayat Ti Gong kedalam sebuah semak belukar,
kemudian dengan ketiga saudara Chi, lanjutkan
perjalanannya menuju ke Kwiciu.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Sekarang mari kita tengok keadaan digunung Lo-housan.
Sepeninggalnya The Go, Bek Lian seperti kehilangan
sesuatu. Dengan ter-longong2 ia memandang kearah awan
yang bertebaran dilangit, pikirannya jauh me-layang2.
Sedang disebelah sana Ciok jisoh dan Kiau To sedang asyik
memereksa luka Siau-lan. Habis memeriksa, keduanya
sama berkerut alis.
Kata Kiau To: „Ciok jisoh, kini tiada lawan atau kawan,
menolong orang adalah yang terpenting. Adikmu terluka
parah, baik dibawa masuk kedalam biara dahulu!" Sembari
berkata itu dia ulurkan tangannya hendak menutuk jalan
darah thian-ti-hiat yang terletak disebelah dada sinona.
Maksudnya hendak menolong supaya mengurangkan
sakitnya. Tapi teringat kalau yang sakit itu adalah seorang
nona, dia batalkan niatnya dan merandek. Tahu akan
maksud baik orang she Kiau itu, karena dirinya sendiri tak
mengerti ilmu menutuk, buru2 Ciok jisoh mempersilahkan:
„Kisu looji, tutuklah, jangan sungkan!"
Mendapat anjuran itu, baru Kiau To berani. Tapi ketika
tangannya menyentuh badan sinona, tiba2 hatinya bergetar.
Diam2 dia mengeluh dan lekas2 tenangkan pikirannya.
Setelah itu, Ciok jisoh menggendong adik iparnya itu
masuk kedalam biara. Yan-chiu meskipun genit dan nakal,
tapi hatinya welas asih. Tadipun dia sudah mendamprat
The Go dan kini iapun mengikuti Ciok jisoh masuk
kedalam.
Sebaliknya Tio Jiang melihat sucinya menjublek diam,
ialu menghamperi dan berkata dengan tertawa: „Suci, tadi
Kiau susiok dapat menangkan orang itu, adalah karena
kebetulan "
Belum omongan Tio Jiang itu selesai, Bek Lian sudah
cepat memotongnya: „Kau menyingkir sana, mau tidak?"
Mendapat sambutan dingin itu, tetap Tio Jiang tak
marah, katanya pula: „Tetapi orang itu........."
Kalau tadi hanya mulutnya saja yang menyemprot, kini
tiba2 dengan gusarnya Bek Lian angkat kedua tangannya
terus hendak menampar Tio Jiang. Namun Tio Jiang tak
mau menghindar. Dia mempunyai cara berpikir sendiri
yang aneh: „Suci memukul aku ini karena marah padaku.
Bukantah aku harus membiarkan dipukul supaya
menghilangkan kemarahannya?" Maka dari menyingkir,
sebaliknya Tio Jiang lantas ulurkan kepalanya kemuka.
Bek Lian tahu kalau anak itu bukan seorang tolol. Cuma
saja, memang begitu melihat ia, Tio Jiang itu lalu seperti
orang gagu dan merah mukanya. Dahulu sebelum berjumpa
dan mengetahui bahwa didunia ini ternyata ada seorang
lelaki (The Go) yang bagusnya seperti Arjuna itu, ia sih tak
begitu jemu terhadap Tio Jiang. Tapi kini setelah berjumpa
dengan „Arjuna"nya itu, dia benci melihat kelakuan sang
sutee yang tolol itu. Buru2 dia tarik pulang tangannya, terus
melangkah maju tak ambil mumet lagi pada Tio Jiang.
Tio Jiang mengintil anjing, serunya: „Suci aku........."
„Kau mengapa, kau menyingkir sana mau tidak?" Bek
Lian putuskan omongan orang dengan ketusnya, seraya
melangkah maju lagi dua tindak. Justeru disebelah muka itu
adalah sebuah karang buntu yang meluncur kebawah curam
sekali. Melihat itu Tio Jiang gugup dan berteriak: „Suci,
hati2lah!"
Jengkel direcoki sang Sute, Bek Lian timbul
kemarahannya lalu hendak me-maki2nya. Tapi tepat pada
saat itu Yan-chiu kelihatan muncul dari dalam biara dan
ber-lari2 menghampiri. Kira2 masih beberapa meter
jauhnya, ia sudah me-lambai2kan tangannya seraya berseru:
„Lekas kemarilah! Mengapa kalian berdua omong tak
putus2nya itu? Suhu memanggil kita, bertiga!" Sembari
berkata itu sinona genit itu masih sempat unjuk „muka
setan" pada Tio Jiang, katanya pula: „Suhu memanggil kita
itu, apakah bukan hendak mengajarkan jurus ke 5, 6 dan 7
dari To-hay-kiam-hwat? Kau sirik,tidak?"
Namun Tio Jiang tak hiraukan olok2 sumoaynya itu.
Begitu Bek Lian ayunkan langkah pulang, diapun terus
mengintil saja. Hendak berkata lagi, dia tak berani, namun
kalau diam saja dia merasa seperti ada sesuatu yang
mengganjel dalam hatinya. Tiba2 dia rasakan ada orang
menarik bajunya, ketika menoleh kebelakang, ha, si Yanchiu
yang menggodanya lagi. Menuding kearah Bek Lian,
nona nakal itu mengiwi-iwi (unjuk muka seperti setan)
padanya. Sudah tentu Tio Jiang jadi uring2an bentaknya:
„Sumoay, mengapa kau terus2an menggoda orang saja?"
Yan-chiu jebikan bibirnya menyahut: „Huh, terhadap
suci sih seperti tikus berhadapan dengan kucing, tapi kalau
terhadap aku mau main galak2an ya?"
Sebenarnya terhadap Yan-chiu, Tio Jiang menyayang
seperti seorang adik kandungnya sendiri. Ketika dua tahun
yang lalu Yan-chiu datang digunung situ, dialah yang
merawatnya. Maka atas protes Itu, dia hanya menyengir
saja: „Sumoay, kalau kau tak selalu mencari kesalahan dan
tak menggoda aku, aku pasti sayang padamu."
Yan-chiu goyang2kan tangannya berseru: „Apa2an sih
itu! Kau sayang saja pada suci, kan ia nanti tak mau
menghiraukanmu!"
Sambil bicara itu, mereka sudah melangkah kedalam
pintu biara. Didengarnya Ceng Bo siangjin batuk2
diruangan samping, maka merekapun tak berani bicara
keras2, terus masuk kedalam. Begitu masuk, dilihatnya sang
suhu itu duduk disebuah kursi, wajahnya keren sekali.
Memang Ceng Bo siangjin itu tak suka banyak omong.
Diantara ketiga saudara seperguruan itu, kecuali Bek Lian
yang karana dimanjakan oleh kecintaan sang ayah, kalau
berhadapan dengan ayahnya itu tetap berani berbicara.
dengan keras. Tapi sutee dan sumoaynya itu karena merasa
sebagai anak yatim piatu yang ditolong oleh Ceng Bo
siangjin, merekapun tahu diri. Disamping itu, keduanya
pun agak jeri terhadap sang suhu yang dihormatinya itu.
Demi nampak wajah suhunya luar dari biasanya, begitu
masuk Tio Jiang dan Yan-chiu terus tegak berdiri dengan
khidmatnya. Adalah Bek Lian seorang saja yang berani
maju dan menghampiri kearah meja disisi ayahnya untuk
melihat sebuah peta yang terbentang disitu. Sementara Ki
Cee-tiong, itu toa-ah-ko Thian Tee Hui, tetap riang berseri
wajahnya. Memang dengan wajahnya yang selalu ber-seri2
itu, kalau sedang menghadapi ketegangan, tampak makin
lucu kelihatannya.
Setelah ketiga muridnya datang. Ceng Bo siangjin segera
suruh mereka melihat peta bumi itu. Menunjuk kearah tapal
batas Tiau-yang, berkatalah Ceng Bo siangjin: „Coba kalian
lihat, tentara Ceng sudah tiba disini! Turut katanya Ki
susiokmu ini, kaisar Siau Bu yang bertakhta di Kwiciu itu,
mempunyai dua orang menteri yang bernama Ko Tiau-cian
dan Hongo-ciu. Kedua orang itu berlainan muka dengan
hatinya (palsu). Salah seorang akan bersekongkol dengan
tentara Ceng, agar memperoleh pangkat. Ah, anjing2 Boanciu
terkenal ganas sekali. Misalnya peristiwa pengganasan
dan pembunuhan besar2an di Yangciu dan Ka-ting, entah
berapa banyak jiwa bangsa Han yang melayang! Kita akan
segera turun gunung menggabungkan diri ber-sama2
dengan saudara2 dari Thian-Tee-Hui guna berusaha
mengusir tentara musuh dari perbatasan Kwitang. Ini
adalah urusan besar. Kepandaian kalian bertiga sebenarnya
masih belum seberapa, seharusnya belum waktunya turun
gunung, tapi apa boleh buat!"
Ketiga anak muda itu mendengarinya dengan penuh
perhatian. Tiba2 Bek Lian kedengaran membuka mulut:
„Ayah, aku dan Yan-chiu sumoay masih belum belajar ilmu
pedang dengan sempurna!"
Ceng Bo siangjin menghela napas, ujarnya: „Ah, terus
terang saja lebih baik jangan harapkan hal itu. Sebenarnya
To-hay-kiam-hwat itu walaupun satu jurusnya saja, kalian
berdua tak boleh belajar. Telah kuajarkan 4 jurus pada
kamu berdua itu, sudah berarti mencelakai. Lian-ji, kau
harus belajar ilmu pedang 'hoan kang kiam hwat' seperti
ibumu itu, tetapi ah.............."
Sejak Bek Lian berangkat besar, setiap kali mendengar
sang ayah membicarakan ibunya, tentu disusul dengan
helaan napas yang panjang. Entah tak tahulah Bek Lian apa
sebabnya dan lama sudah ia ingin mengetahui sebab itu.
Maka menggunai kesempatan kala itu, ia beranikan diri
bertanya: „Ayah, dimanakah ibu?"
Ceng Bo siangjin ter-mangu2 sampai sekian lama, lalu
tiba2 dia berkata: „Lekas siapkan senjatamu ikut Ki dan
Kiau kedua susiokmu pergi ke Kwiciu. Aku segera akan
menyusul!"
Walaupun kurang puas atas jawaban yang bukan
jawaban itu, namun Bek Lian tak berani membantah sang
ayah. Tiba2 Tio Jiang teringat akan halnya siorang tua aneh
(Sam-thay-ya) itu, hendak dia tuturkan pada suhunya, atau
tiba2 dari arah luar Ciok jisoh kedengaran berseru keras:
„Kiau loji, pil istimewa buatan suhumu Tay Siang Siansu
itu, sungguh mujijat sekali. Siau-lan sudah sadarkan diri,
rasanya sudah tak apa2 lagi. Biar gunung dan sungai
menyaksikan, kami keluarga Ciok telah berhutang budi
padamu!"
„Ciok jisoh," sahut Kiau To seraya tertawa, „apa2an kau
omong begitu. Itulah sudah jamaknya orang persilatan
saling tolong menolong. Kau hendak membalas budi untuk
sebuah pil buatan suhuku, ah susahlah rasanya! Hati2lah
setelah kau turun gunung. Sadarkan adikmu bahwa orang
itu seorang ganas, tak usah memikirkan padanya!"
Tapi berbareng pada saat itu, kedengaran suara Siau-lan
mengajak taci iparnya: „Soso, hayo kita lekas pergi, kalau
terlambat tentu takkan dapat berjumpa dengan engkoh Go!"
Mendengar itu Ki Cee-tiong yang berada disebelah
dalam segera bertanya pada Tio Jiang: „Hai, mengapa loji
begitu murah hati mengobral pil sam-kong-tan? Siapakah
yang terluka dan mengapa?" Atas pertanyaan itu Tio Jiang -
segera tuturkan duduk perkaranya. Dan baru saja selesai
menutur, Kiau To yang habis mengantar Ciok jisoh dan
Ciok Siau-lan berangkat, sudah balik dan masuk kedalam
ruangan lagi.
„Sisu-ko, kau sungguh hebat," seru Kiau To mengalem
Tio Jiang, „tapi mengapa kau kenal akan ilmu tutuk "hong
cu may ciu" orang itu?"
„Ah, mana aku tahu! Itulah seorang tua aneh berjanggul
panjang bernama Sam-thay-ya yang memberitahu padaku!"
sahut Tio Jiang, tapi berbareng saat itu se-konyong2 Ceng
Bo siangjin berbangkit dan tangannya memijat meja, krak,
krak, rompallah ujung meja ltu.
Melihat kelakuan aneh dari Ceng Bo siangjin itu, orang2
sana terkejut sekali. Malah dengan tak terkesiap, Yan-chiu
menatap sang suhu. sesaat teringatlah Ceng Bo siangjin
bahwa tadi dia telah kehilangan penguasaan dirinya, maka
dengan tertawa tawar dia bertanya pada Tio Jiang:
„Sik loo-sam itu mengatakan apa lagi?"
„Sik Loo-sam," Tio Jiang mengulangi pertanyaan
suhunya dengan keheranan.
„Itulah siorang tua kate tadi!" buru2 Ki Ce-tiong
menanggapi.
„Oh," seru Tio Jiang, „dia bilang, dia bukannya takut
menemui suhu, melainkan tak ingin bertemu saja. Dan
kemudian bilang, dia hanya tahu makan tak tahu berpikir."
Ceng Bo siangjin tundukkan kepala merenung sejenak
Ialu berkata: „Sudah jangan hiraukan dia, kalian ikut saja
pada saudara Ki dan Kiau menggabungkan diri dalam
Thian-Hui di Kwiciu. Tak berapa hari kemudian, aku tentu
menyusul kesana !"
Bagi kaum persilatan, selain senjatanya tak ada lain
benda perbekalannya lagi. Begitulah mereka bertiga lalu
menuju kekamarnya masing2 untuk berkemas membawa
sedikit barang yang perlu. Mendengar dapat pergi ke
Kwiciu, bukan kepalang girangnya Yan-chiu. Tak berapa
lama kemudian, Ki Ce-tiong, Kiau To, Bek Lian, Tio Jiang
dan Yan-chiu berangkat turun gunung. Meskipun ilmu
silatnya sudah punah, tapi sedikit2 Ki Ce-tiong masih bisa
menggunakan ilmu mengentengi tubuh, jadi kini mereka
berlima dapat berjalan berendeng.
Berada sendirian didalam kamarnya, Ceng Bo siangjin
tampak mondar-mandir, lalu mengambil pedangnya yang
tergantung pada dinding. Pedang itu sebuah tiang-kiam
(pedang panjang), bentuknya sangat istimewa jauh
berlainan dari pedang biasa, karena lebih panjang beberapa
dim. Sarung pedang itu yang sebelah berbentuk bundar,
yang sebelah terepes. Tangkai pedang itu yang sebelah
kanan panjang yang sebelah kiri pendek. Lebih dahulu
Ceng Bo meniup sarung pedang itu, lalu membersihkannya
dengan lengan baju. Rupanya dia begitu sayang sekali akan
pedangnya itu. Setelah itu, dengan pe-lahan2 dia lolos
keluar.
Dibarengi dengan suara bergemuruh samar2, batang
pedang itu tertarik keluar ke-biru2an warnanya. Anehnya,
pedang itu seperti tak mempunyai ujung. Jadi batang
pedang itu tampaknya bundar panjang seperti sebuah
berambang panjang. Ceng Bo siangjin ketuk2kan dua buah
jarinya kebatang pedang, dan terdengarlah suara bening
macam suara batu pualam. Ditariknya pula batang pedang
itu sedikit keatas lagi, lalu dengan ter-longong2 dia
mengawasi dua huruf „yap kun" yang terukir disitu.
Mendadak dia menghela napas, wajahnya mengunjuk
kedukaan yang sangat.
Setelah memandang sampai sekian saat, dia segera
sarungkan lagi pedangnya, lalu menuju keluar. Saat itu
keadaan disekeliling puncak situ lelap sekali. Hanya ada
sementara burung berkicau keluar dari dalam hutan puhun
siong dan Hwat Ji tojin itu tojin gagu tuli yang nampak
memikul tong air mendaki keatas, untuk diisikan kedalam
gentong. Karena sudah biasa jadi Ceng Bo pun tak merasa
heran.
Se-konyong2 Ceng Bo siangjin bersuit pelahan, tapi
nadanya ternyata melengking bening sekali. Thaysan Sintho
Ih Liok, itu sibongkok yang pura2 menyaru jadi orang
tuli gagu, sambil menuang air sambil memperhatikan gerakgerik
Ceng Bo itu. Tadi sewaktu dilihatnya siangjin itu
keluar sendirian dengan membawa pedang pusakanya yang
sama sekali tak boleh disentuh orang itu, diapun sudah
terperanjat heran. Dan begitu mendengar siangjin itu
bersuit, tahulah dia kalau kepala Cin Wan Kuan itu tengah
menyampaikan tantangan. Apakah penyaruannya itu sudah
diketahuinya? Demikian pikir Ih Liok dengan gelisah dan
oleh karena kegelisahannya itu dia telah keliru menuangkan
setengah tong air itu keluar gentong. Tapi ternyata suitan
Ceng Bo itu makin lama makin tinggi nadanya, baru dia
(sibongkok) lega hatinya karena terang itu bukan ditujukan
dirinya.
Tak antara lama, kumandang suitan itu sudah jauh
menyusup keseluruh pelosok. Tapi orangnya sendiri sudah
menggendong tangan dengan mencekali pedang, tampak
mondar-mandir kian-kemari. Hanya kini sikapnya sudah
tenang lagi. Diam2 Ih Liok merasa kagum. Tapi dia tetap
heran, siapakah yang hendak diundang berkelahi oleh
siangjin itu? Tengah dia me-mikir2 itu, tiba2 didengarnya
ada seseorang berteriak: „Hay-te-kau, jangan bersuit setan
lagi, jantung Sam-thay-ya kau tusuk2 rasanya!" Berbareng
dengan teriakan itu, dari sebelah bawah sana melesat
sesosok tubuh dan entah bagaimana caranya, dalam dua
kali loncatan saja orang itu sudah berada satu tombak
jauhnya dihadapan Ceng Bo siangjin. Demi melihat siapa
orang itu, sibongkok bukan main terkejutnya terus bergegas2
masuk kedalam bio. Tapi disitu dia mengintip keluar
dari sela2 lubang pintu. Oleh karena bio itu sudah kosong,
jadi perbuatannya itu tiada seorangpun yang tahu.
Begitu nampak munculnya orang itu, Ceng Bo siangjin
segera berhenti bersuit serta lalu membentak: „Sik Lo-sam,
tidak nyana setelah berpisah 10 tahun bisa berjumpa lagi
bukan?"
Batok kepala siorang tua yang besar itu tampak
mengangguk beberapa kali, lalu menyahut: „Benar, benar,
Hayte-kau, sungguh tak nyana. Tapi mana Kang-siang-yan?
mengapa ia tak tampak ? Kau mempunyai murid yang baik
ya? Makanya sampai tak kenal suhunya itu siapa, ha, ha!"
Sambil mendengari ocehan si Sam-thay-ya atau Sik
Losam itu, tangan Ceng Bo siangjin yang digendong
dibelakang tadi ditarik dan dialihkan kemuka dada, lalu
balas bertanya: „Sik Lo-sam, ia berada dimana?"
„Siapa? Siapa yang kau maksudkan berada dimana itu?"
tanya siorang tua kukway dengan heran.
Ceng Bo siangjin tetap berlaku sabar, katanya: „Yang
pada 10 tahun berselang ketika sedang beristirahat sakit
dikaki gunung ini, malam2 kau ......... tutuk jalan darahnya
itulah!" Ketika mengucapkan kata2nya yang terakhir itu
nadanya berat tenggorokannya gemetar, seperti menderita
suatu kesakitan. Sebaliknya siorang tua kate aneh itu seperti
tak kejadian apa2, ia menepuk batok kepalanya sendiri
berseru: „O, itulah Kang-siang-yan !"
„Benar, dimanakah dia?" hardik Ceng Bo dengan nada
keras.
„Sret", se-konyong2 orang tua aneh itu melesat 3 tindak
kebelakang. Ceng Bo siangjin melangkah maju setindak
mengikutinya.
„Entah, aku tak tahu!" Sik Lo-sam gelengkan kepalanya.
„Sring", Ceng Bo siangjin melolos pedangnya.
„Bagus, Hay-te-kau! Kau mau berkelahi lagi? Mari, mari,
mari!" seru Sik Lo-sam seraya silangkan kedua tangannya,
maju kemuka terus menghantam Ceng Bo siangjin. Tapi
dengan kibaskan baju pertapaannya, Ceng Bo telah dapat
menghalau serangan itu, seraya berseru: „Sik Lo-sam, kau
mau tidak menerangkan duduk perkara yang sebenarnya
dari peristiwa dahulu itu?"
Gambar 12
„Bagus, Hay-te-kau! Kau mau berkelahi lagi? Mari, mari,
mari!" seru Sik Lo-sam seraya silangkan kedua tangannya, maju
kemuka terus menghantam Ceng Bo siangjin.
Tapi dengan kibaskan baju pertapaannya, Ceng Bo telah dapat
menghalau serangan itu, seraya berseru: „Sik Lo-sam, kau mau
tidak menerangkan duduk perkara yang sebenarnya dari peristiwa
dahulu itu?"
„Bukan aku. Tapi siapa yang menutuk pingsan
Kangsiang-yan, aku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Tapi kau tetap tak mempercayai keteranganku,
habis aku harus mengatakan bagaimana? Pedangmu itu,
kau curi kepunyaan Kang-siang-yan !"
Melihat caranya siorang tua aneh itu berkata secara
berputar balik sukar dirasakan, setelah berpikir sejenak,
berkatalah Ceng Bo: „Sik Lo-sam, pedang ini merupakan
sepasang lelaki dan perempuan. Ketika itu Kang-siang-yan
sedang sakit, aku kegunung mencari obat. Ketika pulang
kudapati hanya kau seorang yang berada disitu, itu
waktu........ ya kau tentu mengetahui sendiri keadaan itu
waktu. Setelah kututuk-sembuhkan jalan darahnya, ia tak
mau bicara apa, tahu2 pergi entah kemana. Adakah kau
pernah bertemu padanya?"
„Haya, kalau tak kau sebut2 hal itu tentu aku lupa.
Nyonya itu keliwat bengis, kalau aku tak cepat2
menyingkir, tentu sudah tak bernyawa lagi."
„Dimana kau menjumpainya?" tanya Ceng Bo siangjin
dengan gugup.
Sik Loo-sam gelengkan kepala, menyahut: „Entahlah,
aku lupa. Otak Sam-thay-ya ini, tak bisa muat barang."
Kini Ceng Bo hilang sabarnya. „Sik Loo-sam, kau juga
tergolong tokoh kenamaan dalam dunia persilatan.
Menghina isteri orang, harus menerima hukuman apa, kau
bilanglah!"
Mata istimewa dari siorang tua aneh itu berkicup
membalik, sahutnya: „He, siapa yang menghina isterimu?"
Ceng Bo siangjin perdengarkan ketawa tawar, terus
siapkan pedangnya. Tanpa kelihatan bergoyang tubuh,
„sret" tahu2 Sik Loo-sam melesat kesamping pintu bio dan
terus miringkan kepalanya untuk mendengari, lalu
mendorong pintu terus masuk. Sibongkok Ih Liok yang
berada dibelakang pintu tak dapat lari mengumpat.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
„Bagus, Hay-tee-kau, kau sembunyikan seorang
pembantu?" Sik Loo-sam menjerit seraya mencengkeram
lengan kanan sibongkok. Thaysan Sin-tho Ih Liok bukan
seorang yang lemah, sebenarnya dia dapat menghindar dari
cengkeram itu. Tapi tiba2 dia memperoleh pikiran, maka
mandah diam saja. Gerakan Sik Lo-sam itu luar biasa
cepatnya, begitu mencengkeram terus dia lemparkan
sibongkok itu keluar. Sewaktu melayang diatas, tangan dan
kakinya berserabutan dan mulutnya ber-kuik2 men-jerit2.
Melihat itu buru2 Ceng Bo siangjin maju untuk
menyanggapi, lalu pelan2 ditaruhkan diatas tanah.
Tadi Sik Loo-san tak mau memperdatakan siapa yang
disergapnya itu. Begitu sibongkok disambuti Ceng Bo,
diapun terus ikut memburunya serta membolak-balikkan sibongkok,
kepalanya (sibongkok) ditundukkan lalu
didongakkan dan dipereksanya sampai sekian saat.
„Sik Loo-sam, kau apakan dia?" tanya Ceng Bo siangjin
dengan heran.
„Sibongkok ini! Yang malam itu masuk kedalam pondok
hendak mencuri pedang, adalah sibongkok ini!" sahut Sik
Loo-sam.
Tengah Ceng Bo siangjin melengak tak tahu apa yang
harus diperbuat, se-konyongr sibongkok itu meronta terus
enjot tubuhnya keatas. Gerakannya yang luar biasa
tangkasnya itu, sungguh diluar dugaan orang. Sik Lo-sam
pun cepat mundur selangkah, dan baru Ceng Bo siangjin
sadar apa sebenarnya, yang telah terjadi, sibongkok itu
sudah melakukan suatu gerakan yang istimewa. Selagi
melayang diudara, kakinya kiri diinjakkan kekaki kanan,
sekali enjot terus melambung lagi makin tinggi. Itulah suatu
gerak ilmu mengentengi tubuh yang sakti. Saat itu dia
sudah berada diluar karang buntu tadi, dan sembari
melayang turun kelembah, mulutnya berseru: „Malam itu
benar aku berada di dalam pondok, tapi belum sempat
mendapatkan pedang itu. Yang menutuk jalan darah hunhiat
pun bukan aku!" Dan berbareng dengan seruannya itu,
orangnya pun sudah menobros kedalam halimun tebal.
Kalau orang biasa saja yang loncat turun tadi, tentu tak
sedemikian lincahnya. Ceng Bo siangjin dan Sik Lo-sam
adalah tokoh akhli. Tahu mereka bahwa sibongkok tadi
telah gunakan gerak cian-kin-tui (tindihan seribu kati) agar
secepatnya dapat turun kebawah serta dapat selekasnya
lolos dari tangan kedua akhli kenamaan itu.
GAMBAR 13
Se-konyong2 si Bongkok itu meronta terus enjot tubuh meloncat
keatas, terus melesat kebawah gunung melarikan diri.
„Itulah Thaysan Sin-tho!" tiba2 Ceng Bo siangjin teringat
akan seorang tokoh persilatan yang lihay.
Karena tak tahu bahwa sibongkok itu telah menyaru
sebagai Hwat Ji tojin yang gagu untuk bekerja dibiara situ,
dengan delikkan mata, Sik Lo-sam menegur: „Mengapa?
Apa kau tak tahu?"
Dengan terjadinya peristiwa itu, tahulah Ceng Bo bahwa
peristiwa 10 tahun yang lalu itu makin ruwet jalannya.
Thaysan Sin-tho diutara dan dia sendiri didaerah selatan,
jangankan berkenalan, sedang melihat wajahnya pun belum
pernah. Apalagi Thaysan Sin-tho itu juga seorang tokoh
yang namanya sangat berkumandang didunia persilatan.
Tapi mengapa pada waktu itu (peristiwa 10 tahun
berselang) orang bisa kedapatan berada dipondoknya juga?
Dan yang paling tak dibuat mengerti, mengapa sibongkok
itu rela kerja berat selama 6 tahun dibiara situ? Lagi,
mengapa begitu terbuka kedoknya lalu buru2 mengambil
langkah seribu? Adakah sesungguhnya dia itu tahu akan
keadaan yang sebenarnya? Orang yang dapat menundukkan
isterinya, boleh dihitung dengan jari. Kalau bukannya
sibongkok, mungkinkah Tay Siang Siansu dari gereja
Liokyong-si di Kwiciu? Benar sebabnya sang isteri yang
sangat dikasihi itu sampai jatuh sakit adalah karena
perbuatan Tay Siang Siansu. Tapi ia adalah seorang imam
kelas tinggi yang telah menuntut penghidupan suci,
masakan dia mau melakukan perbuatan yang serendah itu?
Ketika dia balik kepondok, hanya Sik Lo-sam yang ada
disitu, tapi dia menyangkal keras. Juga tadi sibongkokpun
membantah tuduhan itu. Tapi kenyataannya, begitu
dipulihkan jalan darahnya yang tertutuk tadi, tanpa berkata
suatu apa Kang Siangyan sang isteri itu, telah menghilang
dan sejak itu sampai kini tak pernah muncul kembali. Oleh
karena kala itu dia sibuk berkelahi dengan Sik Lo-sam yang
dicurigainya, jadi dia tak sempat untuk menguntit sang
isteri. Dilihat dari perkembangannya, rahasia itu takkan
terpecahkan selama dia belum berhasil menjumpai sang
isteri sendiri. Namun tiga tahun lamanya dia berkeliaran
mencarinya, tapi tetap sia2. Akhirnya karena putus asa, dia
ambil keputusan menjadi pertapa (imam). Tapi setiap kali
teringat nasib dari sang isteri yang tak ketahuan rimbanya
itu, hatinya perih seperti di-sayat2.
Begitulah pada saat itu, lubuk pikiran Ceng Bo penuh
dikarungi oleh seribu satu pertanyaan, yang tak terpecahkan
olehnya. Dengan helaan napas panjang, dia memberi
isyarat tangan: „Sik Lo-sam, kau enyahlah !"
„Suruh aku pergi sih mudah, tapi harus mengajari aku 3
jurus ilmu pedang!"
Ceng Bo siangjin tahu kalau orang tua itu seorang yang
linglung, tapi sangat suka sekali belajar ilmu silat. Adakah
ilmu orang lain itu baik atau buruk, dia selalu meminta
diajari beberapa jurus. Mengingat bahwa ilmu pedangnya
„to hay kiam hwat" itu tak boleh diturunkan pada orang
luar, maka Ceng Bo siangjin mendapat akal, katanya: „Sik
Lo-sam, kalau kau dapat mencarikan isteriku, ilmu
pedangku akan kuturunkan padamu seluruhnya!"
Mendengar itu, hidung Sik Lo-sam berkembang kempis
saking girangnya. „Baik, baik", serunya seraya memutar
tubuh terus lari kebawah gunung. Ceng Bo siangjin
menghela napas lagi, setelah menyarungkan pedangnya dia
kedengaran berkata seorang diri; „Ang-moay, Ang-moay,
kemanakah kau ini? Kalau benar2 kau mempunyai dendam,
biarlah seluruh sisa hidupku ini kugunakan untuk mencari
musuhmu itu!"
Habis mengikrarkan isi hatinya itu, dengan pe-lahan2 dia
menuju kedalam biara. Rupanya dia mendendam
kemarahan besar, maka tanah yang dilaluinya itu hingga
sampai kemuka pintu, tampak ada bekas telapak kakinya
yang mendalam.
Malam itu tak kejadian apa2. Pada besoknya sore, baru
kelihatan Ceng Bo siangjin muncul keluar dari biara. Dari
sikapnya yang sangat lesu itu, terang kalau tadi malam dia
kurang tidur. Dengan menyelipkan pedang dipinggang, dia
gunakan ilmunya lari cepat untuk turun gunung.
Kerajaan Beng yang berhijrah kedaerah selatan itu,
terpecah menjadi dua, masing2 dikepalai oleh seorang
kaisar. Kaisar2 itu saling bertempur sendiri, tapi sedikitpun
tak menghiraukan akan serbuan tentara Ceng yang sudah
tiba ditapal batas. Kaisar Siau Bu yang berkedudukan di
Kwiciu, telah mengirim tentara untuk menindas kaisar
Liong Bu yang berkedudukan di Siao Ging. Terang kalau
pasukan penyerbu dari kaisar di Kwiciu itu telah dapat
dibasmi habis2an, tapi Kaisar Liong Bu di Siau Ging telah
keliru menyangka kalau tentaranya yang kalah, maka
dengan ter-sipu2 dia melarikan diri. Baru setelah tiba di
Ngociu propinsi Kwisay dan mendapat laporan resmi
tentang jalannya pertempuran yang sebenarnya, kaisar
Liong Bu pulang kembali kekota raja Siau Ging. Seorang
junjungan yang setolol itu mana dapat memimpin
pemerintahannya untuk menggempur tentara penjajah
Ceng!
Sejak isterinya menghilang secara aneh itu, semangat
Ceng Bo siangjin sudah padam, hatinya tawar akan urusan
dunia. Tapi kali ini setelah mendapat surat undangan dari
perkumpulan Thian Te Hui, hatinya tergugah lagi. Bahwa
tanah tumpah darahnya akan dijajah oleh tentara asing,
itulah suatu hinaan besar. Maka dengan melupakan
kedukaannya, dia segera berangkat ke Kwiciu memenuhi
undangan lcetua Thian Te Hui tersebut. Tapi setibanya
disana, didengarnya kalau keempat bajak laut dari Laut
Selatan yakni The, Ciok, Ma dan Chi berkunjung ke Lohou-
san untuk mencarinya. Maka dengan ber-gegas2
pulanglah dia kegummg. Walaupun, mondar-mandir dalam
perjalanan sejauh itu, namun dia tak merasa lelah.
Sewaktu turun gunung untuk yang kedua kalinya ini,
Ceng Bo siangjin berlaku hati2 dalam perjalanan. Siang hari
dia tak berani gunakan ilmu berjalan cepat, karena kuatir
menimbulkan kecurigaan orang. Kalau malam hari, dia tak
mau menginap dihotel tapi mencari tempat dibiara yang
rusak. Menjelang siang hari pada hari kedua, barulah dia
tiba dipintu kota sebelah timur.
Markas perkumpulan Thian Te Hui yang sangat
dirahasiakan itu, karena sudah pernah datang kesitu, maka
dengan mudah Ceng Bo dapat langsung menuju kesana.
Tapi baru melangkah kedalam, dia segera mendapat ada
sesuatu perobahan. Biasanya, anggauta2 perkumpulan itu
banyak sekali jumlahnya, sehingga keadaan markas itu
selalu ramai. Tapi saat itu, sepi2 saja keadaannya. Juga
dalam perjalanan kesitu tadi, dia tak menjumpai barang
seorang anggautanya.
Diam2 Ceng Bo siangjin terperanjat dalam hatinya.
Setelah melalui beberapa rumah dan sebuah gedung hesar,
baru didengarnya ada suara orang sedang ber-cakap2. Tapi
dari nada percakapan mereka yang tak keruan
juntrungannya itu, terang kalau keliwat banyak minum
arak. Setelah menurut arah suara itu, ternyata disitu
terdapat dua orang lelaki tengah bermain domino (terbuat
dari bahan tulang), dan dihadapannya ada seguci arak. Dari
dandanannya, mereka itu adalah anggauta Thian-Te-Hui.
Baru Ceng Bo siangjin hendak membuka mulut, atau salah
seorang dari mereka telah melihatnya dan menggoyang2kan
tangannya: „Lo-to (imam tua), kali ini kau sial.
Orang2 sudah sama berangkat, kau susullah!".
Ceng Bo siangjin tak kenal dengan orang itu, sembari
tertawa kecil dia bertanya: „Mana toa-ah-ko?"
„Semuanya sudah pergi kegunung Gwat-siu-san,
pergilah!" sahut yang seorang lagi dengan tak sabaran.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
BAGIAN 4 : PERTEMPURAN DIATAS
LUITAY
„Mengapa disana ?" tanya pula Ceng Bo siangjin dengan
heran.
Rupanya kedua orang itu adalah golongan orang2 kasar,
dengan menggebrak meja mereka berseru: „Bukankah kau
ini hendak memungut derma? Kesanalah, tanggung dalam
satu bulan kau takkan kelaparan?"
Merasa bahwa didalam kata2 orang itu terselip sesuatu
hal, apalagi mereka dalam keadaan mabuk mengoceh tak
keruan, Ceng Bo tak mau cari urusan. Tanpa banyak bicara
dia terus keluar dari situ untuk menuju kegunung Gwat-siusan.
Belum lagi tiba digunung tersebut, Ceng Bo sudah
melihat disepanjang jalan banyak orang2 yang berjalan,
malah dikedua tepi jalan banyak didirikan warung2 darurat
serta penjual2 sama menjajakan dasarannya. Dengan rasa
heran, Ceng Bo siangjin lanjutkan perjalanannya. Tapi
makin dekat kegunung itu makin ramai pula orang. Lagi
maju sedikit, segera dia tampak ada dua buah luitay
(panggung untuk bertempur) yang besar. Di-tengah2 dari
salah satu panggung luitay itu, digantungi sebuah lencana
besar, berbentuk bulan, sebelah atas hitam dan sebelah
bawahnya putih. Sementara yang sebuah, tiada ada
pertandaan apa2. Disekeliling luitay itu didirikan panggung
penonton yang penuh sesak dengan manusia.
Melihat lencana hitam putih itu, tahulah Ceng Bo
siangjin bahwa Thian Tee Hui tengah membuka luitay
ditempat itu. Diam2 dia mengeluh. Suasana negara begini
suram, mengapa main dirikan luitay mencari permusuhan?
Orang2 sama ber-bondong2 kesitu, kota Kwiciu kosong,
kalau se-waktu2 pasukan Ceng menyerang, bukankah
celaka? Ceng Bo siangjin ambil putusan untuk menemui Ki
Cee-tiong dan Kiau To, tapi karena orang2 disekitar luitay
itu penuh sesak ber-jubel2, sukarlah dia mendapatkannya.
Malah ketiga anak muridnya, Tio Jiang, Bek Lien dan Yanchiu,
pun tak kelihatan batang hidungnya.
Satu2nya jalan untuk menemui pemimpin2 Thian Tee
Hui itu ialah loncat keatas luitay, tapi Ceng Bo tak mau
berbuat begitu. Dia cukup tahu, memang2 orang2 yang
berjejal itu sebagian besar adalah penonton biasa, tapi tentu
tidak sedikit jumlahnya tokoh2 persilatan yang turut hadir
juga. Dia membiluk, singgah pada sebuah warung dan
memesan minuman.
Belum berapa lama dia duduk, dari arah belakang
terdengar ada dua orang tengah ber-cakap2. „Toako, kali ini
bakal ada pertunjukkan yang bagus benar2. Sejak beberapa
tahun ini, dikalangan persilatan sepi dengan keramaian
macam begini," kata salah seorang. Sementara kawannya
dengan menghirup tehnya kedengaran berkata dengan suara
sember: „Benar, Thian Tee Hui itu sudah mempunyai nama
dikalangan persilatan!" Orang yang pertama terdengar
berkata pula: „Ya, aku merasa heran mengapa Thian Tee
Hui sampai terlibat permusuhan dengan Hay-siang su-kee
(4 keluarga dari Laut selatan)?"
„Akupun baru lusa datang dari Go-ciu. Konon kabarnya
ji-ah-ko (pemimpin kedua) Thian Tee Hui telah
membinasakan salah seorang dari bajak Laut itu, yaitu si Ti
Gong hweeshio!" sahut kawannya. „Astaga, dua tahun
yang lalu aku pernah berjumpa dengan Ti Gong hweeshio,
kepandaiannya sih tak seberapa. Mungkin karena peraturan
perguruannya yang menetapkan 'dendam harus dibalas',
maka kali ini kalau tiada suhunya tentu susiok (paman
guru) yang mempelopori pertandingan luitay ini!" kata yang
seorang pula.
Mendengar itu, Ceng Bo siangjin terkesiap. Heran dia,
mengapa Kiau To tertuduh membunuh Ti Gong? Dia yakin
disitu tentu terselip sesuatu yang tak beres. Maka dia
Ianjutkan mendengari lagi. Kata salah seorang dari orang
itu pula: „Benar, tokoh yang angker macam Sam Tay
tianglo dari gereja Ci Hun Si digunung Lam-kun-san itu,
mana mau menerima hinaan begitu? Karena anak muridnya
terbinasa, dia tentu mencari balas pada Thian Tee Hui, dan
mengirim surat tantangan. Karena Thian-Te-Hui pun
sedang jaya, sudah tentu terima juga tantangan itu.
Menurut berita2 yang kudengar sampai siang ini, orang2
dari kedua fihak semua sudah hadir disini!"
Ceng Bo siangjin makin mengeluh. Yang dimaksud
dengan Sam Tay tianglo (tiga serangkai imam) gereja Ci
Hun Si itu ialah: To Kong, To Ceng dan To Bu. Meskipun
dia sendiri belum pernah bertemu muka, namun nama
ketiga hweeshio besar itu sangatlah terkenal didunia
persilatan. Kalau kali ini mereka berserekat dengan keempat
bajak dari Laut Selatan itu, urusan tentu makin besar. Anghwat
cinjin (suhu dari The Go) dari Ang-hun-kiong di Koto-
san, tentu akan keluar kandang juga. Sekali bertempur,
mungkin setengah bulan atau bisa juga setengah tahun
belum habis. Dengan begitu bukankah akan membikin
kapiran urusan besar? Kini tentara Ceng sudah berada
ditapal batas, rakyat hanya mengharap akan usaha Thian
Tee Hui, dengan berserekat pada seluruh tokoh persilatan,
untuk melawannya. Adakah Ki Cee-Tiong dan Kiau To,
kedua pemimpin Thian Tee Hui itu tak menginsyafi hal itu?
Selagi dia me-nimang2 dalam pikirannya, tiba2 dari
tengah2 kedua luitay itu, terdengar bunyi genderang bertalu2,
dibunyikan 3 kali. Ceng Bo mendongak kemuka dan
dapatkan matahari sudah hampir ditengah, jadi luitay
segera akan dimulaikan. Sesaat itu hiruk pikuk suara orang
menjadi sirap hening. Pada lain saat dari belakang luitay
tampak muncul 3 orang paderi yang bertubuh kurus2. Yang
dua orang memanggul sebuah bok-pay (papan) sekira 3 kaki
panjangnya. Yang seorang tidak membawa apa2. Begitu
keluar kedua paderi yang membawa bokpay tadi segera
lontarkan bokpaynya keatas udara. Dengan lurus dan tepat,
bokpay itu melayang kearah tiang penglari yang paling
tinggi dari luitay itu. Ketika hampir dekat dengan penglari,
tiba2 paderi yang tak membawa apa2 tadi tampak gerakkan
tangannya keatas dan tik, tik, dua buah benda, hitam kecil
panjang melayang menyusup kedalam bok-pay yang segera
menempel lekat pada tiang penglari.
Kiranya yang dilepaskan itu adalah dua buah paku,
untuk memaku bok-pay itu.
GAMBAR 14
Mendadak paderi ketiga itu ayun tangannya, dan„tak-tak" dua
kali, dua papan kecil yang kedua kawannya telah terpaku diatas
penglari.
Demonstrasi kepandaian yang ditunjukkan ketiga paderi
itu, sungguh menakjubkan. Benar papan bok-pay itu
dilontarkan oleh dua orang, tapi kalau kepandaian
sipelontar itu tak tinggi, pasti tak nanti dapat melayang
begitu necis dan tepat sekali. Lebih2 kepandaian
melemparkan paku dari sihweeshio yang bertangan kosong
tadi. Maka tak heranlah kalau para penonton baik didalam
bangsal maupun yang dibawah luitay, sama bersorak sorai
dengan gemuruh sekali. Ceng Bo siangjin mendongak
mengawasi kearah bok-pay itu dan dapatkan pada papan itu
ada 3 buah gambar roda. Seketika tahulah Ceng Bo, bahwa
ketiga hweeshio itu adalah 3 paderi pemuka dari Ci Hun Si,
To Kong, To Ceng dan To Bu.
Setelah mengunjuk demonstrasi, ketiga hweeshio itu
segera meleset naik keatas luitay. Begitu menghadap
kemuka, para penonton melihat wajah mereka itu pucat lesi
bagaikan mayat hidup. Mereka tampak duduk bersila diatas
luitay. Tapi baru ketiganya duduk tenang, dari arah timur
terdengar gemuruh suara penonton. Kiranya para penonton
itu tengah menyambut dengan hangat atas kedatangan
kedua pemimpin Thian Tee Hui, Ki Cee-tiong dan Kiau To,
siapa terus loncat keatas luitay.
Tegas dilihat oleh Ceng Bo, sewaktu melompat itu Kiau
To pakai tangannya kiri memimpin tangan kanan Ki
Ceetiong untuk diangkat keatas. Diam2 Ceng Bo siangjin
itu kerutkan keningnya. Dari tempat duduknya situ dengan
luitay walaupun hanya terpisah 4 atau 5 tombak jauhnya,
namun dipagari oleh lautan manusia. Dia dapat enjot
tubuhnya kesana, tapi tak mau dia buru2 unjukkan diri.
Tapi kalau berdiam diri saja, tentu takkan dilihat oleh Kiau
To. Tiba2 dia mendapat akal bagus. Dengan sebuah jarinya
dia tekan pecah cawan teh dan sentikkan pecahan cawan itu
kearah Kiau To. Sudah tentu pecahan cangkir itu
menerbitkan suara angin melengking.
Saat itu Ki Cee-tiong dan Kiau To hendak membuka
mulut, tapi begitu tampak ada sinar putih melayang keatas
luitay. Kiau To mengira kalau sebuah senjata rahasia, maka
dengan sebatnya dia melangkah kehadapan tao-ah-ko untuk
melindunginya. Tapi begitu dia dapat menyambuti benda
putih itu, ternyata adalah sebuah pecahan cawan. Dengan
keheranan, dia sapukan pandangan matanya kesekeliling
penjuru. Buru2 Ceng Bo siangjin lambai2kan tangannya,
hal mana dapat dilihat juga oleh Kiau To. Segera pemimpin
kedua Thian Tee Hui berpaling kebelakang luitay serta
mengucapkan sesuatu. Saat itu segera tampak Bek Lian dan
Yan-chiu muncul dari belakang lui-tay. Dengan gunakan
gerak „yan cu sam jo cui" (burung walet 3 kali menyentuh
air) kedua gadis itu loncat turun.
Kedua gadis dari Lo-hou-san itu sememangnya berparas
cantik. Lebih2 Bek Lian yang laksana seorang bidadari itu.
Maka kali ini hiruk pikuk makin bergemuruh lagi. Melihat
kedua anak muridnya itu unjukkan kepandaian, Ceng Bo
siangjin menghela napas. Namun kenyataan memang
begitu. Malah itu waktu Bek Lian sudah berseru memanggil
„Tia" (ayah) dan Yan-chiu berseru „Suhu" kepadanya.
Dasarnya genit lincah, tanpa menghiraukan sekalian orang
lagi, Yan-chiu terus ceriwis menuturkan pengalamannya
pada sang suhu.
„Suhu, wah ramai sekali," kata siceriwis itu dengan
lincahnya, "baru kita bertiga datang di Thian Tee Hui,
entah bagaimana ada orang mengantar surat yang menuduh
bahwa Kiau susiok telah membunuh Ti Gong sihweeshio
gemuk itu ah jangan2 sibongkok yang melakukannya. Eh,
surat itu menantang pibu (adu silat) pada Kiau susiok, yang
sudah tentu terpaksa menerimanya. Suhu, kebenaran kau
sudah tiba, apa nanti akan turut naik kelui-tay?"
Biasanya Yan-chiu takut dan menghormat pada
suhunya. Tapi karena pertama kali turun gunung, ia sudah
menghadapi peristiwa begitu, maka saking girangnya, dia
bicara dengan cerocos sekali. Apalagi ketika nampak
suhunya datang kesitu itu, menurut anggapannya, tentu
akan turun tangan juga. Tapi diluar dugaan sinona genit,
dengan perdengarkan dengusan hidung, Ceng Bo
berbangkit mengangkat bahu. Demi tampak suhunya tak
senang, Yan-chiu seperti ditapuk setan, cap kelakep tak
berani bercuit lagi. Tapi dasarnya dara nakal, ia segera
unjuk muka-setan kepada sang suci Bek Lian, sehingga dua
orang yang ber-cakap2 dibelakang Ceng Bo tadi tertawa terbahak2
saking gelinya. Tapi Yan-chiu segera deliki mata
kepada kedua orang itu.
„Mana Jiang-ji?" tanya Ceng Bo.
„Dia berada dibelakang lui-tay," sahut Yan-chiu.
Masih Ceng Bo hendak bertanya lagi, tapi ketika itu
dilihatnya Kiau To sudah tegak berdiri ditengah luitay,
seraya berseru dengan nyaring: „Para enghiong dan hoohan
sekalian, para saudara2 Thian Tee Hui, disini Kiau To, jiah-
ko dari Thian Tee Hui. Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si
berkeras menuduh bahwa salah seorang muridnya yang
bernama Ti Gong hweshio telah dibinasakan oleh orang
Thian Te Hui. Bukannya mempersalahkan muridnya
sendiri yang tak punya guna sehingga sampai dibunuh
orang, sebaliknya menimpahkan kesalahan itu pada Thian
Tee Hui serta menantang di luitay. Saudara2 sekalian,
apakah Thian Te Hui itu mandah dihina orang?"
„Tidak, tidak!" terdengar tereakan bergemuruh dari
sebelah timur. Rupanya mereka itu adalah rombongan
orang2 Thian Tee Hui. Kiau To rangkap tangan memberi
hormat seraya lanjutkan kata2nya lagi: „Karena Thian Tee
Hui tak boleh diperhina orang, dan karena Ci Hun Si sam
tianglo itu tetap berkeras dengan tuduhannya, maka
terpaksa diadakan luitay ini. Kalau bahasa mulut tak dapat
diterima, maka kepelanlah yang memutuskan. Para sahabat
persilatan sekalian, barang siapa yang hendak berminat
membantu kedua fihak silahkan naik kemari untuk
mengeluarkan kepandaian masing2. Mati atau hidup itu
tergantung dari kepandaian kita sendiri!"
Bermula Ceng Bo siangjin mengira kalau urusan masih
bisa diselesaikan dengan damai. Tapi serta didengarnya
Kiau To mengucapkan begitu, terang sudah jalan buntu.
Diam2 siangjin itu menarik napas dalam2 lagi. Dia pun lalu
memberi isyarat tangan kepada Bek Lian dan Yan-chiu,
suruh mereka jangan mengajak bicara lagi. Dia tampak
duduk lagi, untuk mencari pikiran. Jalan satu2nya ialah
tunggu setelah pertempuran bubar, dia hendak meminta
agar kedua pemimpin Tian Tee Hui bubarkan saja luitay
itu, jangan cari setori pada orang lain.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Tepat disaat dia mendapat pikiran itu, disebelah luitay
yang satunya sana, salah seorang hweeshio yang yang
duduk di-tengah2 segera tampil kemuka. Dan setelah
memberi hormat pada para penonton, dia berseru suara
tajam: „Memang kepandaian dari murid pinceng (hweeshio
membahasai dirinya) kurang tinggi, itu benar. Tapi
menggunal kesempatan sebagus ini, pin-ceng hendak
memohon pelajaran yang sakti dari para enghiong hoohan
(orang gagah) Thian Tee Hui!"
Dari ucapan itu, terang dia tetap menghendaki
pertempuran. Tapi baru tantangan itu disampaikan, dari
bawah luitay sudah terdengar seorang berseru keras
megyambutinya: „To Kong tianglo, potong ayam mengapa
memakai pisau pemotong sapi, biarlah kami ketiga saudara
ini menjadi pelopor pihak barisanmu, yang tampil pertama
kali!" Berbareng dengan seruan itu, loncatlah 3 orang lelaki
bermuka brewok, keatas luitay.
Sekali lihat, Yan-chiu segera mengenali mereka itu
sebagai ketiga saudara Chi, yakni Chi Beng, Chi Kwi dan
Sim. Saking senang bakal menyaksikan pertempuran, Yan
chiu seperti me-nari2. Namun karena suhunya berada
disebelah situ, tak berani ia unjuk tingkah. Diam2 ia kutik2
Bek Lian serta membisikinya: „Suci, lebih baik kebelakang
luitay saja, supaya bisa nonton dengan jelas!"
„Huh, untuk menghadapi bangsa begitu masa kami layak
maju ke luitay!" Bek Lian tertawa, tapi cepat ayahnya
mendenguskan hidung sambil tertawa dingin, Ketiganya
segera bangkit untuk mengawasi kesekeliling penjuru.
Kiranya sekalian penonton tampak curahkan perhatian
kearah luitay. Sam Tay tianglo sudah turun dari luitay dan
kini ketiga saudara Chi yang menggantikan naik. Babak
pertama dari pertempuran diluitay itu, Ceng Bo siangjinpun
tak mau menghiraukan lagi. Sementara Bek Than dan Yanchiu
sudah menyusup masuk diantar penonton yang berjubal2
itu, untuk menuju kebelakang luitay. Begitu tiba
disana, kedengaran Kiau To berkata-kata: „Mengapa untuk
babak pertama mereka menyuruh ketiga saudara Chi yang
maju? Aneh juga!"
„Entah apa maksud mereka itu!" sahut Ki Ce-tiong.
Justeru dia berkata begitu, Bek Lian dan Yan-chiu muncul,
maka buru2 toa-ah-ko itu bertanya: „Apa Bek-heng belum
datang?"
„Entah apa sebabnya, kelihatannya suhu tak senang
hati!" jawab Yan-chiu.
„Sudah tentu karena adanya luitay ini. Akupun kuatir
juga, jangan2 membikin kapiran urusan besar. Tapi karena
orang mencari urusan, apa kita tinggal diam saja?"
„Looji, mengapa kau begitu ngotot. Sebaiknya lekas
tunjuk siapa yang harus tampil kedepan. Ketiga bajak dari
keluarga Chi itu, tak boleh dipandang ringan. Masakan
dalam babak pertama, mereka buru2 hendak menang
angin," kata Ki Ce-tiong.
Dalam kedua pemimpin Thian Te Hui itu berunding,
memang ada sementara anggauta2 Thian Te Hui
berpangkat thau-bak yang tawarkan diri untuk maju
kegelanggang luitay, namun mata Kiau To tertuju kearah
Tio Jiang yang sejak tadi berdiam diri saja itu. Waktu Bek
Lian masuk kesitu, Tio Jiang memaku (terus menerus
memandang) sang suci saja, maka dia sampai tak
mengetahui akan isyarat Kiau To itu. Adalah Yan-chiu
yang tahu akan isyarat itu, terus mengutik sukonya, hingga
Tio Jiang gelagapan. Sewaktu dia mendongak mengawasi
kemuka, dilihatnya ada seseorang yang memakai sepasang
sepatu jo-eh (sepatu rumput), mengenakan sehelai baju
(pada hal itu waktu adalah bulan sebelas yang hawanya
dingin) tengah setindak demi setindak menyeret kakinya
menghampiri kearah ketiga saudara Chi sana. Sambil jalan
beringsut-ingsut itu, mulutnya berseru: „Hai, adakah kalian
bertiga ini orang she Chi?"
Ketiga saudara Chi itu terkesiap. Dengan perlahan
diamat-amati orang yang berpakaian mesum itu, tapi
mereka tak mengenalnya. „Benar, apakah loheng ini
hendak membantu fihak Thian Te Hui?" sahut mereka
serempak.
Sembari beringsut jalan menghampirl kedekat, orang itu
menyahut: „Apa itu sih Thian Te Hui, Jin Kau Hui
(perkumpulan orang anjing)? Locu (membahasai dirinya
sendiri) tak kenal semua. Yang kuketahui dilaut selatan ada
3 ekor belut she Chi, ganas tak kenal kasihan. Justeru
kebenaran hari ini aku sempat, hendak kutangkapnya !"
Sekalian orang yang mendengar keterangan itu, sama
terperanjat kaget. Terang luitay itu diperuntukkan
pertandingan antara Thian Te Hui melawan Sam-tianglo
dari Ci Hun Si. Ketiga saudara Chi itu adalah salah seorang
Empat Sekawan bajak Laut Selatan. Kalau mereka
berkelahi untuk fihak Sam-tianglo (tiga paderi besar) itu
dapat dimengerti. Tapi masa tahu2 muncul orang lain yang
hendak mencari ketiga saudara Chi itu! Perawakan orang
itu sedang. Cara berjalannya yang diseret setindak demi
setindak itu sih tak mengherankan, tapi yang mengherankan
adalah caranya membawakan kata2nya yang begitu tajam
itu. Selagi orang masih men-duga2, orang aneh itu sudah
tiba dimuka luitay, lalu berseru kearah samping luitay:
„Ambilkan tangga, supaya locu bisa naik keatas !"
Ketiga saudara Chi itu tertawa mengejek: „Loheng tokh
hendak pi-bu, mengapa keatas luitay saja tak mampu?"
Sembari memanjat ketangga, orang itu menyahut: „Locu
hanya pandai menangkap belut, baik dimana saja, didarat
maupun dilaut. Tapi memang locu tak bisa main loncat !"
Setelah berada diatas papan luitay, orang itu menuding
kepada ketiga saudara Chi, serunya: „Bagaimana, kamu
bertiga maju serempak atau satu per satu?"
„Kami bertiga saudara ini, selama maju berbareng.
Kalau kau jeri, lekas enyah sana!" sahut Chi Kwi.
Orang itu memutar tubuh, menghadap kearah penonton
dia beraeru nyaring: „Para enghiong hohan dari seluruh
penjuru, dengarlah! Mereka bertiga hendak mengerubuti
aku seorang, kalau mereka mampus rasanyapun sudah
cukup pantas!"
,,Jangan jual omongan tak berguna! Siapa namamu?"
bentak ketiga saudara Chi itu.
„Aku orang she „Si!"
„Si" artinya „ya". Sudah tentu ketiga saudara itu
melengak seraya menegas: „She Si?"
„Tidak salah," sahut orang itu dengan tertawa, „namaku
yang lengkap ialah Si Li Tia (ialah ayah-mu)!"
Baru kini ketiga saudara itu sadar bahwa orang berniat
mem-per-olok2kan. Cepat mereka berjajar rapi, lalu siap
menghunus golok kui-thau-to (kepala setan) masing2.
Melihat itu, Ki Ce-tiong berkata kepada Kiau To: „Loji,
ilmu golok dari persaudaraan Chi itu memang dimainkan
oleh bertiga orang. Dan itu merupakan suatu ilmu
permainan yang sukar dilayani. Kukira lebih baik kau
panggil orang itu, agar publik tak menyangka kalau Thian
Te Hui tiada mempunyai orangI"
Dipikir omongan toa-ah-konya itu memang tepat, maka
berbangkitlah Kiau To terus berseru keras2: „Sahabat,
harap berhenti dulu!" lalu lolos jwan-pian (ruyung lemas
semacam cambuk) dipinggangnya. Begitu dikebutkan
sehingga lempang seperti sebatang pit (pena Tiongkok), dia
terus melesat ketengah luitay. Selagi masih melayang diatas
udara itu, piannya dimainkan dengan gencar sekali
sehingga menderu merupakan sebuah lingkaran sinar, atau
mirip dengan sekuntum bunga yang tengahnya berisi
bayangan orang. Cara pemimpin kedua dari Thian Te Hui
itu naik keatas luitay, memang indah dan istimewa sekali.
Ketiga saudara Chi itu telah bertindak menurut rencana
yang telah ditetapkan. Rencana itu menghendaki agar
pertempuran luitay itu bisa berlangsung sampai beberapa
hari lamanya, agar mereka dapat melaksanakan rencana itu
lebih ianjut. Mengapa dalam babak pertama ketiga saudara
itu yang maju, adalah karena pada pikiran mereka,
masakan dalam hari pertama fihak musuh akan
mengeluarkan jago2nya yang lihay. Dengan begitu, tentu
mereka bertiga akan dapat merebut kemenangan. Pemimpin
kedua dari Thian Te Hui, Kiau To itu, wataknya
berangasan. Menghadapi setiap persoalan, tak mau dia
berbanyak pikir untuk menelitinya. Lain halnya dengan Ki
Cee-tiong yang cermat teliti. Nampak ketiga saudara Chi
yang pertama turun kegelanggang, dia menduga, tentu ada
sebabnya, maka disuruhnya Kiau To lah yang
menghadapinya. Loncatan Kiau To ketengah luitay itu
tepat jatuh di-tengah2 ketiga saudara Chi dan siorang kurus
tadi. Per-tama2 Kiau To memberi hormat kepada orang itu
seraya berkata: „Sahabat, aku yang rendah atas nama Thian
Te Hui haturkan terima kasih atas bantuanmu. Hanya saja
kali ini adalah menyangkut urusan Thian Tee Hui, apabila
sahabat memang sungguh berhasrat membantu, sukalah
kiranya pada nanti giliran yang kedua saja."
Ucapan Kiau To Itu disusun dalam bahasa tata
kesopanan dunia persilatan yang sopan sekali. Sekalipun
orang itu datang bukan karena hendak membantu Thian
Tee Hui tapi karena hendak membereskan permusuhannya
sendiri, namun turut aturan, dia harus mengalah. Tapi
ternyata tidak demikian. Kelopak matanya membeliak,
mulutnya berseru aneh: „Bagaimana? Bukankah luitay ini
diperuntukkan berkelahi? Apa hakmu untuk melarang aku,
hayo menyingkir sana!"
Orang itu berkata dengan suara keras, hingga para pera
penonton dapat mendengar dengan jelas. Tapi Kiau To
masih menahan hatinya serta masih hendak menyahutinya.
Tapi dia agak dikejutkan dengan derap kaki dari belakang
luitay. Begitu berpaling kebelakang, kiranya Yan-chiulah
yang ber-lari2 mendatangi terus loncat keatas luitay. Begilu
menginjak dllantai dia terus menuding pada orang jembel
itu: „Kau mau berkelahi sih boleh saja, tapi satu melawan
tiga, itu tidak seimbang. Begini saja, kita bertiga ini
melawan mereka bertiga, jadi satu melayani satu!"
Dan tanpa tunggu jawaban orang lagi, sigenit itu
mengeluarkan bandringannya, terus dihantamkan kepada
Chi Beng. Sudah tentu si Chi Beng itu buru2 menangkis
dengan goloknya. Yan-chiu tarik kebelakang tangannya
seraya memutar tubuh untuk melancarkan lagi serangannya
yang kedua. Melihat kegarangan nona itu, Chi Beng murka.
Masa seorang lelaki gagah tak bisa menangkan seorang
gadis kecil, bukankah dia nanti akan kehilangan muka
dikalangan persilatan? Dengan menggerung keras, dia
segera mainkan ilmu golok keluarga Chi yani yang disebut
„Sam Kek To Hwat". Dengan gencar dan serunya, dia
merangsang nona itu. Yan-chiu andalkan kelincahannya,
sedang senjatanya rantai bandringan Itu merupakan senjata
yang lemas dan panjang, maka dapatlah dia loncat kian
kemari sambil memberi pukulan pada setiap ada
kesempatan. Dalam beberapa saat saja, pertempuran sudah
berlangsung 10-an jurus.
Melihat sikap sinona yang tegas dan garang itu, siorang
aneh tadi tertawa riang, serunya: „Bagus, nona kecil,
dengan memandang mukamu locu serahkan kedua ekor
belut itu kepada kalian!" Setelah mengucap begitu, dengan
jarinya yang kotor penuh dangkal itu, dia tuding Chi Kwi:
„He, majulah, apa takut mati?"
Saking marahnya, dada Chi Kwi hampir meledak.
Serentak dia maju membacok dengan goloknya, tapi orang
itu hanya miringkan tubuhnya. Rantai bandringan si Yanchiu
panjangnya hampir 4 meter. Oleh karena luitay itu
memang tak sebrapa luas, jadi sewaktu Yan-chiu mainkan
baderingannya itu, boleh dikata telah memakan lebih dari
separoh panggung luitay itu. Seperti telah dikatakan tadi,
atas bacokan Chi Kwi, orang itu miringkan tubuhnya.
Justeru pada saat itu bandringan Yan-chiu tepat melayang
kearah mukanya. Sedang pada saat itu, karena bacokan
yang pertama gagal, Chi Kwi mengirim lagi bacokannya
yang kedua kearah kepala orang itu. Namun orang itu
tinggal diam saja. Untuk bandringan Yan-chiu yang
datangnya lebih dahulu, dia tampar bola besi diujung rantai
itu, sehingga sesaat itu Yan-chiu seperti terjorok kemuka.
Dengan begitu bola besi itu berganti arah layangnya, wung
terus menghantam Chi Kwi.
Mimpipun tidak Chi Kwi kalau bola bandringan Yanchiu
itu akan menghantam kearahnya. Dengan gugup dia
menangkiskan goloknya, trang, golok dan bola besi saling
berbentur. Yan-chiu sih tak merasakan apa2, tapi Chi Kwi
kesemutan tangannya sehingga goloknya hampir terlepas
„Nona kecil, sungguh kuat sekali tanganmu!" serunya
memuji.
Tapi sebenarnya Yan-chiu sendiri ketika bola
bandringannya di tampar oleh tangan siorang aneh, hampir
saja juga tak dapat menguasai pegangannya. Diam2 ia puji
siorang aneh itu bukan seorang tokoh sembarangan.
Namun tak mau Ia pedulikan hal itu, serta balas
membentak si Chi Kwi : „Nonamu ini bertenaga besar, tak
perlu dengan pujianmu!”
Dari berhadapan dengan Chi Beng kini Yan-chiu
berganti melawan Chi Kwi. Sebaliknya karena mendapat
kesempatan, tiba2 Chi Beng membacok Yan-chiu.
Untuk menyerang Chi Kwi yang berada disebelah muka,
tapi dari belakang diserang oleh Chi Beng, Yan-chiu
menjadi kelabakan. Se-konyong2 orang aneh itu
kedengaran berseru: „Nona kecil, kita saling tukar musuh!",
terus melesat kehadapan Chi Beng, ulurkan tangannya
hendak menampar. Buru2 Chi Beng angkat goloknya
memapas lengan orang. Tapi secepat kilat tangan orang itu
ditarik kebelakang dan „plak", tahu2 menampar muka
lawan. Hebat kiranya tamparan itu, karena seketika itu Chi
Beng ter-huyung2 mundur sampai 3 langkah, malah hampir
terjungkal kebawah luitay. Separoh mukanya menjadi
bengkak kebiru2an.
Setelah menampar muka, orang aneh itupun tak mau
mengejar. Dengan berdiri tegak, dia mengawasi Chi Beng
seraya tertawa cekikikan, sepertinya tak memandang mata
pada lawan.
„Locianpwe, bagus sekali pukulanmu tadi," seru Yanchiu
dari samping.
„Hai, kiranya manja juga nona kecil ber-kata2," sahut
orang aneh itu.
Tadi bertempur dengan Chi Kwi, Yan-chiu sudah merasa
berat, apalagi kini ia pecah perhatiannya untuk memuji
siorang aneh, maka hampir saja golok lawan membabatnya.
Kini tak berani lagi dia bicara dengan siorang aneh, lalu
menumplek perhatiannya untuk menghadapi lawan.
Disamping sana, Kiau To mengawasi dengan penuh
perhatian akan jalannya pertempuran itu. Yan-chiu
keripuhan, mungkin kehabisan napas. Tapi siorang aneh itu
ternyata seorang ko-chiu (jago kelas tinggi), hingga dapat
mempermainkan lawannya. Dengan begitu pertandingan
seri. Setelah jelas, dia segera menuding pada Chi Sim, bajak
yang ketiga: „Mari, kita naik keluitay yang sana itu !"
Diantara ketiga saudaranya, Chi Sim lah yang paling
rendah kepandaiannya. Tapi biarpun kalah lihay, dia
menang cerdik dari kedua kakaknya itu. Kiranya ilmu golok
„sam kek to hwat" dari keluarga Chi itu terdiri dari 3 pokok
dasar: thian (langit), tee (bumi) dan jin (orang). Ketiga
saudara itu masing2 mempelajari satu macam jurus. Maka
untuk menghadapi lawan, mereka bertiga harus maju
berbareng, baru kelihatan lihaynya. Sam-kek-to-hwat
ternyata berdasarkan sebuah ucapan dalam kitab I-keng
yang mengatakan: „gerakan dari ke 6 garis, adalah jalanan
dari ke 3 kek (batas)”. Oleh karena itu, letak keindahan dari
perobahan ilmu golok itu, ialah harus dimainkan oleh 3
orang itu, barulah hidup.
Chi Sim tak mau ladeni tantangan Kiau To, karena itu
berarti terpecah kekuatannya. Cepat dia maju setindak
untuk berjajar dengan kakaknya, Chi Kwi yang tengah
bertempur dengan Yan-chiu itu, lalu berseru menantang
Kiau To: „Disini, kalau berani majulah, kalau takut mati,
sana mundur saja !"
„Bangsat yang tak tahu mati!" damprat Kiau To seraya
ayunkan tiang-pian menyabet kaki orang.
„Toako, jiko, pundak rata!" Chi Sim meneriaki kedua
kakaknya. Pundak rata, berarti bertempur bahu membahu.
Chi Kwi dan Chi Beng tersadar dari kekliruannya yang
sudah tak mau bertempur secara berbareng itu. Maka tanpa
hiraukan sakitnya dibagian muka, Chi Beng maju dua
langkah kemuka. Tapi tepat pada saat itu siorang aneh
tadipun melangkah maju, hingga saling berhadapan.
„Bagaimana? Hendak mati bersama disatu tempat?" kata
orang mesum itu dengan cekikikan.
Karena pernah merasakan tangannya, tak berani Chi
Beng menerjangnya. Dan karena merandek itu, kini Chi
Beng terpencil dihadang oleh siorang aneh itu. Apa boleh
buat, Chi Beng segera ayunkan golok kui-thao-tonya untuk
menerjang. Namun dengan ke-tawa2, siorang aneh itu
berlincahan diantara samberan golok, setempo loncat keatas
setempo membungkuk kebawah. Kalau tidak menggaplok
pantat, tentu me-ngitik2 iga orang, hingga dalam
melancarkan serangannya yang hebat itu, mau tak mau si
Chi Beng geli karena ngeri. Mungkin karena belum pernah
menyaksikan pertempuran selucu itu, para anak2 Thian Te
Hui dan penonton sama ketawa ter-bahak2. Tapi ketiga
Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si itu tetap sedingin es
wajahnya.
Sementara diluitay yang satunya, Chi Kwi dan Chi Sim
dapat bahu membahu bertempur. Yang satu khusus
menyerang tubuh, sedang yang lain melulu mengarah kaki.
Baik menyerang maupun menangkis, kedua orang itu tentu
ajak-ajakan. Benar ilmu permainan pian dari Kiau To
cukup lihay, namun dalam waktu singkat tak dapatlah dia
merebut kemenangan. Kini dia keluarkan jurus permainan
„liok kin pian hwat", sehingga gerakannya berobah menjadi
gencar bagaikan angin puyuh.
Juga Yan-chiu tak kurang garangnya dengan senjata bola
bandringannya. Sebenarnya Kiau To seorang saja sudah
cukup untuk menghadapi kedua saudara itu. Maka Yanchiu
hanyalah bergerak untuk menghantam, se-waktu2 ada
lubang kesempatan. Berkelahi cara begitu, sungguh enak
bagi sinona nakal. Karena dia ber-putar2 untuk mencari
kesempatan, maka gerakannyapun bagaikan seekor kupu2
me-nari2 diantara kuntum bunga. Malah sigenit itu meniru2
perbuatan siorang aneh tadi ialah dengan tangannya
kiri menggablok pantat kedua lawannya itu. Dan itu dapat
dia lakukan se-puas2nya karena kedua saudara Chi itu
tengah tumplek perhatiannya untuk melayani serangan
Kiau To. Juga pemandangan diatas luitay yang ini, tak
kurang menariknya. Para penonton sama ter-pingkal2,
sampai orangnya fihak keempat bajak itu sendiri, tak kuat
menahan gelinya.
Dalam waktu sesingkat saja, pertempuran itu sudah
berjalan belasan jurus. Kini Chi Kwi dan Thyi Sim tampak
sudah kepayahan didesak pian Kiau To, sehingga pada lain
saat saking gugupnya mereka ber-jingkrak2 seperti monyet
kena api. Dan berbareng dengan itu pantat mereka habis
digaploki Yan-chiu.
Diluitay yang sebelah sana, Chi Beng anggap bahwa
orang aneh yang menjadi lawannya itu sebenarnya tak
seberapa lihaynya. satu2nya kepandaian yang paling
diandalkan ialah ilmun ya mengentengi tubuh yang hebat.
Ini terbukti beberapa kali sudah dia menerima tamparan
siorang aneh itu, bermula memang kaget, tapi ternyata rasa
sakitnya itu hanya sebentar saja terus sembuh kembali.
Dengan anggapan itu, timbullah nyali Chi Beng. Sret, aret,
sret, 3 kali dia maju membabat dan berhasil mendesak
lawan mundur selangkah. Benar dalam mundurnya itu,
siorang aneh dapat memberi tamparan, namun sekali enjot,
dia terus hendak melesat kearah kedua saudaranya sana.
Tapi hai, gila betul siorang aneh itu, ilmumengentengi
tubuhnya sungguh sakti benar. Sekali bergerak tahu2 dia
sudah menghadang dihadapan Chi Beng lagi, bluk ……dia
meninju dada Chi Beng seraya berseru: „Tubuhmukan
besar, mengapa takut ditinju!"
Mendengar itu, sudah tentu Yan-chiu ketawa meringkik.
Saking gemasnya. Chi Beng menabas, tapi siorang itu terus
menghindar. Dalam kesempatan itu, dapatlah sekarang Chi
Beng bersatu dengan kedua saudaranya, sehingga kini
permainan mereka menjadi hidup.
GAMBAR 15
Mendadak banderingan Yan-chiu terpental dari tangan,
berbareng bebokongnya kena digablok siorang aneh hingga
tubuhnya terapung keatas.
Memang dengan tergabungnya menjadi satu, permainan
golok ketiga saudara Chi tampak bersemangat. Yang
pertama menderita pengaruhnya adalah Kiau To, siapa
tampak terdesak mundur selangkah. Yan-chiu masih
mengimpi hendak mengocok mereka, dengan coba2
menyodok ketiak Chi Sim. Tapi untuk kekagetannya, Chi
Kwi menabas dengan goloknya, hingga saking gugupnya
sinona segera tangkis dengan bandringannya. Tapi sekali
Chi Kwi putar goloknya, bandringan itu telah kena
digubatnya. „Lepas!" bentak orang she Chi itu sembari
mendorongkan golok keluar.
Yan-chiu rasakan tangannya kesemutan, saking kagetnya
bandringan terlepas terus dilontarkan oleh Chi Kwi. Baru
Yan-chiu hendak mundur, Chi Sim sudah membarengi
menusuknya. Yan-chiu mengeluarkan keluhan tertahan,
tapi sekonyong2 orang aneh itu mengulurkan tangannya
yang kotor berdaki, secepat kilat telah menggaplok
pantatnya sehingga selebar muka Yan-chiu ke-merah2an.
Serasa didorong oleh suatu tenaga besar, diluar
kemauannya, Yan-chiu telah terangkat naik sampai satu
tombak keatas. Sebenarnya nona itu gugup sekali, tapi
karena waktu melambung keatas, bandringannya tadi
justeru melayang jatuh kebawah, make sebat sekali dia
menjambretnya lalu ikut melayang turun bersama
bandringan itu. Ketika melayang turun, jatuhnya tepat
ditepian luitay.
Setelah terhuyung sebentar, sekarang ia sudah berdirik
tegak lagi.
Saking cepatnya siorang aneh itu menggerakkan
tangannya tadi, maka para penonton dibawah luitay sampai
tak mengetahui kalau sebenarnya Yan-chiu telah
didorongnya keatas. Mereka mengira, karena
bandringannya terpental keudara, nona itu segera enjot
tubuhnya mengejar. Seorang nona semuda itu umurnya,
kalau kalah kuat dengan 3 orang lelaki yang bertenaga besar
sehingga senjatanya sampai kena dilemparkan keatas, itu
sih sudah jamak. Tapi bahwasannya dalam keadaan yang
membahayakan jiwanya itu, sinona masih dapat
mengelakkan bacokan yang gencar dari Chi Sim dan malah
dapat enjot tubuhnya setinggi itu untuk menyusul
senjatanya yang terlepas tadi, adalah suatu kepandaian yang
luar biasa. Jadi dapatlah dianggap bahwa nona itu dapat
merobah kekalahannya dengan suatu kemenangan yang
mengagumkan. Demikian penilaian para penonton yang
segera memberi pujian tepuk tangan yang meriah sekali.
Malah disana, Tio Jiang dan Bek Lianpun sama
terperanjat. Bek Lian leletkan lidah mengeluarkan seruan
tertahan. Tio Jiang yang dalam beberapa hari ini tak
mempunyai kesempatan (alasan) untuk bicara dengan
sucinya itu, buru2 menggunakan kesempatan baik itu,
katanya: „Suci, ilmu mengentengi tubuh sumoay mendapat
kemajuan pesat sekali."
Bek Lian hanya mengiakan dengan dingin, tapi itu sudah
membuat Tio Jiang girang setengah mati, maka dengan
wajah ber-seri2 dia mengawasi lagi keadaan diluitay. Hanya
Ceng Bo siangjin yang mendongkol, karena melihat
muridnya itu tak mengindahkan nasehat untuk tidak turun
kegelanggang. Tapi demi menampak permainan bandringan
sinona nakal itu bertambah maju, dia terhibur hatinya.
Tentang gaplokan siorang aneh pada Yan-chiu tadi, Ceng
Bopun dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia malah
bersyukur, karena kalau tidak tentu muridnya yang masih
hijau dan baru pertama kali turun dalam pertempuran itu
tentu tak dapat mengelakkan tabasan Chi Sim.
Seperti telah diterangkan diatas, tergabungnya ketiga
saudara Chi itu dalam permainannya sam-kek-to, telah
melahirkan suatu gaya permainan yang lihay. Kalau tidak
dua menyerang satu menjaga, tentu yang satu menyerang
yang dua menjaga. Ilmu permainan golok itu, penuh
dengan ragam perobahan, sehingga ketiga golok kui-thau-to
itu merupakan ribuan sinar golok yang berkelebatan dengan
derasnya. Dalam hati, Kiau To mengagumi permainan itu,
maka diapun lalu mainkan piannya dengan se-hebat2nya.
Setelah mendapat pengalaman pahit bandringannya
terlepas tadi, sekarang Yan-chiu tak berani gegabah lagi.
Dia andalkan kelincahannya saja. Tapi siorang aneh yang
mesum Itu dengan sepasang sepatunya rumput yang
mengeluarkan bunyi tik-tak tik-tak, ber-ingsut2 kian kemari,
sepertinya tak menurut gerak permainan silat. Namun
betapa deras dan serunya samberan ketiga golok lawan itu,
tetap tak dapat mengenainya. Keadaan itu berjalan sampai
belasan jurus.
Sebaliknya karena sampai sekian lama tak ada
kesudahannya itu, Kiau To menjadi tak sabaran lagi. Dia
perhebat permainannya pian, merangsang musuh dengan
bernapsu sekali.
„Mau lekas2 memberesi ketiga ekor belut ini bukan?
Mengapa tadi2 tak bilang?" seru siorang kotor itu dengan
tertawa, sembari maju merapat. Chi Beng dan Chi Kwi
menyambutnya dengan 3 kali bacokan be-runtun2, tapi tak
kuasa menahan majunya siorang aneh itu. Chi Sim yang
tengah melayani Kiau To itu menjadi lengah, betisnya kena
disawut oleh siorang aneh tadi, terus dijorokkan kearah
Kiau To, sehingga jatuh kemulca. Kiau To sebat gunakan
jurus „ular aneh mencari mangsa" menyabet dan tepat
melibat betis si Chi Sim. Sekali tangan menyentak, tubuh
Chi Sim yang besar itu terangkat naik. Dan begitu tangan
Kiau To tampak bergerak lagi, mulutnya segera berseru:
„Enyahlah!" Tubuh Chi Sim telah kena dilempar keluar
luitay.
Ilmu mengentengi tubuh dari ketiga saudara Chi itu biasa
saja. Maka sewaktu melayang turun, tangan dan kaki si Chi
Sim itu me-ronta2 seperti orang kelelap dikali. Maka dapat
dipastikan, nanti kalau jatuh, tidak mati pun tentu akan
luka parah. Tapi se-konyong2 tampak sesosok tubuh
berkelebat, malah nyata2 orang itu masih duduk diatas
sebuah dampar (semacam permadani) yang bulat, tepat
dapat menyanggapi jatuhnya Chi Sim itu. Dengan merah
padam, Chi Sim terus hendak loncat keatas luitay lagi,
karena pikirnya, dengan kurang seorang, permainan sakkek-
to itu pasti akan kacau, tapi ternyata sudah terlambat.
Kakaknya yang satu kena dihantam punggungnya oleh bola
bandringan Yan-chiu hingga muntah darah terus jatuh
kebawah luitay. Sedang kakaknya yang lain, telah dihajar
pian mukanya hingga berlumuran darah dan berjumpalitan
loncat kebawah luitay. Jadi dalam babak pertama itu, fihak
Thian Te Hui telah mencatat kemenangan.
Diantara ketiga saudara itu, terhitung Chi Simlah yang
tak mendapat luka, sekalipun dia kena dilempar keluar
gelanggang oleh Kiau To. Bermula ketiga saudara itu
memperhitungkan kalau pada hari pertama fihak Thian Te
Hui tentu takkan mengeluarkan jagonya yang lihay, dan ini
akan memberi kesempatan fihaknya untuk menang.
Memang menurut rencana Cian-bin-long-kun The Go (si
Wajah seribu) ialah: hari pertama, kedua dan ketiga, Thian
Te Hui harus dikalahkan, agar mereka tak dapat lekas2
membubarkan luitay itu. Dengan begitu dapatlah seluruh
tokoh2 Thian Te Hui dan tokoh2 persilatan lainnya semua
berkumpul digunung Gwat-siu-san situ, sementara dia
dapat melaksanakan rencananya dikota Kwiciu.
Namun rencana itu telah dipecahkan oleh penilaian Ki
Ce-tiong yang tepat. Dengan menganjurkan Kiau To maju
kegelanggang, sebenarnya sudah cukup untuk mengatasi
ketiga saudara Chi itu. Apalagi dengan mendapat tenaga
tambahan dari murid kesayangan Ceng Bo siangjin. Bahwa
munculnya siorang mesum yang aneh itu untuk fihaknya,
telah membuat kekalahan ketiga saudara itu menjadi suatu
kekalahan yang mengenaskan sekali. Begitu kedua
kakaknya turun dari luitay, Chi Sim buru2 memapakinya
lalu dengan bermuram durja masuk kebelakang panggung.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
Sebaliknya dalam pengalamannya turun kegelanggang
itu telah mendapat kemenangan, dengan diantar oleh tepuk
sorak yang gegap gempita dari orang2 Thian Te Hui,
Yanchiu tak mau segera berlaku dari luitay itu. Mata Kiau
To yang tajam segera dapat mengenali bahwa orang bersila
diatas dampar terbang yang memberi pertolongan pada Chi
Sim tadi adalah paderi To Kong, itu salah seorang gembong
dari gereja Ci Hun Si yang mengantar surat tantangan
tempo hari. Dilihat dari caranya dia menolong Chi Sim,
begitu tenang dan gapah sekali, Kiau To terperanjat. Ilmu
mengentengi tubuh yang sedemikian itu, jarang sekali
terdapat dikalangan kaum persilatan. Maka ter-sipu2 dia
memanggil Yan-chiu: „Siao Chiu, lekas turun dari luitay.
Hweshio itu lihay sekali!"
Walaupun enggan, namun menurut juga Yan-chiu. Tapi
baru dia hendak turun, tiba2 didengarnya mulut siorang
aneh tadi berseru pelan: „Nona kecil, kepala gundul itu
hanya garang diluar, tapi tak berisi. Kalau kau berani
menghadapinya, kujamin kau tentu menang!"
Karena Kiau To saat itu mengawasi pada paderi To
Kong yang berada dibawah luitay, jadi dia tak dapat
mendengar anjuran siorang aneh kepada Yan-chiu itu.
Karena memang sifatnya nakal, begitu dianjuri ia segera
memanggut kepada orang aneh itu, lalu melangkah maju
dua langkah seraya menuding kearah To Kong, serunya:
„Bangkai keledai, bagus, apa kau berani naik kemari untuk
ber-main2 dengan nonamu ini ?"
Lwekang dari Yan-chiu yang baru dua tahun ini
dipelajarinya belum sempurna, maka sewaktu bicara tak
dapat ia gunakan lwekang, sehingga para penonton sama
mendengarnya jelas. Tapi oleh karena dia itu seorang dara
yang lincah sympathik, maka perhatian penontonpun
terpikat kearahnya. Apalagi dengan nada suaranya yang
merdu bagaikan kicau burung kenari itu, makin membuat
terpesona orang2.
Yang paling kaget setengah mati, adalah Kiau To. Dia
heran mengapa nona itu begitu berani mati? Sam Tay
tianglo atau Tiga Imam besar dari gereja Ci Hun Si, sudah
terkenal didunia persilatan. Dalam segala2nya, nona itu tak
nempil dengan sebuah ujung jarinya saja. Babak pertama,
fihak lawan menderita kekalahan, babak kedua ini tentu
akan mengambil pembalasan. Hendak Kiau To
melarangnya, tapi dia teringat akan peraturan dunia
persilatan, bahwa barang siapa yang sudah berani
menantang berkelahi dalam luitay itu, tentu berani sudah
menanggung akibatnya. Apa boleh buat, terpaksa dia hanya
berseru: „Siao Chiu!"
Sebenarnya Yan-chiupun tak mengetahui akan tokoh
hweeshio To Kong itu. Bahwa begitu dia mengeluarkan
tantangannya, para penonton sama kesima, telah
membuatnya heran. Menduga kalau ada sesuatu yang
kurang beres, din segera hendak mencari alasan turun saja
dari panggung. Tapi tiba2 siorang mesum aneh itu kembali
berkata: „Nona kecil, maki lagi kepala gundul itu, tanggung
kau pasti menang!”
Orang aneh itu hanya tampak kemak kemik, namun
suaranya begitu nyaring tajam masuk kedalam telinga Yanchui,
sedang Kiau To yang berdiri tak jauh dari situ tak
dapat mendengarnya, ini mengingatkan pada Yan-chiu
akan apa yang pernah dikatakan oleh suhunya, bahwa ada
semacam lwekang yang dapat menyalurkan suara
menyusup ketelinga orang. Ilmu itu disebut „thoan seng jip
bit" (susupkan suara kedalam lebatan), suatu ilmu Iwekang
yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Teringat pula nona
lincah itu. bagaimana tadi siorang aneh telah begitu
istimewa sekali mendorong tubuhnya keatas. Terang dia itu
bukan tokoh sembarangan. Maka hilang kesangsian Yanchiu.
Tanpa pedulikan kecemasan Kiau To dan para
penonton lagi, dia memaki pula: „Keledai gundul, bangsat
gundul, takut naik kepanggung? Kalau kau mengharap
nonamu memberi ampun itulah mudah, asal kau julurkan
kepalamu yang gundul, untuk kulompati 3 kali, baru nanti
kuampuni jiwamu!"
Kata2 itu menyakiti perasaan tapi lucu, sehingga
walaupun para penonton tahu bahwa To kong hweshio itu
se-kali2 tak boleh dibuat main2 dan nona genit itu pasti
akan menyesal nantinya, namun tak urung pecah juga
ketawa bergemuruh dibawah luitay. Tapi To Kong hweshio
itu tetap berwajah seperti mayat, tenang2 duduk diatas
damparannya. Setelah ketawa orang2 sirap, baru dia
berkata dengan pelahan2: „Budak hina, siapakah gurumu?"
„Bangsat gundul, pada aku saja kau tak berani
bertempur, apa2an mau tanya suhu?"
Kini To Kong yang berwajah mayat itu kedengaran
tertawa keras, tapi nadanya ter-kekeh2 seperti burung betet.
Yan-chiu bercekat, ketika melihat bahwa sekalipun mulut
sihweeshio itu tertawa tapi wajahnya tetap pucat seperti
mayat, sedikitpun tak berobah mimik wajahnya. Karena
bercekat, kini Yan-chiu berganti nada, katanya:
„Toahweshio, apa yang kau ketawakan?"
Belum To Kong menyahut, Yan-chiu sudah mendengar
suara siorang aneh tadi: „Nona kecil, mengapa bernyali
kecil? Masa kau takut mendengar ketawa keledai gundul itu
saja? Satu lawan satu, kalau bisa menangkan hweshio itu,
namamu akan menggeletar!"
Yan-chiu berpaling kearah orang itu. Tampak orang itu
masukkan sebelah tangannya kedalam lengan bajunya yang
„tes” keluar jarinya memitas seekor kutu. Dengan menyeret
sepatunya rumput, ber-ingsut2 dia turun dari luitay, begitu
jatuh ketanah dengan susah payah dia baru bisa bangun lagi
terus ayunkan langkah seraya menyomel sendirian: „Aneh,
aneh, seorang hweesiho yang begitu hebat takut pada
seorang nona kecil saja. Kalau dunia persilatan mendengar
hal itu, sungguh dunia ini seperti terbalik!" Sembari berkata
begitu dia masuk diantara lautan penonton.
To Kong memandang kearadh Yan-chiu, siapa segera
tampak bersiap untuk menghadapinya.
Sewaktu Yan-chiu memaki si hweeshio itu, Tio Jiang
sudah pucat, sehingga dia ambil putusan hendak maju
menggantikan sumoinya itu. Pikirnya, lebih baik dia saja
yang menderita. Tapi dicegah oleh Ki Cee-tiong: „Siaoko,
jangan kuatir. Kali ini meskipun nona itu tentu kalah, tapi
takkan terjadi suatu apa pada dirinya, percayalah!"
Tio Jiang alihkan pandangannya kearah warung dimana
suhunya berada tadi. Tampaknya suhu itu tetap enak2 saja
menikmati tehnya, hal mana sungguh membuatnya tak
habis mengerti. Bukankah kepandaian dari sumoaynya itu
masih belum beberapa, mengapa suhu dan Kiau susioknya
itu begitu ikhlas2 saja membiarkan anak itu menghadapi
sihweeshio? Karena tak mengerti, diapun segera bertanya
kepada Bek Lian: „Lian suci, hari ni mengapa sumoay
begitu garang."
Kiranya Bek Lian sendiripun tak tahu sebabnya, tapi tak
mau ia kentarakan kegelapannya. „Suhu sudah cukup tahu,
mengapa kau bingung?" sahutnya dengan tawar.
Tepat pada saat itu, tiba2 terdengar suara menderu dan
dengan duduk diatas damparnya, To Kong nampak
melayang keatas panggung. Tersambar oleh anginnya saja,
Yan-chiu sudah tak dapat mempertahankan berdirinya, ia
agak terhuyung kebelakang sampai beberapa langkah, dan
saat itu Kiau To sudah melesat dimukanya. Melihat itu
Yan-chiupun segera mundur lagi dua tindak. Disebabkan
rasa sayangnya kepada Yan-chiu maka biarpun insyaf
bahwa To Kong hweeshio itu bukan lawannya, namun
terpaksa juga Kiau To maju menggantikan. Dan demi
tampak bagaimana dengan mata ber-api2 To Kong
mengawasi Yan-chiu yang berada dibelakangnya, Kiau To
segera menegurnya: „To Kong tiangloo, apakah benar2
akan meladeni seorang nona kecil?"
Kiau To berwatak berangasan, tapi pada saat itu bisa
gunakan otaknya yang dingin. Dengan ucapannya tadi, asal
Yan-chiu tidak usil mulut lagi, dalam kedudukannya
sebagai tokoh kenamaan pasti To Kong tak nanti mau cari
urusan dengan Yan-chiu. Diam2 Yan-chiu memaki siorang
aneh tadi, yang sudah tak berani bertanggung jawab. Orang
itu mengatakan To Kong seorang „bungkusan nanah" (tak
berguna), tapi tu lihat, tadi samberan angin damparnya saja
sudah begitu hebat hingga membuat ia (Yan-chiu)
terhuyung. Terang dia (Yan-chiu) bukan tandingannya,
maka iapun segera lepaskan bola bandringannya hendak
diselipkan dipinggangnya lagi. Biar penonton akan
menertawainya, pokok asal dia bisa tinggalkan gelanggang
maut itu. Tapi tiba2 dilihatnya dibawah sana tak jauh dari
luitay situ, tampak siorang aneh tadi ketawa kearahnya.
Tergerak hati Yan-chiu. Se-konyong2 orang aneh itu
gerakkan tangannya kanan sebuah sinar putih ber-kilat2
meluncur kearahnya. Benda itu seperti suatu senjata
rahasia. Hendak ia menyingkir tapi sudah tak keburu lagi.
Begitu tiba dihadapannya benda berkilat yang aneh itu sekonyong2
menghantam rantai bandringnya dan merasa tak
kuasa lagi Yan-chiu mencekal rantainya itu. Wut,
bandringannya terpental menghantam kearah To Kong.
Kejadian itu berlangsung dengan teramat cepatnya,
sehingga tiada seorang penontonpun yang mengetahui apa
yang telah terjadi tadi. Malang Kiau To seorang akhli silat
yang tergolong kelas tinggi, tak mengetahui juga. Apa yang
dilihat oleh sekalian orang itu yakni bola bandringan itu
tiba2 melayang kemuka!
Sebaliknya Yan-chin yang mengetahui dan merasakan
sendiri kejadian itu, malah tubuhnya pun hampir ikut
menjorok kemuka karena tak kuat menahan getaran
bandringannya itu, menjadi terkejut dan girang. Terkejut,
karena dia masih belum yakin apa bisa mengatasi
sihweeshio. Girang, karena orang aneh itu ternyata begitu
sakti, sehingga rasanya melebihi lihaynya dari sang suhu.
Saat itu Kiau To tengah mendesak agar To Kong
batalkan niatnya mengejar Yan-chiu, atau diluar dugaan
malah bandringan sinona itu telah menghantam lawan. To
Kong hanya tertawa dingin sambil tetap duduk diatas
damparnya. Dia julurkan tangannya yang kurus kering
untuk menyambuti bandringan sinona itu telah
menghantam lawan. To Kong, hanya belum sempurna, tapi
ilmu bandringan itu adalah ilmu warisan dari Ceng Bo
Siangjin. Begitu To Kong hendak menyambuti, ia sentak
rantai bandringan, sehingga bola besinya naik keatas dan
terhindar dari sawutan lawan. Gerakan itu disebut „hong
hong sam tiam thau" atau burung hong 3 kali
menganggukkan kepala.
Sewaktu Yan-chiu datang berguru pada Ceng Bo, Ceng
Bo keluarkan semua senjata dan bertanya ia suka belajar
ilmu senjata apa. Setelah me-milih2, akhirnya Yan-chiu
ketarik dengan rantai bandringan yang panjang dan lemas
itu. Rantai itu panjangnya lebih dari setombak, pada dua
ujungnya diberi dua buah bola besi bundar macam
hamer(palu besi). Tapi oleh karena tahu Yan-chiu itu
seorang nona yang bertenaga lemah, Ceng Bo lepaskan
sebuah dari bola besi itu, sehingga bandringan yang
digunakan Yan-chiu itu berbeda dengan senjata bandringan
yang lazim terdapat didunia persilatan.
Begitu bola bandringan terangkat naik, To Kong pun
juga tampak berdiri, untuk merebut rantai bandringan dari
tangan Yan-chiu. Sedang tangannya kiri dia gunakan untuk
menampar sinona. Kiau To terkejut bukan buatan. Dalam
dunia persilatan To Kong dikenal sebagai akhli „thiat sat
ciang" pukulan tangan besi. Ketika menjulurkan jari2nya
tangan kiri tadi, tegas kelihatan telapak tangannya hitam
sekali, gerakannya cepat. Dia (Kiau To) cemas, jangan2
Yan-chiu karena hanya memperhatikan supaya
bandringannya jangan sampai kena direbut musuh, lalu tak
menjaga serangan yang menyusul itu. Jangan kata sampai
kena dihantam, cukup baru terkena samberan anginnya
saja, sudah tentu akan t yelaka.
Dalam gugupnya, Kiau To segera hantamkan piannya
ketangan kiri To Kong. Tapi baru pian bergerak, bola
bandringan yang melayang lurus keatas itu, tiba2 meluncur
kebawah dengan cepatnya. Kalau To Kong berani teruskan
rangsangannya, punggungnya pasti terhantam bola besi itu.
Dan hantaman itu tentu akan mengenakan jalan darah
„leng tay hiat", dan ini pasti akan menamatkan jiwa
sihweeshio.
To Kong tahu apa artinya hantaman itu. Sebat sekali dia
tarik pulang tangannya kanan, lalu melangkah setindak
kesamping, sehingga dapat menghindar dari serangan
sinona yang luar biasa hebatnya itu. Kejadian itu mendapat
sambutan yang hangat dari para penonton, sedang Kiau To
sendiripun kesima. Malah Yan-chiu sendiri juga ter-heran2.
Tadi sehabis gunakan gerak „hong hong sam tiam thau", ia
merasa tentu akan kena disawut oleh To Kong, tapi
sekonyong2 terasa ada suatu tenaga kuat mendorong bola
bandringannya itu melambung keatas, kemudian ada lagi
lain tenaga yang mengayunkan bola itu turun kebawah.
Sewaktu sihweeshio kerupukan menghindar, Yan-chiu
sempat mengawasi kearah siorang aneh, siapa tampak
meng-iwi2 unjuk muka-setan padanya seraya bersenyum.
Sebagai seorang dara yang cerdas tangkas, tahu Yan-chiu
siapa yang melakukan tadi. Mendapat hati, Yan-chiu segera
susuli dengan 3 serangan ber-turut2. Sampai pada saat itu,
Kiau To sudah dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi
dibelakang layar. Maka tanpa banyak bimbang lagi, dia
segera mundur kesudut dan mengawasi jalannya
pertempuran dengan penuh perhatian.
Disebelah sana, sewaktu Yan-chiu mulai buka serangan
tadi, Tio Jiang seperti dipagut ular kagetnya. Tapi serta
dilihatnya sang sumoay mengeluarkan jurus yang aneh
sehingga To Kong hweeshio kerupukan menghindar, bukan
kepalang girangnya. „Lian suci, kalau kali ini sumoay dapat
menangkan To Kong hweeshio, wah, namanya pasti akan
menjadi buah bibir seluruh orang persilatan!"
Tio Jiang orangnya polos. Melihat sumoaynya menang,
hatinyapun turut bergirang. Bek Lian sebenarnyapun turut
bergirang juga, tapi karena dasarnya seorang gadis manja
yang beradat tinggi, maka tak senang ia mendengar Tio
Jiang memuji Yan-chiu itu. Sebagai seorang suci (kakak
perguruan), masakan sampai kalah dengan sumoay. Maka
bulat tekadnya, baik sang sumoay nanti kalah atau menang,
tetap ia tak mau dilanggar olehnya. Oleh karena
mengandung perasaan demikian, ia sudah tak pedulikan
kata2 Tio Jiang tadi. Tapi karena sudah biasa mendapat
sambutan sedingin begitu, jadi Tio Jiangpun tak banyak
menaruh perhatian serta mengawasi kepanggung
pertempuran sana.
Seorang hweeshio yang kurus kering dan seorang dara
remaja yang lincah, tengah berhantam seru. Beberapa kali,
apabila To Kong sudah nyata2 berada diatas angin dan
sinona rasanya pasti celaka, sehingga para penonton sudah
menahan napas dan mengucurkan keringat dingin, atau
secara tak ter-duga2 keluarlah jurus2 yang aneh dari sinona
itu, ya sungguh mengherankan tapi nyata. Setiap kali
peristiwa aneh itu berlangsung, maka gemuruhlah tampik
sorak penonton bagai memecah bumi. Mereka betul2
mengagumi nona kecil itu.
GAMBAR 16
Setelah berlangsung 20-an jurus, Yan-chiu tunduk betul2
akan kesaktian orang aneh yang menjadi „dalangnya" itu.
Maka dengan seksama ia perhatikan setiap petunjuk dari
siorang aneh itu. Selama itu didapatinya bahwa banyak
sekali gerakan2 istimewa yang selama ini belum pernah
dipelajarinya. Sudah tentu girangnya sukar dilukiskan.
Dalam sekejab saja, „kursus teori dan praktek kilat" ilmu
permainan bandringan itu, telah menjadikan dia seorang
akhli bandringan yang lihay. Kini gerak bandringannya
men-deru2 laksana angin puyuh.
To Kong hanya lihay dalam ilmunya thiat-sat-ciang, tapi
tak dapat ber-buat apa2 terhadap sinona nakal itu. Ber-kali2
dia merasa pasti berhasil dalam serangannya, tapi ternyata
senantiasa mendapat hidung panjang. Ber-tahun2 sudah dia
mengangkat nama didunia persilatan, masa kini
berhadapan dengan seorang nona kecil yang masih belum
hilang bau pupuknya, dalam 30 jurus masih belum menang.
Saking malunya, dia marah besar. Tapi oleh karena
wajahnya itu pucat seperti mayat, makin marah malah
tambah berseri kelihatannya.
Pada lain saat, setelah mendapat bantuan dari siorang
aneh, Yan-chiu kembali lakukan suatu jurus gerakan yang
aneh untuk menghindar hantaman lawan, sehingga
hweeshio itu kini berbalik mundur 3 langkah. Sudah sejak
tadi, Yan-chiu merasa kalau tidak dengan bantuan orang
aneh itu, mungkin 10 jurus dia tak nanti sanggup melawan
sihweeshio. Maka begitu sihweshio mundur, iapun ingatan
tak melanjutkan lagi pertempuran itu. Maka iapun mundur
3 langkah, seraya rangkapkan kedua tangan, pikirnya
hendak mengucapkan beberapa patah perkataan
sebagaimana lazim dilakukan oleh orang2 yang bertempur
diluitay. Tapi baru tangannya diangkat, atau laksana seekor
harimau kelaparan, To Kong segera menyerbunya.
Yan-chiu serasa sesak napasnya tersambar oleh angin
yang dahsyat, berbareng itu didepan matanya tampak ada
sesosok bayangan hitam merangsang, biar bagaimana juga
rasanya tak dapat ia menghindar lagi. Dalam ketakutannya
ia abat-abitkan bandringannya se-bisa2nya, tapi sekonyong2
berbareng dengan terdengarnya suara „buk", To Kong
tergelincir jatuh dan berbareng dengan itu bola bandringan
yang diobat-abitkan itu kebetulan tepat jatuh kepunggung
sihweeshio. Terpelantingnya si To Kong dan, jatuhnya bola
bandringan dipunggungnya itu, adalah suatu hal kebetulan
yang luar biasa. Sampai2 Yan-chiu sendiri menganggap
kalau rubuhnya sihweeshio itu karena terhantam oleh bola
bandringannya. Tiba2 terdengarlah siorang aneh itu
menyusupkan suaranya: „Nona kecil, kau bernyali besar
dan berotak terang, tentu ada harapan. Apa yang kuajarkan
tadi, kalau kau dapat memahaminya, kau pasti akan
menjadi akhli yang lihay. Hweeshio itu telah terkena senjata
rahasia yang kulepaskan pada jalan darah ci-tonghiat
dipunggungnya. Lekas cabut dan sembunyikan, supaya
jangan terbit kerewelan!"
Suara itu makin lama makin lemah: Ternyata orang aneh
itu sudah menyingkir jauh dan ketika dia menengok, sudah
tak kelihatan lagi. Sigap sekali dia membungkuk memeriksa
punggung To Kong dan benar disitu terselip sebuah benda.
Ketika dicabut dan diperiksanya, ternyata itulah sebuah
gelang besi yang ke-hitam2an warnanya, besarnya hanya
beberapa dim saja. Benda itu cepat dimasukkan kedalam
bajunya. Setelah senjata itu tercabut, dengan menggerang
beberapa kali To Kong tampak berbangkit terhuyung2 terus
duduk bersila diatas damparnya lagi. Melihat lawan sudah
pergi, Yan-chiupun tak berani lama2. berada diluitay situ.
„Kiau susiok, mari kita pergi!" serunya sembari loncat
turun, diikuti oleh Kiau To.
Baru saja keduanya turun, kedua hweeshio kawan To
Kong tadi segera duduk diatas dampar terus melayang naik
keatas luitay menghampiri To Kong. Tanpa berkata apa2,
yang satu disebelah kiri dan yang lain disebelah kanan,
kedua hweshio itu ulurkan tangannya memegangi kedua
samping dari jalan darah gi-hay-hiat To Kong.
Jadi dengan itu, Thian Te Hui sudah menang dua babak.
Senjata rahasia dari siorang aneh itu, ternyata merupakan
rangkaikan ros (buku) sumpit kecil2. Selain Ki Ce-tiong,
Ceng Bo siangjin dan akhli2 kelas tinggi, malah Kiau To
sendiripun, tak mengetahui apa namanya. Mendapat
kemenangan yang gemilang itu, gemuruhlah sorak sorai
orang2 Thian Te Hui.
Juga orang2 persilatan yang hadir disitu sama gempar
dengan peristiwa tadi. Melihat suasana itu, buru2 Ceng Bo
mencari kedua pemimpin Thian Te Hui, ujarnya: „Saudara
Ki, setelah menang baik kita mengalah sedikit, bubarkan
luitay ini dan mulai kerjakan urusan kita!"
Ki Ce-tiong kesima. Memang setelah menerima surat
tantangan dari Sam Tay tianglo, kedua pemimpin itu
berunding dengan masak. Akhirnya diputuskan, kalau tak
mendirikan luitay, pasti Thian Te Hui akan kehilangan
pengaruh didunia persilatan. Benar telah diketahui bahwa
tentara Ceng sudah berada diperbatasan Hokkian, tapi
masih terpisah ratusan li dari Kwiciu situ. Jadi kalau saat
itu membubarkan luitay, rasanya masih keburu mengatur
persiapan pertahanan. Atas usul Ceng Bo siangjin itu, Ki
Ce-tiong diam berpikir. Tapi Kiau To yang berangasan itu
cepat menyahutnya: „Bek-heng, kita sih boleh mengalah
sedikit, tapi apakah saudara2 yang lain mau berbuat
begitu?"
„Kiau-heng, rasanya saudara2 kita itu akan dapat dibikin
mengerti karena urusan negara diatas urusan dunia
persilatan!" sahut Ceng Bo sejenak kemudian.
„Bek-heng, bukannya membandel, tapi aku tak setuju!"
kata Kiau To.
Ceng Bo menatap sebentar padanya hingga Kiau To
serentak berdiri tegak sebagai tanda bahwa dia merasa tak
bersalah.
„Rupanya memang sudah tak bisa ditolong lagi!"
kedengaran Ceng Bo menghela napas.
„Bek-heng, kalau tentara musuh belum masuk ke
Hokkian, turut gelagatnya kita akan memperoleh
kemenangan. Bukankah tak halangan kalau menunda
pembubaran luitay ini sampai beberapa hari lagi?" kata Ki
Ce-tiong.
„Tanggal berapakah ini?" tanya pula Ceng Bo.
„Tanggal 6 bulan 12," sahut Ki Ce-tiong.
„Di Kwiciu, dua menteri besar telah bentrok. Kabarnya
ada salah seorang sebelum tanggal 10 nanti akan
bersekongkol dengan tentara Ceng, apakah kalian
mengetahuinya?" ujar Ceng Bo.
Kini Ki Ce-tiong dan Kiau To melengak. Tapi baru
keduanya merenung, disebelah luitay sana terdengar suara
orang ber-kata2 dengan nada yang dingin. Kiranya itu To
Ceng hweshio yang berbicara, katanya: „Kemenangan
Thian Te Hui tadi, pinto sekalian sungguh mengagumi.
Diam2 membokong dengan senjata rahasia, meskipun telah
menghilangkan sifat2 keperwiraan orang persilatan, namun
mengunjukkan kelihayan Thian Te Hui juga, maka
pintopun masih ingin menerima pelajaran lagi !"
Nada ucapannya itu tak sedap didengar. Dan boleh
dikata hampir seluruh penonton tak mengerti mengapa To
Ceng menuduh orang Thian Te Hui melepaskan senjata
rahasia dalam pertempuran tadi. Kiranya naiknya To Ceng
dan To Bu keatas luitay tadi ialah untuk mengobati To
Kong dengan saluran lwekang.
Memang kedua paderi besar itu merasa aneh mengapa
To Kong sampai jatuh ditangan seorang nona kecil. Ketika
memeriksa lukanya, mereka dapatkan bukan karena terkena
bandringan. Luka itu aneh sekali bekasnya dan tepat
mengenai jalan darah yang berbahaya, sementara diatas
panggung situ tersebar potongan2 kecil dari sumpit bambu.
Tahulah mereka seketika itu, bahwa tentu ada seorang jago
kosen yang diam2 telah membantu sinona. Maka dengan
kata2 sindirannya yang tajam tadi, To Ceng telah
melontarkan tuduhannya.
Ki Ce-tiong dan Kiau To sangat mengindahkan sekali
kepada Ceng Bo siangjin. Walaupun perkenalan mereka itu
sudah lama, tapi karena mereka itu adalah tokoh2
persilatan yang memegang teguh disiplin, jadi hubungan
merekapun didasarkan atas saling mengindahi. Tahu juga
bahwa 20 tahun berselang, Ceng Bo telah kehilangan
isterinya yang tercinta, sehingga sejak itu dia seperti orang
yang putus asa. Bahwa dalam keadaan negara terancam
bahaya, Ceng Bo telah timbul lagi semangat perjoangannya
itu, Ki Ce-tiong dan Kiau To merasa kagum sekali. Maka
dengan serta merta mereka turut nasehat siangjin itu. Tapi
baru Kiau To hendak maju kedepan untuk mengucapkan
kata2 pembubaran luitay itu, atau telinganya segera panas
membara demi mendengar sindiran To Ceng tadi.
„Keledai gundul, jangan tekebur, akulah yang akan
memberi hajaran padamu!" tiba2 terdengar suara nyaring
wanita membentak, berbareng satu bayangan orang sudah
melesat keatas dan tegak berhadapan dengan To Ceng.
---oo0-dwkz-TAH-0oo---
BAGIAN 5 : ANTARA CINTA DAN
BENCI
Tengah Ki Cee-tiong men-duga2 adakah yang maju ke
luitay itu sinona genit Yan-chiu tadi dan belum lagi dia
mendongak mengawasinya, atau dari samping kedengaran
suara mengguntur dari Tio Jiang: „Keledai gundul, jangan
menghina suciku!" Dia terus melesat kemuka. Dari caranya
meloncat itu, terang seperti orang menyerbu dengan kalap.
Suasana menjadi tegang. Kiranya yang pertama melesat
kemuka tadi adalah Bek Lian. Gadis yang beradat tinggi itu
tanpa dapat dicegah sang ayah, telah maju dengan
menghunus pedangnya. Tubuh yang langsing gemulai dari
sinona cantik itu ketika tiba diatas panggung bagaikan
sebatang pohon liu yang bergoyang gontai. Orang mengira
kalau sinona itu tak dapat berdiri dengan jejak. Tapi bagi
seorang akhli tentu cukup mengetahui bahwa sinona itu
sedang menggunakan jurus ilmu mengentengi tubuh yang
disebut „hong pay lian hwa", angin menggoyang bunga
terate. Orangnya berparas cantik, tubuhnya langsing
gemulai, maka gerak lambaiannya yang sedemikian luwes
indah itu, mengaburkan pandangan orang kalau ia itu
seorang bidadari yang turun dari kahyangan. Hal mana
telah membuat seluruh penonton menjadi ter-longong2
kesima! Malah ada sementara orang persilatan yang
tergolong kaum pelesiran, sudah serentak mau tampil
melayaninya.
„Lian suci," kata Tio Jiang yang ketika itu sudah berdiri
dimuka Bek Lian, „kau bukan tandingannya hweeshio itu.
Lekas turun, biarkan aku yang menghadapinya!"
Oleh karena tadi Yan-chiu telah memperoleh
kemenangan atas salah seorang hweeshio itu, sudah tentu
Bek Lian tak percaya nasehat suteenya itu. Dengan
mendongkol dia ancam suteenya: „Sutee, kau mau
menyingkir tidak?"
Biasanya Tio Jiang selalu menurut segala perintah
sucinya, tapi kali ini demi untuk keselamatan sucinya itu,
dia membandel, serunya: „Suci, kau turunlah!"
Karena tak pandai bicara, jadi beberapa kali dia hanya
mengulangi permintaannya „suci, kau turunlah" itu saja.
Suasana ketika itu menjadi gemuruh. Belum pernah terjadi
dalam sejarah perkelahian diluitay, bahwa ada dua orang
yang ribut mulut menyuruh turun kawannya. Bermula para
penonton itu terpikat akan kecantikan Bek Lian, tapi kini
mereka menjadi gaduh tak keruan. Ada yang bersorak2 dan
ada pula yang tertawa keras. Tio Jiang sih tak peduli akan
sorak teriakan orang itu, asal dia bisa mencegah sucinya.
Tapi Bek Lian yang beradat tinggi itu. asking malunya
menjadi murka. Dengan banting kaki, dia mengancam:
„Sutee, kalau kau masih tetap membandel,mungkin aku
lupa dirimu itu siapa!"
Sampai disini, Tio Jiang kewalahan. Dengan menghela
napas, dia segera loncat turun kebawah. Namun tanpa
menghiraukan tertawaan orang, dia berdiri dipinggir luitay
situ. Selama kedua saudara seperguruan itu ribut mulut, To
Ceng dan To Bu se-olah2 tak mau mendengarinya. Baru
setelah Tio Jiang menyingkir turun, To Ceng segera maju
selangkah hendak bicara. Tapi se-konyong2 dari bawah
luitay terdengar orang berseru: „Tianglo, tahan, biarkan aku
yang melayani nona itu!"
Berbareng dengan seruannya, orangpun sudah melayang
keatas. Begitu menginjak papan luitay, orang itu segera
mengawasi sinona tanpa terkesiap. Orang itu rambutnya
kelimis, mukanya bedakan. Sekali lihat tahulah Bek Lian
kalau orang itu tentu bangsa tukang „petik bunga" (suka
cemarkan kehormatan gadis/wanita baik2). Dalam
kebatinan, Bek Lian sudah benci bangsa begitu, apalagi ia
tak tahu akan tata kesopanan persilatan, begitu gerakan
pedang ia sudah terus akan menyerang. Orang itu buru2
rangkapkan kedua tangannya memberi hormat seraya
mengucapkan rangkaian kata2 yang halus: „Siapakah nama
nona yang mulia?"
„Apa peduli denganmu? Naik kepanggung bertanding,
mengapa tanyakan nama orang?" Bek Lian delikkan
matanya.
“Nona sungguh pemarah, aku yang rendah ini adalah
Hun-ouw-tiap Lim Ciong, hendak mohon pengajaran
nona."
Hun-ouw-tiap atau Kupu2 Berbedak Lim Ciong memang
bangsa tukang „petik bunga", tapi kepandaiannya biasa
saja. Melihat orang itu, To Ceng dan To Bu kerutkan
keningnya. Tapi karena orang sudah mendahuluinya,
Merekapun tak dapat berbuat apa2, lalu loncat turun
kebawah.
„Sudah tak ada yang merintangi lagi, kita boleh mulai!"
kata Hun-ouw-tiap.
Kata2 itu kurang ajar sekali, maka meluaplah kemarahan
Bek Lian. Ia menyerangkan pedangnya dengan jurus „Tio
ik thian hay", pentang sayap mengisi laut, salah satu jurus
dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat. Ilmu pedang itu Bek
Lian hanya pelajari sampai 4 jurus saja. Tapi karena sejak
kecil ia sudah belajar silat, jadi mempunyai dasar yang
bagus sekali. Walaupun hanya 4, tapi dapat dipelajari
dengan sempurna. Sari keindahannya pun dapat
difahaminya dengan jelas.
„Nona, kau yang mulai dulu?" Lim Ciong tertawa lepas
tanpa membalas.
Kemarahan Bek Lian makin menjadi. Serangan yang
partama belum selesai, ia sudah susuli lagi dengan dua buah
lainnya yakni dari jurus „Boan thian kok hay" dan ‘ching
wi thian hay". Untuk serangan pertama tadi, Lim Cong
sudah setengah mati menghindarinya. Demi nampak
serangan kedua datang, dengan sibuknya dia segera
gunakan jurus „thiat pan kio" (jembatan gantung besi),
tubuhnya diayunkan membalik kebelakang untuk
menghindari. Tapi tanpa tarik pulang pedangnya, Bek Lian
segera balikkan pedangnya untuk melancarkan serangannya
yang ketiga itu.
Sesaat itu Lim Ciong rasakan hawa angin pedang yang
dingin sekali, buru2 dia hendak tarik senjata poan-koan-pit
yang terselip dipunggungnya, tapi sudah terlambat.
Tangannya kiri terasa nyeri, sakitnya sampai menusuk
keulu hati, lengannya kiri itu ternyata telah dibabat kutung
oleh Bek Lian. Seketika itu, pandangan Hun-ouw-tiap
menjadi gelap, tapi Bek Lian masih tak puas. Memburu
maju, ia terus akan membacok lagi, tapi „tring" sekonyong2
sebuah thiat-lian-cu (senjata rahasia macam biji
terate) telah menghantam batang pedangnya hingga tangan
Bek Lian serasa kesemutan dan hampir2 melepaskan
pedangnya. Terpaksa ia loncat mundur. Tapi berbareng saat
itu, kedengaran pula suara mengaung. To Ceng hweshio
dengan berduduk diatas damparnya, tampak melayang
keatas panggung. Dan begitu tiba dipanggung, dia terus
menghantam kearah Bek Lian. Bek Lian ter-sipu2
menangkis dengan pedangnya. Tapi sementara itu tangan
kiri To Ceng sudah mencekal Lim Ciong, lalu dilemparkan
kebawah.
Karena sebelah lengannya sudah terkutung, begitu
dilempar kebawah, darahnya muncrat kesana sini
memenuhi lantai panggung itu. Dibawah luitay, To Bu
sudah siap menyambutinya, diserahkan pada kawan2 Lim
Ciong untuk diobati.
Kini kita balik mengikuti keadaan diatas luitay. To Ceng
segera mendapatkan bahwa ilmu pedang sinona itu cukup
lihaynya, sehingga ilmu pukulan thiat-sat-ciangnya tak
dapat berbuat apa2 Maka tertawalah dia mengejek: „Entah
dimanakah orang2 Thian Te Hui, mengapa mengajukan
barisan wanita? Ha, ha, lucu benar !"
Tapi dalam tertawanya mengejek itu, wajah To Ceng tak
berobah, tetap pucat seperti mayat. Sewaktu menangkis
pukulannya tadi Bek Lian sudah merasa hweshio itu
„keras" sekali, maka diam2 dia merasa heran mengapa tadi
Yan-chiu bisa menangkan sute sihweshio itu. Tapi sembari
berpikir begitu, ia balas menusuk dada lawan.
To Ceng masih tetap duduk diatas damparnya. Begitu
ujung pedang menusuk, dia tak berani berayal. Secepatnya
berbangkit, dia congkelkan ujung kakinya kedampar, dan
melayanglah dampar itu seperti terbang kearah Bek Lian.
Bek Lian anggap, walaupun menggunakan Iwekang tapi
karena itu hanya sebuah dampar, maka tak perlu ditakuti.
Maka diapun tak mau menyingkir, melainkan siap gunakan
jurus „Ho Pek kuan hay", pikirnya, tentu dapat membelah
dampar itu kemudian hendak dilemparkan kebawah luitay.
Tapi mana ia tahu akan kelihayan dampar itu yang dapat
digunakan sebagai suatu senjata rahasia yang ampuh.
Sepintas panjang, dampar itu merupakan sebuah tikar
duduk yang biasa saja. Tapi sebenarnya benda itu terbuat
daripada bulu suri kera gin-lok-kauw (kera bulu hijau perak)
keluaran istimewa dari gunung Cap-ban-tay-san (gunung
seribu). Lemas dan ulatnya bukan kepalang, dapat bertahan
segala macam bacokan senjata. Tapi karena To Kong
memandang remeh pada Yan-chiu, dia sudah tak gunakan
damparnya. Kalau dia gunakan dampar itu, walaupun
lawan dibantu oleh tokoh lihay, namun tak semudah itu
Yan-chiu mendapat kemenangan. Biasanya apabila ketiga
hweshio itu maju dalam pertempuran, mereka tentu dudiilc
bersila diatas damparnya. Baru kalau menghadapi lawan
kuat, mereka akan berbangkit dan menendang dampar itu
kearah lawan. Sembilan (9) dari sepuluh (10) bagian, lawan
pasti celaka.
Jurus itu dinamai „siu-Ii-kian-gun" atau dunia didalam
lengan baju.
Sebagai anak yang masih hijau, sudah tentu Bek Lian tak
mengetahui hal itu. Begitu pedangnya menyentuh dampar
dan baru saja ia hendak memapaskan kemuka, atau ia telah
terbentur dengan sebuah tenaga dahsyat hingga lengannya
serasa kesemutan. Dalam gugupnya ia hendak cekal
kencang2, agar pedangnya jangan sampai terlepas, tapi
pada lain saat „krak" terdengar logam meretak dan
pedangnya itu telah patah dibentur dampar To Ceng
hweshio.
Tak terkira terkejutnya Bek Lian, sedang pada waktu itu
dampar menjadi miring melayang disampingnya. Samberan
anginnya saja telah membuat Bek Lian sempoyongan dan
To Ceng melesat maju. Tangannya kiri menyawut dampar,
tangannya kanan menghantam dada Bek Lian. Dalam
gugupnya, Bek Lian menangkis sembari loncat kesamping.
Dengan tertawa ter-kekeh2 To Ceng mengejar. Dalam
dua jurus saja, Bek Lian sudah keripuhan sekali bertahan.
Kiau To dan Yan-chiu yang mengawasi dibawah luitay,
sama kucurkan keringat dingin. Sebaliknya wajah Ceng Bo
tetap keras. Benar dia teramat kasihnya kepada sang puteri
ini, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri, tak mati dia
maju menolong. Karena dengan berbuat begitu, dia pasti
akan ditertawai orang. Kiau To yang akan turun tanganpun
dicegah oleh Ceng Bo Siangjin.
Dengan hanya bersenjata pedang kutung, gerakan Bek
Lian menjadi kaku. Apalagi memang kepandaiannyapun
masih dibawah To Ceng. Satu2nya jalan, ia hanya andalkan
ilmunya mengentengi tubuh berlincahan kian-kemari. Jadi
ia hanya bertempur untuk menghindari diri. Sebaliknya To
Ceng makin garang. Tangan kiri dampar, tangan kanan
melancarkan pukulan lwekang thiat-sat-ciang. Lewat
beberapa jurus lagi, rangsekan To Ceng makin menghebat,
sehingga kalangan untuk menghindarkan diri dari Bek Lian,
makin lama makin sempit. Dari satu tombak, makin
menciut sampai dua tiga meter saja. Dapat dipastikan,
dalam beberapa jurus lagi To Ceng pasti berhasil. Bek Lian
kalau tidak binasa terkena thiat-sat-ciang tentu akan terluka
berat terhantam dampar.
Diantara orang2 yang cemas menyaksikan keadaan
sinona itu, adalah Tio Jiang yang paling gelisah sendiri.
Tadi sewaktu pedang sucinya itu kutung, sebenarnya ia
hendak maju. dan ketika Bek Lian dalam bahaya itu, dia
sudah dekat dipinggiran luitay. Dari situ kalau mau dia bisa
loncat keatas. Dengan 7 jurus ilmu pedang To-haykiamhwat
yang baru dipelajarinya itu. Walaupun belum
tentu bisa menang, dengan kekuatan dua orang, rasanya
dapatlah mereka bisa mundur dengan selamat. Tapi demi
teringat akan kata2 pedas dari Bek Lian tadi. dia agak
bersangsi. Jangan2 kalau dia maju membantu, nanti
didamprat lagi oleh sang suci.
Berapa saat lagi, kembali terdengar To Ceng tertawa
dingin. Dampar di-putar2 sehlngga menerbitkan deru angin
yang dahsyat. Bek Lian tampak agak sempoyongan. Maka
buru2 ia mundur 3 tindak kesamping. Tapi To Ceng tetap
membayangi. Tangannya kanan diangkat keatas, jarinya
dibuka, sehingga nampak telapakannya yang ke-hitam2an
warnanya, lalu diayunkan menampar kepala Bek Lian.
Hendak Bek Lian menyingkir, tapi terhadang oleh dampar
yang ber-putar2 itu. Dengan begitu, jalan untuk
menghindar, sudah tertutup. Kini Bek Lian sadar, bahwa
ajalnya tak dapat dielakkan lagi. Dengan menarik napas
panjang, dia meramkan mata menunggu ajal.
Adalah dalam saat2 yang berbahaya itu, tiba2 Bek Lian
rasakan ada serangkum angin menderu, kedahsyatannya
lain dengan sihweeshio. Cepat Bek Lian buka matanya dan
samar2 dilihatnya ada sesosok bayangan menghadang
dihadapannya, malah dengan ulurkan sepasang tangannya
orang itu telah memeluknya erat2. Begitu mundur
selangkah, To Ceng segera menghantam. Dengan ter-putus2
orang itu merintih: „Lian suci…… aku naik…… kemari
lagi…… jangan kau sesali……!"
Berbareng dengan ucapannya, orang itupun roboh. Tapi
oleh karena tangannya masih memeluk erat2 maka Bek
Lian terbawa jatuh juga. Sewaktu diamatinya, ternyata
orang yang membuang jiwa untuknya itu, bukan lain adalah
suteenya sendiri. Napas Tio Jiang sudah lemah, matanya
meram melek, rupanya dia terluka berat. Mau tak mau Bek
Lian berterima kasih atas pengorbanan itu. Juga Ceng Bo
yang mengetahui hal itu, tergerak hatinya. Dalam peraturan
luitay, apabila sudah diketahui menang kalahnya, orang
boleh maju menolong yang terluka. Maka dengan bersuit,
Ceng Bo apungkan diri keatas panggung.
Suitan itu mempunyai daya seperti mampu membelah
batu, lengking kumandangnya amat tajam. Orang2
persilatan yang berada disitu, sama terperanjat. Juga To
Ceng terkesiap. Teringat dia pada 20 tahun yang lalu
didunia persilatan ada seorang tokoh kenamaan bergelar
„Hay-te-kau" (naga dari dasar laut) pada setiap kali
bertempur tentu lebih dahulu mengeluarkan suitan yang
panjang begitu. Mungkinkah tokoh itu muncul pula pada
saat itu? Karena menduga begitu, To Ceng mundur
selangkah untuk bersiap. Tapi begitu naik dipanggung,
Ceng Bo tak hiraukan sihweeshio, melainkan menghampiri
kepada Tio jiang untuk memberi pertolongan dengan
menutup jalan darahnya.
Melihat ayahnya datang, dengan muka ke-merah2an Bek
Lian meronta dari pelukan Tio Jiang. Setelah berdiri, ia tak
tahu apa yang harus diperbuatnya. Ceng Bo angkat tubuh
Tio Jiang seraya membentak pada Bek Lian: „Mengapa tak
lekas turun!"
Dengan ke-malu2an Bek Lian segera turun dari luitay.
Setelah mengangguk sedikit pada To Ceng, Ceng Bo
siangjin segera angkat Tio Jiang kebelakang luitay orang
Thian Tee Hui. Tio Jiang diletakkan diatas pembaringan,
lalu dibuka bajunya. Ternyata pada pundak Tio Jiang,
terdapat sebuah bekas telapak tangan yang berwarna hitam.
Bekas2 kelima jari nampak dengan jelas, melekuk kedalam
daging. Sedang kulit disekelilingnya berwarna semu biru,
kalau dipijat dengan tangan, turut melesak kedalam tak bisa
membal balik lagi. Tahulah Ceng Bo bahwa thiat-sat-ciang
berbeda dengan thiat-sat-ciang biasa. Bukan saja disertai
dengan lweekang yang kuatpun tangannya itu mengandung
racun yang dapat disalurkan begitu menyentuh tubuh
musuh. Kalau tadi Ceng Bo tak lekas menutup jalan darah
supaya racun itu tak menjalar, walaupun mendapat
pertolongan obat dewa sekalipun, tetap Tio Jiang takkan
dapat tertolong jiwanya.
Tampak luka muridnya begitu parah, kening Ceng Bo
Kelihatan mengerut dalam. Yan-chiu menjerit dengan suara
tertahan seraya memandang kearah Bek Lian, siapa
kelihatan tundukkan kepalanya. Kiau To mengambil
sebuah kotak emas, begitu tutupnya dibuka, lalu
menyiarkan bau yang amat harum sekali. Dari dalam peti
diambilnya sebutir pil sebesar kuku jari, terus menghampiri
kesamping Tio Jiang. Mulut pemuda itu terkancing rapat,
Ceng Bo segera mencangarnya dan Kiau To lalu
memasukkan sekaligus 4 butir pil.
„Bek-heng, pil ini adalah buatan guruku Tay Siang
tamsu. Meskipun entah bisa memunahkan racun itu atau
tidak, tapi melindungi jantung orang," kata Kiau To.
Ceng Bo siangjin mengiakan, lalu duduk bersila. Tak
lama kemudian, dia berbangkit lagi, lalu me-raba2
punggung Tio Jiang. Sewaktu menderita luka itu, pikiran
Tio Jiang tak sadar lagi, mulutnya serasa manis, sementara
punggungnya seperti ditusuki oleh puluhan jarum kecil.
Benar tidak sakit, tapi rasanya gatal dan kaku sekali.
Hendak dia merangkak bangun, tapi tangannya serasa tak
bertenaga lagi. Tapi setelah minum pil tadi, hatinya menjadi
tenang pikirannya jernih lagi. Ketika gurunya meng-urut2
punggungnya untuk menyalurkan lwekang, tak putus2nya
Tio Jiang mengaduh kesakitan. Matanyapun kini dibuka.
Begitu kelihatan Bek Lian tundukkan kepala sambil
memain ujung baju,
Tio Jiang segera berusaha keras untuk berseru: „Lian
Suci……kau….. tak apa2 bukan?"
„Lian suci tak kena apa, usah kau kuatir!" Yan-chiu
cepat2 menyanggapi. Dengan ucapannya itu, ia seperti
sesalkan sang suci yang telah menyebabkan sampai sukonya
itu mendapat luka begitu parah.
Tatkala Bek Lian memperhatikan sekeliling situ, rasanya
orang2pun sama mempersalahkannya. Sampai ayahnya
yang biasanya begitu memanjakannya itu, kini asyik
menumplak seluruh perhatiannya kepada Tio Jiang serta
sedikitpun tak menghiraukannya lagi. Diam2 dalam hati
sigadis jelita yang beradat tinggi itu mengambul: „Kalau
begini, lebih baik aku mati saja!"
Kalau tadi ia merasa berterima kasih pada Tio Jiang,
sebaliknya kini ia merasa gusar padanya. Sampai sekian
saat Ceng Bo siangjin meng-urut2 punggung Tio Jiang.
Serta dilihatnya diluitay sana To Ceng sudah turun,
berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, rasanya hari ini baik luitay
itu ditutup!"
Karena haripun sudah sore, Ki Ce-tiongpun setuju. Dia
segera maju kegelanggang luitay untuk mengumumkannya.
Jadi dalam pertempuran hari itu. Thian Te Hui menang dua
kali, kalah sekali.
---oo0dw0oo---
Tak berapa lama kemudian, malampun tiba. Orang2
yang menyaksikan keramaian luitay itu sudah sama bubar.
Juga setelah diberi pengobatan dengan saluran lwekang
tadi, Tio Jiang dapat tidur pulas. Ceng Bo siangjin, Ki Cetiong,
Kiau To, Bek Lian dan Yan-chiu menunggu didekat
situ. Setelah sampai sekian saat tak terjadi suatu apa,
berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, biar Yan-chiu kutinggal
disini. Aku hendak membawa Bek Lian masuk kekota
untuk menyirapi kabar! Kurasa tentu ada udang dibalik
batu, mengapa mereka sengaja membuka luitay guna
memikat agar orang2 Thian Te Hui dan kaum persilatan
sama mengumpul jadi aatu diluar kota sini. Mengapa
keempat bajak Itu tak muncul disini? Apakah bukannya
mengatur siasat untuk memasukkan tentara Ceng kedalam
kota? Kalau benar begitu, sungguh kita telah terjebak
mentah2 !"
“Kalau begitu, sebaiknya Bek-heng lekas2 kesana saja!"
seru Ki Cee-tiong dengan terperanjat. Ceng Bo siangjin
segera ajak puterinya tinggalkan tempat itu. Keadaan
mereka dalam perjalanan nanti kita ikuti lagi, sekarang mari
kita ikuti terus keadaan diruangan belakang luitay situ.
Dengan tekunnya Yan-chiu tetap menjaga disamping
sukonya yang tengah tidur pulas itu. Walaupun usia muda
belia, hatinya sudah ditumpahkan kepada sang suko,
satu2nya orang yang paling akrab dengan ia. Tengah dia
melamun yang tidak2, tiba2 kedengaran Tio Jiang
mengerang-erang (sambat). Ter-sipu ia menengok tapi
ternyata Tio Jiang masih tidur dengan nyenyaknya.
Ditanyakan pada Kiau To, bagaimana keadaan luka
sukonya itu. Sebenarnya tak tahu Kiau To bagaimana harus
menyahutnya, tapi karena ditanya begitu, se-konyong2 dia
teringat akan sesuatu, katanya pada Ki Cee-tiong: „Toako,
adakah kau pernah mendengar bahwa ketiga hweeshio Ci
Hun Si itu mempunyai obat istimewa pemunah racun thiatsat-
ciang?"
„Obat semacam itu tentunya ada, tapi entah apa disini,"
sahut Ki Cee-tiong seraya menghela napas panjang karena
teringat akan dirinya yang sudah punah ilmunya silat itu.
Apabila tak begitu nasibnya, dengan kepandaiannya silat
yang dimiliki sebelumnya itu, dengan mudah dia tentu
dapat mencuri obat tersebut.
“Siao Chiu, bagaimana kau dapat menangkan hweeshio
To Kong?" tanya Kiau To.
Waktu Yan-chiu menuturkan apa yang telah dialaminya,
Ki Cee-tiong dan Kiau To terkejut bukan kepalang,
katanya: „Coba kau keluarkan gelang itu!"
Begitu menyambuti dari tangan sinona, Ki Cee-tiong
segera periksa gelang itu kedekat lampu dan tiba2 berseri
girang: „Hai, siapa lagi kalau bukan dianya!"
Yan-chiu tak mengerti maksud orang, tanyanya dengan
membeliakkan mata: „Ki susiok, siapa yang kau
maksudkan itu?"
Sebaliknya dari menyahut, Ki Cee-tiong mengerling
kepada Kiau To, ujarnya: „Ilmu kepandaian orang ini,
sudah mencapai ketingkat yang sukar dijajaki dalamnya.
Tapi audah ber-tahun2 dia tak muncul dalam dunia
persilatan, mengapa hari ini bisa datang kemari? Siao Chiu,
turut katamu tadi, asal kau perhatikan betul2 ajaran orang
aneh itu, kau bakal menjadi tokoh yang jarang terdapat
tandingannya ?"
“Ki susiok, hampir setengah harian kau mengoceh tadi,
tapi belum menerangkan siapakah adanya orang itu," Yanchiu
tak dapat menahan kesabarannya lagi.
“Semasa aku masih muda, dia sudah terkenal dalam
dunia persilatan. Tapi tiada seorangpun yang mengetahui
namanya. Yang dapat diketahui, ialah orang itu dalam
sehari mempunyai wajah 3. Saat ini dia berdandan macam
seorang pedagang, lain saat sebagai pengemis, dan
kemudian sebagai imam atau paderi. Wataknya aneh,
lidahnya tajam "
Sampai disini, teringatlah Yan-chiu akan peristiwa yang
dialami diatas luitay.
Saking gelinya, pecahlah ketawanya. Ki Cee-tiong heran
dan terlongong-longong sesaat, kemudian meneruskan
kata2nya lagi: „Terhadap musuh yang tidak ganas dan
kejam sepak terjangnya, dia tak mau membunuhnya. Kaum
penjahat besar, bila kesamplokan dengan dia, jangan harap
bisa lolos. Oleh karena itu orang persilatan menjulukinya
sebagai „Kui ing cu" (bayangan setan). Tapi tentang
namanya yang aseli, tiada seorangpun yang, tahu. Gelangbesi
Itu tadi, adalah pertandaannya. Mungkin kau serasi
dengan wataknya, makanya bisa dihadiahi benda itu!"
Yan-chiu tak terlalu memikirkan hal itu. Habis bercerita,
Ki Cee-tiong keluar untuk berunding dengan orang2nya
mengenai pertandingan besok pagi. Kiau Topun ikut keluar.
Jadi kini Yan-chiu hanya berduaan dengan sukonya yang
masih pulas itu. Karena tak dapat tidur, terpaksa Yan-chiu
ber-main2 dengan gelang besi tadi. Kiranya gelang itu tiada
sesuatu yang menyolok anehnya. Hanya pada gelang itu
terdapat sebuah cap menonjol dari seekor ular kecil. Habis
memeriksa, Yan-chiu menguap, kantuknya mulai datang.
Tapi tiba2 terdengar Tio Jiang mengigau: „Lian suci, Lian
suci!"
Terpaksa Yan-chiu tak berani tinggalkan sukonya.
„Suko, suci tidak disini, kau perlu apa?" katanya.
Memang sampai begitu dalamlah curahan hati Tio Jiang
kepada Bek Lian.
Dalam keadaan tak sadar karena lukanya yang parah itu,
dia seperti tampak bayangan Bek Lian mondar mandir
dihadapannya. Wajah sucinya itu sebentar berseri girang,
sebentar ber-muram marah, tapi tetap tak
menghiraukannya. Maka dia segera me-manggil2 sucinya
itu. Habis memanggil, hidungnya serasa membaui hawa
harum dari seorang nona. Antara sadar dan tidak, dia
membuka matanya dan samar2 dibawah cahaya lampu
yang suram, dilihatnya Bek Lian berada setengah meter
dihadapannya. Biasanya suci itu bengis sikapnya, mengapa
saat itu dia begitu menyayang? Adakah karena dia telah
menolong jiwanya maka suci itu mau merobah sikapnya?
Dendam asmaranya merangsang. Tanpa disadari lagi dia
ber-geliatan mengulur tangannya kepada Bek Lian yang
ternyata si Yan-chiu itu. Bermula Yan-chiu tak mengerti
kehendak sukonya itu. Tapi ketika kini suko itu mencekal
tangannya dan berbisik: „Lian suci, jangan tinggalkan aku.
Lukaku tak berat, jangan kuatir," barulah Yan-chiu menjadi
jelas. Kiranya sukonya itu telah keliru menyangkanya
sebagai Bek Lian. Sebagai gadis remaja, sewaktu tangannya
dicekali oleh sang suko itu, merahlah selebar muka
Yan-chiu. Tapi saat itu timbullah kenakalannya. „Suko
sudah keliru menyangka aku sebagai Lian suci. Biarlah
kumengaku jadi Lian suci, supaya dapat mendengarkan apa
yang hendak dikatakan suko nanti. Ini kelak untuk senjata
memperolokkan mereka berdua," demikian pikirnya. Maka
iapun lalu balas memegang tangan Tio Jiang.
Merasa tangannya bercekalan dengan sebuah tangan
yang halus, Tio Jiang girang setengah mati. „Lian suci"
kembali dia berseru. Dan sinakal itupun meniru nada suara
Bek Lian, mengiakan.
“Lian suci, apa kau sesali aku tak mendengar
perintahmu?" kata Tio Jiang lebih lanjut.
Yan-chiu menahan gelinya, lalu ber-bisik' : „Sesali apa?"
“Sesali aku karena naik keatas luitay."
Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, bahwa sukonya itu
begitu menyayang terhadap sang suci, tapi heran mengapa
suci itu tak ambil pedulikan.
“Aku tak sesalkannya sedikitpun tidak!" sahutnya
menghibur.
Tio Jiang menghela napas, serasa kesesakan dadanya
menjadi longgar seketika. Yan-chiu turut senang, lalu
mencekal tangan sukonya makin erat. „Lian suci, aku, aku
hendak mengatakan sesuatu padamu, kau marah tidak?"
bisik Tio Jiang.
Lebih dulu Yan-chiu dekap mulutnya sendiri supaya
jangan sampai kedengaran tertawanya, kemudian
menyahut: “Katakanlah, apapun aku takkan marah."
Mendengar itu, Tio Jiang pe-lahan2 membuka matanya.
Takut kalau sukonya itu akan mengetahui siapa dirinya,
hingga permainan yang menyenangkan itu tak bisa
langsung terus, dengan cepatnya Yan-chiu meniup padam
lampu. Tio Jiang pun segera tempelkan tangan Yan-chiu
kedadanya, lalu berbisik pelahan: „Lian suci, aku hendak
memperisterikanmu, kita berdua takkan berpisah selama2nya."
Serambutpun Yan-chiu tak mengira kalau sukonya akan
mengucapkan kata2 begitu. Maka meskipun tiada orang
yang tahu, tak urung wajahnya merah padam ke-malu2-an.
Hatinya berdebar keras, hendak ia, tarik tangannya tapi tak
dapat, apa boleh buat ia, lalu membisiki kedekat telinga
Hang suko : „Kusedia menjadi isterimu, jagalah dirimu
baik2 supaya lekas sembuh. Kata Kiau susiok, kau telah
diberi minum 4 butir pil sam-kong-tan, kalau kau tak
pikirkan apa2, dalam sesingkat waktu tentu akan sembuh."
Kembali Tio Jiang menghela napas, malah kali ini agak
panjang sekali, saking leganya. Karena masih tak percaya
akan ucapan „Lian sucinya" itu, dia menegas lagi : „Lian
sucinya - suka menjadi isteriku ?"
“Hem, apakah aku berbohong?" sahut Yan-chiu.
Mendadak Tio Jiang menggeliat. Dari pinggangnya dia
mengambil sebuah batu giok (pualam), batu itu disisipkan
ketangan Yan-chiu, katanya: „Lian suci, batu giok ini
adalah pemberian suhu, kini kupersembahkan padamu."
Teringat Yan-chiu, bahwa kalau orang hendak mengikat
tali pertunangan itu, tentu saling tukar barang selaku panjer
(tanda mata). Dia makin geli, serunya: „Tunggu!" Lalu
terus lari keluar menggeledahi tempat pakaian Bek Lian.
Benar juga disitu dia mendapatkan seekor kupu2 yang
tersulam dengan benang sutera emas. Kupu2 itu seharusnya
ada sepasang, tapi entah dimana yang seekor, mungkin juga
dibawa Bek Lian. Secepat mengambil kupu itu, dia terus
balik lagi kekamar untuk diberikan pada sukonya. “Ini
untukmu," katanya.
Mengetahui benda, apa yang diberikan itu, Tio Jiang tak
sangsi lagi, karena dia tahu kalau sang suci itu paling suka
dengan kupu tersebut. Sambil mendekap kupu, dia kembali
jatuh tidur dengan puasnya. Yan-chiupun girang melihat
sang suko tidur lagi. la lalu mengaso.
Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Bo siangjin
dengan Bek Lian.
Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, mereka berlari
menuju ke kota Kwiciu. Ceng Bo telah mendahului
puterinya. Dia langsung menuju kegedung Pohceng-si
tempat kediaman menteri. Kala itu hari sudah malam dan
sepi sekali.
Ceng Bo dan Bek Lian cukup libay ilmunya mengentengi
tubuh. Tanpa kedengaran suara apa2, mereka loncat keatas
tembok. Dilihatnya dibagian tengah dari gedung itu ada
sebuah bagian yang masih terlihat ada penerangannya.
Kesitulah mereka menuju. Baru hendak tiba disitu,
mereka sudah mendengar suara gelak tertawa dan suara
orang berkata: „Ko tayjin, rencana kita, yang bagus kali ini,
tentu berhasil. Orang apa Ho Ngo Ciu itu, berani
bermusuhan dengan tayjin. Begitu tentara Ceng datang, dia
pasti tak punya tempat untuk mengubur mayatnya, ha,ha,
ha, ………"
Mendengar itu Ceng Bo terkejut. Apa yang diduganya,
ternyata benar. Yang dipanggil „Ko tayjin" itu tentulah Ko
Tian Cian. Dengan Ho Ngo Ciu, orang she Ko itu adalah
menteri2 besar dari kaisar Siau Bu di Kwiciu. Tapi oleh
karena rebutan pengaruh, dia telah bersekongkol dengan
tentars, Ceng. Memasukkan tentara musuh, perlunya untuk
menindas saingannya (Ho Ngo Ciu).
Setelah memberi isyarat tangan kepada puterinya, Ceng
Bo mendahului maju lagi beberapa langkah, diikuti dari
belakang oleh Bek Lian. Begitu enjot kakinya Ceng Bo
melesat keatas genteng. Dengan kedua kaki dikaitkan pada
talang, dia gunakan gerak „to kwa cu liam" (membalik
saringan mutiara) tubuhnya menggelantung kebawah.
Dijilatnya kertas jendela untuk membuat lubang, kemudian
mengintip kedalam. Tampak didalam situ ada seorang
gemuk tengah duduk ditengah ruangan. Dari sikap dan
dandanannya, terang dia itu adalah Ko Tiau Cian.
Disekelilingnya terdapat beberapa belas orang, ada yang
duduk ada yang berdiri. Pada lain saat kedengaran orang
she Ko itu berkata: "Malam ini The congping berangkat.
Pemberontak2 Thian Te Hui itu telah dijebak dengan luitay
digunung Gwat-siu-san, tentu tak dapat merintangi.
Rasanya dalam beberapa hari saja, pasukan besar Ceng
dibawah Li Seng Tong congpeng, tentu akan sudah masuk
kemari!"
„Siasat yang bagus dari Ko Tayjin itu, benar2 menyamai
Cukat Bu-houw!" mengiakan orang2nya seraya jual puji.
Diam2 Ceng Bo sianjin mendamprat kawanan
penghianat itu. Dia menduga, yang dimaksud dengan ,The
congpeng" itu tentulah si Cian-bin Long-kun The Go.
Orang itu kepandaiannya tinggi, dia baru sore tadi
berangkat menuju kemarkas Li Seng Tong congpeng yang
berada diperbatasan Tiausan (Kwitang) yang jaraknya
antara lima enam ratus li. Rasanya kalau dia (Ceng Bo)
lekas2 mengejar, tentu kecandak. Tapi sukarnya, orang she
The itu entah mengambil jalanan yang mana. Dalam
urusan sepenting itu, tak bisa dia berlaku ayal.
Sebaliknya, dia dengan Bek Lian saling berpencar
menyusul.
Setelah rencananya tetap, dia loncat turun, melambaikan
tangan kearah puterinya terus lari menuju kesebelah barat
kota. Tak antara lama, mereka sudah berada diluar kota.
Dengan wajah ber-sungguh2, dia berkata: „Lian-ji, si Cianbin
Long-kun The Go telah mendapat perentah dari Ko
Tiau Cian untuk mengundang tentara Ceng di Hokkian.
Petang tadi, dia baru berangkat. Untuk memburu cepat, kita
harus ambil jalanan menyusur tepi sungai. Kau berjalan
ditepi sebelah selatan, aku dari tepi utara, biar bagaimana
harus dapat mencandaknya. Jangan tempur dia, karena dia
bukan tandinganmu, cukup kau memberi tanda suitan
panjang, dalam beberapa saat saja aku pasti datang,
mengerti?"
Dari cara sang ayah memberikan pesanannya, tahulah
Bek Lian bahwa hal itu menyangkut urusan besar. Maka
tak berayal lagi, dia terus berangkat. Keduanya menuju
ketepi sungai. Disitu Ceng Bo memotes sebuah dahan
pohon, dilemparkan ketengah sungai, terus enjot tubuhnya
menyusul. Dengan gerak „kim ke tok lip" (ayam emas
berdiri dengan sebelah kaki), kakinya kanan diinjakkan
pada dahan kayu, lalu bagaikan terbang dipermukaan
sungai, meluncurlah dia ketepi sebelah sana.
GAMBAR 17
Setelah memberi pesan cara bagaimana harus menghadapi The
Go, lalu Ceng Bo Siangjin meluncur keseberang sungai dengan
sebatang ranting kayu.
Bek Lian mengetahui kalau sang ayah sedang
mengeluarkan Ilmu „teng bing-tok cui" (naik alang2
menyeberang sungai). Suatu ilmu mengentengi tubuh
tingkat tinggi. Dilihatnya sungai mengombak alun,
permukaan luas sekali hingga tepi yang disebelah sana
hampir tak tampak. Setelah ayahnya berlalu, iapun gunakan
ilmu berjalan cepat untuk menyusur sepanjang pantai
sungai. Kala itu hampir tengah malam. Langit tak
berbintang. Sudah hampir 3 jam ia berlari, tapi sepanjang
itu belum juga ia bersua dengan suatu bayangan orangpun
juga. Tapi ia, tak berani beristirahat. Sembari berjalan itu,
diam2 ia me-mikir2 nantinya bagaimana kalau bertemu
muka dengan pemuda yang dikenangnya itu. Ah, kalau ia
yang memberi nasehat, tentu pemuda itu tak nanti mau
melakukan perbuatan khianat mengundang tentara musuh
masuk ke Kwiciu. Demikian pikirnya selama dalam
perjalanan itu.
Tak antara lama, kembali ia sudah menempuh 10-an li
jauhnya. Diaebelah muka sana tampak segundukan warna
hitam, seperti sebuah rimba. Dengan lantas ia percepat
larinya masuk kerimba itu, mengaso sebentar lalu
meneruskan perjalanannya lagi.
Tapi belum tiba disitu, tiba2 dia mendengar ada
seseorang tengah me-maki2: „Bagus, keluar saja kalau mau
adu kepandaian. Main sembunyi seperti setan belang itu,
kan bukan cara yang layak!"
Mendengar nada suara itu, hati Bek Lian bergoncang
keras. Bukankah itu suara orang yang siang malam
dikenangnya itu? Tapi menurut ucapannya itu, rupanya dia
tengah ketemu dengan seorang musuh. Kalau tidak,
masakan dia memaki kalang kabut begitu. Maka ber-gegas2-
lah Bek Lian memburunya.
Dengan gunakan gerak „yan cu sam jo cui" (burung seriti
3 kali menyentuh air), dalam 3 kali loncatan saja ia sudah
sampai dipinggir rimba situ. Tiba2 disitu terdengar suara
„plak", menyusul dengan itu terdengarlah The Go
menggerang keras. Menduga jangan2 ayahnya berada
disitu, Bek Lian tak berani gegabah memanggil The Go,
melainkan lalu bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dari
situ ia mengawasi kesebelah muka.
Amboi, kiranya didalam rimba situ The Go tengah
berputar2 seorang diri. Dari warna mukanya, nyata orang
itu sedang marah besar. Setelah sekian saat berputar, orang
muda itu tegak berdiri diam lagi. Rupanya dia tengah
merenungkan sesuatu. Tak berapa saat lagi, kedengaran dia
terlaiwa dingin: „Hem, sekalipun cianpwe (angkatan tua)
dari persilatan, namun perbuatan itu tadi juga tak pantas!"
Bek Lian melihat bahwa orang itu hanya seorang diri,
tapi mengapa ber-kata2 sendiri dan bersikap seperti
menghadapi seorang musuh tangguh. Tengah Bek Lian
heran, tiba2 dari atas udara muncul sesosok bayangan
orang yang dalam kegelapan malam tampaknya seperti
segumpal asap ber-gulung2. Gerakannya luar biasa
cepatnya, sehingga dalam sekejab saja, sudah lenyap dari
pemandangan. Tapi yang mengherankan, pada saat itu
terdengar pula suara “plak" tadi, kemudian lagi2 The Go
men-jerit2 dengan marahnya, ber-jingkrak2 seperti
menginjak api.
Setelah menunggu sampai beberapa saat sampai The Go
sudah selesai memberesi pakaiannya, Bek Lian terus
hendak menghampirl. Tapi baru tubuhnya bergerak hendak
keluar, tiba2 dari arah belakang terasa ada angin
mendorongnya keras2, hingga hampir saja ia terjorok
kemuka. Sebat sekall ia berpaling kebelakang, tapi tak
tampak apa2. Dorongan angin tadi, terang dilakukan oleh
seorang akhli persilatan yang berilmu tinggi, cuma saja hal
itu membuktikan kalau orang itu tak berhasrat mencelakai
dirinya, karena kalau memang hendak berbuat jahat, pasti
ia (Bek Lian) akan sudah celaka tadi. Mengingat hal itu,
tanpa terasa Bek Lian kucurkan keringat dingin. Dan
karena didorong tadi, kini dia menjorok kemuka sampai 7
atau 8 langkah jauhnya.
The Go yang dijadikan bulan2 permainan tadi, menjadi
merah matanya. Kalau dapat, hendak dia telan hiduplah
orang yang kurang ajar itu. Tapi orang itu luar biasa
sebatnya, hingga bagaimanapun dia tadi telah melesat
mengejarnya, namun bayangan orang itu sudah menghilang
tanpa bekas.
Kiranya sewaktu mendapat laporan dari kaki tangannya
yang mengatakan kalau fihak Thian Te Hui telah menderita
kekalahan dipanggung luitay pada babak ketiga dan salah
satu jagonya terluka parah kena pukulan thiat-sat-ciang To
Ceng hweshio, The Go menduga tentu orang2 Thian Te
Hui akan kecantol membikin pembalasan. Maka The Go
anggap itulah saat yang baik untuk melaksanakan
rencananya. Malam itu juga dia menuju ke Hokkian untuk
menghadap Li Seng Tong, congpeng (jenderal) tentara
Ceng, guna menyerahkan Kwitang. Rencana penghianatan
itu, terkilas dalam pikirannya sewaktu dia turun dari
gunung Lo-hou-san tempo hari.
Kunjungannya ke Lo-hou-san dulu itu, sebenarnya dia
bermaksud dengan lidahnya yang tajam hendak
menganjurkan Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui
supaya jangan melawan tentara Ceng. Tapi disana dia telah
terbentur karang. Ceng Bo siangjin ternyata seorang laki2
yang berpambek perwira, sedang dalam percekcokan yang
terakhir dengan perkelahian, dia telah menderita kekalahan.
Nah, inilah yang mengobarkan kemarahannya terhadap
orange Lo-hou-san dan Thian-te-hui.
Sewaktu tampak mayat Ti Gong bergelimpangan, dia
mendapat pikiran bagus. Sam Tay-tianglo dari gereja Ci
Hun Si, terkenal sebagai tokoh2 yang suka mengagungkan
gengsi tak mau tunduk pada lain orang. Dia suruh orangnya
mengantar surat pada ketiga paderi besar itu, anjurkan
mereka supaya menantang orang Thian Te Hui pibu diatas
luitay. Pertandingan itu harus di-ulur2 sampai setengah atau
satu bulan lamanya, agar dia dapat kesempatan untuk
melaksanakan rencananya. Begitu tentara Ceng sudah
masuk ke Kwiciu, bereslah semua. Rencana itu
diberitahukan kepada menteri dorna Ko Tiau Cian, slapa,
menyetujui sepenuhnya. Begitulah malam itu, dia lakukan
rencananya itu.
Tapi belum berapa lama dia keluar kota atau dia telah
bertemu dengan seorang jail yang dalam beberapa kejab
saja, sudah berhasil merampas kipasnya. Sudah tentu bukan
terkira kaget si The Go itu. Buru2 dia mengejarnya, tapi
pada lain saat se-konyong2 punggungnya dirasakan dingin
sekali. Ketika dirabah, ternyata kipasnya telah dise1ipkan
ditengkuk, entah oleh siapa karena sampai sebegitu jauh dia
tak melihat adanya seorangpun juga.
Yang paling menjengkelkan hatinya, setan jail itu terus
menerus mengikuti perjalanan The Go saja. Kalau tidak
merabah mukanya, tentu menggaplok pantat atau karena
sampai setengah harian tak muncul maka The Go mengira
kalau tak diikuti, tapi tahu2 belakang kepalanya disemprot
tiupan angin. Benar2 The Go kelabakan setengah mati.
Beberapa kali dia tantang orang itu supaya unjuk diri
berkelahi, tapi tiada penyahutan lama sekali. Yang bisa
diketahuinya hanyalah sesosok bayangan berkelebatan pergi
datang, tapi bagaimana sebenarnya orang itu, dia tak jelas
karena tak mampu menghampiri dekat.
Tadi sewaktu Bek Lian didorong kemuka sampai hampir
jatuh, karena suasana dirimba situ gelap sekali, The Go
sudah mengiranya itulah orang jail yang mempermainkannya
tadi, Dengan sebat sekali, dia melesat maju menutuk
jalan darah hun-cui, ki-kwat, kian-ce dan tiong-thing
sekaligus empat.
Tatkala terjorok kemuka tadi, Bek Lian buru2 menoleh
kebelakang tapi tak melihat siapa orangnya yang jail itu,
dan kini tahu dari sebelah muka terasa ada angin
menyambar, diam2 ia mengeluh. Dalam gugupn ya buru2
ia buang tubuhn ya kebelakang terus bergelundungan
sampai beberapa meter jauhnya.
Melihat orang hanya menyingkir dengan cara
bergelundungan dan lagi cara penghindaran itu dilakukan
dengan sedemikian susahnya, kemudian setelah diawasi
dengan perdata potongan tubuh orang itu begitu langsing
seperti seorang wanita, The Go kesima dan berhenti
menyerang.
“Mengapa begitu bertemu terus menyerang?" seru Bek
Lian setelah berdiri tegak lagi.
Mendengar nada suara orang, The Go mengeluh kemalu2-
an. Dibawah cahaya rembulan remang2, dilihatnya
jelas siapa yang berada dihadapannya itu. „Nona Lian,
engkaukah?" tanyanya ter-sipu2.
Biasanya kalau orang berani menyerang begitu kurang
ajar, Bek Lian tentu tak mau memberi ampun. Tapi entah
bagaimana, demi mendengar nada suara sianak muda yang
begitu halus merayu, lenyaplah amarahnya dengan seketika.
“Hm, masih pura2 bertanya, masa begitu bertemu terus
mau membunuh!"
Pada saat itu keadaan The Go seperti kata orang „sigagu
makan empedu", menderita susah tapi tak dapat
mengucapkan. Sudah tentu dia tak mau menceritakan kalau
tadi ada setan jail mempermainkannya, malu sih! „Nona
Lian, karena salah mengira kalau ada orang hendak
membokong, maka aku telah keliru menyerang nona tadi.
Ah, aku int patut dihajar, ya harus dihajar!" katanya
kemudian. Dan untuk mengunjukkan penyesalannya, si
Wajah Seribu (Cian-bin-long-kun) itu segera menggaplok
punggungnya dua kali dengan kipas. Melihat itu sinona
tertawa. Da1am sekejab saja amarahnya telah dibawa
lenyap oleh kepandaian bersandiwara dari si Wajah Seribu.
Kalau yang berbuat itu Tio Jiang, mungkin mulut sinona
akan tak henti2 nya menghemburkan makian. Tapi
terhadap anak muda yang dikenangnya itu, lain halnya!
„Ha ……, ha ……, sudahlah, Say-hong-hong (nona yang
menyamai burung cenderawasih cantiknya) sudah ketawa!"
seru The Go menggoda. Dan untuk itu, hati Bek Lian
meluap girang sehingga tak dapat mengucap apa2.
The Go maju menghampiri kedekat sinona. Dibawah
cahaya rembulan, dilihatnya kecantikan sijelita itu jauh
bedanya daripada waktu siang hari. Dalam pandangannya,
rembulan dilangit se-olah2 suram cahayanya dibanding
dengan wajah jelita Lo-hou-san yang berseri gemilang itu.
Matanya bagaikan bintang kejora yang memancarkan sinar
keagungan. The Go menarik napas panjang.
Bertemu dengan orang yang dikenangnya itu, hati Bek
Lian dilamun rasa girang dan resah. Tapi anehnya, dia
merasa mulutnya seperti terkancing. Sekalipun ingin
mengucap beberapa patah kata, namun berat rasanya untuk
me-ngatakan karena ia itu seorang gadis. Akhirnya
perasaan ingin bicara dengan orang yang dikenanginya itu
lebih menang. Demi mendengar The Go menghela napas,
bertanyalah ia : „Mengapa menghela napas begitu?"
Terkejut ditanya begitu, The Go menyahut ter-putus2:
„Nona, Liaaaannn." Kata „Lian" itu sengaja dia tarik
panjang sekali. Tapi bagi pendengaran Bek Lian, suara anak
muda itu sudah merupakan seperti buluh perindu (seruling
untuk menidurkan anak). Dengan suara pelahan dia
mengiakan.
“Teringat kala dipuncak Giok-li-nia tempo hari, begitu
pertama kali melihat nona, aku terus, aku terus …….. siang
malam memikiri saja. Bahwa malam ini bisa berjumpa
pula, adalah berkahnya yang Maha Kuasa, seharusnya aku
tak layak menghela napas," kata The Go pula.
Bek Lian hanya sekenanya saja bertanya, tak kira kalau
sianak muda bisa merangkai kata2 yang sedemikian
memikatnya. „Kenapa kau harus menghela napas?"
tanyanya.
“Karena tadi aku telah kesalahan tangan, kalau nona
selanjutnya tak mempedulikan aku lagi, hidupku pasti
kosong melompong."
Hati Bek Lian seperti terbetot, tukasnya : „Tolol, siapa
yang tak mempedulikanmu?" Tapi habis berkata begitu, Bek
Lian merasa sudah kelepasan omong. Sebagai seorang gadis
tak seharusnya ia berkata begitu. Mukanya ke-merah2an
dan kepalanyapun lalu ditundukkan, mulutnya bagai
terkancing.
The Go seperti mendapat jalan, kakinya bergerak maju,
hampir kedekat Bek Lian. Bek Lian tampak bergerak
kakinya, tapi hanya bergerak saja, tidak mau menyingkir.
Saat itu hidung The Go tertusuk dengan bau harum seorang
perawan, matanya disuguhi dengan paras nan cantik
gemilang, telinganya mendengar nada suara bening laksana
kicauan burung kenari. Ya, tak salahlah kalau dia gerakkan
kakinya maju selangkah lagi. Selebar muka Bek Lian makin
merah, jantung berdetak keras, tapi ia tetap diam saja,
malah agak berkisar maju sedikit.
Tampak sang juwita juga mendekati, secepat kilat The
Go ulurkan tangan memegang bahu sinona, siapa dengan
serta merta terus rubuhkan kepalanya kedada orang. Kedua
pemuda yang tengah dibuaikan oleh dendang asmara itu,
hatinya penuh dengan beribu perkataan, namun mulutnya
sukar unutk mengatakan. Lupalah Bek Lian untuk
bertanya, mengapa The Go melakukan perjalanan pada
waktu malam begitu. Sebaliknya si Wajah Seribu itu tetap
ingat akan tugasnya menuju ke Hokkian, Tapi pada saat itu,
dia tak mau membikin kaget „sang burung". Dipeluknya
sinona erat2 dan bagaikan anak kambing menyerah sajalah
Bek Lian. Hanya kepalanya diangkat naik, matanya yang
bening laksana air telaga itu ber-kicup2 memandang The
Go.
Entah berapa lama kemudian, barulah The Go lepaskan
pelukannya itu. Dengan memegangi tangan sinona
berkatalah dia: „Lian, tepat nian peribahasa 'garam dilaut,
asam digunung, akhirnya akan ketemu juga'. Bukankah kita
ini juga begitu?"
Ucapan itu bagaikan menyadarkan Bek Lian. la disuruh
ayahnya untuk mencari The Go, jadi bukan secara
kebetulan berjumpa padanya. „Ah, aku memang berniat
mencarimu!" katanya.
Bermula The Go tak begitu menghiraukan kata2 sinona
itu, dan hanya mempermainkan tangan Bek Lian. Tapi
pada lain saat dia teringat, mengapa nona itu tahu kalau dia
berada dalam perjalanan ditempat itu. Jalanan itu hanya
menuju ke Hokkian, apa tidak mungkin kalau sinona itu
tahu bahwa dia hendak mengundang tentara Ceng di
Hokkian? Tugasnya itu sangat rahasia sekali, mengapa
sampai bocor? The Go tertegun memikirkan hal itu, namun
sebagai si Wajah Seribu, dia tetap mengunjukkan muka
yang menyayang.
“Lian-moay, mengapa kau tahu aku akan berada dijalan
ini?" tanyanya mencari keterangan.
Pertama kali terperangkap dalam jaring asmara, Bek
Lian anggap bahwa segala apa yang diketahuinya itu tiada
halangan untuk diberitahukan kepada sang kekasih. Tanpa
banyak pikir lagi, ia menyahut: „Ayahku yang bilang. Dia
berjalan ditepi utara, aku ditepi selatan sini, kita berpencar
menyusulmu."
“Mengapa hendak mencari aku ?" tanya The Go dengan
terperanjat.
„Ayah bilang, kau hendak mengundang tentara Ceng di
Hokkian, maka menyusulmu supaya kau jangan jadi
kesana."
Karena dugaannya tak meleset, tertawalah The Go:
„Lian moay, kalau begitu kaupun takkan meluluskan aku
pergi?"
„Jangan pergi, maukah?"
Pikiran The Go yang licin bekerja, tanyanya pula:
„ApaIcah ada lain orang lagi yang mengejar aku?"
“Tak ada, melainkan ayah dan aku !"
The Go mendapat siasat bagus. Jalan satu2-nya yalah
membujuk sinona untuk diajak ber-sama2 menuju ke
Hokkian. Melihat sinona telah jatuh hati padanya, rasanya
siasat itu pasti berhasil. Dan memang dia sendiripun ketarik
dengan kecantikan nona itu, jadi „sekali dayung dua tepian"
namanya. „Lian-moay ada suatu hal yang hendak
kukatakan, entah kau suka mendengarinya tidak?"
Hati Bek Lian sudah diserahkan pada sianak muda.
Kalau orang sudah dimabuk cinta, apalagi seorang gadis,
segala apa dapat dilakukan. Bek Lian sebenarnya seorang
gadis yang beradat tinggi, tapi terhadap The Go, dia
menurut saja seperti seekor anak kambing. „Engkoh Go,
jangan kata hanya sepatah, seribu patah perkataanmupun
aku tentu senang mendengarnya."
Mengetahui bahwa hati sijuwita sudah terjerat dalam
asmara, barulah The Go tak ragu2 lagi, katanya: „Lianmoay,
ikutlah padaku menghadap Li congpeng di
Hokkian!"
Bek Lian tertegun. Kuatir jangan2 salah mendengar, dia
menegas: „Apa katamu itu?"
The Go seorang yang cerdik. Sebagai puteri seorang
perwira macam Ceng Bo siangjin, tentu Bek Lian itu telah
diasuh dengan didikan keluhuran budi. Jadi sewaktu
mendengar kata2nya tadi, nona itu tentu terperanjat. Tapi
biar. bagaimana hati nona itu sudah dibutakan oleh asmara,
tak nanti bisa terlepas dari genggamannya. Maka
diulanginya lagi maksudnya tadi : „Lian-moay, aku minta
kau ikut padaku menghadap Li congpeng di Hokkian !"
Bek Lian agak terhuyung. „Untuk apa kesana?"
tanyanya. dengan mata terbeliak.
The Go menebarkan kipasnya di-goyang2kan, ujarnya :
“Adalah sudah menjadi kehendak alam, bahwa kerajaan
Beng sudah tak dapat dipertahankan lagi. Kita undang
tentara Ceng masuk ke Kwiciu !"
Tadi Bek Lian melayang dalam nirwana asmara, kini
demi mendengar ucapan The Go itu, serentak dia gelagapan
tersentak dari lamunannya. Terkilas dalam batinnya, segala
ajaran dan petuah dari sang ayah tentang garis2 kehidupan
manusia yang berwatak luhur, jauh berlawanan dengan
perbuatan dan peribadi The Go. Maksudnya semula, ialah
hendak menginsyafkan anak muda itu, supaya jangan mau
menjadi kaki tangan kaisar Siau Bu dan gabungkan diri saja
dalam Thian Te Hui untuk melawan penjajah Ceng.
Serambut dibelah tujuhpun ia tak menyangka kalau anak
muda itu mengajukan permintaan begitu. Maka untuk
beberapa saat, ia ter-mangu2 seperti orang gagu.
Keduanya tadi masih berdiri berendeng sambil
bercekalan tangan. Tatkala ter-mangu2 kaget tadi, Bek Lian
segera hendak lepaskan tangannya dari cekalan sianak
muda. Tapi The Go yang cerdik, cepat menggenggam
kencang2 tangannya lalu dipeluknya lagi. Bek Lian tak
kuasa meronta. Pada lain saat ketika The Go mencium
lehernya, seketika Itu Bek Lian rasakan aliran darahnya
berjalan keras tubuhnya bagaikan tak bertulang. Sepasang
matanya yang bagus, mengundang The Go dengan terlongong2.
„Lian-moay, tadi kau katakan seribu patah perkataanku!
kau tentu suka mendengarnya. Tapi mengapa baru sepatah
saja kau sudah tak menyukainya?"
Bek Lian menghela napas, sahutnya : „Engkoh Go,
bukan aku tak suka mendengarnya, tapi tentara Ceng itu
sangat ganas sekali. Kita sebagai putera puteri Han,
mengapa tak melawan malah mau menyambutnya?"
The Go mendongak tertawa gelak2. Ian ulurkan
tangannya utuk meraba janggut sinona, lalu didongakkan.
Begitu keempat mata saling beradu pandangan, berkatalah
The Go : „Lian-moay, kau anggap aku ini juga seorang
siaojin yang rendah martabatnya bukan? Huh, aku ini juga
seorang yang memikirkan akan nasib saudara2 sebangsa!"
GAMBAR 18
Dibawah cumbu-rayu The Go yang cakep ganteng, Bek Lian
menjadi kelelap dimabuk cinta.
Dalam bualan sianak muda yang pandai merayu itu, Bek
Lian seperti diayun dalam sorga ketujuh. „Betul?" tanyanya.
“Kalau aku yang mengantar tentara Ceng, rahayat tentu
takkan menderita kerusakan. Tapi coba pikirkan, orang2
Thian Te Hui itu bagaikan kawanan burung2 yang hendak
membentur ber-laksa2- tentara pilihan Ceng yang bersenjata
lengkap. Bukankah hal itu berarti hendak 'mengadui telur
dengan ujung tanduk' ? Bukankah hal itu akan membawa
malapetaka bagi rakyat Kwiciu?"
Bek Lian merenung sejenak dan merasa bahwa ucapan
sianak muda itu memang beralasan juga. Maka sekalipun
hatinya memperotes, namun ia tak mau mengutarakan.
Dalam batinnya, terbit perkelahian sendiri. Mengetahui
sinona diam saja, The Go menduga kalau perangkapnya
berhasil, maka dia segera alihkan lagi pembicaraannya :
„Lian-moay, sejak kita bertemu di Giok-li-nia, hati kita
segera saling berkesan, inilah yang dibilang 'sekali lihat
terus jatuh cinta'. "
Walaupun merdu sekali Bek Lian mendengar senandung
asmara yang didendangkan sianak muda itu, namun pura2
Bek Lian tarik lepas tangannya seraya berseru: „Bah, siapa
yang jatuh hati padamu?"
The Go tertawa riang, sahutnya: „Siapa? Siapakah yang
jatuh hati kepada Cian-bin Long-kun The Go? Tak lain
siapa lagi kalau bukan sijelita yang ilmusilatnya tinggi,
wajahnya bagaikan bidadari yang bernama Say-hong-hong
Bek Lian !"
Bek Lian betul'2 dinina-bobokkan oleh rayuan asmara.
Dalam gelak senyum sarinya madu, kedua pemuda itu
berpelukan lagi dengan mesranya. ,Lian-moay, kita takkan
berpisah lagi bukan?" Mendengar itu Bek Lian hanya
mengangguk saja.
„Lian-moay, mari kita, lanjutkan perjalanan lagi," bujuk
The Go.
“Kemana?" tanya Bek Lian agak terperanjat.
“Ke Hokkian!"
Setelah mengalami perjuangan batin sampai sekian saat,
memang Bek Lian merasa tak dapat berpisah dengan orang
muda yang menjadi tambatan hatinya itu. Kalau tadi ia tak
berjumpa, apa boleh buat ia, terpaksa harus tunggu sampai
hari Pesta Air (Pehcun) tahun depan. Tapi karena kini
sudah saling berjumpa, ditambah pula keduanya telah
mencurahkan isi kalbu masing2, kalau disuruh berpisah
lagi, aduh, rasanya dunia ini seperti berhenti berputar.
Maka dengan menghela napas, akhirnya meluncurlah
penyerahan bersyarat: „Kalau ketahuan ayah, bagaimana
nanti?"
“Mana dia bisa tahu? Taruh kata tahupun masakan kau
maukan dia dan membuang aku?"
“Ah, aku maukan kau!" buru2 Bek Lian memutus kata2
sang kekasih.
The Go tertawa sejenak. Puas dia dengan
kemenangannya.
Itulah pembaca! Kalau orang sudah dimabuk asmara.
Lupa sudah akan ajaran orang tua yang berbudi luhur,
berwatak ksatrya seperti Ceng Bo Siangjin. Lupa sudah ia
akan kepatuhannya terhadap seorang ayah yang telah
merawat, membesarkan dan memanjakannya dengan lautan
kecintaan. Ibarat matipun rasanya masih belum cukup Bek
Lian untuk membalas budi sang ayah itu.
Begitulah ringkasnya saja, The Go lalu memimpin Bek
Lian diajak menuju kearah barat. Bek Lian seperti patung
yang tak mempunyai kesadaran pikiran sendiri.
( Oo-dwkz-TAH-oO)
Begitu keluar dari rimba itu, se-konyong2 disebelah
muka sana terdengar ada orang ber-kata2. Anehnya, nada
suara orang itu bukan orang lelaki bukan pula perempuan,
tajamnya sampai menusuk keanak telinga. Keduanya
melengak, tak kira mereka kalau disitu ternyata ada lain
orang lagi. Teringat akan perbuatannya tadi, merahlah
selebar muka Bek Lian. Pada lain saat, kedengaran orang
itu mengoceh sendiri : “Siapa? Siapakah yang jatuh hati
padaku si Pengemis Wajah Selaksa ini? Huh, kiranya dia itu
Say-ya-jat (Hantu malam) yang ilmu silatnya biasa saja,
wajahnya jelek sekali !"
The Go teringat, dalam perjalanan tadi dia selalu
dipermainkan orang. Seketika tampillah kemurkaannya.
Dia andalkan ilmu silatnya yang tinggi, apalagi dihadapan
Bek Lian, maka serentak membentaklah dia keras2 :
“Siapakah yang dimuka situ? Main sembunyi seperti setan
itu, model orang persilatan mana?".
Orang itu tak marah, sebaliknya malah tertawa
cekikikan. Dengan suara melengking macam anjing
digebuk, berserulah dia : “At! Aku kan hanya mengatakan
kalau si Pengemis Wajah Selaksa saling jatuh cinta dengan
Say-ya-jat, adakah itu mengganggumu?"
Nada suaranya dart pelan menjadi makin nyaring. Malah
perkataan yang terakhfr „adakah itu mengganggumu?" itu,
diucapkan dengan tekanan suara yang tinggi nadanya.
Menyusul dengan itu tiba2 sesosok tubuh melesat muncul,
sehingga saking kagetnya The Go lekas2 tank tangan Bek
Lian inundur beberapa langkah. Ketika diawasi dengan
perdata, kiranya dia itu seorang lelaki yang dandanannya
macam seorang pengemis. Muka kotor penuh daki, tingkah
lakunya menggelikan orang.
Bek Lian terkesiap, rasanya la kenal dengan wajah orang
itu. Ya, bukankah dia itu siorang aneh yang ber-sama2 Yanchiu
tempur ketiga persaudaraan Cho ketika diatas luitay
itu? Oleh karena kesannya dalam pertandingan luitay itu
siorang aneh tersebut hanya berloncatan kian kemari dan
sedikitpun tak mengunjukkan Ilmu kepandaian yang
mengagumkan, maka Bek Lian agak tak memandang mata
padanya. Sebaliknya mata The Go yang lebih akhli, segera
mendapat tahu bahwa dari gerakan siorang aneh yang
sedemikian lincahnya tadi, dia segera mendapat kesimpulan
bahwa yang mempermainkan selama dalam perjalanan tadi,
tentulah dianya. Maka siaplah dia dengan kipas, seperti
kalau dia sedang berhadapan dengan seorang musuh yang
tangguh.
Begitu munculkan diri, orang aneh itu hanya mengawasi
saja kepada Theo Go dan Bek Lian, dari ujung kaki sampai
keatas kepala. Sikapnya tampak kurang senang. Kini dia
kelihatan maju menghampiri kedekat Bek Lian. Bek Lian
dan Yan-chiu berlainan perangainya. Bek Lian angkuh,
Yan-chiu peramah. Melihat orang itu mesum dengan
kotornya, Bek Lian agak merasa jijik. Tiba2 orang aneh itu
mendongak tertawa: „Aii, mengapa melihat Ban-bin Kiauhua
(Pengemis Berlaksa Wajah) lantas jemu, tapi
memandang Cian-bin Long-kun (Si jejaka Wajah Seribu)
merasa senang.”
Diam2 The Go mendapat kesan, walaupun orang itu
sikapnya seperti orang tak waras, tapi ilmunya mengentengi
tubuh sakti sekali, jadi tentunya seorang cianpwe dalam
dunia persilatan. Maka dengan serta merta dia menjurah
untuk memberi keterangan: „Ban-bin Kiau-hua, kami
berdua sedang mempunyai urusan penting, kalau sekiranya
cianpwe tiada akan memberi pengunjukan apa2, silahkan
lanjutkan perjalanan."
„Aii, kau mempunyai urusan? Jalan saja, siapa yang
menghalangimu. Aku hanya hendak mengatakan disini,
bahwa diseberang tepi sungai utara sana, aku melihat ada
seorang imam tua tengah2 ber-lari2 seperti dikejar setan.
Hal itu, nanti hendak kuceritakan pada Say-ya-jat-ku.
Siapakah yang menghadang perjalananmu?"
Betapapun pandainya The Go berputar lidah, tapi saat
itu dia bungkam dalam seribu bahasa. Benar juga orang itu
tak menghadang jalannya, maka legahlah hati The Go. Tapi
Bek Lian berdebar hatinya. Yang dimaksudkan dengan
seorang imam tua oleh orang aneh tadi, tentulah ayahnya.
Teringat seketika itu, bahwa dia ditugaskan oleh sang ayah
untuk menghalangi perginya The Go ke Hokkian. Tapi
ternyata sekarang ia malah ikut serta dengan anak muda itu.
Ah, bagaimana nanti dia akan mengatakan pada, sang
ayah? „Tunggu sebentar!" katanya serentak.
„Tunggu apa lagi?" tanya The Go.
„Ayahku ……. dimana imam tua itu sekarang?" tanya
Bek Lian kepada siorang aneh.
Orang itu dongakkan kepalanya melihat kelangit,
ujarnya: „Entahlah, aku tak tahu. Tapi kalau kau mau balik
mencarinya, tentu ketemu."
Seketika itu terkilaslah dalam hati Bek Lian untuk bersuit
panjang memberitahukan pada sang ayah, agar The Go
jangan sampai mengundang tentara musuh. Tapi terkilas
pula lain suara hatinya, bahwa begitu sang ayah datang,
sudah tentu akan bertempur dengan The Go. The Go tentu
bukan tandingan sang ayah, Taruh kata bisa lolos, baginya
pun sukar lagi untuk bertemu dengan anak muda itu.
Memikir sampai diaini, diama is, mencuri lihat kewajah
sang kekasih, siapa nampaknya juga gelisah tengah
memandangnya. Dalam pertentangan batin yang hebat itu,
akhirnya suara sang hatilah yang menang, katanya:
„Engkoh Go, mari kita, jalan la,gi!"
Tadi The Go sudah gelisah, kini girangnya bukan terkira.
Tapi siorang aneh itu kedengaran menghela napas panjang,
katanya: „Kalau Tuhan yang menjelmakan sidurjana, dia
masih berhak hidup. Tapi kalau orang yang menjelma jadi
durjana, dia tak harus hidup. Nona, ingatlah kata2ku hari
ini !"
Habis berkata begitu, siorang aneh itu dengan pe-lahan2
ayunkan langkahnya. Nampaknya saja berjalan pe-lahan2
tapi toh dalam sekejab mata saja, dia sudah tak nampak dari
pemandangan. The Go legah sudah hatinya, walaupun ada
sedikit halangan namun tampaknya urusan akan berhasil
baik. Dengan girang dicekalnya tangan sinona erat2. „Lianmoay,
malam ini kita, bersatu dan selanjutnya takkan
berpisah untuk se-lama2nya."
Bek Lian seperti orang mabuk arak. Benar kata2 orang
aneh itu menyayat hatinya, tapi hanya sekejab saja, hilang
tertiup angin. Menatap kearah The Go, dia tampak
kemalu2an, tapi hatinya merasa bahagia sekali. Begitulah
dengan bergandengan tangan, kedua muda-mudi itu ber
jalan kearah barat.
Selama dalam perjalanan itu, masing2 seperti tak mau
berpisah satu sama lain. Walaupun demikian, dalam
kebatinan masing2 tengah mempunyai lamunan sendiri.
The Go melamun, Li Seng Tong congpeng dari pimpinan
tentara Ceng itu kabarnya pandai memakai orang. Dia
sendiri serbaguna (pandai silat pandai sastera), tentu akan
mendapat kedudukan yang setimpal. Dia tentu dapat
mendirikan pahala, akhirnya mendapat pangkat tinggi. Hari
kemudiannya gilang gemilang, dapat pangkat dapat isteri
cantik. Hm, betapakah nikmatnya penghidupan ini.
Demikian pikirannya.
Sedang Bek Lian tetap masih terkenang akan ayahnya.
Tapi demi melihat The Go itu orangnya pandai bermain
senyum, cakap merangkai kata2, sikapnya begitu menyinta
dan senantiasa penuh dengan kasih mesra, terhiburlah hati
Bek Lian. Maka selama dalam perjalanan sejauh itu, iapun
tak merasakan capai.
Baru ketika matahari terbit dari sebelah timur, mereka
saling lepaskan tangan, karena merasa likat kalau dilihat
orang.
Setelah melalui kota Tang-wan, kemudian Hui-ciu,
besoknya siang mereka memasuki daerah gunung Hoa-san.
Daerah itu terletak di sebelah timur dari Kwitang, sangat
luas sekali. The Go tahu bahwa didaerah situ banyak sekali
orang2 „keras" (akhli persilatan) yang keluar masuk. Tapi
yakin akan kepandaiannya sendiri. The Go tak kuatir.
Untuk memburu perjalanan, malam itu tak mau dia
beristirahat. Hari itu adalah tanggal 13 bulan 11, jadi
rembulan mengunjukkan wajahnya yang penuh. Memasuki
sebuah rimba, mereka berdua ber-gegas2 menempuh
perjalanan.
Selama dalam perjalanan sehari semalam itu, makin
tetap hati Bek Lian bahwa pilihannya kepada The Go itu,
tak salah. Dan dengan seni-rayuannya yang lihay,
berhasillah The Go merebut betul2 hati sijelita itu. Tiba2
terasa ada angin meniup dan dilangitpun tampak tebaran
awan hitam, menutup rembulan. Dalam suasana yang
segelap itu, Bek Lian agak jeri dan makin menempel sang
kekasih rapat. Berjalan tak berapa jauh, awan dilangit
makin tebal, malah disekitar situ hawanya lembab, agaknya
turun kabut. „Lian-moay, rupanya kita terpaksa harus
beristirahat," kata The Go.
Bagi Bek Lian, kemana saja asal bersama The Go, la
menurut saja. The Go sulut api untuk menyuluhi disekitar
tempat situ. Kebetulan tak jauh dari situ tampak ada sebuah
goa besar yang tentunya tidak ditinggali oleh bangsa
binatang buas. Kesanalah The Go ajak Bek Lian. Karena
suasana sangat gelap dan berhubung perjalanan masih jauh
The Go tak mau boroskan api, maka dengan susah payah
ahirnya dapatlah mereka mencapai goa itu. Saking kurang
tidur dan keliwat lelah, maka begitu masuk kedalam goa,
Bek Lian terus menerus menguap. „Lian-moay, kau
tidurlah disini, besok terang tanah kita lanjutkan perjalanan
lagi," kata The Go.
„Engkoh Go, kalau aku tidur, jangan kau nanti
tinggalkan aku !"
„Biarpun leherku dipanggal, aku tentu tak mau berpisah
denganmu," The Go tertawa menghibur. Bek Lian puas
hatinyanya, tak antara lama tidurlah ia dengan nyenyaknya
dipanggiran sianak muda.
The Go yakin dalam suasana segelap itu, tentu takkan
ada binatang buas keluar berkeliaran, maka diletakkannya
kepala sinona keatas tanah, karena dia sendiripun kepingin
tidur, tapi pada lain saat dia batalkan niatnya itu, karena
kuatir jangan2 Bek Lian terbangun dan nantinya akan
marah hingga membikin gagal urusan. Maka terpaksa dia
duduk didekat situ saja.
Tapi baru dia duduk agak tenang, atau tiba2 terasa ada
sesuatu yang luar biasa. Alat pendengaran dan penglihatan
dari seorang yang meyakinkan ilmu silat, tentu tajam sekali.
Sewaktu masih dalam kandungan, ayah The Go sudah
meninggal. Ayah dan ibunya itu adalah murid2 kesayangan
Ang Hwat cinjin dari gereja Ang Hun Kiong. Begitu
mengetahui dirinya mengandung, ibunya lalu menyalurkan
lwekangnya untuk memperkuat tubuh sang anak. Maka, tak
heranlah kiranya, dalam usia baru 24 tahun saja, The Go
itu sepertinya sudah mempunyai peyakinan ilmu silat
selama 24 tahun, karena disebabkan begitulah halnya.
Pada saat itu dirasanya dalam goa situ terdapat
seseorang lagi. Betapapun halusnya pernapasan orang itu,
namun tertangkap juga oleh alat pendengarannya. Bermula
dipikirnya kalau hembusan napas Itu dari Bek Lian, tapi
sewaktu diperiksa kedekat hidungnya, ternyata bukan.
Sudah tentu terperanjat The Go sukar dilukiskan. Dapat
masuk kedalam goa tanpa diketahui orang yang berada
disitu, adalah suatu kepandaian yang luar biasa. Ah,
jangan2 siorang aneh itu lagi yang mengadu biru. Maka
The Go tak berani bergerak atau menyulut apinya,
melainkan menantikan perkembangan lebih lanjut.
Tak berapa lama, kedengaran orang itu makin
mendekati, seperti tengah berlarian dalam goa sebelah
tengah sana. Tapi anehnya, sedikitpun tak terdengar
suaranya apa2. Sampai disitu, timbullah rasa takut dihati
The Go. Adakah betul2 yang disebut setan rimba itu benar
ada? Karena seorang akhli yang bagaimanapun hebat
ilmunya mengentengi tubuh, tapi tetap akan kedengaran
derap kakinya, meskipun betapa halusnya. Dirangsang oleh
rasa takut, dengan hati2 sekali The Go beringsut beberapa
langkah dari tempat Bek Lian tidur, namun „setan" itu
agaknya dapat juga mendengar gerakannya itu, karena
dengan se-konyong2 diapun berhenti diam.
The Go menjadi jengkel. Dia sedang melakukan tugas
penting, se-kali2 tak boleh terhenti disitu. Karena bukan
saja impiannya akan kosong, malah kalau ketemu dengan
musuh tangguh, salah2 dia nanti terkubur digunung
belantara situ. Memikir akan kepentingan diri sendiri, rasa
cintanya terhadap Bek Lian menurun beberapa derajat.
Maka dengan ber-ingsut dia bergerak beberapa tindak lagi,
jaraknya makin jauh dari Bek Lian.
Bagi orang yang bersalah tentu ada2 saja gangguan
perasaannya. Se-konyong2 dilihatnya diantara kegelapan
tempat situ berkelebat sebuah sinar terang. Menurut
perasaannya, itulah tentu pancaran sinar dari sepasang
mata Bek Lian. Tapi ketika diawasinya dengan seksama,
ternyata tak ada apa2 kecuali kegelapan malam. Diam2 dia
memaki dirinya sendiri: „The Go, The Go! Pantaskah kau
hendak tinggalkan ia?" Pertanyaan itu dijawabnya sendiri :
„Seorang juwita yang begitu cantik, walaupun dunia ini
lebur, tapi sukarlah dicari keduanya. Ah, tak pantaslah
kalau meninggalkannya!"
Tapi pada lain saat, terkilas pula lain pikiran dan
bertanyalah dia kepada dirinya: „Hai, The Go! Kalau kau
sendiri berparas cakap, sekalipun gadis itu lebih cantik dari
ia sekarang, apakah gunanya bagimu? Pepatah mengatakan
: asal masih ada gunung yang hijau, masa takut tak ada
kayu bakar. Apakah betul2 dunia ini hanya sedaun kelor
saja, tiada lain gadis cantik yang melebihi itu?"
Pertentangan hebat terjadi dalam batinnya. Lewat
beberapa saat, dia tertawa sendiri: „Ah, suara napas tadi
begitu lemahnya, terang bukan dari orang tapi dari binatang
kecil. Mengapa aku ketakutan setengah mati sendiri, gila
aku ini!"
Dari alam pikiran orang she The itu, terang sudah kalau
dia itu hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Cinta? Ah, tahulah baginya. Cinta hanyalah semacam
pakaian, yang sembarang waktu boleh dibuang kalau sudah
jemu. Kasihan Bek Lian, nona cantik yang bernasib malang
itu, karena jatuhnya pilihannya ditempat yang keliru. Untuk
itu. kelak ia akan menebus dengan penderitaan yang hebat!
Dengan anggapannya tadi, The Go kembali kedekat Bek
Lian lagi dan coba meramkan matanya untuk tidur. Tiba2
dari luar gua ada serangkum angin malam meniup masuk.
Angin itu terasa dingin sekali sampai menusuk kedalam
hidung. Dengan ter-sipu2 buru2 The Go hendak menyingkir
kesamping, tapi saking gugupnya bajunya telah kecantol
(terkait) pada ujung batu gua yang runcing, hingga robek
sampai setengah bagian. Suara baju robek itu, dalam
kegelapan suasana malam yang sunyi, telah menerbit
kumandang, yang keras. Cepat2 The Go bersiap dengan
kipasnya, tapi sampai sekian saat tak terjadi suatu apa.
Malah pada saat itu terdengarlah Bek Lian menggeliat
seraya menggigau daIam mimpinya: „Engkoh Go, jangan
tinggalkan daku!"
Dengan tiupan angin yang meruntuhkan nyalinya tadi,
The Go makin keras dugaannya, kalau didalam gua situ
tentu terdapat seorang lihay yang berilmu tinggi. Entah
kawan entah lawan. Dengan gunakan kepandaiannya
mengentengi tubuh, hati2 sekali dia mondar-mandir
didalam situ, untuk coba2 memancing apakah orang ketiga
itu dapat mendengarnya. Sampai sekian saat ternyata tidak
terjadi perobaban apa2. Tapi kini jelas didengarnya, kalau
suara napas orang itu berada didekat Bek Lian tidur.
Buru2 dia menghampiri ketempat Bek Lian yang terletak
didekat mulut gua. Se-konyong2 serangkum angin malam
menyerang lagi kearah mukanya. Malah samar2 dilihat ada
sesosok bayangan berkelebat. Dari perawakannya, orang itu
bukan seperti siorang aneh tempo hari itu. Kini The Go tak
sangsi lagi. Begitu kipas digerakkan, secepat kilat terus
ditutukkan kearah jalan darah yu-bun-hiat dari bayangan
hitam itu.
Diluar dugaannya, sebat sekali bayangan hitam itu
menghindar terus melesat kebelakangnya. Buru2 The Go
putar tubuhnya, tapi kalah cepat. Rambutnya telah
dijambak oleh sebuah tangan yang kuat dan terdengarlah
suara seorang wanita menghardiknya: ,Siapakah nona itu?"
Nada suaranya itu seperti menembus pecah anak telinga
The Go, siapa dengan sebatnya terus memutar tubuh untuk
melepaskan jambakan orang itu. Tapi wanita itu bagaikan
bayangan saja, selalu lebih cepat dapat berada
dibelakangnya, malah perkeras juga jambakannya. Tahu
akan kelihayan orang, serta merta The Go membuka
mulutnya: „Locianpwe sukalah kendorkan pegangan, ia
adalah kekasihku."
“Hm," wanita itu tertawa dingin. „Siapakah namanya?"
Pikiran The Go bekerja. Kalau sekiranya wanita itu
terikat permusuhan dengan keluarga Bek Lian, bukankah
dirinya sendiri nanti akan celaka? Ah, mengapa tadi dia
berterus-terang mengatakan Bek Lian itu kekasihnya!
Karena kesangsiannya itu, dia agak berayal memberi
penyahutan dan tahu2 lengannya kiri telah dicengkeram
oleh tangan siwanita. Sakitnya bukan kepalang seperti
dijepit besi. Buru2 dia empos semangatnya untuk bertahan.
“Lekas bilang, siapakah namanya?" bentak siwanita itu
dengan bengisnya.
“Ia orang she Bek namanya Lian, puteri dari Ceng Bo
siangjin!" The Go tak berlaku ayal lagi.
“Siapakah Ceng Bo siangjin itu?" tanya siwanita pula.
“Tokoh yang pada 10 tahun berselang menggetarkan dunia
persilatan dengan nama Hay-tee-kau. Ceng Bo Siangjin
adalah namanya setelah dia menyucikan diri menjadi
Imam."
Wanita itu melengak sejenak, cengkeran2nya pada
lengan The Go pun dikendorkan, kemudian mulutnya
kedengaran kemak-kemik berkata sendiri : „Hay-te-kau,
hoan-kang-to-hay (nama ilmu pedang), kini tiba2 menjadi
Ceng Bo siangjin, jadi berarti dia sudah tak menghiraukan
peristiwa 'hoan-kang-to-hay' (membalik sungai
menjungkirkan Iangit) yang lalu lagi."
Tak tahu The Go apa yang dikatakan oleh wanita itu.
Yang diperhatikan, adalah cengkeram wanita itu sudah
kendor, maka sekali meronta dapatlah dia terlepas sama
sekali dari cengkeram besi itu, enjot tubuhnya terus melesat
satu tombak jauhnya. Gerakan The Go itu amat cepat
sekali, tapi siwanita lebih cepat lagi. Belum kaki si The Go
menginjak tanah, atau begitu ada angin menyamber, dia
rasakan pinggangnya dicengkeram orang, sehingga hampir
saja dia ter-huyung2 jatuh kemuka. Dengan sigapnya dia
bangun, tapi pinggangnya tetap tercengkeram oleh siwanita.
The Go mengeluh dalam hati. Syukur cengkeram wanita
itu tak keras, jadi hanya ingin menahannya saja, tak
bermaksud membunuhnya. The Go yang cerdik segera
dapat mengetahui maksud orang. Nyalinyapun timbul lagi.
„Locianpwe, apakah hendak memberi pengunjukan
padaku?" tanyanya dengan lantas,
„Siapakah kau ini?"
„Aku yang rendah ini bernama The Go, cucu murid Ang
Hwat cinjin dari gereja Ang Hun Kiong," sahutnya.
Diluar dugaan The Go, wanita itu segera berkata:
„Akupun pernah bertemu dengan beberapa murid dari Ang
Hwat cinjin. Kau mengaku menjadi cucu muridnya,
mengapa kepandaianmu sebagus itu?" ,
Kiranya wanita itu adalah seorang cianpwe yang berilmu
tinggi. The Go sesalkan dirinya tadi mengapa telah
mengeluarkan kepandaian, hingga dapat dikenal oleh
wanita Itu. „Hopwe (aku yang rendah) karena mengetahui
berbakat jelek, lalu belajar dengan rajin, sehingga dapat
lebih maju dari lain saudara seperguruan."
Wanita itu tertawa, ujarnya: „Kau tidak tolol tapi cerdik
sekali!"
Mendengar nada ucapan siwanita itu tak mengandung
maksud jelek terhadap dirinya, legahlah hati The Go.
“Mengapa kau dengan Lian……… gadis she Bek itu
bersama2?" tanya siwanita pula.
Belum lagi The Go menyahut, atau disana Bek Lian
sudah terbangun. Karena tak didapatinya The Go berada
disamping situ, bertereaklah gadis itu: „Engkoh Go, kau
berada dimana?"
„Lian-moay, aku berada disini, jangan takut!"
„Engkoh Go, kemarilah, aku tak dapat melihat kau,"
kembali Bek Lian menereaki. The Gopun segera
mengiakan, tapi karena pinggangnya dicengkeram siwanita,
terpaksa dia tak dapat bergerak. Tengah dia bingung apa
yang harus diperbuat, tiba2 siwanita itu kedengaran
berbisik: „Kalau kau sanggupi dua hal yang kuajukan, akan
kulepaskan!"
„Apakah itu?" tanya The Go dengan kegirangan. Tapi
ternyata percakapan itu dapat didengar juga oleh Bek Lian,
siapa lalu buru2 bertanya: „Engkoh Go, kau ber-cakap2
dengan siapa itu ?"
Baru The Go hendak menyahut, tiba2 terasa
pinggangnya dicengkeram makin kencang dan segera
kedengaran siwanita berkata:
„Pertama, kalau kau berani mempermainkan nona Bek,
meskipun kau sembunyi keujung dunia, tentu tetap akan
kucari untuk mencabut jiwamu. Kedua, se-kali2 kau tak
boleh mengatakan pada lain orang bahwa kau bertemu
dengan aku ditempat ini. Sekalipun nona Bek itu juga tak
usah tahu. Mengerti?"
The Go anggukkan kepalanya, dan wanita itu lepaskan
cengkeramannya. Hanya seperti kelebat bayangan saja The
Go melihatnya, atau wanita luar biasa itu sudah
menghilang lenyap.
„Engkoh Go, mengapa kau belum kemari ?" Bek Lian
berseru lagi. Atas itu, ber-gegas2 The Go menghampiri.
Ternyata disitu Bek Lian masih berbaring ditanah. Ah,
gelap nian tempat itu, betapa enaknya kalau berbaring juga
disitu pikir The Go yang terus segera duduk disamping
sinona, sembari tangannya merabah pipi orang.
„Kau kenapa?"
„Ah, aku bermimpi," sahut Bek Lian setelah termenung
sekian saat.
„Mimpi bertemu siapa?" tanyanya menggoda. Juga
sampai sekian saat Bek Lian diam dulu, baru kemudian
berseru dengan mengkal: „Huh, tak perlu tahu !"
“Ha, ia tentu bermimpi ketemu dengan aku," pikir The
Go. Siapa lalu menggodanya lagi: „Kutahu sudah !"
„Tahu apa?"
„seorang yang cakap yang selalu dikenang dalam kalbu,
bukan?" kata The Go dengag pelan dan atas itu pecahlah
ketawa dari mulut sinona yang mungil, siapa terus bangkit
menuju keluar goa. Karena kala itu cuaca sudah terang,
maka Bek Lian pun segera terus berjalan kemuka.
Walaupun selama dalam perjalanan itu, dua kali The
Go. berjumpa dengan dua orang aneh yang telah membuat
terkejut dan mempermainkannya, namun dengan sudah
mendapatkan hati sijelita itu, puaslah sudah hatinya.
Keesokan harinya, tibalah mereka di Hokkian. Tapi apa
yang dilihatnya, disepanjang jalan sungguh membuat
mereka terkejut. Laki2 dan perempuan2 sama ber-bondong2
menuju ketimur. Kiranya meskipun tentara Ceng belum
resmi masuk ke Kwitang, tapi sudah ada sementara
kerucuknya yang mengganas diperbatasan, merampok harta
benda rakyat, mencemarkan orang2 perempuan dan lain2
perbuatan se-wenang2. Pembesar2 pemerintah Beng
setempat siang2 sudah angkat langkah seribu. Begitu karena
tak berdaya, rahayat sama ber-duyun2 mengungsi kearah
timur.
Melihat pemandangan itu, Bek Lian merasa kurang
senang, sebaliknya The Go buru2 mengatakan: „Lianmoay,
mari kita lekas2 bertindak. Begitu tentara Ceng
sudah masuk kewilayah Kwitang, rahayat tentu takkan
menderita lagi."
Bek Lian kena diomongi manis. Tak berapa lama
kemudian mereka masuk kewilayah Hokkian. Melihat
kedatangan The Go yang minta menghadap Li tayjin, salah
seorang opsir Ceng segera memberikan dua ekor kuda
untuk mengantarnya ke Hokciu.
Dengan tiada halangan suatu apa, dibawalah The Go
menghadap Li Seng Tong congpeng. The Go segera
serahkan surat peribadi dari Ko Tiau Cian. Habis membaca,
Li Seng Tong segera menanyai lebih lanjut dan The Gopun
memberi keterangan: „Li tayjin, asal Kwiciu sudah jatuh,
fihak Lam Beng tentu akan kocar-kacir, dan dengan mudah
tayjin tentu akan dapat menduduki Kwitang."
Li Seng Tong sebenarnya adalah pembesar militer dari
kerajaan Beng. Karena pemerintah Beng pada waktu itu
sangat korup, sana sini main sogok jual beli kenaikan
pangkat, maka dia merasa putus asa untuk menanjak
ketempat yang tinggi. Ketika tentara Ceng menyerang
wilayah Beng, dengan hanya mempunyai beberapa ratus
serdadu tua dan lemah, dia telah mempertahankan daerah
Tongkwan dengan gigih sekali, sehingga berhasil memukul
mundur fihak penyerang. Pemerintah Ceng terperanjat.
Mereka menduga disitu tentu terdapat seorang jenderal
pandai, maka dengan berbagai jalan akhirnya dapatlah
akhli perang yang cemerlang itu ditangkap hidup2an.
Dengan cara halus, Li Seng Tong dapat dibujuk untuk
menakluk dan malah diangkat menjadi congpeng (panglima
perang) Kerajaan Ceng. Benar juga pilihan pemerintah
Ceng itu tepat sekali. Li Seng Tong seorang panglima yang
pandai sekali menggunakan tentara, akhli strategi yang
jempol. Berkat kecerdasannya, daerah demi daerah dapat
diduduki dan akhirnya masuk ke Hokkian dan kini tengah
merencanakan penyerbuan ke Kwitang dan Kwisay.
Dia setuju atas keterangan The Go. Cepat dia serahkan
300 tentara pilihan pada The Go untuk menyerang Kwiciu.
Kepada The Go dia memberi pujian hangat dan
menjanjikan kedudukan tinggi apabila kedua wilayah itu
berhasil didudukinya. The Gopun segera bertindak cepat.
Dia suruh ke 300 tentara pilihan itu menyamar menjadi
anak kapal, sedang dia bersama Bek Lian menyaru menjadi
saudagar kaya. Rencana The Go, yalah hendak gunakan
jalan diair menyerang Kwiciu, itu tentu tak dapat diketahui
musuh. Sebagai bajak dari Laut Selatan, sudah tentu mahir
sekali The Go dalam urusan pelayaran. Dalam sehari
semalam saja, perahunya sudah tak jauh dari tempat yang
dituju. Kira2 satu setengah hari lagi, tentu akan sudah tiba
di Kwiciu.
Kala itu lamunan The Go meninggi langit. Berdiri tegak
diatas geladak, dia jauh memandang kemuka laut,
mulutnya tak putus2nya memberi aba2 atau bersuit keras,
sikapnya garang sekali, se-olah2 dunia ini dia yang punya.
Sedang Bek Lian yang berdiri disamping, merasa bahwa
sang kekasih itu benar2 seorang muda yang gagah perwira.
Makin bahagialah perasaan nona itu.
Selagi kedua anak muda itu memberi komando pada
awak kapal, sembari diseling dengan gelak ketawa riang,
tiba2 The Go berteriak kaget: „Astaga, aneh !"
“Ada apa engkoh Go?" tanya Bek Lian.
Tapi sebaliknya dari menyahut, The Go cepat berpaling
kebelakang seraya bertereak memanggil: „Po tayjin!"
Yang dipanggil Po tayjin itu, adalah pemimpin dari ke
300 tentara pilihan itu. Namanya lengkapnya yalah Po Tho,
seorang Boan. Pertama kali melihat bagaimana serdadu2
Ceng itu sama memelihara kuncir, lelaki tidak perempuan
bukan, Bek Lian menjadi geli. Tapi demi membayangkan,
bahwa nantinya apabila tentara Ceng sudah menduduki
Kwitang, The Go dan semua orang lelaki juga akan
memelihara rambut begitu, hati Bek Lian merasa sedih.
Tapi kesedihan itu bagaikan awan tertiup angin, apabila ia
membayangkan kebahagiaan hidup disamping orang yang
dikasihi itu.
Kala itu ke 300 serdadu Ceng itu sama menyaru menjadi
penumpang kapal, kuncirnya sama digelung. Tapi Po Tho
sendiri yang tak mau berbuat begitu. Namun The Go
terpaksa mengalah juga, karena dia masih memerlukan
tenaga orang itu. Pada saat The Go memanggil tadi, Po
Tho tengah menikmati pipa huncwe (pipa bambu). Oleh
karena telah dipesan oleh panglima (Li Seng Tong), Po Tho
tak berani berlaku ayal, lalu buru2 menghampiri datang,
serunya: „The tayjin, ada apa?"
“Lekas perintah dua perahu kita yang berada dibelakang
itu supaya kemuka, jangan terlalu ketinggalan jauh,
mungkin bakal terjadi peristiwa."
Po Tho lakukan perintah itu.
„Engkoh Go, ada kejadian apa?" Bek Lian ulangi
pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
„Tu lihatlah!" seru The Go menunjuk kemuka.
Bek Lian memandang kearah yang ditunjuk The Go.
Memang jauh disebelah muka, diantara gelombang laut
yang ke-biru2an, tampak ada setitik benda hitam ber-ayun2
naik turun. Karena tak mengetahui adanya hal itu, Bek Lian
memandang The Go. „Tu lihat lagilah!" seru The Go.
Begitu Bek Lian memandang kemuka lagi, kini benda
kecil itu ternyata sudah makin mendekat, bagaikan sebatang
pelepah pisang besar. Makin dekat, nyata bukan perahu
melainkan sebatang dahan kayu yang masih penuh dengan
daun. Rupanya dahan itu begitu dipotong terus
dilemparkan kedalam laut, digunakan sebagai perahu. Tapi
itu sajah masih belum mengherankan, karena yang paling
aneh yakni ternyata batang dahan puhun itu dinaiki oleh
seorang yang tegak berdiri diatasnya. Massa Allah! Batang
kayu itu bulat bentuknya, jadi timbul tenggelam saja
didalam air, tapi toh orang itu dapat menaikinya dengan
laju sekali menghampiri datang kearah perahu The Go.
Dapat berdiri dengan kokohnya diatas batang kayu bulat
yang terapung didalam air, bagi The Go yang
berpengalaman luas segera mengetahuinya, bahwa orang
itu tengah menggunakan ilmu cian-kin-tui (tindihan seribu
kati). Tapi dapat menggunakan ilmu cian-kin-tui
sedemikian lihaynya itu, juga jarang terdapat dalam
kalangan akhli persilatan.
Oleh karena dihembus angin, maka perahu The Go pun
dapat berjalan dengan laju sekali. Demi dapat melihat jelas
siapa yang berlayar dengan batang dahan puhun tadi,
seketika pucatlah wajah The Go. „Astaga!" serunya dengan
tertahan. Juga Bek Lian pun segera mengenal orang yang
berbaju dan topi bintang serta menyekal sebilah tiang-kiam
itu ternyata bukan lain ialah ayahnya sendiri. Serasa
terbanglah semangat Bek Lian dibuatnya.
Tengah kedua orang itu gelisah, batang puhun itu telah
maju membentur badan perahu.
„Lian-moay, bersembunyilah kebawah ruang kapal
sana!" The Go menyuruh Bek Lian, siapa pun sudah terus
hendak melakukan anjuran itu. Tapi baru hendak
melangkah turun kebawah, atau orang yang berada diatas
batang puhun tadi kedengaran berteriak keras, sehingga Bek
Lian menjadi tertegun sesaat. Menyusul dengan benturan
tadi, anak perahu menjadi gempar. Ada yang menjerit2
mengatakan perahunya bocor, ada yang menyerukan ayah
ibunya, ya pendeknya keadaan di perahu situ menjadi
panik. Orang2 sama berebutan naik ketangga tali untuk
memanjat keatas kedua perahu yang disebelahnya.
The Go tak sempat meneriaki mereka supaya tenang,
karena pada saat itu, melesat sesosok tubuh kehadapannya.
Itulah Ceng Bo siangjin dengan pedang terhunus tegak
berdiri di-tengah2 The Go dan Bek Lian. Melihat sang
ayah, sesaat lupalah Bek Lian akan perbuatannya dalam
beberapa hari ini, maju selangkah ia berseru memanggil:
„Tia, kau…………"
Belum akhir kata „datang" diucapkan, Bek Lian segera
mendapatkan bahwa wajah sang ayah ketika itu tampak
bengis sekali, sehingga saking takutnya Bek Lian tak jadi
mengucap kata2nya yang terakhir, terus mundur selangkah
tak berani membuka mulut lagi.
Sepasang mata Ceng Bo siangjin, memancarkan sinar
ber-api2. Tanpa disadari, Bek Lian segera menggeser
kedekat The Go, sehingga kini keduanya berdiri berjajar.
Yang satu seorang gadis cantik jelita, yang lain seorang
pemuda cakap garang, sepintas pandang, memang
merupakan suatu pasangan yang setimpal. Tapi bagi Ceng
Bo siangjin yang sudah dirangsang oleh api kemarahan
karena mengetahui puterinya telah berbuat begitu rendah,
kiranya sudah lupa akan segala apa.
Sebelum melanjutkan apa yang bakal terjadi diatas
geladak itu, marilah kita tengok lebih dulu mengapa Ceng
Bo dengan se-konyong2 bisa muncul disitu itu. Kiranya
setelah sampai terang tanah, dia tak dapat menemukan jejak
The Go, maka dia mulai bersangsi dan kuatir akan diri Bek
Lian. Kalau betul orang she The itu mengambil jalan ditepi
sungai yang sebelah utara situ, biar bagaimana cepatnya dia
berjalan, tapi kalau dia (Ceng Bo) mengejar sampai
semalam suntuk tentu akan dapat menyusulnya. Jangan2
orang itu mengambil jalan ditepi sungai yang sebelah sana.
Tapi mengapa Bek Lian tak memberi pertandaan ? Diam2
dia mengeluh, jangan2 puterinya mengalami hal2 yang tak
terduga.
Maka dengan gunakan ilmu istimewa „teng ping tok
cui", dia melintas sungai. Kalau itu waktu setelah melintasi
sungai, dia terus mengejar kearah timur, pasti akan dapat
mencandak kedua orang itu. Tapi karena tak menduga
bahwa puterinya akan berbuat semacam itu dengan orang
buronannya, maka Ceng Bo lebih dahulu mengejar kearah
barat. Baru setelah disana tak menemukan jejak apa2, dia
balik mengejar kearah timur. The Go dan Bek Lian
memiliki ilmu berjalan cepat yang lumayan. Dengan
penundaan tadi, begitu Ceng Bo balik ketimur, The Go dan
Bek Lianpun sudah tiba di Hokkian, terus berkuda menuju
ke Hokciu.
Tiba di Hokkian, Ceng Bo kaget demi mendengar
pembicaraan dari salah seorang penjaga pintu kota, bahwa
ada seorang gadis cantik bersama seorang pemuda cakap
masuk kekota situ. Dalam dandanannya sebagai seorang
imam, Ceng Bo menanyakan hal itu kepada sipenjaga, siapa
karena mengetahui bahwa tentara Beng sudah ngacir pergi
jadi tentunya mustahil akan ada mata2 musuh, lalu
menceritakan tentang keadaan kedua pemuda pemudi (The
Go dan Bek Lian) tadi. Saking marahnya, hampir2 saja
Ceng Bo terjungkal rubuh. Tanpa menghiraukan bahwa
kala itu adalah pada waktu siang hari, dia segera enjot
tubuhnya dan dalam sekejab saja sudah melesat jauh sekali.
Hal mana telah membuat penjaga itu menjadi terlongong2
karena mengira kalau imam lawan bicaranya tadi adalah
seorang dewa yang turun kedunia!
Bagaikan terbang, Ceng Bo menuju ke Hokciu. Dia
segera menyirepi kabar kegedung congpeng, tapi pada
waktu itu (siang hari) tak berhasil mendengar berita apa2.
Malamnya dia lakukan penyelidikan lagi kesitu dan baru
mengetahui bahwa The Go sudah berangkat menuju ke
Kwiciu dengan membawa sepasukan tentara Ceng pilihan.
Ceng Bo cukup menginsyafi, bahwa Kwiciu itu adalah
pusat jantung propinsi Kwitang. Kalau Kwiciu jatuh,
Kwitang tentu tak dapat dipertahankan lagi. Malam itu juga
dia ber-gegas2 menuju ketepi laut. Tapi disitu dia tak dapat
menemui sebuah perahu pun juga. Semangatnya semasa
muda timbul lagi.
Dengan mengeluarkan kekuatan sakti, dia berhasil dapat
mencabut sebatang puhun sampai ke-akar2nya. Batang
puhun itu dilemparkan kedalam laut, lalu dia loncat berdiri
disitu. Dengan lwekangn ya yang aakti, dia meluncur
ketengah laut, laju bagaikan sebatang anak panah terlepas
dari busurnya.
Didalam gelombang laut yang naik turun itu, batang
puhun yang bulat bentuknya itu turut diayun tinggi rendah,
timbul tenggelam. Betapa saktinya ilmu kepandaian Ceng
Bo, namun tak kuasa juga dia menguasai perahunya yang
istimewa itu. Tapi meskipun demikian, batang kayu itu
dapat meluncur lebih pesat daripada perahu rombongan
The Go. Tak antara berapa lama kemudian, Ceng Bo segera
tampak adp, 3 buah perahu besar berlayar kearah
tempatnya. Salah sebuah perahu besar itu, tampak ada dua
orang muda mudi tengah berdiri diatas geladak. Tak salah
lagi itulah The Go dan puterinya yang „manis" itu.
Bahwa The Go dapat melakukan perbuatan khianat itu,
memang sudah diduga oleh Ceng Bo. Tapi bahwa puterinya
sendiri, sampai terpincut dengan orang yang hendak
menjual negara itu, sungguh tak terpikirkan oleh Ceng Bo.
Maka begitu dia loncat keatas geladak perahu dan Bek Lian
berseru memanggilnya tadi, Ceng Bo sudah menyambutnya
dengan dingin2 saja, sepatahpun tak mau dia
menyahutinya.
Dari kakek gurunya, Ang Hwat cinjin, The Go pernah
diceritakan tentang kesaktian tokoh yang bergelar Hay-tekau
itu. Dia yakin, gelar „Hay-te-kau" itu tentu berdasarkan
bahwa ilmu air dari tokoh tersebut tentu lihay sekali. Kalau
menempuh jalan kekerasan, rasanya ke 300 serdadu pilihan
diatas perahu itu, tentu bukan tandingannya Hay-te-kau
(Naga dari dasar laut). Malah dirinya sendiri pun pasti
takkan terluput dari kebinasaan. Satu2nya siasat yang tepat,
yalah dengan gunakan diplomasi lidah, agar tokoh itu
jangan sampai unjuk kekerasan. Setelah rencananya tetap,
dengan langkah lebar majulah The Go kemuka. Begitu
memberi hormat dengan membungkuk, dia berseru
lantang2: “Karena tak mengetahui akan kunjungan lopeh
(paman) kemari, maka siaotit (keponakan) telah berlaku
kurang hormat menyambutnya. Harap lopeh suka memberi
maaf sebesar2-nya!"
Demi tampak Bek Lian berdiri berendeng dengan siorang
she The, Ceng Bo siangjin sudah dapat menduga apa yang
telah terjadi. Bahwa siorang she The menyebutnya „lopeh"
dan membahasakan dirinya sebagai „siaotit" itu bukan
meredakan hatinya, sebaliknya malah makin mengobarkan
hawa kemarahannya. Tapi sebagai seorang pertapa yang
saleh, tak mau Ceng Bo me-maki The Go. Tak mau dia
menghiraukan tegur salam penghianat itu, sebaliknya tcrus
bertanya kepada Bek Lian: „Apakah artinya ini?"
Nampakh wajah sang ayah makin suram dengan
bengisnya, Bek Lian bercekat. Selama 19 tahun lamanya
melayani sang ayah, belum pernah ia menampak wajah
sang ayah sedemikian murkanya. Kalau bercerita terus
terang, tentu takkan mendapat keampunan lagi.
Belum berapa hari Bek Lian turun gunung, disana sini
orang2 persilatan sama bercerita bagaimana pada 10 tahun
berselang ayahnya itu sangat memusuhi sekali akan segala
kejahatan. Nama Hay-te-kau cemerlang diangkasa
persilatan. Dunia penjahat menjadi tergetar, apabila
mendengar disebutnya nama Hay-te-kau itu. Tapi
mendadak sontak jago pemberantas kejahatan itu lenyap
dari pergaulan ramai, seolah2 telah padam api
perjuangannya, lalu masuk menjadi imam. Hal mana telah
menimbulkan keheranan dikalangan persilatan pada
umumnya.
Diam2 Bek Lian bercekat hatinya. Kalau saja apisemangat
ayahnya itu berkobar pula, dia pasti takkan
mempedulikan ikatan ayah dan anak, sanak atau kadang
lagi. Tapi bagaimana lagi, hatinya (Bek Lian) telah tertawan
oleh sianak muda, tak dapat ia melawan suara kalbunya itu.
Maka sampai sekian saat timbullah pertentangan hebat
dalam batinnya.
“Lekas bilang!" bentak Ceng Bo.
Pada saat itu keadaan Bek Lian serba salah, maju celaka
mundur tersiksa. la melirik kearah The Go, tapi sianak
muda itu tak mau melihatnya. „Ah, rupanya engkoh Go tak
mau dilihat ayah kalau dia yang bermaksud memikat aku.
Ini adalah untuk kebaikanku sendiri. Ah, sial amat,
mengapa baru beberapa hari aku berbahagia didamping
engkoh Go, ayah sudah lantas datang mengadu biru.
Agaknya harapanku untuk berdamping selama-lamanya
dengan engkoh Go akan buyar!" demikian Bek Lian menimang2
dalam hatinya. Bagi hati yang menyinta, memang
segala tingkah dan sikap dari jantung hatinya itu hanya
dipandang dari sudut yang baik saja. Pada hal sebenarnya
mengapa The Go tak mau memandangnya tadi, adalah
karena kelicinannya. Melihat sikap Ceng Bo siangjin yang
bengis itu, tahulah The Go urusan bakal menjadi runyam
apabila dia dituduh membawa lari gadisnya. Maka
bersikaplah dia sedemikian rupa, agar Ceng Bo tak
menyangka begitu. Ha, licin betul si Wajah Seribu itu.
„Tia…………." tiba2 Bek Lian mengucap, tapi belum
sempat ia menyelesaikan kata2nya
Ceng Bo sudah menukasnya : “Hm…………"
Bek Lian tertegun sejenak, lalu memaksa berkata lagi:
„Tia, aku aku………"
Sebenarnya Bek Lian hendak mengatakan „aku cinta
padanya", tapi sebagai seorang gadis sudah tentu tak dapat
ia mengucapkan kata2 itu dihadapan sekian banyak orang.
Malah seketika itu wajahnya menjadi merah dan
menundukkan kepala.
“Hai, anak keparat………..! Anak keparat…………!"
hanya begitu Ceng Bo dapat menghamburkan
kemarahannya, karena dia segera berpaling untuk menanya
The Go: „Cian-bin Long-kun, dalam orang2mu itu apakah
ada serdadu Ceng?"
The Go tersentak kaget atas ketajaman mata Ceng Bo.
Hendak dia menyangkal atau tiba2 dari sebelah belakang
terdengar suara seruan keras: „Hai, tosu, perlu apa kau
datang kemari ?"
Amboi, itulah si Po Tho, thongleng dari pasukan Ceng,
siapa masih tetap mengenakan pakaian seragam dan
kuncirnya terkulai dibelakang. Cepat2 The Go delikkan
mata kepada opsir Ceng itu seraya memaki dalam hati:
„Manusia yang bosan hidup !"
GAMBAR 19
Sekali Ceng Bo Siangjin ayun tangan, perwira Ceng Itu
dilemparkannya kelaut dalam keadaan menjerit2.
Tanpa banyak bicara, Ceng Bo melesat kesamping Po
Tho, sekali ulurkan tangan dia segera seret opsir Ceng itu
kepinggir geladak. „Tolong!" Po Tho men-jerit2 seperti babi
hendak disembelih, tapi siapa yang berani menolongnya.
Sekali Ceng Bo mendorong, maka tubuh si Po Tho segera
terlempar kedalam laut. „Mau pergi ke Kwiciu, ambil jalan
air saja !"
The Go ketar-ketir hatinya. Dia mengira, pantanganmembunuh
Ceng Bo siangjin sudah ditiadakan. Dan
siapakah yang sanggup melawannya? Kalau dia berani
turun tangan, tentu akan tersapu oleh imam yang gagah
perkasa itu, dan ini berarti akan habislah seluruh
rencananya, demikian pikir The Go. Maka dia lalu mundur
beberapa langkah, siap hendak lolos dengan ceburkan diri
kedalam laut. Tapi tiba2 dia merandek. Dengan gelar „Hayte-
kau" (Naga didasar laut), tentu kepandaian air dari imam
itu ber-lebih2an. Dan karena berayal itu, Ceng Bo siangjin
sudah berpaling kepadanya : “Cian-bin Long-kun, kau
sebagai orang Han masakan tak ingat akan peristiwa 'Yangciu
10 hari' dan '3 kali penyembelihan rakyat Ka-ting' ? Kau
menjadi pengkhianat membawa tentara musuh ke Kwiciu,
bilanglah, hukuman apa yang harus kau terima !"
Kata2 Ceng Bo itu diucapkan dengan penuh semangat
keperwiraan, sehingga pada saat itu juga, Bek Lian
mengutuk perbuatan yang sedemikian hinanya itu. Teringat
bahwa orang yang berbuat khianat itu adalah jantung
hatinya sendiri, serta iapun turut membantunya, gemetarlah
tubuh Bek Lian.
Betapapun The Go itu biasanya pandai adu lidah,
namun hati nuraninya terasa berjengit juga mendengar
tuduhan yang begitu tajam itu. Saking gentarnya, dia
mundur lagi dua langkah, hingga kedekat tepi geladak.
Ceng Bo memburu maju. „Seorang laki2 berani berbuat
berani bertanggung jawab sendiri. Apabila sampai saatnya
memikul akibat perbuatannya itu hendak melarikan diri,
itulah keliru !"
Ditelanjangi habis2an, muka The Go pucat lesi. Melihat
itu Bek Lian terkesiap. Lupa bahwa setelah The Go, nanti
dirinyapun akan mendapat giliran dihukum sang ayah, ia
segera melesat berdiri dihadapan sianak muda, serunya:
„Tia, kau mau melukainya?"
---oo0dw0oo---
Ceng Bo melengak. Tak kira dia kalau puterinya telah
sekalap itu terang2an hendak melindungi The Go.
„Menyingkir sana!" bentaknya. Ternyata Bek Lian masih
belum seratus persen berani membangkang perentah
ayahnya, tapi iapun tak mau menyingkir jauh dari sang
kekasih, maka ia hanya bergeser sedikit disamping The Go.
Tapi kejadian itu, cukup memberi ilham pada The Go yang
penuh akal muslihat itu. Wajahnya tak mengunjuk
kecemasan lagi. Malah dengan ber-kipas2 sikapnya tenang
sekali. „Siangjin," serunya lantang, „memang benar
siaoseng memimpin pasukan Ceng masuk ke Kwitang. Tapi
puterimu pun ikut pada siaoseng menghadap Li congpeng
di Hokciu. Hukuman apakah yang akan dijatuhkan
padanya? Siangjin seorang yang penuh dengan pambek
perwira, maka siaoaeng hendak mohon pengajaran!"
Ceng Bo tahu kepandaian orang untuk menyerang
kelemahannya. Tahu pula dia bahwa orang she The itu
hendak menjual Bek Lian, tapi pikir punya pikir, dia benci
pada puterinya sendiri yang telah berbuat sedemikian
hinanya itu. Ini berarti, kalau hendak memberesi orang itu,
lebih dahulu harus memberesi puterinya sendiri. Sebaliknya
Bek Lian yang masih hijau dan baru pertama kali itu jatuh
cinta, beranikan diri untuk mengetuk perasaan sang ayah.
„Tia, apa yang dikatakan engkoh Go tadi benar. Aku
bersama dia menghadap Li Seng Tong di Hokciu."
Sedih dan murka perasaan Ceng Bo. Sedih melihat
tingkah puterinya yang tak senonoh itu, murka akan
kelicikan The Go. Orang semacam itu, kalau dibiarkan
hidup lebih lama, tentu akan mencelakai orang banyak.
Begitu ambil keputusan tetap, Ceng Bo perdengarkan
tertawa dingin: “Cian-bin Long-kun, kau bertanya
bagaimana aku hendak menjatuhkan hukuman kepada anak
itu? Baik, bukalah matamu, karena kau sendiripun tak nanti
dapat lolos!"
Habis berkata begitu, dia berpaling kearah Bek Lian.
Dengan memancarkan sorot mata ber-api2, dia membentak:
“Anak keparat, dalam urusan ini, apa kau masih tak tahu ?"
GAMBAR 20
Mengetahui puterinya berbuat serendah itu, dengan perasaan
cemas Ceng Bo Siangjin putar tubuh memandang jauh
kepermukaan laut yang luas.
Bek Lian teringat akan apa yang pernah diajarkan oleh
sang ayah, bahwa bangsa dorna dan penjahat itu, adalah
penyakit masyarakat. Apabila nanti turun gunung dan
bertemu dengan bangsa begitu, harus dibunuh demi untuk
kepentingan rakyat. Maka atas ucapan terakhir dari sang
ayah “apa tak tahu" itu, artinya harus menerima hukuman
berat. “Tia!" serunya dengan wajah pucat.
Ceng Bo berputar tubuh membelakangi Bek Lian. Jauh
memandang kepermukaan laut yang luas, dia kuatkan
hatinya, mendamprat: „Aku tak mempunyai anak
perempuan kau lagi, jangan panggil ayah padaku!" Habis
mengucap begitu, bagaimanapun kerasnya sang hati, tak
urung diam2 dia kucurkan air mata.
Pikirannya jauh melayang pada kejadian 10 tahun
berselang. Sejak isterinya, Kiang Siang-yan, lenyap tanpa
alasan apa2, dia sayang Bek Lian sebagai nyawanya sendiri.
Kala itu Bek Lian baru berumur 9 tahun. Dengan penuh
kasih sayang, diarawat dan mengasuh puterinya tunggal itu
hingga sampai menanjak usia remaja. Bahwa buah daripada
jerih payahnya itu ternyata sedemikian pahitnya, benar2 dia
tak menyangkanya! Kelemahan itu telah dipergunakan oleh
The Go untuk mendesak Ceng Bo.
Mendengar ucapan sang ayah itu, pecahlah tangis Bek
Lian tersedu sedan. Cepat2 ia berlari hendak menubruk
ayahnya, tapi Ceng Bo kibas2kan tangannya kebelakang,
sehingga seperti disamber oleh tenaga kuat, Bek Lian
merandek tak bisa maju. „Tia, aku adalah anakmu! Aku ini
anakmu!"
Hati Ceng Bo seperti di-sayat2 tapi demi jangan sampai
dilihat oleh The Go yang dibencinya itu, dia pakai lengan
bajunya untuk mengusap air matanya, kemudian dengan
tawar berkata: „Anakku, tentu takkan bersekongkol dengan
bangsa penjajah asing, kalau berbuat berarti lebih berat dari
10 kedosaan!"
„Aku aku cinta pada engkoh Go, apakah salahnya aku
bersama dia pergi ke Hokciu itu?" Bek Lian ter-sedu2
bertanya.
Tanpa menoleh lagi, Ceng Bo berseru: „Lekas bereskan
dirimu sendiri, jangan jangan sampai aku….. turun tangan!"
Sampai disini, karena teringat bahwa puterinya nanti tentu
meninggal, dia menghela napas panjang, lalu berkata pula:
“Kalau dalam kematianmu itu kau tak dapat memejamkan
mata, biarlah nanti kubalaskan sakit hatimu itu!"
Dengan mulut sang ayah mengucapkan „kematianmu"
itu, Bek Lian tersentak semangatnya, ia ter-longong2
sampai lupa menangis lagi. Hati Ceng Bo pada saat itu
seperti di-remasl. Karena tak mendengar suara Bek Lian
lagi, hatinya gentar, terus berbalik tubuh kebelakang. Demi
tampak Bek Lian tak kurang suatu apa, dia menarik napas
longgar. The Go yang licin itu, cepat dapat mengetahui isi
hati Ceng Bo yang masih tetap tak tegah kepada puterinya
itu. Tanpa berayal lagi, dia segera berkata seorang diri:
“Harimau yang buas takkan memangsa anaknya. Mengapa
karena hendak mengunjukkan kegagahan sesaat, lalu
meninggalkan penyesalan besar!"
Ceng Bo merasa terkena dengan ucapan itu. Memang
pada saat itu, timbul pertentangan hebat dalam batinnya,
antars, cinta dan benci. Kemauannya menyuruh Bek Lian
bunuh diri, tapi hatinya tak tegah melihat darah dagingnya
itu sampal mengalami nasib yang sedemikian mengenaskan
itu. Kembali dia menghela napas lagi, matanya memandang
lekat pada Bek Lian tapi mulutnya membisu tak ber-kata2.
Tahu kalau ada setitik harapan tertolong, silicin The Go
batuk2 sembari tertawa. Hendak dia bicara lagi, tapi Ceng
Bo telah keburu delikkan mata kepadanya, se-olah2
memperingati bahwa sekalipun dia dapat memaafkan
puterinya, tapi tak dapat memberi ampun kepadanya. Tapi
pada lain kilasan, dia teringat akan pengakuan Bek Lian
tadi ia iktut The Go ke Hokciu, sehingga membuatnya serba
susah. Tapi demi memikirkan betapa penderitaan rakyat
Kwitang apabila tentara Ceng datang, dia mendamprat
dirinya sendiri. Berapa banyak orang2 tua yang akan
kehilangan putera-puterinya, berapa banyak gadis2 dan
wanita2 yang akan tercemar kehormatannya nantinya?
Adakah hanya karena memikirkan kepentingan Bek Lian
seorang, maka dia tegah membiarkan seluruh rakyat
Kwitang menderita kesengsaraan sebesar itu ?
Liangsim (nurani) Ceng Bo tergugah lagi. Tapi karena
tak tegah melihat puterinya mati secara mengenaskan itu,
kembali dia berputar tubuh dan serunya dengan suara
sember: „Jangan berayal, lekas habisi jiwamu!" Nada
ucapannya itu berat sekali, menandakan bagaimana
beratnya perasaan yang menindih hatinya.
Tadi The Go sudah hampir bersorak dalam hati demi
melihat sikap Ceng Bo berobah tenang. Tapi tatkala dengan
tiba2 berobah beringas lagi, diam2 dia memaki siangjin itu
sebagai seorang yang kukuh. Sedang Bek Lian setelah
mendengar sang ayah mendesaknya lagi, segera
memandang kearah The Go seraya berseru: „Engkoh Go!"
Begitu merawankan sekali seruan itu, biarpun berhati
sekeras baja, orang pasti akan tergerak juga hatinya.
Sebaliknya tidak demikian dengan The Go. Demi
dilihatnya Ceng Bo masih membelakangi, dia segera
hendak bertindak. Baru dia hendak loncat kedalam laut,
tiba2 ombak laut berserak dan berbareng dengan bunyi
damparan ombak yang keras, sesosok tubuh loncat kedalam
perahu situ. Orang itu mengenakan pakaian seperti sisik
ikan. Begitu tangannya memegang buritan, dia segera
berjumpalitan loncat kegeladak.
Selain Bek Lian, kedua orang (The Go dan Ceng Bo
siangjin) yang berada digeladak perahu situ tadi, adalah
akhli2 air yang jempolan. The Go sejak kecil dibesarkan
dilaut.
GAMBAR 21
„Orang she The, kiranya kau berada disini!" seru Ciok Jisoh
seraya menyerang dengau rodanya yang bergigi.
Sedang gelaran Ceng Bo siangjin dahulu adalah Hay-teekau
Tapi demi nampak kepandaian orang tadi, keduanya
menjadi kesima. Yang paling jengkel, adalah The Go. Baru
saja dia mempunyai kesempatan untuk lolos, atau orang itu
datang mengadu biru, hingga kini Ceng Bo sudah berbalik
badan dan mengawasi padanya. Ketika diamat-amati
ternyata orang itu adalah Kim-kong-lun Ciok jisoh, siapa
begitu menginjak geladak lantas saja berseru: „Bagus, orang
she The tidak didarat, dilaut akhirnya kita berjumpa. Ha,
kiranya kau berada disini!" Habis berkata, ia perdengarkan
suara keheranan, serunya: „Hai, Ceng Bo siangjin,
mengapa kau bersama puterimu juga berada disini?"
Ceng Bo hanya perdengarkan jengekan saja, sebaliknya
The Go segera menegur: „Ciok jisoh, mengapa kau tak
berada di Kwiciu melindungi junjunganmu, tapi datang
kemari ?"
“Huh, apa itu melindungi junjungan. Aku sudah bukan
pembesar negeri lagi, tapi hendak mengarungi ujung dunia
untuk mencari orang she The!" Ciok jisoh tertawa dingin
seraya melepaskan senjata jit-gwat-lun dari ikatannya.
Begitu sepasang kim-kong-lun (roda baja) yang bergigi
tajam itu siap ditangan, berserulah ia: „Orang she The, kau
terlalu menghina orang. Biarpun aku bukan tandinganmu,
tapi aku tetap hendak adu jiwa dengan kau!"
Dari sikapnya itu, Ciok jisoh terang seorang wanita yang
berterus terang tanpa tedeng aling2. Kalau dia seorang pria,
kiranya mirip dengan watak tokoh hweshio Lou Ti-sim dari
kawanan Liang-san dahulu. Ceng Bo pun memuji dalam
hati, bahwa diantara keempat bajak laut itu, hanya wanita
she Ciok itu saja yang masih berpambek seperti orang
persilatan. Maka demi mendengar, wanita itu hendak
membuat perhitungan dengan The Go, Ceng Bo menunggu
dengan penuh perhatian. Pikirnya, apabila wanita gagah itu
sampai kalah, dia hendak membantunya.
Melihat kedatangan Ciok jisoh Itu, The Go mendapat
ketika untuk mengulur waktu lagi. Dengan ber-kipas2,
berserulah dia: „Ciok jisoh, bagaimana aku siorang she The
ini menghina orang she Ciok?"
Ciok jisoh tak mau menjawab dengan mulut, tapi begitu
melangkah maju, ia tikamkan kim-kong-lun ditangan kiri
kedada The Go, siapa cepat2 menangkisnya. Ciok jisoh
susulkan kim-kong-lun ditangan kanan kearah pundak
lawan. Tapi tanpa gugup, The Go ulurkan kipasnya untuk
menangkis, dan tepat kipas itu menancap ditengah gigi baja.
Dipasangnya gigi2 baja itu, memang khusus diperuntukkan
merebut senjata musuh. Maka lekas2 Ciok jisoh menarik
sekuat2nya kesamping kiri. Yakin ia kipas The Go pasti
akan tersentak jatuh. Tapi ternyata orang she The itu sudah
memperhitungkan kemungkinan itu. Begitu dilihatnya Ciok
jisoh menyentak kekiri, The Go sudah mencekal kencang
kipasnya untuk dibantingkan kesamping kanan. Jadi adu
kekuatan namanya.
Seketika Ciok jisoh rasakan tangannya kesemutan, kimkong-
lun hampir2 terlepas dari cekalannya. la coba
kendorkan sentakannya, untuk selekasnya menarik
kebelakang, pikirnya hendak lolos dari adu kekuatan itu.
Tapi justeru dengan begitu, tanpa disadarinya, ia masuk
keperangkap The Go. „Lepaskan!" kedengaran The Go
membentak seraya balik membanting kipasnya kekiri. Benar
juga, kim-konglun Ciok Jisoh terpental lepas, dan jatuh
terlempar kedalam laut.
Tapi se-konyong2 terdengar bunyi „trang” dari
beradunya logam dan kim-kong-lun itu mencelat balik
keatas perahu lagi. Sudah tentu, dengan sebatnya Ciok jisoh
menyanggapi. Belum hilang kekagetan orang2, atau muncul
pula seorang yang mengenakan pakaian kulit ikan yang
dengan enteng sekali loncat keatas geladak. Dibanding
dengan Ciok jisoh, gerakannya jauh lebih lincah.
Tangannya mencekat sebatang hi-ja (garu penusuk ikan)
yang berujung 3. Begitu tiba digeladak, ia memandang
kearah orang2, kemudian berseru keras: „Engkoh Go,
kiranya kau berada disini!" Setelah itu ia memberi salam
pada Bek Lian: „Taci yang baik, sukakah kau menyingkir
jauh sedikit dari engkoh. Go ?"
Kiranya itulah Lamhay hi-li Ciok Siao-lan.
“Moaycu (adik), orang yang tak kenal budi itu berada
disini, mengapa kita tak adu jiwa dengannya?" seru Ciok d
yisoh kepada adik iparnya.
Siao-lan hanya sebentar mengerlingkan mata kearah taci
iparnya, lalu maju beberapa tindak lagi menghampiri
kedekat The Go, serunya: „Sosoh, aku tak dapat
persalahkan dia tak kenal budi!"
Setelah pemimpin mereka si Po Tho dilempar Ceng Bo
kedalam laut, serdadu pilihan bangsa Ceng yang menyaru
jadi penumpang itu, sama ketakutan. Sekalipun yang agak
bernyali, toh paling banyak hanya berani memandapg saja.
Oleh sebab itu, kemudi kapal tak ada yang memegangnya.
Perahu terombang-ambing didampar ombak, dan makin
lama makin jauh dari kedua perahu yang tadi.
Seturunnya dari Giok-li-nia, Ciok jisoh dan Cyiok
SiaoIan tak mau kembali ke Kwiciu, melainkan kembali
kelaut untuk merawat luka Siao-lan. Luka Siao-lan cukup
berat, tapi setelah ditutup jalan darahnya oleh Kiau To dan
diberi sebutir pil mujijad sam-kong-tan, tak berapa hari
kemudian dapat sembuh juga. Pada hari itu, kebetulan
keduanya tengah pesiar dengan sebuah perahu kecil.
Melihat ada sebuah perahu besar terombang ambing tak
tentu arahnya, mereka menjadi heran. Disuruhnya Siao-lan
menjaga perahunya, lalu Ciok jisoh berganti pakaian air
menyelam kesana. Dan bertemulah tadi ia dengan The Go.
Melihat sampai sekian lama taci iparnya tak balik,
menyusullah Siaolan. Begitu melihat The Go, hatinya
sebesar gunung. Tapi serta dilihatnya Bek Lian juga berada
disitu, hatinya mendeluh sekali.
Mendengar kata2 sigadis nelayan itu, makin pedihlah
hati Ceng Bo. Sedikitpun tak mengira dia, kalau puterinya
sampai begitu tak tahu malu lagi. Ter-gila2 pada seorang
pemuda, itu sih masih mending. Tapi kalau turut rebutan
lelaki, ah ...... demikian Ceng Bo menghela napas panjang.
“Kalau jiwi (kalian berdua) tiada urusan apa lagi, harap
tinggalkan perahu ini," akhirnya dia meminta kepada kedua
orang wanita itu.
“Mengapa?" tanya Siao-lan dengan tangkasnya, atas itu
Ceng Bo tak mau banyak berdebat lagi, katanya dengan
suara berpengaruh: „Laki-2 dan perempuan itu,
bersekongkol hendak masukkan tentara Ceng ke Kwitang,
suatu perbuatan khianat yang tak dapat diampuni, maka
hendak kusuruh keduanya bunuh diri sendiri!"
“Hai, Ceng Bo sianjin, bukankah nona itu puterimu
sendiri?" tanya Ciok jisoh dengan keheranan.
“Benar, tapi ia telah melakukan perbuatan terkutuk itu.
Kecintaan kenal kasihan, tapi hukum tetap hukum!" sahut
Ceng Bo dengan keraskan hatinya, lalu berseru kepada The
Go: „Orang she The, setelah ia beres, jangan harap kau bisa
lolos!"
Wajah The Go pucat lesi. Tak tahu dia bagaimana untuk
menjawab ultimatum siangjin itu. Dilihat naga2nya,
siangjin itu sudah bulat tekadnya, anak kandung sendiri
tetap dihukum, apalagi dia? Pikirannya bekerja keras,
namun tak dapat dia mencari jalan keluar. Apa boleh buat,
terpaksa dia pura2 bersikap tenang saja. Ceng Bo masih
hendak mengatakan apa2, tapi Siao-lan tampak maju
kemuka, serunya: „Ceng Bo siangjin, ilmu silatmu tinggi,
itu aku tahu. Tapi apapun alasanmu hendak menganiaya
engkoh Go, jika aku masih bernapas, tentu kau takkan
dapat."
Kata2 itu diucapkan dengan yakin sekali oleh Siao-lan.
sampai2 Ceng Bo melengak, sahutnya: „Kau tak
bersekongkol dengan tentara Ceng, buat apa menghendaki
jiwamu?"
“Kalau kau hendak membunuh engkoh Go, lebih dahulu
harus melangkahi bangkaiku!" balas Siao-lan.
Sejak menyucikan diri menjadi imam, sebenarnya Ceng
Bo memegang pantangan membunuh. Hanya karena
menganggap urusan kali ini teramat besarnya, dimana
menyangkut keselamatan rakyat kedua wilayah Kwitang
dan Kwisay, maka dia terpaksa melanggar pantangan itu.
Atas pernyataan Siao-lan tadi, dia tampak merenung. Selagi
dalam keadaan begitu, tiba2 terdengarlah suara gedabrukan
yang dahsyat sekali, disusul dengan goncangan yang hebat.
Andaikata orang2 dalam perahu tak pandai ilmu silat, pasti
mereka akan terbanting jatuh. Sudah tentu semua orang
menjadi terkejut sekali, termasuk Ceng Bo juga. Hanya
Siaolan saja yang masih tampak tenang. Meskipun geladak
perahu itu terombang-ambing keras, tapi ia tetap
menghampiri kedekat The Go untuk memberi tahu:
„Engkoh Go, perahu telah menubruk karang, jangan takuti
imam tua itu lagi!"
Dua macam perasaan timbul dalam hati The Go, girang
dan gelisah. Girang karena dengan kejadian yang tak
terduga itu, dia ada harapan besar dapat lolos dari tangan
siimam. Gelisah sebab urusan yang dikerjakan itu, telah
menemui halangan. Entah berapa jauhnya dari daratan,
yang nyata kini mereka berada ditengah lautan besar.
Sekalipun ilmunya diair lihay, tapi rasanya dia pasti akan
mati kelelap dalam laut itu. Pikiran itu juga terdapat dalam
pikiran semua orang yang berada didalam perahu situ,
kecuali Bek Lian seorang yang tak pandai berenang.
„Engkoh Go!" serunya dengan cemas.
„Lian-moay, jangan takut! Ada aku disini, biarkan
perahu tenggelam, nanti akan kubawamu berenang!" sahut
The Go dengan gagahnya, dan politik itu telah termakan
dalam hati Ceng Bo, siapa diam2 berpikir: „Dia rupanya
sungguh2 menyinta Bek Lian. Kata orang 'dalam kesusahan
terlihatlah hati orang'. Dia rela membawa renang Lian-ji,
bukankah itu suatu tanda kecintaannya pada Bek Lian ?"
Habis menyahut tadi, The Go diam2 melirik kepada
Ceng Bo. Tahu siangjin itu merenung, kembali dia berkata
lagi kepada Bek Lian: „Lian-moay, kemarilah. Mati kita
bersama, hidup kita bersama!"
Ucapan itu makin menyentuh hati Ceng Bo, pikirnya:
,.Kalau kelak mereka dapat kembali kejalan yang benar,
rasanya tak layak untuk menceraikan mereka hidup2-an."
“Taci yang baik, kalau kau berani mendekati engkoh Go
Iagi, jangan persalahkan aku berhati kejam," tiba2 Siaolan
menyeletuk.
Benar Bek Lian cinta pada The Go, tapi belum sampai
hatinya berlaku terang2-an seperti Siao-lan itu. Gadis hitam
itu dibesarkan dilaut, jadi wataknya pun kasar terus terang.
Sudah tentu Bek Lian tak mau meladeni adu mulut, hanya
karena disebabkan soal seorang lelaki saja. Maka sejenak itu
ia diam saja. Tapi The Go yang perlu untuk mencari muka
pada Ceng Bo yang agak sudah terpikat hatinya itu, cepat
menarik senjata garu Siao-lan, hingga nona itu ter-huyung2
beberapa tindak jauhnya. Dengan langkah lebar The Go
segera menghampiri Bek Lian, sebaliknya lalu mendamprat
Siao-lan: „Budak hina yang tak tahu malu, aku sudah
terikat janji sehidup-semati dengan Lian moay, mengapa
kau selalu mengerecoki saja?!"
Siao-lan melengak kesima, serentak ia menubruk kepada
Ciok jisoh, menangis ter-lara2: „Sosoh, ternyata engkoh Go
tak mau pada aku, dia ambil lain orang menjadi isterinya!"
Pikir Ciok jisoh hendak menasehati adik iparnya itu, tapi
dari dalam ruang perahu rombongan serdadu Ceng
berdesak2-an keluar, sembari men-jerit2: „Air sudah masuk,
air sudah masuk!"
Baru kini semua orang sama insyaf bahwa setelah terjadi
goncangan hebat tapi perahu itu tetap tenang saja, adalah
karena sedang tenggelam dengan pe-lahan2. Geladak yang
sesempit itu, sudah tentu menjadi penuh sesak dengan
ratusan orang yang desak mendesak tak keruan. The Go
murka, wut, wut, dua kali dia menghantam. Beberapa
serdadu yang mendesak kedekatnya, telah terpental
kebelakang, menjatuhi kawan2nya lain, dan kawan2 itu
menjatuhi lagi yang dibelakang. Dengan begitu segera ada
beberapa orang yang kecemplung dalam laut. Adalah
karena kepanikan Orang2 itu, maka tubuh perahu menjadi
miring lagi, hingga serdadu2 itu sama ter-huyung2 kesana
kemari seperti gabah ditampi (diinteri).
“Engkoh Go, dalam kehidupan kita sekarang ini, adalah
benar2 kita selalu bersatu?" bisik Bek Lian merayu.
„Sudah tentu, Lian-moay!" sahut The Go sembari
memegang tangan sinona.
Mendadak perahu bergoncang lagi dengan hebatnya,
sehingga karena miring maka ada sejumlah besar serdadu2
Ceng yang terlempar lagi kedalam laut. Sisanya sama bergegas2
menurunkan perahu sekoci (perahu penolong
bahaya, terus berebutan naik kedalamnya. Dalam
kepedihannya, Siao-lan tak menghiraukan segala apa,
sementara Ciok jisoh yang tumpahkan perhatiannya untuk
menasehatnya juga tak mempedulikan orang itu, Ceng Bo
siangjin yang memikirkan soal puterinya dengan The Go,
juga ter-mangu2. Hanya The Go sendiri yang cepat dapat
menginsyafi keadaan berbahaya itu. Karena perahu2 sekoci
sudah dipakai oleh secdadu2 Ceng tadi, dia terkejut dan
mengeluh keras. Ciok jisoh tersadar karenanya, cepat dia
hendak meronta dari pelukan Siao-lan untuk mengejar
kelaut, tapi seperti orang gila, Siao-lan tetap merangkul
iparnya, seraya me-ratap2: „Engkoh Go, jangan pergi,
jangan pergi! Kau tetap bersamaku saja!" Ciok jisoh tahu
bahwa adik iparnya itu sudah ber-tahun2 ter-gila2 pada The
Go. Kejadian tadi, adalah yang paling menggoncangkan
batinnya, hingga ia seperti orang linglung tak waras pikiran.
Jalan yang terbaik, yalah lekas2 singkirkan nona itu dari
situ. Cepat ia mengambil putusan, cepat pula ia bertindak.
Sang adik ipar dirangkul pinggangnya, sekali enjot sang
kaki, keduanya segera melayang masuk kedalam laut.
Blung........ tahu2 ketika muncul lagi dipermukaan air,
mereka berdna sudah 4 atau 5 tombak jauhnya. Dalam
sekejab saja. Ciok jisoh sudah dapat mengejar perahu sekoci
tadi. Dengan membolang balingkan kim-kong-lun, serdadu
yang berada disitu sama kecemplung kedalam air. Cepat
Ciok jisoh angkat iparnya kedalam sekoci, laksana anak
panah cepatnya, ia mendayung kemuka. Sebentar saja
lenyaplah sudah.
Kini yang masih tinggal didalam perahu besar, hanya
Ceng Bo siangjin, The Go dan Bek Lian. The Go makin
gelisah demi dilihatnya Ciok jisoh sudah kabur, dan tiba2
dirasanya sang kaki menjadi dingin, hai...... kiranya air laut
audah merangsang keatas geladak situ. Ketika The Go
berseru kaget, air dengan cepatnya sudah naik kelutut.
Dalam waktu yang singkat, terang perahu itu pasti kelebuh.
Ditatapnya Bek Lian, tapi tampaknya nona itu juga terlongong2
mengawasi padanya.
“Siangjin, perahu sudah hampir tenggelam. Lian-moay
tak bisa berenang, bagaimana daya Siangjin sekarang?"
tanyanya memberanikan diri.
Setelah merenung sejenak, Ceng Bo balas bertanya:
„Cian-bin Long-kun, sudah berapa lama kau kenal dengan
Lian-ji ?"
The Go melengak, tak tahu apa maksud orang dengan
bertanya begitu. Tapi dia tak berani diam saja, sahutnya:
Baru 4 atau 5 hari saja."
“Kalau begitu, kalian ini begitu ketemu sudah saling
jatuh hati?" kata Ceng Bo pula, kemudian diam merenung.
The Go tahu siasatnya mencari muka pada Ceng Bo
dengan jalan bersikap begitu menyayang sekali kepada Bek
Lian, telah dapat mendobrak nurani imam itu. Kini dalam
saat2 yang seperti telor diujung tanduk berbahayanya itu.
nampaknya sikap siimam sudah berobah. Malah siapa tahu,
imam Itu berkenan juga menjodohkan puterinya dengan dia
nanti. Dengan penimangannya itu, cepat The Go merobah
haluannya: „Lopeh, sejak siaotit pertama berjumpa dengan
Lian-moay, kami berdua sudah saling menyinta. Adalah
karena kegelapan pikiran siaotit, maka siaotit hendak
mengundang tentara musuh sehingga Lian-moaypun turut
kerembet ........."
“Engkoh Go, aku kedinginan!" tiba2 Bek Lian berseru
memutus omongan orang. Memang tampak oleh The Go,
bahwa air sudah merangsang kebatas pinggang. Buru2 dia
angkat Bek Lian.
„Bawalah Lian-ji keatas tiang besar, aku ada omongan
denganmu!" kata Ceng Bo Siangjin.
GAMBAR 22
„Bawalah Lian-ji keatas tiang kapal, ada yang hendak kutanya
padamu:" kata Ceng Bo Siangjin, yang lututnya sudah kerendam
air laut.
The Go tak berani berlaku ayal. Dengan sebelah tangan
memanggul Bek Lian, sebelah tangannya lagi memegang
tiang perahu. Sekali enjot sang kaki, tubuhnya melesat
keatas tiang besar itu.
---oo0dw0oo---
BAGIAN 6 : WANITA BERAMBUT
PANJANG
Begitu The Go sudah naik keatas tiang perahu. Ceng Bo
siangjinpun enjot tubuhnya menyusul. Perahu itu be-rayun2
masuk kedalam air, tapi baru beberapa meter tiba2 berhenti
tenggelam. Heran Ceng Bo dibuatnya. Terang kalau tempat
situ adalah ditengah lautan besar, tapi mengapa sedangkal
itu? Dalamnya tak sampai dua tombak saja. Karena masih
mempunyai urusan, jadi dia tak mau banyak pikirkan hal
itu. Mengawasi kearah Bek Lian, didapati anak itu sudah
merasa bena22 cintanya kepada The Go. Sekalipun
pakaiannya sudah basah kuyup dengan air, namun tampak
nya seperti tak menghiraukan sama sekali. Malah pada saat
itu ia tengah bantu membereskan kain kepala The Go.
„Lian-ji," akhir-nya Ceng Bo siangjin berseru dengan
didahului oleh helaan napas yang panjang.
„Ayah, kau mau menyebut aku Lian-ji (anakku Lian)
lagi apa engkau tak marah?" Bek Lian angkat mukanya
menyahut.
„Ah, Lian-ji, kalau kau tak berbuat kesalahan besar,
tentu aku takkan semarah tadi. Ketahuilah, soal perkawinan
itu bukan macam permainan kanak2. Kau hanya 5 hari
mengenalnya, mana mengetahui hatinya? Mari ikut pulang
dulu, kelak kita rundingkan lagi!"
Girang The Go bukan kepalang. Ini berarti dia diberi
jalan lolos, bisa melanjutkan rencananya lagi, kembali dulu
ke Hokkian untuk mengambil bantuan tentara. Buru2 dia
memberi isyarat dengan ekor mata kepada Bek Lian, agar
suka menurut perentah ayahnya itu. Tapi ternyata gadis itu
sudah kelebuh didasar laut asmara. Berat sekali rasanya.
untuk berpisah dengan sang jantung hati lagi. Maka tanpa
sangsi lagi, menyahutlah ia: „Ayah, dalam beberapa hari ini
saja, cukup sudah kuketahui bagaimana kecintaan engkoh
Go kepadaku. Mengapa harus menunggu beberapa tahun
lagi ?"
„Lian-ji, mengajak kau berhamba pada bangsa asing
sehingga kau bakal dicaci oleh rakyat sebagai penghianat,
itu yang kau namakan menyinta padamu? Kalau tak
menunggu beberapa tahun lagi untuk menilik bagaimana
perjalanan orang itu, bagaimana kudapat menyerahkan
nasibmu kepadanya?" tegur Ceng Bo dengan geram.
Bek Lian terbungkam oleh dampratan tajam dari
ayahnya itu. Dia memandang sayu kepada The Go dengan
harapan agar sang kekasih itu mencarikan daya. Siapa tahu,
The Go malah pura2 tak tahu akan maksud Bek Lian itu,
ujarnya: „Apa yang dikatakan siangjin itu tepat sekali.
Memang perlu dinantikan, adakah perbuatan The Go nanti
dapat dianggap sebagai ksatrya. Lian-moay, tunggulah tiga
empat tahun lagi, dan buktikanlah bagaimana peribadiku
nanti!"
"Cian-bin Long-kun, dalam usiamu semuda itu, kau
sudah memiliki ilmu silat yang bagus. Perjalananmu tentu
penuh dengan pengalaman2 yang besar, harap saja kau berhati2!"
kata Ceng Bo sembari menatapnya.
"Huh, menjemukan sekali imam ini, merusak rencanaku.
Kelak kalau ada kesempatan berjumpa lagi, rasai sendiri
kau!" The Go mendamprat dalam hati, namun Iahirnya dia
bersikap menerima kasih sekali atas nasehat Ceng Bo itu,
maka ber-ulang2 dia mengangguk, kemudian menyahut:
"Wanpwe akan selalu ingat nasehat siangjin yang berharga
itu!"
„Lian-moay, peganglah sendiri tiang ini dan berhati2lah!"
katanya kepada Bek Lian.
„Tunggu! Cian-bin Long-kun ingatlah, kelak apabila
kudengar berita2 buruk tentang dirimu, biarpun kau
mengumpat diujung dunia, tetap akan kukejar!" Ceng Bo
siangjin memberi peringatan yang terakhir kepada The Go.
Kebencian The Go terhadap siangjin itu, sudah
memuncak. Namun karena insyaf bukan tandingannya,
terpaksa dia telan perasaannya. Biarkan saja imam itu
berkata apa saja, pokok asal dia bisa lolos dulu. Maka berulang2
dia mengiakan saja.
„Engkoh Go, apa kau sungguh2 hendak pergi?" tanya
Bek Lian demi diketahuinya anak muda itu hendak berlalu.
„Mana aku berani melanggar perentah siangjin?" sahut
The Go dengan berat hati. Tapi baru saja kata2nya itu
keluar, atau tiba2 telah disambut dengan suatu seruan yang
tajam menusuk telinga: „Hm, lagi2 ada seorang manusia
yang tak berguna, sehingga tegah hati pada orang yang
dicintai!"
Seruan yang sinis itu, telah membuat ketiga orang yang
berada diatas tiang perahu menjadi tersirap kaget. Yang
paling kaget, adalah Ceng Bo siangjin. Sebagai „Hay-teekau"
atau Naga dari dasar laut, hebatlah kepandaiannya
dalam ilmu air, hebat pula dalam ilmunya silat. Benar
ketika itu suasana gempar karena gemuruh ombak, namun
tahu2 bisa datang tanpa diketahuinya, lihaylah kepandaian
orang itu. Ilmunya mengentengi tubuh pasti jempol sekali.
Maka cepat Ceng Bo memandang kearah datangnya suara
itu, dan ah, tampaklah seorang wanita bergantungan
menggelandot pada tiang perahu yang berada disebelah
muka. Rambut wanita itu panjang terlepas, sehingga
wajahnya tak dapat dilihat jelas karena hampir ketutupan.
la mengenakan pakaian keper warna abu2. Sedangkan
warna rambutnya itupun kusam ke-abu2-an. Kalau hanya
sepintas pandang saja, orang bisa keliru menyangka, itulah
sebuah layar abu2 yang berkibar pada tiang perahu.
Ceng Bo menggali lubuk pengalamannya didunia
persilatan, tapi tetap tak dapat mengenal siapakah wanita
berambut panjang itu. „Siapakah ini?" tanyanya.
Wanita aneh itu menyambut pertanyaan orang dengan
tertawa ter-kekeh2 seram, hingga membuat bulu roma The
Go dan Bek Lian menjadi berdiri. Keduanya sudah
kedinginan karena pakaiannya basah kuyup, kini masih
menggigillah rasanya.
„Sudah tentu kau tak kenal padaku. Tapi siaoko (engkoh
kecil) ini, bukankah anak murid Ang Hwat cinjin dari gereja
Ang Hun Kiong di Ko To San?" sahut wanita itu seraya
balas bertanya.
The Go melengak. Tiba2 dia seperti kenal suara itu
sebagai yang dijumpainya ketika digua tengah rimba
dahulu. Kalau dahulu dia hanya merasa aneh dan tak
berkesempatan melihat wajahnya, kini hatinya menjadi jeri
demi melihat wajahnya. Kalau bukan ditengah hari,
mungkin dia akan sudah mengira kalau wanita berambut
panjang yang datang perginya tanpa bersuara itu, sebagai
sesosok setan. „Hopwe memang begitu," sahutnya tersipu2.
Sepasang mata siwanita itu memancar ber-api2, dan
sekilas teringatlah The Go, ketika digua dahulu dia telah
keliru menyangkanya sebagai sorot mata Bek Lian. Diam2
heranlah dia, mengapa wanita itu bisa datang kesitu
sedangnya perahu tengah membentur karang ditengah laut?
Dari manakah ia itu? Dan teringat pula akan
pengalamannya ketika di Hokciu, pada suatu pagi
bertanyalah Bek Lian dengan ke-malu2-an apakah dia (The
Go) tadi malam memberinya tutup selimut. Kala itu dia
kira kalau Bek Lian mengigau, maka tak begitu dihiraukan.
Kini dia yakin tentu siwanita aneh inilah yang
melakukannya. Jadi terang selama perjalanannya dari
gunung Hoasan (goa), wanita itu tetap menguntit sebagai
bayangan. Mengapa ia berbuat begitu? Mungkinkah ia itu
masih terikat hubungan dengan Bek Lian ? Tapi biar
bagaimana, kepandaian wanita itu sudah mencapai batas
yang sukar diukur dalamnya.
Memikir akan kesemuanya itu, diam2 The Go bersyukur
bahwa selama dalam perjalanan itu dia tak sampai berbuat
yang tak senonoh terhadap Bek Lian serta selalu rukun berkasih2an
saja.
Karena sudah sekian lama menggelandot pada tiang
perahu, maka Bek Lian rasakan tangannya kesemutan.
Tidak demikian dengan Ceng Bo siangjin atau The Go yang
ilmu silat nya lebih dalam. Karena kecapean, Bek Lian
bersandar pada The Go siapapun lalu memegangi pundak
sinona.
„Kau hendak bersama nona ini ......... sehidup-semati,
bukan ?" tanya wanita itu pula.
„Kami berdua sudah saling memateri janji .......... "
„Tapi mengapa kau tadi hendak tinggalkan ia?" tanya
siwanita memutus omongan orang.
Dalam pikiran The Go yang penuh tipu muslihat itu,
segera terkilas sebuah rencana. Wanita itu berbeda
fahamnya dengan Ceng Bo, kalau dia adu dombakan
supaya bertempur, tentu dia akan memperoleh jalan lolos.
„Locianpwe," sahutnya setelah mempunyai ketetapan,
„houpwe se-kali2 tak ingin berpisah dengan Lian-moay.
Hanya totiang inilah yang mengatakan kalau tingkah laku
houpwe ini kurang baik, maka disuruh menunggu lagi
sampai 3 tahun. Karena malu hati, houpwe terpaksa hendak
tinggalkan Lian-moay!"
Karena dikatakan manuaia yang tak berguna tadi, maka
The Go hendak membela diri dan menimpahkan kesalahan
itu kepada Ceng Bo.
"Kutahu, hatimu itu bukannya buruk. Orang muda
siapakah yang tak menginginkan kemajuan? Seorang
pemuda memang harus berbuat begitu." ujar siwanita itu
dengan tertawa dingin. „Hanya sipengecut sajalah yang tak
berani mengadu jiwa untuk kepentingan orang yang dicintai
nya.......... !
The Go girang dan terperanjat. Girang, karena faham
wanita itu berlawanan dengan si siangjin dan rupanya ilmu
kepandaiannya tak dibawah si siangjin itu. Terperanjat,
karena dengan kata2 wanita aneh itu telah mengintilnya
selama dalam perjalanan tempo hari. Sesaat dia menatap
kearah Bek Lian, siapa tampaknya tengah merenung
kepada siapakah ia hendak jatuhkan pilihannya: turut ayah
atau ikut kekasih? Dalam hati Bek Lian timbul suatu
perasaan aneh. Sejak munculnya siwanita aneh itu,
walaupun wajah dan suaranya tak menyenangkan, tapi
serasa ia senang sekali mendengarkannya.
Menilik sikap The Go yang begitu menyayang selama
berhadapan dengan ancaman sang ayah dan elmaut mati
kelelap tadi, Bek Lian sudah mendapat kesan bahwa The
Go itu bukan seorang yang culas (palsu) dan pengecut.
Walaupun dalam hubungannya dengan The Go nanti ia
tentu menerima umpat caci dari orang banyak, namun ia
sedia juga untuk mengambil resiko itu. Kini mendengar
siwanita aneh itu memuji sang kekasih, sudah tentu berlebih2-
an syukurnya. Serentak ia dongakkan mukanya
kemuka untuk menatap siwanita itu, siapa nyana ternyata si
wanita berambut panjangpun tengah memandangnya. Tapi
begitu tertumbuk dengan sorot mata siwanita yang ber-apiitu,
Bek Lian terbeliak kaget.
Yang paling murka adalah Ceng Bo siangjin. Pertama,
kata2 „hanya sipengecut sajalah yang tak berani mengadu
jiwa untuk orang yang dicintainya" itu, menusuk sekali kehatinya.
Kedua, perbuatan khianat dari si The Go oleh
siwanita masih dianggap baik.
Karena tak kuat menahan hatinya, menyelutuklah Ceng
Bo dengan pertanyaannya yang tajam: „Tolong anda
memberi pengunjukan. Kalau bersekongkol dengan tentara
Ceng untuk memasukkannya ke Kwitang itu masih tak
boleh dianggap jahat, nah perbuatan apakah yang baru
pantas dinamakan jahat itu?"
Wanita aneh itu ter-kekeh2 mendongak keatas, lalu
tundukkan kepalanya. Sewaktu mendongak-tunduk itu,
rambutnya tampak kejut kuat sekali. Hal mana telah
membuat Ceng Bo heran. „Lwekang dari cabang perguruan
manakah yang sedemikian anehnya itu?" pikirnya. Tapi
sesaat itu, didengarnya siwanita aneh itu memberi
penyahutan: „Kalau seorang lelaki terhadap isterinya saja
tak mampu melindungi, adakah dia itu mampu untuk
melindungi negara? Segala ocehan yang muluk2 hanya
membuat orang tersenyum ewa saja!"
Kaget Ceng Bo pada saat itu, sukar dilukiskan. Tadi
sewaktu mendengar „tak mampu melindungi orang yang
dicintanya", dia sudah tersinggung. Kini demi mendengar
siwanita itu mengucap lagi „tak dapat melindungi isteri",
dia makin termenung. Teringat akan kejadian pada 10
tahun berselang, dimana isterinya telah menghilang tanpa
bekas, dia ter-longong2 seperti patung. Sebaliknya, siwanita
aneh itu kedengaran berkata kepada The Go: „Siaoko,
menilik kepandaianmu rasanya kau tentu mampu
melindungi orang yang kau cintai, mengapa kau tak lekas2
meninggalkan tempat ini?"
"Banyak terima kasih ...........
Belum lagi The Go dapat mengatakan „cianpwee", atau
Ceng Bo sudah menghela napas panjang dan bertanya
kepada siwanita: „Bagaimana anda tahu kalau aku tak
dapat melindungi isteri?"
Siwanita aneh tertawa dingin. Se-konyong2 dia gerakkan
tangannya menebas tiang perahu, krak .............. tiang
perahu itu telah kutung 3 meter panjangnya, begitu
disambuti terus dilontarkan keudara. Dan begitu kutungan
tiang itu jatuh kehadapannya, ia hantam lagi,
brak............... putuslah kutungan itu menjadi dua, lalu
jatuh kedalam laut. Yang paling mengherankan, tebasan
kedua tadi sedikitpun tak terdengar suara samberan
anginnya. Begitu kutungan tiang itu jatuh kedalam laut, ia
terus melesat loncat keatasnya.
Dengan gerak „kim kee tok lip" (ayam emas berdiri
dengan sebelah kaki), ia tegak diatas kutungan tiang yang
terapung timbul tenggelam itu. Tanpa menghiraukan
pertanyaan Ceng Bo, ia berseru kepada The Go: „Mengapa
tak lekas2 berlalu ? Dekat dengan orang begitu, apa
gunanya?"
The Go tak mau sia2kan ketika sebagus itu. Dengan
empos semangat, dia menekan sisa tiang perahu, kemudian
meminjam kekuatan tekanannya itu, dia rangkul Bek Lian
enjot tubuhnya loncat keatas kutungan tiang yang satunya.
Jarak Ceng Bo dengan The Go itu hanya lebih kurang satu
meter, kalau mau dapat dia menghadang. Tapi karena
masih ter-menung2 memikiri dampratan siwanita aneh „tak
mampu melindungi isteri" tadi, pikirannya me-layang2 jauh
pada pada peristiwa 10 tahun yang lalu.
10 tahun yang lalu, Ceng Bo siangjin masih sebagai Bek
Ing yang bergelar Hay-tee-kau. Dengan In Hong yang
bergelar Kiang Siang Yan (seriti diatas sungai), sebenarnya
adaIah suheng dan sumoay (saudara seperguruan). Karena
sama saling jatuh cinta, keduanya terangkap menjadi suami
isteri sampai 10 tahun lamanya. Mereka dikarunia seorang
puteri, Bek Lian, yang itu waktu sudah berumur 9 tahun.
Ketika itu Kiang Siang Yan In Hong sudah hamil lagi.
Sejak sepasang suami isteri itu menerima kepandaian dari
suhu dan subo, mereka berkelana didunia persilatan untuk
menjalankan dharma kebajikan. Selama itu, belum pernah
mereka menemui tandingannya.
Pada kala itu, mereka telah keliru diadu domba oleh dua
orang siaojin, maka bertempurlah keduanya melawan Tay
Siang Siansu dari gereja Liok-yong-si Kwiciu (guru Kiau
To). Pertempuran itu telah berlangsung dengan seru sekali,
hingga sampai satu hari dua malam belum putus. Baru
setelah Bek Ing mengeluarkan ilmu pedang to-hay-kiamhwat
dan In Hong menggunakan ilmu pedang boan-kiangkiamhwat
dan berkat ketajaman pedangnya masing2 yang
sakti itu, dapatlah mereka mengalahkan hweshio gagah itu.
Tapi walaupun menang, mereka telah mengalami
pengalaman yang pahit. Karena keliwat menggunakan
kekuatan, kandungan In Hong goyang dan akhirnya
mengalami keluron (gugur kandungan). Dan karena
keluron itu, In Hong banyak mengeluarkan darah, hingga
badannya lemah sekali. Untuk sementara, terpaksa mereka
menetap disebuah pondok dikaki gunung Lo-hou-san guna
beristirahat. Setiap hari, Bek Ing naik ke atas gunung untuk
mencarikan daun obat2an sang isteri.
Tapi peristiwa hebat telah terjadi. Pada suatu hari, ketika
Bek Ing pulang dari mencari obat, dilihatnya pintu pondok
(gubuk) terbuka lebar, sedang penerangan didalamnya
tampak sebentar suram sebentar terang. Dia terkejut karena
menduga tentu terjadi apa2 yang tak diinginkan. Secepat
kilat dia menobros masuk. Seorang tua kate yang rambut
dan alisnya sudah putih tampak sedang menyeringai
memandang In Hong. Demi menghampiri dekat,
diketahuinya sang isteri itu telah kena ditutuk jalan
darahnya sampai pingsan. Buru2 Bek Ing membuka jalan
darah sang isteri, siapa tak antara lama kemudian dapat
siuman lagi.
Sewaktu ditanya, orang kate itu ternyata seorang
linglung, maka tanpa bicara lagi Ceng Bo menempurnya.
Tapi kiranya orang tua kate itu „keras" sekali, hinggi
sampai sekian lama, belum bisa menang malah akhirnya
musuh dapat lolos. Pertempuran itu terjadi diluar pondok.
Sia2 mengejarnya, Ceng Bo kembali kedalam pondok, tapi
isterinya sudah menghilang. Cepat dia mencarinya, namun
tak berhasil. Sejak itulah dia berpisah dengan sang isteri,
hingga kini sudah 10 tahun lamania.
„Adakah aku dapat dikatakan seorang yang tak mampu
melindungi isteri? Peristiwa itu diluar dugaanku, serta
setelah pulang dari atas gunung baru kupergoki, mengapa
aku dituduh 'hanya orang pengecutlah yang tak berani
mengadu jiwa untuk kepentingan orang yang dicintainya'?"
demikian tanyanya seorang diri. Sampai sekian lama, tak
dapat dia menjawab pertanyaannya itu. Baru setelah
segelombang ombak mendamparnya, dia menjadi
gelagapan tersedar. Dia mengawasi kemuka, tapi ternyata
The Go, Bek Lian serta siwanita aneh tadi sudah lenyap
dari pandangannya.
Dia perdengarkan hembusan napas panjang. Jauh
memandang kelautan lepas, air laut bercahaya ke-emas2-an
ditimpa pancaran sinar Batara Surya, sekilas hatinya jauh
me-layang2. Selang berapa saat kemudian, baru dia tersadar
dan cepat- menabas tiang perahu. Sewaktu dia injak
kutungan tiang itu, dia merandek sebentar untuk
mengawasi sisa tiang perahu lainnya yang bekas ditabas
oleh siwanita aneh tadi. Demi melihat bekas tabasan itu,
mau tak mau dia geleng2 kepala.
Kiranya sisa tiang itu, ujungnya seperti ditabas rata
dengan golok. Menandakan bahwa sekalipun ilmu
kepandaiannya dengan siwanita aneh itu setingkat, tapi
berlainan sumbernya. Habis itu, Ceng Bo segera meluncur
dengan kutungan tiangnya, tapi bingung dia hendak menuju
kemana.
---oodw0tahoo---
Kini mari kita ikuti perjalanan The Go dengan Bek Lian.
Sewaktu kutungan yang ditumpanginya Au timbul
tenggelam. The Go yang membopong Bek Lian itu sudah
gulangguling tak dapat berdiri jejak. Sebaliknya dilihatnya
bagaimana siwanita aneh itu begitu anteng menumpaki
kutungan tiangnya. Bagai sebatang anak panah, ia
meluncur kearah utara. Tahu kini The Go, bahwa Iwekang
dari siwanita aneh itu telah mencapai tingkat yang tertinggi
hingga dapat menyalurkan kedalam air melalui sang kaki.
Hanya The Go merasa bersyukur demi tampak Ceng Bo
masih tertegun berdiam diri. Sekalipun begitu, dia masih
kuatir juga kalau siangjin itu akan mengejarnya. Dan kalau
kejadian begitu, terang dia pasti bakal kecandak.
"Lian-moay, coba keluarkanlah lwekangmu, sebaiknya
kita terjun kedalam air saja," katanya setelah memperoleh
daya. Bek Lian menurut. Begitulah keduanya kini tak
berdiri diatas kutungan tiang itu lagi, tapi terjun keair seraya
merangkul erat2 pada tiang itu. Ilmu air dari The Go amat
lihay, sekali kakinya menjejak kebelakang, maka
meluncurlah tiang itu dengan pesatnya kemuka. Tak berapa
saat saja, mereka sudah jauh dari perahu tadi. Taruh kata
Ceng Bo siangjin sudah teringat hendak mengejarnya, pun
rasanya tak mudah.
Dengan cara berenang begitu, menyurung sebuah
kutungan tiang yang digelandoti oleh Bek Lian, lama
kelamaan payah juga The Go. Akhirnya dia berhenti
mengayuhkan sang kaki, dengan menggelandot pada tiang
kayu tersebut, dia hendak memulangkan napasnya yang tersengal2.
Melihat itu, Bek Lian tak tegah, katanya: „Engkoh
Go, jangan gunakan tenaga lagi, biarkan tiang kayu ini
berayun sendiri. Asal kita ber-sama2 apapun tak usah
ditakuti bukan?"
Hati The Go pada saat itu, tengah mendongkol sekali.
Bukankah kalau karena tidak gara2 Bek Lian, saat itu dia
sudah enak2 duduk dikursi kebesaran gedung gi-bun di
Kwiciu? Masakan dia bakal mengalami keadaan seperti kala
itu, ter-apung2 ditengah laut mati tidak hidup tidak? Tapi
dia bukan si Wajah Seribu, kalau tak pandai bermain
sandiwara dalam segala keadaan. Biar hatinya mendongkol,
mulutnya tetap tak mau sesali Bek Lian. Per-tama2 takut
kalau siwanita aneh akan muncul dengan tiba2, kedua dia
masih tetap inginkan kecantikan sinona itu. Maka dia
hanya mengiakan sekenanya saja, tapi hal itu sudah cukup
membuat Bek Lian bergirang.
---odw0taho---
Kala itu adalah pertengahan bulan 11. Angin meniup
keras, sedang ombakpun bergelombang, tapi karena
keduanya menggunakan lwekang, jadi masih dapat
bertahan dingin. Keesokan harinya, matahari muncul dari
permukaan cakrawala timur dengan membawa cahaya keemasan
yang gilang gemilang. Semalam mereka tidur secara
gilir. Ketika terang tanah, mereka merasa haus sekali.
Saking tak kuatnya, The Go komat kamitkan bibirnya yang
kering itu. Diempat penjuru berpagar laut, sedikitpun tiada
tampak bayangan daratan. Segera The Go mengambil
putusan robah haluan, menuju kearah utara. Turut suara
hatinya, dia ingin sekali tinggalkan Bek Lian, namun tak
berani demi terbayang akan wajah siwanita aneh yang
menakutkan itu. Terpaksa dengan menggigit gigi, dia
berenang lagi, kemudian setelah kecapean lalu
menggelandot pada tiang kayunya.
„Engkoh Go, apa kau haus?" tanya Bek Lian seraya
mengusap2 pipi The Go, siapa hanya mengangguk saja.
„Engkoh Go, kemarilah lebih dekat." Karena tak mengerti
maksud orang, The Go hanya menurut saja. Tahu2 tangan
Bek Lian menekan tengkuk The Go, begitu muka sianak
muda condong kepadanya, ia lekas katupkan bibirnya
kemulut sianak muda. Sesaat The Go rasakan seperti
menyucup anggur yang manis, cukup keras tapi tak
memabukkan. Lupalah sudah dia, kalau pada saat itu
tengah berada ditengah lautan. Rasanya dia tengah melayang2
dikeinderaan (tempat dewa dewi), seluruh
perasaannya dibuai oleh rasa yang sedap.
Entah sampai berapa lama mereka dalam keadaan
begitu, baru tiba mereka tersadar kalau masih ditengah
lautan. Selebar wajah Bek Lian merah padam, ia tundukkan
kepalanya berdiam diri.
„Lian-moay, seperti diriku si The Go ini, dalam
kehidupan yang sekarang telah mendapatkan kasih seorang
juwita seperti kau ini, rasanya matipun puas!" kata The Go.
Bek Lian makin ke-malu2an, tanyanya: „Engkoh Go,
apa kau sudah tak haus?"
Melihat wajah Bek Lian makin malu makin cantik, The
Go puas sekali. Semangatnya timbul kembali, lalu berenang
lagi menuju keutara, katanya kepada Bek Lian: „Aku
hendak bercerita lelucon agar hatimu terhibur, maukah kau
mendengar?"
„Lelucon apa?"
„Cerita lucu tentang orang yang takut bini."
“Bah, aku tak sudi mendengarkannya."
„Bodoh, tanggung kau nanti akan ketarik sampai lupa
haus dan lapar."
Bek Lian bersenyum manis menatap The Go. Pikirnya,
asal kau berada didampingku, segala penderitaan aku sangup
menghadapi. „Berceritalah!" sahutnya kemudian.
Setelah mengomat-ngamitkan lidahnya, mulailah The
Go bercerita: „Dahulu ada seorang Koanthayya (residen)
yang terkenal takut bini. Pada suatu hari, timbullah
pikirannya hendak mengetahui, ada berapakah kaum lelaki
yang takut bini seperti dia itu. Maka diperentahkan pada
pegawai2 bu (pengawal) dan hamba polisi sekalian, untuk
menghadapnya.
„Kalian semua tentu mengetahui, pun-loya (aku) takut
bini. Sekarang hendak kuketahui, bagaimanakah keadaan
kalian semua itu. Kalau yang takut bini, supaya berkumpul
disisi kanan, sedang yang tidak takut bini, berjajar disisi
kiri!"
GAMBAR 23
Dengan kutungan tiang perahu, The Go dan Bek Lian
terombang-ambing ditengah lautan sambil mengobrol hal yang
lucu2.
Maka berpencarlah seluruh pegawai gedung keresidenan
Itu. Anehnya, semua sama berbaria disisi kanan, kecuali
seorang saja yang menyisih kesebelah kiri.
Mendengar sampai disini, Bek Lian jebikan bibirnya
seraya tertawa: „Pegawai itu tentu tak takut ..............
bininya?"
„Jangan buru2 memutus, dengarkan dulu ceritaku," kata
The Go. „Nah, timbullah kesangsian dalam hati siresiden
itu. Aku seorang residen takut bini, mengapa dia seorang
pegawai rendah begitu bisa berani pada bininya?" demikian
pikirnya. Maka dengan gebrakkan palu kebesarannya, dia
bertanya: „Hai, mengapa kau tak takut bini?" Berlututlah
sipegawai tadi berdatang sembah: „Maaf, Koanthayya.
Bukannya siaojin hendak menentang perentah thayya tadi,
tapi karena siaojin selalu melaksanakan pesan atasan
hamba, bahwa dimana banyak orang berkumpul, siaojin
jangan turut berkerumun disitu. Maka tadipun siaojin tak
berani ikut2-an menggerombol disebelah kanan."
Belum The Go menyelesaikan ceritanya, Bek Lian sudah
tak kuat menahan gelaknya. „Kau sungguh pintar mengilik
hati orang!" serunya sembari menggablok pelan2
kepunggung sianak muda, siapapun turut tertawa juga.
Begitulah dengan menutur cerita yang lucu2, mereka tak
putus2-nya tertawa gelak2, sehingga benar juga dapat
melupakan rasa dahaga dan laparnya. Dan tahu2 hari
sudah sore, karena matahari sudah berada dipermukaan
laut sebelah barat.
Se-konyong2 The Go bersorak kegirangan. Ha, kiranya
jauh dimuka sana tampak selarik benda hitam. Bek Lian
melihat juga bends, itu, tapi heran ia mengapa The Go
begitu kegirangan. Tapi bagi The Go yang sudah biasa
hidup dilaut, segera mengetahui kalau bends, itu adalah
daratan yang menurut taksirannya hanya antara 30-an li
jauhnya. Diketahuinya pula bahwa kala itu adalah saat air
pasang, maka dalam dua jam saja, mereka tentu akan sudah
dapat mencapai daratan itu. Ketika The Go menerangkan,
Bek Lian pun girang bukan kepalang. Sesaat timbul
harapannya, semangatniapun segar kembali.
Apa yang diperhitungkan oleh The Go itu, sedikitpun tak
ada yang meleset. Ketika sudah mendekati daratan, The Go
menyelam kebawah dan ternyata kakinya sudah mengenai
dasar karang. Kini dengan memimpin Bek Lian, separoh
berjalan separoh berenang, dia akhirnya berhasil naik
kedaratan.
Saat itu rembulanpun sudah unjukkan wajahnya, angin
menghempuskan kesejukan malam. Kalau tadi terendam
diair tidak terasa dingin, kini begitu naik kedaratan dan
tertiup angin, menggigillah keduanya. The Go segera ajak
sinona berlari mencari rumah orang. Kirai setengah li
jauhnya, baru kelihatan ada beberapa bush gubuk yang
terletak ditepi pesisir. Setelah memilih yang agak lumayan,
mereka masuk kedalam salah satu gubuk. Untuk kegirangan
mereka, disitu penuh dengan alang2 kering dan masih
beberapa makanan serta perapian. Tanpa berayal lagi,
mereka segera menghidupkan api, untuk memanaskan
badan. Pada lain gubuk didapatinya masih ada beberapa
bahan makanan..
Setelah menangsel perut dan pakaiannya pun kering, Bek
Lian menyatakan cape dan ngantuk sekali. The Go segera
membuat tempat tidur dengan menumpuk alang2. Setelah
menyuruh Bek Lian tidur, dia melangkah keluar. „Engkoh
Go, kau hendak kemana?" tanya sigadis.
The Go mengatakan hendak tidur dilain gubuk, tapi Bek
Lian cepat menyegahnya: „Engkoh Go, kau tidur didekatku
sini saja." The Go mengiakan. Saking lelah dan capenya,
begitu berbaring keduanya lantas jatuh pulas.
Keesokan harinya, menjelang fajar Bek Lian bangun dan
menangis sesenggukan, sudah tentu The Go ter-sipu2
menghiburnya. „Entahlah mengapa aku menangis.
Sebenarnya hatiku bahagia sekali, tapi mataku ingin
menangis," ujar Bek Lian.
„Itulah yang dikatakan, kalau keliwat girang orang bisa
bersedih."
"Apa katamu?" menegas Bek Lion.
"Aku maksudkan, karena keliwat girang kau lantas
menangis"
Plak, terdengar tangan Bek Lian menggaplok sang
kekasih, disusul dengan gelak tertawa sinona yang riang
bahagia. Begttulah mereka tidur lagi, hingga hari sudah
tinggi, baru mereka terjaga. Melihat The Go, Bek Lian kemerah2an
wajahnya, tapi sebaliknya sianak muda itu
tertawa riang lalu berbangkit keluar. Bek Lian mengikut,
wajahnya membayangkan perasaan hatinya yang
berbahagia.
Sebagai bajak laut, sebenarnya The Go faham akan
pulau2 yang terdapat dilautan. Tapi tentang pulau yang
ditempati itu, dia sungguh tak tahu namanya. Sampai
sekian lama berjalan, keduanya masih belum menjumpai
barang seorangpun juga. Hanya jauh disana tampak
beberapa ekor rusa ber-larian2 diantara batu karang
pegunungan. Nyata pulau itu sebuah pulau kosong.
„Lian-moay, pulau ini tak didiami orang."
"Engkoh Go, asal bersama kau, aku tak hiraukan lain
orang lagi."
The Go kerutkan keningnya. „Kita harus membuat api
unggun dipulau yang tak kuketahui namanya ini. Akupun
perlu mencari makanan, agar kita jangan kelaparan!" kata
The Go, suara siapa mengunjukkan kejengkelan hatinya.
GAMBAR 24
Tiba2 terlihat didepan sana ada dua ekor rusa, cepat The Go
sambitkan dua butir batu, tapi aneh, binatang Itu ternyata diam
saja.
Berjalan lagi tak berapa lama, tiba2 disebelah muka
tampak ada dua ekor rusa 'ciang' (sejenis rusa yang tak
bertanduk). Rusa itu tingginya hampir satu meter,
dagingnya gemuk. Begitu melihat orang, binatang itu
mengobat-abitkan kepalanya, namun kakinya serasa
terpaku ditanah tak dapat lari. Melihat itu, The Go tak mau
sia2kan kesempatan bagus. Kalau kedua ekor rusa itu dapat
ditangkapnya, berarti cukup untuk ransum lima enam hari.
Maka dijemput dua butir batu terus ditimpukkan kearah
kepala sibinatang. Aneh, binatang itu tak mau menghindar
maka timpukan The Go yang dahsyat itu segera
mengenakan kepalanya. Kepala binatang itu segera terkulai
dan lehernya lentuk. Tapi anehnya, walaupun terang sudah
hampir binasa, namun kaki kedua binatang itu masih tetap
seperti terpaku ditanah.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 7 : HATI NAN LARA
„Engkoh Go, mengapa binatang itu tak rubuh ?" tanya
Bek Lian. The Gopun turut heran. Dipungutnya dua biji
batu dan ditimpukkannya lagi. Kali ini perut kedua
binatang itu terkena, usus keluar darah mengalir, terang
sudah tentu mati. Tapi yang mengherankan, binatang itu
tetap tegak berdiri saja. Selagi masih diliputi oleh rasa
heran, tiba2 didengarnya ada orang berbangkit.
„Sahabat manakah yang ..................", belum habis The
Go menyerukan pertanyaannya, tiba2 kedua ekor binatang
rusa yang sudah mati tadi melesat maju dengan cepat sekali
hingga sampai mengeluarkan deru angin. Buru2 The Go
menarik Bek Lian untuk menyingkir kesamping.
Pada lain saat terdengarlah dua kali suara blak.......
blak....... , dan tersungkurlah kedua binatang tadi ketanah.
Ketika The Go menengok kebelakang, dilihatnya
binatang itu sudah hancur tubuhnya. Tahu dia bahwa tentu
ada seorang berilmu tinggi yang meluncurkan binatang itu.
Baik kawan atau lawan, tapi yang perlu harus bersiap dulu.
The Go cepat hendak mengeluarkan kipasnya. Kipas itu
terbuat dari bahan sutera yang ulet sekali, hingga tak rusak
terendam dalam air laut. Tapi baru tangannya menarik
kipas, atau terdengarlah suara orang memakinya:
„Jahanam, dengan susah payah Sam-thay-ya mencari
tempat yang sunyi untuk tidur serta membawa dua ekor
rusa untuk mengalingi diri dari sinar matahari, mengapa
berani mengganggu kesenangan Sam-thay-ya"
Nada suara itu berpengaruh sekali, hingga menusuk
kedalam telinga dan hidung. The Go dan Bek Lian segera
mengetahui bahwa kini mereka berhadapan dengan seorang
yang tinggi ilmunya lwekang. Ketika mengawasi dengan
perdata, kiranya ditempat kedua rusa berdiri tadi, tampak
ada seorang tua yang bertubuh kate dan alia serta
rambutnya sudah putih semua. Dia mengenakan jubah
panjang yang warnanya menyerupai warna batu. Oh,
kiranya tadi siorang tua kate ilulah yang ber-baring dibawa
kedua ekor rusa, maka kaki kedua binatang itu tampaknya
seperti terpaku ditanah.
Mengetahui kesaktian siorang kate itu, The Go tak
berani mencari perkara. Tapi baru dia hendak mengatakan
sesuatu, tiba2 orang kate itu loncat menghampiri kemuka
Bek Lian seraya mengawasinya. „Kiang Siang Yan!"
serunya dengan nyaring sekali hingga membuat Bek Lian
terkejut.
„Wut.......", sehabis berteriak tadi siorang tua kate itu
meluncur kebelakang sampai dua meter jauhnya.
Tangannya menabok pada batok kepalanya sendiri lalu
mengoceh sendiri: “Salah, he? Kalau Kiang Siang mau
semacam itu, tak seharusnya kumemelihara janggut begini."
The Go dan Bek Lian tak mengerti ocehan orang itu,
maka ditunggunya saja sampai beberapa saat.
„He, kalian lihat, aku ini mempunyai janggut tidak ?"
tiba2 siorang tua kate itu mendongak bertanya.
Diam2 The Go menjadi heran. Orang itu mempunyai
buge (kepandaian silat) yang sedemikian sakti, tapi
mengapa selinglung itu. Tiba2 dia teringat akan keterangan
kakek gurunya Ang Hwat cinjin, bahwa dalam dunia
persilatan memang terdapat seorang tokoh yang bertubuh
kate, siapa paling gemar sekali belajar silat. Dia selalu
memaksa orang yang dijumpainya supaya mengajarkan
ilmu silat, maka ilmu silatnya banyak macam ragam
alirannya. Ilmunya lwekang, dipelajarinya dari seorang
sakti ketika dia masih kecil. Lihaynya tiada tertara. Tapi
pikiran orang itu seperti linglung, omongannya tak keruan
juntrungannya. Ang Hwat cinjin memesan, apabila
berjumpa dengan tokoh itu, The Go harus bersikap
mengindahkan, baru nanti tak mengalami kesusahannya
dari dia. Dilihat, ciri2nya, terang siorang kate inilah yang
dimaksudkan oleh kakek guruna itu. Teringat hal itu, tersipu2
The Go menjura memberi hormat seraya -berkata:
„Sam-thay-ya !"
Memang siorang tua kate itu bukan lain adalah si Sik Losam
adanya. Sejak berpisah dengan Ceng Bo siangjin, dia
lalu mengembara ke-mana2 dia tanpa disengaja telah
kesasar dipulau kosong situ. Begitu melihat The Go begitu
menghormatnya, dia tertawa ter-loroh2. Habis itu,
sekonyong2 dia menampar keningnya sendiri, lalu berseru
dengan murka: „Hai, buyung, tadi Sam-thay-ya tanya kau
punya janggut tidak, mengapa kau diam saja ?"
The Go tak jelas akan pertanyaan orang, dikiranya yang
punya atau tidak janggut itu adalah siorang tua itu sendiri,
maka cepat dia menyahutnya : „Tidak!"
Mendadak Sik Lo-sam ber-kaok2 aneh, serunya : „Haya,
celaka, aku tak punya janggut. Kalau bukan Kiang Siang
Yan siapa lagi ia itu ?" Habis itu dia lantas memutar tubuh
lari. Tapi baru beberapa tindak, se-konyong2 dia memutar
tubuhnya lagi, serunya: „Salah, asal bisa menemukan Kiang
Siang Yan, Hay-te-kau tentu mau mengajari aku ilmu
pedang. Ah, tak boleh lari...... , tak boleh lari...... !" Dan
„wut .....", dia loncat kesamping Bek Lian.
Geli Bek Lian melihat siorang tua kate yang linglung itu,
maka kini diapun tak takut lagi, malah ter-tawa2. Melihat
dirinya diketawai, Sik Lo-sam tanya pada The Go:
„Buyung, adakah aku ini sungguh2 tak berjanggut ?"
Merasa tadi salah faham, kini The Go menyahut kalau
orang tua itu berjanggut. Tapi mendadak sontak, siorang
tua itu men-jerit2 dengan marahnya: „Kau berani
mempermainkan Sam-thay-ya buyung?" Dan „wut.....”,
begitu meluncur tahu2 dia hendak mencengkeram dengan
tangan kanannya. Tapi anehnya tangan kanan itu walaupun
menjulur tapi tetap kaku, sebaliknya tangannya kiri sudah
nampak disiapkan.
The Go tahu bahwa serangan tangan kanan orang aneh
itu hanya kosong, maka jika dia keburu menghindar tentu
akan dicengkeram oleh tangan kiri orang. Maka dengan
gerakan yang tak mirip dengan ilmu silat, dia buang diri
kesamping. Benar jiiga cengkeram Sik Lo-sam tadi telah
menemui tempat kosong, sementara The Go seperti tingkah
orang mabuk, lalu ter-huyung2 bangkit kembali.
“Ang Hwat cinjin ! Bagus, buyung, kau pernah apa
dengan Ang Hwat cinjin ?" tanya Sik Lo-sam demi melihat
gerakan The Go tadi adalah dari jurus „Hong-cu-may-ciu"
atau sigila menjual arak.
“Hopwe adalah cucu murid dari Ang Hwat cinjin," sahut
The Go dengan hormat sekali.
„Hai, mengapa kau tak menjura padaku ? Meskipun Ang
Hwat cinjin pernah mengajari ilmu silat padaku, tapi
akupun juga memberi pelajaran padanya. Jadi terhitung aku
ini suhumu, hayo mengapa tak mengangguk pada Samthay-
ya ?"
Sampai disini tak kuasa lagi Bek Lian menahan
gelaknya, saking gelinya ia tertawa ter-kial2. Sik Lo-sam
penasaran, matanya terbolak-balik. The Go cukup mengerti,
kalau orang tua kate itu memang linglung, jadi tak dapat
diajak bicara genah, maka dia lalu menerangkan : „Samthaya,
ia bukan Kian Siang Yan, tetapi puterinya."
Rupanya Sik Lo-sam agak sadar, sampai sekian saat dia
diam saja. Kemudian tanyanya: „Buyung, mengapa kau
datang kepulau kosong ini ?"
The Go tahu tak usah banyak ini itu dengan orang
linglung itu, karena kalau salah lidah, dia tentu dihujani
pertanyaan yang tak putus2nya.
Maka dengan sembarangan saja, dia menerangkan secara
ringkas. Dan benar juga Sik Lo-sam mau mempercayainya.
„Sam-thay-ya bagaimana bisa datang kemari ?" kini The
Go yang balas bertanya.
“Kau berani memandang rendah pada Sam-thay-ya ?"
kembali silinglung angot penyakitnya.
“Apa kau naik perahu ?" buru2 The Go menyusuli
pertanyaan.
Sik Lo-sam tertawa, sahutnya: „Perahu sih hanya
mencuri sebuah, tapi aku berenang tadi, hanya saja perahu
itu juga kubawa kemari."
The Go girang, karena kalau Sik Lo-sam bisa berenang
kesitu, terang pulau itu tak jauh dari daratan besar. Kalau
benar siorang tua membawa perahu, mudahlah untuk
kembali kedaratan sana. „Sam-thay-ya dari mana kau mulai
terjun ?" tanyanya.
“Huh, masih bertanya ? Di Kwiciu diadakan luitay besar,
apa kau tak tahu ?"
Muka The Go merah, sahutnya: „Tahu."
“Dalam keramaian begitu, mana bisa Sik Lo-sam tak
turut melihat ? Thian Te Hui kalah, Sam-thay-ya tentu
membantunya. Kalau Thian Te Hui menang, Sam-thay-ya
akan bantu fihak Ci-hun-si."
Diam2 The Go leletkan lidahnya. Dengan ilmunya itu,
terang kalau mau, orang tua aneh itu tentu dapat mengacau
luitay.
“Tapi, cialat, Sam-thay-ya temaha tidur, terlambat
sehari. Malam itu kesana luitay sudah beristirahat. Besok
paginya luitay baru dimulai lagi. Tapi Sam-thay-ya tidur,
seperti orang mati lagi. Pikir Sam-thay-ya, tidur itu
pengacau besar, jangan tidur saja. Tapi makin benci tidur,
makin kepingin tidur, sehingga lima enam hari selalu
ketinggalan spor (kereta api) saja! Entah bagaimana, orang2
sudah tak berhantam diluitay, suasananya menjadi kacau.
Sam-thay-ya tak mau mumet2 dengan orang2 banyak itu,
mencuri sebuah perahu, lalu berenang kemari. Aneh,
sepanjang jalan, bertemu dengan beberapa orang yang
kepalanya berkuncir, seperti orang perempuan. Sam-thay-ya
senang sekali melihatnya, lalu membetot beberapa buah.
Tapi rupanya orang2 itu sudah beberapa hari tak keramas,
baunya apek sekali, lalu Sam-thay-ya lemparkan kuncir2
itu."
The Go tahu sekalipun orang tua itu linglung, tapi apa
yang diceritakan tadi tentu sungguh. Jadi nyata tentara
Ceng sudah menyerang Kwiciu, maka luitay itu lantas
tutup. Tapi siapakah yang memimpin tentara Ceng itu,
karena toh dia sendiri berada ditengah lautan ? Keinginan
The Go untuk lekas2 balik ke Kwiciu, makin besar. „Samthayya,
dimanakah perahu itu ?" tanyanya.
“Turut sama Sam-thay-ya yo, perahu baik2 tertambat
disana," kata Sik Lo-sam dan „tok.... , tok.... " seperti katak,
dia melompat kemuka. The Go ajak Bek Lian mengikuti
siorang tua aneh itu. Ketika sampai dipesisir, ternyata disitu
tampak ada sebuah perahu. Maju lagi beberapa tindak, Bek
Lian cepat melihat ada seseorang tengkurap dipesisir.
Tubuhnya sebentar diangkat sebentar diturunkan, seperti
orang yang baru saja datang dengan berenang, sehingga
kehabisan tenaga.
“Engkoh Go, ada lagi seorang lain disana itu," seru Bek
Lian kepada The Go. Orang itu mengangkat pelan2
kepalanya, dan tiba2 berseru: „Suci!"
Bek Lian terkejut sekali, serunya: „Sute, mengapa kau
disini ?" Sembari lari menghampiri. Sebagai saudara
seperguruan, sudah tentu setelah lama tak berjumpa, Bek
Lian ingin sekali menanyakan kabarnya Yan-chiu.
Tapi The Go menjadi cemburu. Teringat dia ketika di
Giok-li-nia tempo hari, Tio Jiang sikapnya begitu
memperhatikan sekali kepada Bek Lian, terang kalau diam2
tentu menyintai. Benar sijuwita itu telah menyerahkan
seluruh hatinya kepadanya, tapi kini dengan adanya Tio
Jiang, dia bersangsi. Cepat dia ulurkan tangannya untuk
menjambret Bek Lian, seraya berkata dengan dingin sekali:
„Pe-lahan2 saja berjalan, perlu apa harus begitu kesusu !"
Bermula Bek Lian tak mengerti mengapa sang kekasih
menariknya, tapi demi nampak perobahan muka sianak
muda itu, tahulah ia apa sebabnya. „Engkoh tolol, aku kan
sudah menjadi kepunyaanmu!"
The Go merasa tadi dia sudah keterlaluan, maka diapun
segera tertawa. Dalam keayalan itu, Sik Lo-sam sudah
menghampiri kemuka Tio Jiang. ,He, buyung, kaulah
kiranya!" serunya dengan suara yang aneh.
Belum Tio Jiang menyahut, The Go dan Bek Lian sudah
tiba. Tio Jiang pe-lahan2 mengangkat kepalanya, lalu
berseru: „Sam-thay-ya!"
Sik Lo-sam tertawa girang. Tapi Tio Jiang tak
menghiraukannya lagi, serta berkata kepada Bek Lian
:„Lian-ci, kemana saja kau beberapa hari ini ? Dan suhu?
Hari itu...... malam...... ", tangannya lalu merabah kedalam
baju. Peniti kupu2an kepunyaan Bek Lian masih berada disitu,
katanya lagi :„Malam itu aku tidur kepat, sampai
keesokan harinya baru bangun. Yan-chiu mengatakan kau
ber-sama suhu berangkat kedalam kota, tapi mengapa
sampai beberapa hari ?"
Bek Lian tak tahu mengapa dalam keadaan sepayah itu,
begitu melihat dirinya, Tio Jiang timbul lagi semangatnya.
Ia tak tahu kalau Yan-chiu main gila. Yang diketahuinya
ketika pergi dengan sang ayah itu, sutenya itu masih terluka
parah. „Sute, apa lukamu sudah baik ?" tanyanya.
Melihat sang suci kini begitu memperhatikan dirinya,
tangan Tio Jiang terus menerus me-mijat2 peniti kupu.
„Sejak Lian suci mengikat janji padaku, sikapnya betul2
sudah berobah," pikirnya, lalu berbangkit sembari melolos
sarung pedang yang terselip dipinggang, untuk menuang air
didalamnya. „Lukaku sudah hampir sembuh. Tapi karena
ber-gegas2 terjun keair, sehari penuh berenang, maka
punggungku terasa sakit lemas !"
“Mengapa lari kelaut ? Apa kau dikalahkan diluitay dan
di-kejar2 musuh ? Sungguh tak ada aturan begitu!" tanya
Bek Lian.
Tio Jiang membeliakkan matanya, balas bertanya:
„Lianci, apa kau tak tahu kalau tentara Ceng sudah masuk
ke Kwiciu ? Kiau susiok memimpin ratusan saudara2 Thian
Te Hui untuk menyerang kekota. Aku dan Yan-chiu ikut
serta. Tapi tentara Ceng keliwat banyak jumlahnya, hingga
kami terkurung. Setelah bertempur mati2an sampai sehari
semalam, baru bisa lolos, ah rasanya tulang2ku seperti
copot!"
Mengira kalau sang suci itu sudah menjadi orangnya,
maka Tio Jiang kini bisa bicara dengan lancar, tak kaku
seperti dahulu. The Go bergirang, karena apa yang
diduganya itu tak salah. „Siaoko, bilamana tentara Ceng itu
masuk. ke Kwiciu, siapa yang memimpinnya, tahukah kau
?" tanyanya seraya maju selangkah.
Sejak menampak The Go, Tio Jiang sudah tak senang,
maka dia hanya menggerendeng „hem" saja tak mau
menyahut, sebaliknya lalu berbisik tanya kepada Bek Lian
lagi: “Lian-ci, mengapa kau bisa ber-sama2 dengan dia?
Apa dia tak menghinamu ?"
Bek Lian jengkel. Baru saja omong genah, kini sutenya
itu keluar ketololannya lagi. „Sute!" bentaknya.
Tio Jiang tak mengerti mengapa sucinya berlaku begitu.
Dia melirik kepada The Go, siapa ternyata memandang
dengan sikap mengejek pada Bek Lian. Tio Jiang tahan
sabarnya dan melainkan berkata lagi kepada Bek Lian:
„Lian-ci, mari kita lekas mencari suhu, kau pergi bersama
suhu, dimanakah suhu sekarang ? Kalau tak dapat mencari
suhu, asal ketemu susiokpun boleh juga!" Habis berkata
begitu dia segera menghampiri Bek Lian lalu menarik
tangannya.
Biasanya Tio Jiang tak bernyali untuk unjuk
„kegagahan" begitu, maka karena tak mengira, Bek Lian
sudah kena dicekal tangannya. Dengan wajah ke-merah2an,
ia membentak: „Sute, kau.......", belum kata2nya itu selesai,
atau ia segera menampak ada sesosok bayangan berkelebat,
dan tahu2 Tio Jiang menghindar kesamping, trang....... dia
sudah siap pula, dengan pedangnya.
Pedang itu tangkainya bertotolan, milik Ceng Bo
siangjin. Ketika memberikan pedang pusaka itu, suhunya
berkata :
„Nampaknya kau ini seperti orang tolol tapi sebenarnya
tidak, melainkan karena terlalu polos saja. Walaupun
pedang hitam badannya penuh dengan terotolan tahi karat,
tapi tajamnya bukan kepalang." Maksud dari ucapan sang
suhu itu juga mengandung arti, supaya Tio Jiang jangan
puas dengan apa yang didapatnya.
Ketika Tio Jiang dengan yakin sekali mencekal lengan
Bek Lian, dia sudah tak menghiraukan kalau disitu masih
ada Sik Lo-sam dan The Go. The Go yang sudah
mempunyai dendaman hati dengan Tio Jiang itu, sudah
tentu menjadi murka melihat perbuatannya terhadap sang
juwita. Dengan sebat dia loncat menutukkan kipasnya
kearah jalan darah ko-bong-hiat orang. Jalan darah kongbong-
hiat itu termasuk salah satu jalan darah kematian.
Barang siapa kena tertutuk jalan darahnya disitu, tentu akan
meninggal. Memang The Go sudah benci sekali, hingga
hendak membinasakan Tio Jiang.
Tapi dalam beberapa hari selama ikut bertempuran
melawan tentara Ceng itu, Tio Jiang tambah banyak
pengalamannya, makin sempurna juga latihannya dalam
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Begitu merasa ada angin
menyambar dari belakang, cepat dia menyingkir kesamping
sambil mempersiapkan pedang. „Cian-bin Long-kun,
mengapa mau membokong orang ?" dampratnya.
The Go tebarkan kipasnya untuk dibuat kipas2, belum
lagi mulutnya menjawab dampratan orang, atau Sik Lo-sam
sudah kedengaran mengoceh sendirian: „Hm, buyung itu
terlalu jahat, masa sekali turun tangan sudah mau menutuk
jalan darah ko-bong-hiat ?"
Tio Jiang terperanjat. Pedangnya dibolang-balingkan
sebentar, lalu bertanya: „Sam-thay-ya, apa katamu ?"
Sik Lo-sam delikkan matanya, menyahut: „Buyung,
bocah yang itu tadi hendak menutuk jalan darah ko-bonghiatmu.
Cara kau menghindar bagus sekali! Lebih baik
ajarkan padaku saja !"
Dalam kesusunya, tadi Tio Jiang menjorok kesamping,
pedang terlepas. Tapi dengan sebat sekali, tangannya
membalik untuk menyawut pedang itu lagi. Itulah yang
disebut jurus „hay lwe sip ciu" (10 benua dalam laut),
termasuk jurus yang ke. 7 dari ilmu pedang to-hay-kiamhwat.
Sebagai orang yang gemar ilmu silat seperti
nyawanya sendiri, sudah tentu Sik Lo-sam dapat mengenal
„barang baik", maka dia telah ajukan permintaan itu.
Sebaliknya Tio Jiang tengah delikkan mata kepada The Go.
Tio Jiang murka sekali. Sekalipun terhadap musuh, tapi
tak seharusnya berbuat seganas tadi. Pikirnya, karena
bersama-sama orang itu, tentu Bek Lian dihinanya. Sayang
penyakitnya kumat lagi, makin marah makin tak dapat
berkata2. Sampai sekian saat, baru dia dapat mengucap :
„Cian-bin Long-kun, kau...... kau..... "
“Aku bagaimana ?" tanya The Go dengan tertawa
mengejek, seraya menghampiri maju. Dia perhitungkan,
sejak pertemuannya dengan anak muda itu baru lima enam
hari ini, ternyata anak itu telah menderita luka parah, dan
dalam pertempuran melawan tentara Ceng juga lari
pontang-panting, terang kalau kepandaiannya masih sama
seperti kala dijumpainya di Giok-li-nia itu. Kini keduanya
sudah blak-blakan, saling bermusuhan. Daripada timbulkan
bahaya dikemudian hari, lebih baik sekarang ini ditumpas
saja. Maka ketika jaraknya sudah diperhitungkan tentu
berhasil, dia miringkan tubuh dan secepat kilat kipasnya
dijulur-surutkan 3 kali. Membarengi tangannya kiri
menghantam pelan, kipas ditangan kanan tadi ditutukkan
kearah kepala orang untuk mengarah jalan darah thay-yanghiat.
Sewaktu orang mendekati tadi, Tio Jiang sudah mengira
tentu akan diserang, maka siang2 dia sudah bersiap,
melangkah maju, maka kebetulan sekali hantaman tangan
kiri The Go tadi telah dapat dihindarinya. Begitu dilihatnya
orang sudah bergerak menyerang, Tio Jiang gunakan jurus
hay-li-long-hoan (puteri laut memain gelang), pedangnya
dijungkat keatas. Kelihatannya jurus itu biasa saja, tapi
ternyata telah dapat menghadang serangan lawan.
Memang serangan kipas The Go itu, hanyalah gertakan
kosong. Begitu orang hanya bermaksud melindungi muka
atau kepalanya, atau mengegos kesamping, tentu akan
terkena perangkapnya. Dalam gerak perobahan selanjutnya,
musuh tentu tak bisa menghindar lagi.
Tapi telah diterangkan diatas bahwa selama ikut
bertempur melawan tentara Ceng itu, ilmu pedang Tio
Jiang tambah maju sekali. Benar dia terluka hantaman
thiat-sat-ciang dari To Ceng hweshio, tapi setelah diminumi
4 butir pil sam-kong-tan, lukanya tak berbahaya lagi. Dia
lebih jelas lagi akan arti dua kalimat yang menjadi pokok
ilmu pedang to-hay-kiam-hwat itu, yakni: „Alun kecil
gelombang besar, masih jauh tampaknya pelahan begitu
dekat tentu cepat". Memang ombak laut yang mendampar
ketepi itu, kalau masih jauh, tampaknya pe-lahan2
mengalun, tapi begitu sudah dekat lagi bergemuruh dan
mendampar dengan cepatnya. Letak rahasia ilmupedang tohay-
kiam-hwat, adalah disitu. Jadi serupa dengan ilmu
pedang Bu-kek-kiam yang berdasarkan atas „dengan
ketenangan mengatasi gerakan", atau „dua tail menahan
ribuan kati".
Tahu bahwa ilmu permainan 'Hong-cu-may-ciu' (orang
gila menjual arak) itu penuh perobahan yang lihay, Tio
Jiang tak berlaku lengah. Tangan kiri untuk melindungi
dada, lalu pedang ditangan kanan digerakkan dalam jurus
“hay li long hoan" tadi. Dengan jurus itu, The Go mati kutu
tak dapat menyerang dan terpaksa mundur selangkah. Kini
Tio Jiang yang balas menyerang dengan jurus hay lwe sip
ciu (10 benua dalam laut ).
Melihat kedahsyatan pedang sianak muda, The Go tak
berani menyambuti. Dia pendakkan tubuh, niatnya hendak
menyusup kesamping. Tapi untuk kekagetannya, ujung
pedang lawan seperti tetap membayangi saja. Diam2
hatinya menjadi keder, demi teringat akan kesaktian ilmu
pedang Hay-te-kau Bek Ing itu. Karena tempo hari belum
pernah menyaksikannya, maka The Go menduga anak itu
tentu baru saja mempelajari jurus tadi. Diapun tak berani
berayal, begitu dilihatnya empat jurusan diliputi oleh
samberan pedang, dia terus main mundur sampai beberapa
tindak jauhnya.
Pertempuran melawan tentara Ceng itu, ternyata
merupakan latihan praktek yang berharga bagi Tio Jiang.
Entah sudah berapa banyak jiwa tentara Ceng yang
melayang di, ujung to-hay-kiam-hwat itu. Maka diam2 dia
merasa kagum juga terhadap The Go, demi dalam gebrak
pertama. tadi dapat menghindar dengan jalan mundurkan
langkah. Tapi mana dia mau memberi hati lagi. Mulai dari
jurus. “Thio Ik memasak laut" sampai „Ho Peh
memandang laut", usul menyusul dia merangsak lawan,
sehingga binggunglah lawan dibuatnya. Baru mundur
begini, atau ujung pedang sudah mengancam datang,
mundur kesitu, disana sudah menanti babatan pedang.
Buru2 orang she The itu tenangkan pikirannya dan tumplak
seluruh kepandaiannya. Sekalipun dapat menghindar dari
setiap serangan, namun keadaannyapun sudah tak keruan,
montang-manting keripuhan. Untunglah Bek Lian segera
berseru mencegah sang sutee, siapa walaupun tak mengerti
maksud sang suci, namun menurut juga.
“Lian-moay, ilmu pedang sutemu itu, jauh lebih menang
dari kau !" kata The Go dengan napas ter-engah2.
Bek Lianpun mengenal kalau sang sute itu telah dapat
mempelajari habis seluruh permainan To-hay-kiam-hwat,.
Kembali wataknya ingin menang-dewek timbul, katanya :
“Sute, mengapa jurus „Ho Peh kuan hay" tadi boleh di buat
menggertak dulu baru menyerang yang sesungguhnya,
sehingga memancarkan 7 buah sinar pedang ?"
“Lian-ci, mari kita cari suhu, nanti ditengah perjalanan
kuajarkan jurus itu padamu," kata Tio Jiang.
Bek Lian heran atas perobahan sikap sute yang biasanya
begitu celingus, mengapa kini begitu „gagah" itu. Tanpa
banyak pikir lagi, dia menyemprot: „Kau suka mengajarkan
tidak, itu terserah. Tapi siapa kesudian kau ajak mencari
suhu ? Aku akan tetap berdamping dengan engkoh Go."
Tio Jiang seperti disambar petir, sehingga hampir tak
mempercayai apa yang didengarnya itu. „Lian-ci, apa
katamu itu ?" tanyanya menegas.
Belum Bek Lian menjawab, The Go sudah menghamperi
dan menggandeng tangan sinona. Dengan melirikkan
pandangan matanya yang menghina pada Tio Jiang, dia
berkata kepada Bek Lian : „Lian-moay, buat apa dekat2
dengan anak itu? Hayo, kita ke Kwiciu sana!"
„Baiklah !" sahut sinona dengan tertawa riang. Dan
tanpa menghiraukan kedua orang yang masih berada disitu,
mereka berdua segera lari menuju kepantai dimana perahu
itu ditambatkan.
Tio Jiang seperti orang bermimpi. Bukantah, malam itu
Bek Lian telah memberi tanda pengikat padanya ? Mengapa
kini begitu mesranya terhadap The Go dan membalikkan
muka padanya ? Bermula dia kuatir kalau sedang bermimpi,
maka dicubitnyalah lengannya, tapi dia menjerit sendiri
karena kesakitan. Terang kalau dia masih berjaga.
Tetapi....... mengapa terjadi keanehan begitu ? Tanda
matanya saja masih disini, mengapa orangnya sudah
membelakangi ? Saking tak dapat memecahkan soal yang
aneh itu, Tio Jiang ter-longong2 seperti patung. Hatinya.
begitu mendelu sekali, semangatnya patah dan lukanya
terkena thiat-sat-ciang itu kembali terasa sakit sekali. Setiup
angin laut telah menusuk kedalam lukanya itu, ngilu dan
nyeri. Tadi waktu datang kepulau itu, sebenarnya dia sudah
kehabisan tenaga karena hampir setengah harian berenang
melintasi laut. Hanya karena melihat Bek. Lian saja, maka
timbullah semangatnya baru. Namun hal itu terlalu
dipaksakan sekali. Kegoncangan menyaksikan Bek Lian lari
bersama The Go itu, telah menusuk sekali sanubarinya,
membanting hancur seluruh impiannya. Sesaat terasa
mulutnya anyir, matanya berkunang2, setelah menggigil
sebentar, matanya menjadi gelap dan, „bluk........." jatuhlah
dia tak sadarkan diri.
Karena sampai sekian detik, tak mendengar suara Tio
Jiang, Bek Lian menoleh kebelakang, dan demi dilihatnya
sang sute rubuh ditanah, ia merandek.
“Lian-moay, lekaslah ! tak lekas2, mungkin kita nanti
alami impian yang buruk lagi!" cepat2 The Go menyerukan.
Bek Lian kuatir kalau tak dapat berkumpul dengan The
Go, maka setelah menghela napas, ia tak memikirkan sang
sute lagi.
“Anak perempuan, jangan pergi !" tiba2 Sik Lo-sam
berseru.
The Go terperanjat, sembari mencekal tangan sinona
kencang2, dia bertanya: „Sam-thay-ya, ada urusan apa ?"
“Hay-te-kau suruh aku carikan Kiang Siang Yan, kalau
ketemu baru dia nanti ajarkan aku ilmu pedang. Kalau kini
aku berhasil menemukan anak perempuannya, masa dia tak
mau mengajarkan 3 jurus saja ? Anak, berhenti, ikut aku
mendapatkan Hay-te-kau !"
Sik Lo-sam itu seorang linglung yang blak2an. Apa yang
sang hati mau, mulutnya segera men yatakan. The Go
mengeluh. Terhadap orang aneh Itu hanya bisa dilawan
dengan akal, se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Sembari
percepat langkahnya, The Go mengajukan sebuah
pertanyaan : “Sam-thay-ya, anak perempuan dari Kiang
Siang Yan itu, pernah apa dengan Hay-te-kau, mengapa
kau tak dapat memikir ?"
Benar juga, Sik Lo-sam termenung memikirkan
pertanyaan itu. Dan pada saat itu The Go beserta Bek Lian
audah jauh dari. situ. Dan begitu tiba ditempat tambatan
perahu lalu cepat2 mengayuhnya. Baru ketika melihat
kedua anak muda itu melarikan perahunya, Sik Lo-sam
menjadi kelabakan. „Hai, budak kecil, berani
mempermainkan Sam-thay-ya ya ?" serunya sembari
wut.......... loncat setombak lebih jauhnya dan tak antara
lama sudah sampai kepinggir laut. Tapi dengan memasang
layar, The Go serta Bek Lian sudah jauh dari pesisir situ.
Saking marahnya, Sik Lo-sam ber-jingkrak2 seperti orang
kebakaran jenggot. Dia berloncat kian kemari dipesisir situ.
Mulutnya meng-hembus2, sehingga............ rambut
janggutnya yang mend yulai panjang itu, sama tegak lenc
ang. Bahkan alisnyapun mend yigrak semua. Tangannya
me-nari2 tak keruan sehingga puhun dan batu karang yang
berada didekatnya menjadi hancur beterbangan. Setelah
melampiaskan kemarahannya, tiba2 dia bertereak keras:
„Ya, buyung itulah yang merusak urusanku !" Habis itu, dia
terus berloncatan menghampiri Tio Jiang.
“Buyung, kau berani merusak urusan besar Sam-thay-ya,
lekas bangun, bertempur dengan Sam-thay-ya sampai 300
jurus !" serunya dengan suara mengguntur. Tapi bagaimana
dahsyatnya tereakan Sik-Lo-sam itu. Tio Jiang yang terluka
hati dan tubuhnya itu, tetap belum siuman.
“Hi? Matikah ?" akhirnya Sik Lo-sam menyatakan
keheranannya. Dia tunggu lagi sampai beberapa saat dan
sekonyong2 wut ........ dia loncat menyingkir, lalu bertereak
: “Manusia mana yang tak bermuka itu, berani membokong
buyung ini ? Lekas keluar !" Di ulangi tereakan itu sampai
dua kali, tapi setelah tak mendengar balasan dan melihat
seorangpun keluar, dia membungkuk kebawah untuk
membau napas Tio Jiang. „Ha, buyung ini pura2 mati!"
Tapi ketika mengawasi wajah Tio Jiang, dia terkejut lagi.
Meskipun linglung, tapi dalam hal ilmu silat, dia
termasuk tokoh kelas utama. Sepuluh tahun yang lalu,
pernah bertempur dengan Hay-te-kau, siapa tak bisa berbuat
banyak terhadapnya. Tahu wajah Tio Jiang begitu lesu, dia
mengerti anak itu luka berat. Waktu memereksa getaran
urat nadi jim dan tok, rupanya sudah berhenti mendenyut.
Sedang jantungnyapun sudah lemah berdetak. Cepat dia
memondongnya seraya berkata: “Buyung, kau terluka,
kalau sudah kusembuhkan, maukah kau mengajari aku
ilmu pedang ?"
Ketika dipondong itu, kepala Tio Diang terkulai
kebawah, dan ini diartikan oleh si Sik Lo-sam itu sebagai
tanda mengiakan. Dia girang sekali. Brett, baju Tio Jiang
dirobeknya dan jatuhlah sebuah peniti kupu2. Dijemputnya
benda itu. „Huh, buyung yang tak tahu malu, masa mencuri
perhiasan anak perempuan," serunya terus membuang
peniti itu. Dia letakkan lagi tubuh Tio Jiang ketanah, lalu
dia sendiri duduk bersila, kedua tangannya dilekatkan pada
bagian ulu hati dan punggung sianak itu.
Setelah mendapat pengobatan secara penyaluran
lwekang itu, barulah Tio Jiang tersadar. Ingatannya masih
lemah, tapi yang selalu ter-bayang2 dalam ingatannya itu
hanyalah Bek Lian seorang sad ya. Sesaat, dia
membayangkan kalau sudah mend yadi suami isteri dengan
Bek Lian serta bersama2 berkelana menjalan dharma
kebaikan didunia persilatan. Pada lain saat lagi, dia seperti
menampak Bek Lian sudah menjadi isteri The Go, dan
sikapnya seperti tak kenal padanya. Karena selalu
memilirkan hal itu saja, dadanya serasa makin sesak.
Segumpal darah panas, serasa matt muntah keluar.
Tenggorokan berasa gatal, sehingga tak kuat lagi untuk
menahan muntah. Dia membuka matanya sedikit, Atau
Sik-Lo-sam sudah membentaknya: „Tahan jangan sampai
muntahkan darah.!"
Tio Jiang tak berani membangkang, buru2 dia tenangkan
pikirannya untuk menahan se-dapat2nya. Tapi pada
matanya yang separoh meram separoh terbuka itu, samar2
dia melihat Bek Lian tengah bergandengan tangan The Go
dipesisir sana. Hatinya pedih sekali, dan naiklah gumpalan
darah itu ketenggorokan. Saking sudah tak tahan lagi,
mulutnya sudah akan terbuka untuk muntah.
„Tahankan!" bentak lagi Sik Lo-sam kedekat telinganya.
Tio Jiang menurut dan bertahan se-kuat2nya. Tapi sang
kemauan tak kuasa menahan meluapnya sang darah.
Gumpalan darah, naik keatas, sehingga ketika memandang
kearah Sik Lo-sam sepasang mata Tio Jiang ke-merah2an
warnanya.
„Buyung, sayang. Menolong jiwa adalah yang penting.
Kelak jangan membikin jengkel Sam-thay-ya lagi," seru Sik
Lo-sam sembari menghela napas, dan terus menarik
tangannya yang dilekatkan dipunggung Tio Jiang tadi.
Karena dilekati kedua tangan Sik Lo-sam itu, maka Tio
Jiang dapat menahan sehingga gumpalan darah panas itu
tak cepat2 naik. Begitu tangan Sih Loo-sam lepaskan
tangannya, Tio Jiang kedengaran menguak „huk," terus
hendak muntah. Ini berbahaya sekali. Asal gumpalan darah
panas itu muntah keluar, peyakinan lwekang selama 6
tahun, akan hilang musna dan orangnya akan menjadi
lemah. Kalau hendak mengulangi belajar lagi, lebih susah
dari orang yang dilekatkan pada punggung Tio Jiang tadi
dilepaskan, dengan sebat sekali dia pakai jari tengah untuk
menekan jalan darah thian-tho-hiat ditenggorokan sianak.
Jalan darah itu termasuk salah satu pintu terpenting dari
seluruh jalan darah dalam tubuh. Kini Tio Jiang merasa
longgar dadanya, tapi dalam pada itu kepalanya menoleh
kesamping. Justeru matanya terbentur peniti kupu2 milik
Bek Lian yang dilempar ketanah oleh Sik Lo-sam tadi.
Terang benda itu bukan palsu dan benar pemberian Bek
Lian. Kalau sucinya itu terpaksa mengikuti The Go tentu
ada apa2nya. Memikir sampai disitu, kembali tenggorokan
terdengar mengauk „kuk" lagi. Kalau tadi buakan itu
menyentak keatas, kini turun kebawah tenggorokan. Tapi
untungnya, darah tetap tak termuntahkan keluar.
Kini Tio Jiang sudah banyak baik. Mengawasi kearah
Sik Lo-sam dia berbisik menghaturkan terima kasih : “Samthay-
ya, banyak terima kasih atas budi pertolonganmu."
“Buyung, ajarkan ilmu pedang pada Sam-thay-ya," alis
Sik Lo-sam turun naik disungging oleh mulutnya yang
bergelak tawa.
Tio Jiang melengak. Buru2 dia hendak berbangkit
memberi hormat. Tapi ketika sudah berdiri dan hendak
putar kepalanya kemuka lagi, hai ........ tak dapat. Rasanya
tulang lehernya sudah kaku, tak bisa digerakkan lagi.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 8 : SI TENGENG
Bukan kepalang kaget Tio Jiang. Se-kuat2-nya dia
hendak memutar sang kepala, namun tetap masih berpaling
kesamping saja. Karena tadi dia berpaling kesamping
mengawasi peniti kupu2 itu, jadi sebelah pipinya bagian
bawah hampir menempel dipundak dan tak dapat diputar
lagi. „Sam-thay-ya !" serunya dengan gugup, karena
mengira siorang tua aneh itu tengah mempermainkannya.
Tapi wut, Sik Lo-sam loncat menyingkir, serunya:
„Buyung, jangan sesalkan aku. Tadi kalau aku tak menutuk
jalan darahmu thian-tho-hiat, kau tentu sudah binasa. Kini
meskipun kau menjadi pemuda tengeng, tapi nyawamu
masih ada, mengapa susah hati ?"
Mendengar dirinya bakal menjadi seorang tengeng yang
tak sedap dipandang, buru2 Tio Jiang berseru : „Sam-thayya,
kau bisa menuntuk mengapa tak mampu
mengembalikan?"
Sik Lo-sam menggeleng kepala. Tio Jiang seperti putus
asa, berdiam diri.
„Buyung, kepala tengeng apa halangannya ?" tanya Sik
Lo-sam. Kesedihan Tio Jiang sukar dilukiskan. Kalau Bek
Lian nanti makin tak sudi padanya, itu sih dapat
dimengerti.
Tapi dengan cacadnya tengeng itu, kelak tentu dia tak
dapat belajar silat lagi. Memikir sampai disini, pecahlah
tangis Tio Jiang tersedu-sedan.
GAMBAR 25
Ketika tahu2 kepala berubah menjadi tengeng, Tio Jiang
bingung dan gugup, akhirnya la menangis ter-guguk2.
Melihat sianak muda menangis, Sik Lo-sam menjadi
seperti semut diatas kuali panas. Tangannya sebentar
menampar2 kepala, sebentar2 meng-usap2 matanya.
Setelah sekian saat, tiba2 dia berseru :„Buyung, lukamu
masih belum sembuh betul, kalau terus menangis, tentu
membahayakan jiwamu."
Hati Tio Jiang tergetar. Teringat ia akan pesan suhunya,
bahwa mati dan mati itu ada dua. Mati yang sepele seperti
rontoknya bulu angsa, dengan mati berharga seperti
megahnya gunung Thaysan. Kalau karena tengeng, dia
kepingin mati, bukankah itu sama halnya dengan mati
sepele seperti rontokannya bulu angsa? Kini tentara, Ceng
sudah menduduki Kwiciu. Tunggu nanti kalau lukanya
sudah sembuh betul, dia hendak adu jiwa dengan pasukan
asing itu. Kematian itu, rasanya jauh lebih berharga. Setelah
hatinya tetap, dia tak mau menangis lagi.
Melihat omongannya diturut, Sik Lo-sam sangat girang.
Diambilkannya pedang yang jatuh ditanah itu, lalu berkata
kepada Tio Jiang: „Buyung, kau tadi sudah menyanggupi,
lekas ajarkan aku ilmu pedang!"
Tio Jiang terkesiap. Bilakah dia memberi kesanggupan
itu? Tapi serta terkilas dalam pikirannya, jangan lagi hanya
ilmu pedang nyawanya sendiripun belum ketentuan kalau
bisa selamat, maka apa jeleknya kalau mengajarinya jurus
pertama dari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat yakni „Thio Ik
cu hay" (Thio Ik membakar lautan). Setelah melakukan
gerak jurus itu beberapa kali, Sik Lo-sam kegirangan,
karena menganggap jurus itu betul lihay sekali. „Buyung,
kau ajari aku ilmu pedang, apa aku harus menyebutmu
suhu? Salah, kau ini hendak mempermainkan Sam-thay-ya.
Pantasnya aku juga harus mengajari sebuah ilmu silat
padamu, kau minta padaku pelajaran apa? Harus dijelaskan
dulu, meskipun kita saling mengajari, kau tetap menjadi
muridku!"
Pikir Tio Jiang, toh dia sudah bulat tekadnya untuk mati
sahid, maka makin tambah ilmu kepandaian lagi makin
baik. Teringat dia, ketika menyaksikan Kiau susiok
bertempur lawan The Go di Giok-li-nia tempo hari, Sik Losam
itu telah dapat mengatakan jurus ilmu tutukan ”orang
gila menjual arak" dari The Go, maka tanpa ragu2, dia
membuka mulut: „Sam-thay-ya, aku mau belajar jurus tipu
Hong-cu-may-ciu !"
„Aduh mak!" tiba2 Sik Lo-sam menjerit kaget, „sewaktu
Ang Hwat cinjin menurunkan pelajaran itu padaku, aku
telah memukul tanganku selaku sumpah, tak boleh
mengajarkan pada lain orang!"
Apa boleh buat, Tio Jiang menurut saja apa yang hendak
diajarkan siorang tua aneh itu, tapi tiba2 Sik Lo-sam itu
menampar kepalanya sendiri, berseru: „Tak apa, kalau Ang
Hwat cinjin menegur, jawab saja kalau Sam-thay-ya lupa
peristiwa sumpah menabok tangan itu, boleh dah!"
Meskipun hatinya berduka, namun melihat cara siorang
tua linglung itu mengoceh sendirian begitu lucu, tak urung
Tio Jiang tertawa geli juga. Begitulah ringkasnya saja, Tio
Jiang dan Sik Lo-sam sudah hampir dua bulan lamanya
tinggal dipulau kosong itu. Dalam dua bulan itu, setiap 10
hari sekali, Tio Jiang tentu menurunkan satu jurus dari ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat. Saking ketariknya, Sik Lo-sam
pun menurunkan seluruh ilmunya yang beraneka ragam itu
kepada Tio Jiang. Akhirnya luka Tio Jiangpun sembuh
sama sekali. Untuk itu Sik Lo-sam teramat girang-nya.
Malah saking kegirangannya me-luap2, dia turunkan juga
ilmu sakti „cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" atau 13 cara
untuk menyalurkan tenaga dalam dengan kekuatan hati.
Ilmu tersebut adalah sebuah ilmu lwekang yang sakti
sekali. Pokoknya adalah begini: „dengan hati menyalurkan
hawa, empos semangat masuk ketulang, dengan hawa
menggerakkan tubuh, tentu leluasa menurut kemauan hati.
Menjalankan hawa, seperti kiu-kiok-t yu (mutiara 9
lekukan), tentu takkan terhalang. Bergerak laksana baja
putih, tiada benda yang tak dapat dihancurkan. Tenang
laksana gunung, bergerak seperti sungai bengawan."
GAMBAR 26
Selama dua bulan tinggal dlpulau karang itu setiap hari Tio
Jiang saling, barter" llmu silat dengan Sik Lo-sam.
Semasa masih kecil, ternyata Sik Lo-sam itu seorang
anak yang berbakat jelek. Tapi pada suatu hari secara tak
disengaja, dia telah membantu kerepotan seorang lihay,
siapa untuk membalas terima kasihnya telah menurunkan
ilmu lwekang „cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" yang sakti
itu. Hampir separoh dari hidupnya, Sik Lo-sam telah
gunakan untuk meyakinkan ilmu itu, barulah dia, berhasil.
Beda halnya dengan Tio Jiang yang berbakat bagus, apalagi
sudah digembleng oleh Ceng Bo siangjin. Begitu
mendengarkan, wejangan ilmu sakti, itu, hampir separoh
bagian dia sudah jelas. Sehingga waktu dipraktekkan,
seluruh tenaga dan tulang2nya bebas lepas, tepat seperti
yang dimaksudkan, dalam salah satu kalimatnya
„menyalurkan hawa seperti „kiu-kiok-cu" Sudah tentu
bukan alang-girangnya Tio Jiang. Selama dua bulan itu, dia
telah belajar ber-macam2 ilmusilat yang aneh2 dan sakti,
sehingga kelihayannya bertambah pesat sekali.
Pada hari itu, Tio Jiang sedang mengajarkan jurus ke-7
dari to-hay-kiam-hwat yakni jurus hay-lwe-sip-ciu (10 benua
dalam laut ). Dengan pe-lahan2 dia menjelaskan jurus itu
kepada Sik Lo-sam. Setelah itu, dia kembali lanjutkan
pekerjaannya membuat rakit yang telah dimulainya sejak
dua bulan yang lalu. Kebetulan hari itu, rakit tersebut sudah
selesai. „Sam-thay-ya, aku hendak menuju ke Kwiciu, kau
ikut tidak ?" tanyanya.
Sik Lo-sam yang tengah asyik meyakinkan jurus hay-lwesip-
ciu yang baru dipelajarinya itu, menjadi marah, serunya:
„Buyung, kau mau pergi lekas pergi sana, jangan
mengganggu Sam-thay-ya berlatih silat!"
Selama berkumpul dalam dua bulan itu, Tio Jiang sudah
kenal betul akan watak perangai siorang tua aneh itu. Maka
dengan tertawa, dia segera luncurkan rakitnya kedalam laut
dan tak berapa lama kemudian, sudah ter-apung2 ditengah
laut.
Sewaktu terapung-apung seorang diri ditengah laut itu,
pikiran Tio Jiang dilamun oleh pelbagai kenangan. Benar
kini kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dulu, tapi kini
dirinya telah menjadi seorang pemuda tengeng, ia menghela
napas sedih. Apakah sucinya akan dapat menyintainya lagi?
Ingin benar dia lekas sampai di Kwiciu, namun rakit itu
sedemikian pelannya. Apa boleh buat, untuk mengisi
kekosongan waktu, dia tenang diri berlatih ilmu „cap-sahsik-
heng-kang-sim-coat" yang baru dipelajarinya itu. Sampai
setengah harian dia berada dalam keadaan begitu, lewat
tengah hari samar2 seperti terdengar suara mengaung yang
lemah. Tapi ketika dia membuka mata, ternyata tak ada
apa2, kecuali laut yang lepas. Tapi karena kini dia seorang
tengeng, maka dia terpaksa harus berputar tubuh kalau
hendak melihat kesebelah samping dan belakang. Benar
juga ketika berputar kesebelah belakang, tampak jauh
disebelah muka sana ada sebuah perahu kecil berjalan laju
sekali. Tio Jiang terperanjat dan girang. Terperanjat melihat
kecepatan luar biasa dari sampan kecil itu. Girang karena
kalau dia bisa menggabungkan diri, tentu akan dapat
mencapai daratan dengan lekas.
GAMBAR 27
Sedang Tio Jiang ter-menung2 sendirian diatas rakit, tiba2
dilihatnya jauh dibelakang sana ada sebuah perahu sedang
meluncur datang dengan pesatnya.
Tio Jiang segera berteriak se-kuat2-nya. Tapi begitu
suaranya keluar, dia segera menjadi kaget sendiri, karena
teriakannya itu hampir menyerupai guntur dahsyatnya.
Kiranya tanpa disadari, kini lwekangnya bertambah maju
sekali. Sudah tentu orang2 dari perahu kecil itu dapat
mendengarnya, dan makin cepat menghampiri. Ketika
dekat, salah seorang dari perahu itu tampak melontarkan
sebuah tali yang ujungnya diberi jangkar kecil kearah rakit
Tio Jiang.
„Adakah saudara ini hendak menghadiri undangan rapat
?" tanya orang itu.
Tio Jiang melengak, sahutnya: „Tidak !"
Dari perahu itu loncat 3 orang kerakit Tio Jiang. Salah
seorang setelah mengawasi Tio Jiang dan berkata: „Bukan,
Ceng Bo sianjin hanya mengundang para enghiong dan
hohan dari seluruh penjuru, mana bisa mengundang
seorang anak tengeng begini !"
Hati Tio Jiang sakit sekali, ketika disebut anak tengeng
itu. Tapi demi didengarnya sang suhu mengirim undangan
pada seluruh orang gagah, dia girang sekali, tanyanya:
„Sam-wi toako (engkoh bertiga), Ceng Bo siangjin adalah
guruku. Dimanakah beliau sekarang ini, harap suka
membawa aku kesana."
Ketiga orang itu mengawasi sampai sekian lama kepada
Tio Jiang. „Siaoko, mengapa kau bisa ngelantur begitu ?"
kata salah seorang dengan tertawa.
Tio Jiang tidak pernah berbohong, maka merahlah
selebar wajahnya demi dituduh begitu, sehingga tak dapat
berkata apa2.
„Ceng Bo siangjin mempunyai murid, itu belum pernah
terdengar. Tapi kalau dia mempunyai dua tiga orang
gundik, itu memang nyata!" kata yang seorang lagi.
„Mengapa kau berani menghina suhuku ?" bentak Tio
Jiang dengan marahnya.
„Siaoko, apakah kau ini benar muridnya Ceng Bo
siangjin ?" kata siorang tadi dengan masih bergelak tawa.
„Benar !"
„Mengapa kau tak tahu suhumu mempunyai gundik ?"
tanya orang itu.
Sudah tentu Tio Jiang tak percaya. Suhunya seorang
lelaki yang berpambek luhur, masakan dia mau berbuat hal
begitu? „Apakah saudara tahu untuk maksud apa suhu
mengundang para orang gagah itu ?"
Menyahutlah ketiga orang itu dengan berbareng :
„Tentara Ceng sudah menduduki Kwitang. Bahwa masih
ada setengah orang2 didunia persilatan yang tak kenal
selatan hendak mengadakan perlawanan itu, kan berarti
hanya ibarat 'telur diadu dengan batu' saja. Maka Ceng Bo
siangjin mengirim undangan pada sekalian hohan untuk
menganjurkan supaya mereka jangan mengadakan gerakan
yang sia2 itu. "
Tio Jiang ter-longong2 mendengarinya. ,Ah, tidak, tidak,
mana suhu mau berbuat begitu?" katanya pada lain saat.
Terkilas dalam ingatannya, bahwa baik dalam ucapan
maupun dalam perbuatan, suhunya itu bukan tergolong
orang yang sudi melakukan hal yang merosotkan moral itu.
”Dimanakah pertemuan itu akan diadakan?" tanyanya pula.
„Apa? Kau mengaku sebagai muridnya, tapi mengapa
tak tahu? Ha, Ha!" sahut mereka bertiga.
Tio Jiang tak ambil mumet disangka me-ngaku2 murid
Ceng Bo siangjin itu. Dia ulangi lagi pertanyaan tentang
tempat pertemuan itu. Maka menyahutlah ketiga orang itu :
"Kami bertiga ini ditugaskan untuk menyambut tetamu
yang naik perahu. Jika siaoko benar2 ingin mengunjungi
pertemuan itu, mari ikut pada kami menuju kepulau Bansan-
to disana itu. Tapi sesampainya disana, siaoko jangan
mengatakan ini itu. Ceng Bo siangjin adalah seorang tokoh
silat kenamaan, mana bisa dia mempunyai seorang anak
murid yang tengeng? Jangan sampai membuat dia gusar,
awas bisa dikemplang mati nanti !"
Tio Jiang makin curiga., Mengapa Ceng Bo siangjin
yang dikatakan oleh ketiga orang itu, jauh bedanya dengan
Ceng Bo siangjin yang menjadi suhunya? Ah, biar dia ikut
ke pulau Ban-san-to itu, guna menyaksikan sendiri.
Begitulah dia lalu berpindah keatas perahu. Benar juga tak
berapa lama, mereka menghampiri kesekelompok pulau2.
Salah seorang dari ketiga orang tadi meniup terompet
terbuat dari keong laut, dan dari arah muka sana
terdengarlah penyahutan bunyi macam begitu juga.
Tahu gelagatnya mencurigakan, Tio Jiang ber-siap2
dengan pedangnya. Tatkala perahu mendekat pantai,
kiranya yang disebut Ban-san-to atau pulau selaksa gunung
itu, yalah pulau yang separoh terdiri dari gunung dan
separoh daratan. Karena letaknya dilaut selatan, jadi
meskipun kala itu dalam musim dingin, namun didaerah
situ tanam2an masih tetap menghijau. Ketika hampir
berlabuh kepantai, tiba2 dari salah satu muara tampak
keluar sebuah perahu. Orang yang berdiri diburitan perahu
itu kedengaran berseru :
„Siapakah yang datang ini kali?"
„Hanya seorang anak muda yang mengaku murid Ceng
Bo siangjin," sahut ketiga orang tadi, lalu serentak tertawa
gelak2. Tapi Tio Jiang tak menghiraukan. Jauh disebelah
depan sana, dilihatnya banyak sudah orang berkumpul
disebuah tanah lapang.
„Rasanya sudah tak ada orang yang datang lagi. Tadi
Toa cecu (pemimpin) dari gunung Hoasan yakni Nyo Kong
Lim baru saja datang. Rupanya dia tak puas dengan
siangjin, maka sudah membawa beberapa kawan2nya
kemari," kata orang yang baru datang itu. Dan ketiga orang
tadipun mengiakan.
Sebaliknya Tio Jiang terkejut mendengar hal itu.
Teringat ia bahwa sering kali suhunya me-muji2 Nyo
Konglim itu sebagai seorang persilatan yang berpambek
perwira, semestinya kedua orang itu akan merasa girang
dapat bertemu, masakan bisa bentrok. Ah, lupa dia,
bukankah tadi ketiga orang itu mengatakan bahwa, Ceng
Bo siangjin hendak mencegah supaya orang2 persilatan
jangan melanjutkan perlawanannya kepada, pemerintah
Ceng Sudah tentu dalam hal ini, Nyo Kong-lim pasti akan
menentangnya.
Selama berjalan dan berpikir itu, tahu2 sampai dia
ketempat berkumpulnya orang banyak itu. Ternyata orang2
gagah yang berkumpul disitu, tak dikenalnya semua. Pada 3
deret bangku pat-sian yang berada disebelah timur sana,
semua sudah penuh diduduki orang. Salah seorang dari
mereka itu, tinggi besar badannya. Kalau bicara, orang itu
suaranya seperti genta dipalu. Orang2 yang disekitarnya
tampak sangat menghormat sekali padanya. Selain 3 buah
meja pat-sian besar itu, orang2 lainnya sama duduk
dibawah tanah. Tio Jiang memilih tempat kosong lalu ikut
duduk dibawah. Tapi se-konyong2 dia berbangkit lagi, demi
dilihatnya pada saat itu Ceng Bo siangjin berjalan
mendatangi dari balik gunung.
Tio Jiang anak yang berwatak polos jujur. Hampir 3
bulan tak berjumpa dengar sang suhu, dia sangat rindu, itu
nampak sang suhu, terus saja mulutnya hendak berseru
memanggil. Tapi tiba2 dia mempunyai pikiran lain dan
terpaksa bersabar diri, demi tampak pemandangan yang
aneh. Kiranya begitu Ceng Bo siangjin muncul,
dibelakangnya mengikut 2 orang wanita muda, yang
berparas cantik. Dilihat dandananya, wanita muda itu juga
seperti orang persilatan. Yang satu disebelah kanan, yang
lain disebelah kiri, keduanya seperti menggelandotkan,
tubuhnya pada Ceng Bo dengan sikap yang aleman, sekali,
namun Ceng Bo tak marah sebaliknya malah memegangi
pinggang keduanya.
Tio Jiang hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya
itu. Enam tahun lamanya dia berguru pada siangjin itu, baik
sikap maupun bicaranya, siangjin itu sangat correct (tepat),
dapat menjaga harga diri. Sungguh tak mengira dia, kalau
siangjin itu berlaku begitu, gila2an, bercanda dengan orang
perempuann dihadapan umum, apalagi dihadapan sekian
banyak tokoh2 persilatan !
GAMBAR 28
Mendadak siorang tinggi besar tadi berdiri dengan kerennya
dan menegur Ceng Bo Siangjin.
Ternyata bukan melainkan Tio Jiang seorang yang
mempunyai perasaan begitu. Semua orang yang hadir disitu
sarna ber-bisik2 satu sama lain. Dalam hati mereka sama
sangsi mengapa, Ceng Bo siangjin yang namanya begitu
termasyhur ternyata, seorang yang bermoral serendah itu.
Malah siorang gagah bertubuh tinggi besar tadi, segera
berbangkit dari tempat duduknya dengan kurang senang.
Karena orang itu mengenakan pakaian warna hitam, maka
begitu berdiri se-olah2 merupakan sebuah menara tinggi,
sehingga orang! sama terkesiap. Namun sikap Ceng Bo
siangjin itu tetap tenang2 saja. Dengan membawa sikapnya
seperti tadi, dia menuju meja pat-sian itu dan mengambil
tempat duduk disitu.
Begitu Ceng Bo siangjin sudah duduk, maka
terdengarlah siorang gagah tadi berseru keras: „Siangjin,
apakah maksud tujuan dari undangan pertemuan paraa
hohan harini? 72 orang saudara2 dari Hoasan hadir disini
untuk bersedia mendengarkannya! Siangjin kiranya tentu
sudah mengetahui bagaimana nasibnya ribuan saudara2
Thian Te Hui yang telah dihancurkan oleh tentara penjajah
itu. Adakah siangjin bermaksud hendak mengadakan,
perserekatan dengan seluruh enghiong dunia persilatan
guna melakukan pembalasan ?"
Mendengar itu, semangat Tio Jiang me-nyala2 lagi.
Teringat dia bagaimana nasib Kiau To, Ki Ce-tiong dan
Yan-chiu yang tiada kabar beritanya itu. Li Seng Tong
dengan 30.000 tentara Ceng telah mengurung gunung
Gwat-siu-san, Setelah mengadakan perlawanan sehari
semalam, barulah dia (Tio Jiang) dapat membuka jalan
lolos. Kiranya peristiwa itu telah diketahui oleh seluruh
orang persilatan. Tiada korban yang jatuh sia2, Thian Te
Hui pecah sebagai ratna dimedan bhakti.
Maka pada saat itu, ingin sekali dia lekas2
mendengarkan bagaimana penyahutan dari sang suhu yang
sudah berobah perangainya itu. Habis mengajukan
pertanyaan, orang gagah itu lalu berdiri dengan dada
berkembang-kempis karena menahan kemarahannya.
"Nyo-toa-cecu," Ceng Bo siangjin menyahut dengan
bergelak tawa, tolong tanya mengapa ribuan saudara2
Thian Te Hui tiada bernyawa lagi? Mengapa toa-ah-ko Ki
Ce-tiong dan ji-ah-ko Kiau To tiada berkubur mayatnya lagi
?"
Tanpa menunggu sedetikpun, siorang gagah itu cepat
menyahuti dengan suaranya yang mengguntur: „Seorang
taytianghu (laki2 sejati), mengapa jerikan soal mati hidup?!
Benar dengan toa dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui aku, Nyo
Kong-lim, belum pernah berkenalan, namun aku sungguh2
kagum pada mereka!"
Ceng Bo siangjin menyeringai, ujarnya dengan sinis:
„Jadi Nyo-toa-cecu juga siap hendak menyuruh 72 saudara
dari Hoasan bernasib seperti Thian Te Hui?"
Kini tahulah Tio Jiang bahwa orang tinggi besar itu
adalah Toa-cecu atau pemimpin besar dari ke 72 Cecu
(kepala begal) gunung Hoasan. Dibalik ituu dia merasa
heran atas jawaban sang suhu itu. Mengapa kini sikap
suhunya itu berbalik 100 derajat? Bukannya dia
mengobarkan semangat perjoangan pemimpin besar
perserekatan begal dari gunung Hoasan itu, sebaliknya
memadamkan api perjoangan mereka. Aneh, sungguh
aneh......
Setelah sampai sekian saat Nyo Kong-lim diam saja,
Ceng Bo siangjin bergelak tawa, ujarnya: „Toa-cecu,
apakah tahu alam ini mempunyai hukum? Dengan telur
hendak memukul batu, hanya seperti anai-anai (laron)
menghantarkan jiwa kedalam api! Kiranya lebih baik
dengarkan nasehat pinto, bekerjalah pada kerajaan Tay
Ceng!"
Bukan olah2 kaget Tio Jiang mendengar mulut sang
suhu mengucapkan kata2 itu, saking tak kuat menahan
perasaannya, tanpa disadari dia berbangkit seraya mengeluh
keras : „ai........ " sehingga semua orang terkejut dan sama,
mengawasi kearahnya. Ceng Bo siangjin jua memalingkan
mukanya, seraya berkata dengan nada menghina: „Ho,
siaoko itu rupanya berani membangkangkah?"
Tio Jiang makin men-jadi2 terperanjatnya. Mengapa
sang suhu menyebutnya siaoko (engkoh kecil) ? Adalah
karena kejujuran Tio Jiang yang selalu ingat akan budi
kebaikan suhunya, sehingga dia tak mempunyai kecurigaan
apa2 kecuali, perasaan mengindahkan. Mengapa suhu
berbuat begitu, tentu ada sebabnya. Mungkin dia hendak
menyuruh aku mempelopori setuju akan anjurannya itu,
hingga nanti semua hohan pun ikut2an setuju. Biar
bagaimana juga, budi suhunya itu adalah sedalam lautan,
rasanya seluruh pengabdian hidupku saja masih belum
cukup untuk membalas budi suhunya itu, pikir Tio Jiang.
Dan sehabis mantep berpikir, segera dia melangkah maju
seraya berseru: „Suhu!"
Lagi2 suasana, persidangan itu menjadi gempar. Ceng
Bo siangjin sendiripun menjadi melengak, tapi pada lain
saat dia sudah dapat menguasai perasaannya. „Duduklah,
tunggu sehabis kuselesai berunding dengan Toa-the-cu Nyo
Kong-lim"
Tio Jiang tak berani membantah, dan lalu duduk dimeja
pat-sian situ. Karena kepala tengeng, maka ketika
tubuhnya, mengambil tempat duduk, kepalanya bukan
menghadap kemuka melainkan kesamping. Baru dia
hendak mengalih tubuhnya, tiba2 dilihatnya disebelah
samping situ berkelebat sesosok bayangan orang. Dilihat
dari dandanannya, orang itu seperti Cian-bin Long-kun The
Go. Karena kini lehernya kaku melekat pada pundaknya,
jadi tak leluasa diputar2. Begitu dia memutar tubuhnya agar
kepalanya menghadap kearah tadi, ternyata bayangan orang
itu sudah lenyap.
---oodw0tahoo---
BAGIAN 9 : RAPAT PARA ORANG
GAGAH
Tio Jiang ragu2 atas penglihatannya tadi, tapi gerak
orang itu memang teramat sebat sekali. Memikir the Go,
dia teringat akan Bek Lian. Cepat dia hendak lantas
berbangkit mencari keterangan, tapi pada lain saat dia
tersentak diam, demi teringat dirinya kini menjadi seorang
tengeng. Adakah nanti Bek Lian sudi melihatnya? Ah, lebih
baik dia sabarkan diri menunggu sang suhu. Bila nanti sang
suhu sudah dapat mengusahakan pertolongan, barulah dia
nanti ada muka untuk bertemu dengan sang suci itu. Kalau
pikiran Tio Jiang itu hanya penuh dengan persoalan Bek
Lian, adalah disana kedengaran Nyo Kong-lim berkata:
„Ceng Bo siangjin, Hay-te-kau! Dunia persilatan
mengagungkan namamu sebagai seorang lelaki sejati.
Berapa buIan yang lalu, orang katakan kau masih
berserekat dengan Thian Te Hui menentang tentara Ceng.
72 Cecu dari Hoasan, berminat untuk berserekat dengan
Thian Te Hui. Kalau kini kau sudah berobah menjadi
bangsa babi dan anjing, mengapa tak lekas2 memelihara
buntut dibelakang kepala itu?”
Bermula Tio Jiang sangat ketarik dengan ucapan perwira
dari ketua perserekatan Hoasan itu, tapi serta pada
klimaksnya orang me-maki2 suhunya yang dianggapnya
sebagai ayahnya sendiri itu, berobahlah wajah Tio Jiang.
Dengan sigapnya serentak dia berbangkit menuding Nyo
Kong-lim: „Kau....., kau...... mengapa memaki orang ? !"
Nyo Kong-lim berpaling, dengan sepasang alis mengerut
naik turun, berkatalah dia dengan mengejek: „Kalau sang
guru kencing berdiri, tentu muridnya kencing berlari! Tak
peduli setan belang mana, asal berani menyerahkan tanah
air kita kepada penjajah, aku tentu akan mencaci makinya!”
Ucapan ketua Hoasan yang tegas dan perwira itu,
mendapat sambutan gegap gempita dari para hadirin.
„Bagus, makian tepat! Harus dimaki begitu!" tereak mereka
dengan me-luap2.
Tapi ada juga segolongan kecil yang jebikan bibir,
mengejek: „Hem, manusia yang tak tahu mati!"
Ada juga yang menyambungi: „Garang dibibir saja,
apanya sih yang dibuat bangga!"
Dan kini suasana pertemuan itu kacau dengan suara2
yang pecah menjadi dua aliran. Ceng Bo kerutkan jidatnya.
Begitu mendorong sisihkan kedua wanita yang
dandanannya seperti perempuan rendah itu, dia segera
bangkit. „Ai....., siangjin, mengapa mengeluarkan tanduk?"
seru kedua wanita muda itu dengan aleman sekali.
Mengkirik bulu roma Tio Jiang mendengar tingkah laku
yang memuakkan dari kedua wanita muda itu. Ah,
mengapa sang suhu kini menjadi begitu lupa diri? Namun
hanya sedetik saja pikiran itu terkilas dalam hati Tio Jiang,
karena biar bagaimana juga, dia tetap mengindahkan dan
menjunjung tinggi sang suhu yang telah menanam budi
setinggi gunung itu.
Ternyata begitu Hay-te-kau yang menggeletar namanya
diangkasa persilatan itu berdiri, maka sunyi siraplah
suasana. Hanya Nyo Kong-lim beserta rombongannya saja
yang kedengaran masih ter-tawa2 kecil yang sinis. Begitu
berdiri, Ceng Bo siangjin hantamkan tangannya keatas meja
pat-sian, brak........ dan tembuslah meja itu dengan sebuah
lubang. Hadirin makin diam jeri. Setelah menyapukan
pandangan matanya keseluruh hadirin, barulah Ceng Bo
siangjin menatap kearah Nyo Kong-lim tadi, ujarnya: „Toacecu,
pinto se-mata2 hanya memikirkan akan nasib
saudara2 dikalangan persilatan. Kalau Toa-cecu hendak
menggunakan ke 72 cecu Hoa-san itu guna mencari
kebesaran nama sendiri, pintolah orang pertama, yang
takkan mengijinkan!"
Nyo Kong-lim itu adalah seorang kasar. Sejak kecilnya,
dia bertenaga besar dan suka belajar silat. Akhir masa
pemerintahan Beng itu korup sekali, sehingga nasib rakyat
sangat sengsara. Itu waktu karena hendak membela rakyat
sedesanya yang tertindas, dia telah membunuh seorang tuan
tanah. Setelah itu, dia merat dari kampung halamannya dan
mendirikan perserekatan begal haguna digunung Hoa-san.
Digunung Hoa-san situ sebenarnya sudah ada 72 orang
Cecu. Namun karena melihat sikap dan perangai Nyo
Kong-lim itu gagah perwira, mereka mengangkatnya
menjadi toa-cecu atau pemimpin besar dari para Cecu.
Tatkala mendengar ucapan Ceng Bo siangjin itu, karena
sesaat tak dapat mencari bantahan yang tepat, dia hanya
men-dengus2kan hidungnya seperti kerbau marah. Terang
siangjin itu hendak mendesaknya dalam, suatu
pertandingan pibu (adu silat). Benar selama ini orang
persilatan mengagungkan nama siangjin itu, namun dia
sendiri belum pernah menyaksikan sampai dimana
kelihayan siangjin itu. Bahwasanya kini ternyata sangjin itu
tak lebih tak kurang hanya seorang bangsa penjilat, dia tak
mau menhiraukan soal etiket lagi. ,Sudahlah, aku tak mau
banyak bicara dengan, seorang hidung kerbau macam kau
ini. Kalau hendak memaksa orang, lebih dahulu harus
dapat menangkan senjataku sam-ciat-kun ini!"
Habis berkata itu, tangannya merogoh kepinggang dan
„trang", sebatang sam-ciat-kun (toya yang bersambung tiga)
sudah siap ditangannya. Begitu dikebaskan, sam-ciatkun itu
dapat lempeng seperti sebatang alat tulis pit, ujungnya
menutuk Ceng Bo siangjin.
Sam-ciat-kun itu terbuat dari baja murni yang berwarna
hitam kemilau. Setiap batang, ada satu meter panjangnya,
berat seluruhnya ada 60-an kati. Senjata itu dinamakan juga
”sam sat to beng kun" (toya tiga malaekat elmaut).
Mengetahui bahwa tentu akan terbit pertempuran seru,
maka para hadirin segera ber-ingsut2 mundur bebrapa
tindak. Dan dengan kesadaran, kini orang2 itu terpecah
menjadi dua rombongan. Yang menyokong Nyo Kong-lim
untuk melanjutkan perlawanan terhadap tentara Ceng,
sama berkumpul dibelakang pemimpin Hoa-san itu. Sedang
sebagian kecil yang menyokong Ceng Bo siangjin, segera
berkerumun dibelakang siangjin itu.
Sebaliknya Tio Jiang yang agak kebingungan. Tapi demi
dilihatnya Ceng Bo siangjin seperti kesima saja menghadapi
ancaman sam-ciat-kun Nyo Kong-lim itu, serentak
pikirannya tetap. Sebagai seorang murid, tak pantas dia
membiarkan suhunya dihina orang. Tentang faham
pendirian, itu soal lain. Yakin akan kemajuan yang
diperolehnya selama, dua bulan galang-gulung dengan Sik
Lo-sam itu, dia harus bertindak cepat. Maka sekali enjot
sang kaki, dia melesat maju menengahi.
„Toa-cecu, wanpwe hendak mohon bebrapa jurus
pelajaran darimu!" katanya, sembari melolos, pedang.
Begitu dilihatnya anak muda tengeng tadi sudah
menyanggapi kehadapannya, Ceng Bo siangjin lalu duduk
kembali. Sedangkan begitu mencabut pedang, Tio Jiang
segera bergerak dengan jurus „Thio Ik cu hay". Ujung
pedang dijuruskan kebawah, begitu orangnya berkelebat
maju, ujung pedang itu diguratkan keatas untuk memotong
janggut orang. Atas serangan itu, Nyo Kong-lim tarik samciat-
kunnya kebawah untuk menutup serangan orang.
Setelah itu dia sembari mundur selangkah, sembari berseru
keras: „Siaoko, kau hendak membela suhumu, itulah sikap
perwira. Tapi mengapa kau tersesat memilih seorang guru
macam begitu ?”
Tio Jiang tertegun. Memang ucapan orang itu tepat.
Kalau dulu2-nya Ceng Bo siangjin itu orang macam begitu,
tak nanti dia sudi berguru padanya. Tapi biasanya siangjin
itu tidak demikian. Entah mengapa harini mendadak sontak
suhunya bisa berlaku begitu? Ah....., tentu ada sesuatu yang
memaksanya begitu, pikir Tio Jiang, siapa lebih banyak
terpengaruh dari budi kecintaan terhadap sang suhu
daripada kenyataan yang dihadapi pada saat itu. „Toa-cecu,
silahkan kau memberi pelajaran beberapa jurus!", serunya
seraya maju. Begitu tubuhnya menurun, dia terus
mengayun2kan pedangnya dalam jurus boan-thian-kok-hay.
Melihat gerakan pedang dari sianak tengeng itu tak
sembarangan, Nyo Kong-lim tak berani berayal.
Sebenarnya dia tak bermaksud hendak bertempur dengan
anak tengeng itu, namun kalau tak menundukkan anak itu
lebih dahulu, sukarlah rasanya untuk mengajak berunding
Ceng Bo siangjin. Juga misalnya orang lain yang
mempunyai kedudukan seperti dia, yakni sebagai pemimpin
dari ke 72 Cecu gunung Hoasan, biar bagaimana tentu tak
sudi merosotkan diri untuk melayani seorang bocah tengeng
yang tak ternama itu. Tapi dasar seorang kasar, jadi tak
dapatlah orang she Nyo itu berpikir sampai sekian jauh.
Begitu ujung pedang menyerang datang, diapun segera
menyambut dengan sam-ciat-kunnya.
Melihat cara berkelahi orang itu mengandung maksud
meremehkan dirinya, Tio Jiang marah. Belum seluruh
gerakan dari jurus pertama tadi dikeluarkan, atau dia tiba2
mendakkan tubuh lagi. Pedang di miringkan kesamping, di
kembangkan menjadi ratusan titik sinar. Itulah gerak dari
jurus ilmu pedang hay-siang-tiau-go (mengail ikan besar
dilaut). Dan belum lagi kelebat lingkaran sinar pedang itu
lenyap, atau secepat kilat pedang sudah mengancam muka
dan kepala orang.
Duapuluh tahun lamanya Nyo Kong-lim meyakinkan
permainan sam-ciat-kun itu. Dalam gebrak pertama tadi,
tampaknya dia hanya sembarangan saja menangkis. Tapi
pada hakekatnya, gerakannya itu mengandung gerak
merampas senjata lawan. Asal ujung tongkat yang ketiga
menempel senjata orang, maka tongkat yang kedua akan
melambung menghantam lawan, sehingga karena tak
menduga, lawan pasti akan lepaskan senjatanya. Jurus itu
disebut „ci bwe koan hay" alingkan alis untuk melihat
matahari. Tapi gerak perobahan Tio Jiang tadi, sungguh
diluar dugaannya, sehingga tanpa terasa dia berseru memuji
: „Bagus!"
Tio Jiang terkesiap atas pujian orang. Dan tepat pada
saat itu Nyo Kong-lim sudah sapukan sam-ciat-kunnya
keperut orang. Tadi Tio Jiang baru gerakkan separoh dari
jurus hay-siang-tiau-go, atau sapuan lawan sudah tiba.
Maka dalam gugupnya tak dapat jalan mengindar, dia
buang tubuhnya jatuh kesamping, wut ...... sam-ciat-kun
tepat menyambar diatas tubuhnya. Tio Jiang bangkit, tapi
kembali dia jatuh lagi 3 langkah kemuka, seperti dia itu
sudah tak kuasa berdiri jejak. Tapi anehnya, pedangnya
susul menyusul menyerang lawan sampai 3 kali.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-silat-top-naga-dari-selatan-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Top : Naga Dari Selatan 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/08/cerita-silat-top-naga-dari-selatan-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar